"Tuan Muda!!"
"Tuan Muda! Bangun, Tuan Muda," Hans terus mencoba memanggil nama Tuan Muda-nya, setelah mengeluarkan Arsen dari dalam mobil meskipun kesulitan.
Arsen masih menutup matanya, remaja itu mengalami luka di kepalanya. Hans yang tidak menyerah, terus saja berusaha memanggil nama Tuan Muda berharap Arsen lekas membuka mata elangnya.
"Uhuk ... uhuk!" begitu tersadar, Arsen terbatuk. Lalu tatapannya mengarah pada supir sekaligus tangan kanannya.
"Pa--man, tadi aku?"
"Iya ... Tuan Muda, Anda kecelakaan tadi. Sekarang ayo kita ke rumah sakit, saya tidak mau luka Anda semakin parah nantinya," perhatian Hans, dengan berniat memapah Arsen ke arah taksi kebetulan tidak jauh dari mobil yang ditumpangi Arsen tadi.
Setelah Arsen berada di dalam rangkulan Hans, tiba-tiba pandangannya jatuh pada mobil berada sekitar satu meter dengan mobilnya. Tiba-tiba hatinya tergerak, untuk melihat kondisi supir dan orang di dalam mobil yang ia tabrak tadi.
"Paman, bisa antar aku melihat mobil itu? Aku ingin melihat keadaan orang yang berada di dalam mobil itu," pinta Arsen, tapi pandangannya terus mengarah pada mobil yang terlihat hampir ringsek.
"Tapi, keadaan Tuan Muda saat ini membutuhkan pertolongan pertama. Saya tidak mau sampai Tuan Besar marah kepada saya, karena ini termasuk kelalaian saya," sanggah Hans, berniat tidak menuruti kemauan Arsen.
"Saya telah menghubungi pihak polisi, jadi Anda tidak perlu repot melihatnya. Sebab sebentar lagi pasti para anggota polisi akan datang ke mari," sambung Hans.
Merasa kesal karena Hans tidak mau mendengar permintaannya, ia pun berusaha melepaskan rangkulan Hans di bahunya.
"Singkirkan tanganmu di bahuku, Paman! Karena aku ingin melihat sendiri, bagaimana keadaan orang yang telah aku tabrak tadi," marah Arsen, dengan menghempaskan tangan Hans sedikit kasar.
Meskipun saat ini Arsen dalam keadaan luka, tetapi ia masih memiliki kekuatan.
"Tapi, Tuan Muda."
Hans dibuat bingung sendiri, sebenarnya ia juga tidak tega melihat keadaan para korban di dalam mobil. Tapi, sebagai orang kepercayaan maka ia wajib melakukan tugasnya terlebih dahulu. Apalagi itu menyangkut Tuan Muda-nya, jadi ia mengenyampingkan rasa kemanusiaannya.
Arsen berjalan perlahan, karena kakinya juga sedikit terluka meskipun tidak parah. Sedangkan Hans mengikuti dari belakang, saat Arsen telah sampai di samping mobil Pak Amir remaja itu langsung berusaha membuka pintu mobil.
Sedikit kesulitan, Hans yang sigap langsung berusaha membantu tuan mudanya. Ketika pintu mobil telah terbuka, hal yang pertama ia dengar adalah suara rintihan Namira.
Tanpa membuang waktu, Arsen meminta Hans mengeluarkan Namira. Bertepatan saat itu polisi dan mobil ambulance datang, untuk mengevakuasi korban.
"Paman! Cepat keluarkan gadis kecil itu, cepat. Dia terlihat kesakitan, aku tidak mau kalau dia sampai kenapa-napa," perintah Arsen cepat dan tegas.
"Baik, Tuan Muda," patuh Hans, langsung berusaha mengeluarkan Namira. Tidak sampai lima menit, akhirnya Namira kini berada di gendongan Hans. Gadis kecil itu terlihat lemah, dan mulai menutup mata karena pingsan.
Wiuw ... wiuw!
Terdengar suara ambulan, dan mobil polisi. Tidak lama para petugas turun dari mobil, lalu mengeluarkan korban kecelakaan ke dalam mobil ambulance.
Karena ambulan yang datang cuma satu, dan mampu membawa Pak Amir dan Bu Rina ke rumah sakit.
"Sepertinya ambulan ini tidak muat untuk tiga orang, seharusnya hanya satu orang saja. Tapi, mengingat keadaan darurat dan kami membawa satu mobil ambulan. Maka saya akan meminta pihak polisi untuk membawa anak ini ke rumah sakit, menggunakan mobil polisi," ucap supir ambulan cepat, karena ia akan segera pergi ke rumah sakit.
Mendengar itu, Arsen dengan cepat langsung mengusulkan kalau gadis kecil itu, biar ikut bersamanya. Sebab ia merasa turut bertanggung jawab atas kecelakaan tadi.
"Biarkan gadis ini bersamaku, aku akan mengikuti mobil ambulan ini sampai ke rumah sakit," sanggah Arsen.
"Oke, baiklah. Kalau begitu saya pergi terlebih dahulu," pamit supir ambulan.
Polisi melihat kondisi Arsen yang terluka, seketika mengerti kalau remaja tampan itu ada hubungannya dengan korban yang telah dibawa ke rumah sakit tadi.
Tatapan dari beberapa posisi yang mengarah ke arah Arsen, di sadari oleh Hans. Ia pun langsung membawa Namira ke dalam taksi tepatnya membaringkannya gadis kecil itu di kursi penumpang. Kemudian Hans berjalan cepat, lalu meminta tuan mudanya masuk ke dalam taksi.
"Saya telah membawa gadis kecil itu ke dalam taksi, saya harap Anda juga masuk ke dala taksi karena saya ingin berbicara dengan pihak polisi sebentar," jelas Hans, terselip permintaan.
Arsen seketika mengerti, sesaat ia memandang beberapa polisi terus saja menatapnya dengan tatapan tanya. Ia langsung berjalan pelan ke arah taksi, lalu memilih duduk di kursi penumpang. Tapi, sebelum itu ia mengangkat kepala Namira lembut.
Arsen mencoba duduk perlahan, dengan menaruh kepala Namira di atas pahanya. Setelah dirasa ia telah duduk dengan nyaman, ia baru menutup pintu taksi.
Hans yang melihat pintu taksi telah tertutup, barulah ia berbicara pada pihak polisi dengan menceritakan kronologi kecelakaan berlangsung.
"Selamat sore ... apa Anda tahu kronologi kejadian kecelakaan tadi, Pak?" tanya salah satu polisi.
"Iya, Pak. Saya tahu, karena kebetulan saya berada di belakang mobil Tuan Muda tadi yang baru saja masuk ke dalam taksi."
"Bisa Anda jelaskan bagaimana kejadian barusan tadi, karena kami ingin membuat laporan," pinta polisi, seraya mengambil note dan bolpoin untuk mencatat setiap ucapan yang dikeluarkan Hans.
"Bisa, Pak.''
"Baiklah, sekarang jelaskan apa yang Bapak lihat tadi. Saya harap Bapak jujur, dan tidak menutupi kejadian sebenarnya," harap polisi.
"Iya, saya akan berbicara jujur."
"Tadi, saat saya berada di dalam taksi kebetulan lintasan yang kami lewati adalah jalan tikungan. Jadi, saya pikir remaja tadi saat mengendarai mobil tidak tahu kalau di depannya ada mobil tengah melaju dengan kecepatan tinggi.''
"Saya pikir, ini murni kecelakaan biasa. Karena kedua mobil tidak saling melihat, dan mengakibatkan kedua mobil saling bertabrakan," jelas Hans dengan nada bohong, demi melindungi Arsen Tuan Muda-nya.
Dalam hati Hans berdoa, semoga kebohongannya demi melindungi Arsen tidak disadari oleh pihak polisi.
'Saya akan melindungi Anda, Tuan Muda. Seperti janji saya pada Tuan Wijaya untuk melindungi Anda, dalam kondisi apapun. Karena saya telah banyak berhutang budi, terhadap kebaikan hati Tuan Wijaya yang selalu membantu saya dan keluarga kecil saya hingga keluar dari kesusahan hidup selama tinggal di kota Jakarta,' batin Hans, sesaat teringat masa lalunya yang begitu menyedihkan.
"Baiklah, terima kasih atas informasinya. Sekarang Bapak boleh pergi, seperti telah di tunggu oleh supir taksi," ucap polisi tanpa menaruh curiga lagi pada Arsen, mengingat apa yang dikatakan oleh Hans ada benarnya.
"Oh, iya, kalau begitu saya permisi dulu. Saya ingin mengantar anak-anak kecil tadi ke rumah sakit, dan membantu mereka mendapatkan perawatan," izin Hans dengan sedikit terburu menuju taksi, tanpa mau mendengar jawaban dari polisi.
Setelah Hans duduk di samping supir taksi, Arsen sedikit mengeluh karena menurutnya Hans terlalu lama berbicara dengan polisi.
"Paman! Kenapa lama sekali bicara sama polisi itu, kasihan 'kan gadis kecil ini. Harusnya dia cepat mendapatkan perawatan, karena darahnya terus saja keluar dari kepalanya," keluh Arsen, seraya mengelap darah yang menetes menggunakan tisu. Kebetulan tisu tadi diberi oleh supir taksi.
"Maaf, Tuan Muda. Karena terlalu lama, sebab saya harus menjawab beberapa pertanyaan yang diberikan oleh pihak polisi mengenai kejadian kecelakaan tadi," terang Hans, dengan menoleh ke arah Arsen.
Arsen tidak membahas ucapan Hans lagi, ia malah fokus menatap supir taksi dengan tatapan membunuh. Karena taksi yang ia tumpangi belum juga berjalan, hal itu membuat Arsen seketika marah.
"Kenapa kamu tidak menjalankan taksi ini? Apa kamu mau gadis kecil ini mati, hah?!!" teriak Arsen, dengan tatapan membunuh.
Supir taksi seketika terkejut oleh ucapan Arsen, sesaat supir taksi melihat wajah Arsen di dalam kaca spion di atasnya. Sang supir langsung bergidik, ketika netranya bertubrukan dengan tatapan elang seolah akan membunuh dirinya.
"Ma--maaf, baik saya akan melajukan mobil ini," gugup supir taksi ketakutan.
Tidak lama, supir taksi langsung melajukan taksinya ke rumah sakit. Kebetulan tadi sang supir telah mendapatkan alamat rumah sakit dari supir ambulan. Karena sempat kedua supir itu berbincang, sebelum memasukkan Pak Amir dan Bu Rina ke dalam mobil ambulan.
***
Setelah sampai di rumah sakit, Arsen meminta Dokter untuk memberikan ruangan sama bersama Namira. Kini keduanya telah berada di ruang VVIP, Arsen mendapatkan perawatan di dahi dan juga kakinya. Sedangkan Namira juga telah mendapatkan perawatan di kepalanya.
Saat Namira dalam kondisi tidur setelah minum obat, di ranjang pasien dekat Arsen. Remaja di samping Namira sama sekali tidak bisa tidur, padahal Arsen minum obat berbarengan sama Namira tadi.
Arsen pun memilih untuk bersandar di sandaran ranjang, sambil membolak-balik majalah di tangannya. Tanpa berniat untuk membaca, ataupun melihat isi dari majalah itu.
Karena bosan Arsen langsung membuang majalah itu ke lantai, lalu ia menoleh ke sampingnya dan melihat Namira yang tertidur begitu pulasnya. Tanpa sadar tangan kanannya terulur ke puncak kepala Namira, entah mengapa ada perasaan aneh dalam dirinya saat menatap wajah polos Namira. Ada rasa sesal dalam dirinya, ketika mengingat kecelakaan sore tadi.
'Maafkan aku gadis kecil, karena aku kedua orang tuamu kini berada dalam ruangan ICU. Aku berharap mereka tidak apa-apa, cepat kembali pulih dan sehat. Agar kamu bisa bertemu dengan mereka lagi,' sesal, dan doa tulus seorang Arsen Kusuma Wijaya untuk pertama kalinya ia mendoakan orang lain. Selain kedua orangtuanya.
Untuk pertama kalinya seorang Arsen menyesal telah membuat seseorang terluka, dan itu hanya karena ia memandang wajah gadis kecil di sampingnya.
Seorang gadis yang mampu menyentuh hati, sekaligus menjadikan dirinya sebagai pria perasa. Mengingat selama ini ia selalu bersikap acuh dengan sekitarnya, bahkan dingin pada orang lain.
Ketika Arsen masih asyik menatap, dan membelai puncak kepala Namira. Tiba-tiba Hans datang dengan terburu membawa kabar buruk, tentang keadaan kedua orang tua Namira.