9. Air Mata Kehilangan

1515 Kata
Terlihat sebuah motor yang dikendarai Heru baru saja memasuki pelataran rumah sakit Modern Hospital, tiba-tiba berhenti begitu saja setelah masuk di area rumah sakit. Dian langsung turun, lalu berdiri di samping motor suaminya. Heru sesaat membuka kaca helm miliknya lalu berbicara pada istrinya. "Aku parkir motor dulu, kamu tunggu aku di sini. Jangan kemana-mana, apalagi masuk ke dalam tanpa aku," pinta Heru cepat, seraya menatap wajah sang istri. "Iya, Mas. Aku akan menunggu Mas Heru di sini, tapi, cepat kembali," rajuk Dian seraya melepaskan helm yang ia kenakan tadi. Heru menerima helm dari Dian, dengan menganggukkan kepalanya tanda ia memahami ucapan istrinya. Tidak lama, adik dari almarhum Pak Amir itu langsung melajukan motor ke arah parkir yang cukup jauh dari pintu masuk rumah sakit. Saat Heru sedang memarkirkan motornya, Dian yang masih berdiri di posisi sama sejak ia turun dari motor. Tiba-tiba pandangannya jatuh. Beberapa tengah berjalan ke arah mobil sedan mewah berwarna hitam. Tidak jauh dari Dian berdiri, ada Pak Wijaya dan Bu Endang yang akan masuk ke mobil. Sesaat Dian merasa iri, ketika melihat pemandangan di depannya. Ya, saat itu Pak Wijaya selalu menggenggam telapak tangan sang istri sampai keduanya masuk ke dalam mobil. Dian tidak tahu, kalau pasangan suami-istri di depannya itu adalah yang memberikan uang dalam rekening dalam jumlah sangat banyak. ''Pria itu terlihat sayang sekali sama wanita itu, selain tampan pria itu juga kaya. Pasti bahagia sekali menjadi wanita pria itu,'' gumam Dian cukup keras, bertepatan saat Heru suaminya datang. ''Pria? Pria siapa yang kamu maksud, Dian?!'' tanya Heru penasaran, dan terdengar cemburu. "Eh, Mas, kamu sudah kembali." "Kamu belum jawab pertanyaanku, siapa pria yang kamu maksud tadi?!'' tanya Heru masih dengan rasa cemburunya. "Bukan siapa-siapa, Mas. Aku melihat pria yang baru masuk ke dalam mobil mewah itu, pria itu bersama wanitanya terlihat sayang. Aku hanya senang melihatnya," tunjuk Dian ke arah mobil Pak Wijaya, yang baru saja berjalan akan meninggalkan area rumah sakit menuju bandara. Heru mengikuti arah pandang sang istri, lalu ia sedikit mengatur emosi dan rasa cemburunya. Sebab saat ini, mengambil jenazah kedua Kakaknya itu jauh lebih penting. "Ya sudah, kita masuk ke dalam. Kita harus mengurus semuanya, baik biaya kepulangan jenazah Kak Amir dan Kak Rina. Biaya pengobatan Namira, juga harus kita pikirkan," ajak Heru langsung menarik lengan sang istri. Mendengar ucapan suaminya, seketika berubah ekspresi di wajah Dian. Ia sama sekali tidak suka, kalau mengeluarkan uang untuk keluarga Heru. 'Enak saja Mas Heru membayari mereka, pakai uang tabunganku lagi. Bagaimana aku bisa melarang Mas Heru, di saat situasi seperti ini,' batin Dian kesal, dan tidak tahu harus berbuat apa untuk menyelamatkan uang tabungannya agar tidak dipakai oleh suaminya. Tanpa terasa Heru dan Dian telah masuk ke dalam rumah sakit besar, dan lengkap akan alat perlengkapan dalam merawat pasien. Ketika keduanya hendak melangkah ke arah bagian resepsionis, tiba-tiba pandangan mereka jatuh pada seorang pria berbadan besar, dan anak kecil tidak lain adalah Namira. "Bukankah itu adalah Namira?" tanya Heru pada Dian, dengan sedikit menoleh pada Dian. "Iya, dia Namira," jawab Dian yakin, kalau yang ia lihat itu Namira "Kenapa dia bersama pria berbadan besar itu? Lebih baik kita samperin Namira saja, takutnya pria itu berniat tidak baik sama Namira," ajak Heru, dan melangkah lebih dulu ke arah Namira, dan anak buah Pak Wijaya. Heru yang dihinggapi perasaan khawatir, langsung mempercepat langkahnya. Biar bagaimanapun Namira adalah anak dari kakaknya, meskipun dia tidak pernah menunjukkan kasih sayangnya pada Namira. Tapi, saat ini gadis kecil di hadapannya sudah tidak memiliki kedua orang tua. Begitu sampai di hadapan Namira, Heru sedikit membungkuk, tidak lama ia menanyakan keadaan Ponakannya itu. "Namira! Kamu sama siapa, hem?" "Sini, sama Om," tanya Heru cepat. "Om Heru, Om ada di sini?" "Iya, Om sengaja ada di sini karena ingin menjemput kamu," jelas Heru tidak sepenuhnya. "Siapa Paman yang bersamamu, Namira?'' sambung Heru dengan tanya. Namira sejenak menatap dengan sedikit mendongak ke arah anak buah Pak Wijaya, karena postur tubuh pria di sampingnya sangatlah tinggi. "Paman ini, yang menemani Namira mencari Ayah sama Ibu, Om. Tapi, sampai saat ini Namira belum tahu di mana mereka," jelas Namira dengan nada sedih karena tidak bisa menemukan kedua orang tuanya. Heru yang paham akan ucapan Namira, langsung mengucapkan kalimat terima kasih pada orang kepercayaan Pak Wijaya. "Terima kasih, karena sudah menemani keponakan saya. Sekarang Anda boleh pergi, biar Namira bersama saya," ucap Heru. "Sama-sama, baik kalau begitu saya permisi dulu," pamit anak buah Pak Wijaya. "Iya, silahkan." Sepeninggal anak buah Pak Wijaya, Heru baru menanyakan keadaan Namira. "Namira, luka ini apakah tidak apa-apa? Bagaimana kata Dokter tadi, katakan sama Om?'' tanya Heru cepat, seraya menyentuh luka di kening Namira yang telah di perban. "Namira tidak apa-apa, Om. Apa Om Heru mau membantu Namira mencari Ayah sama Ibu, Namira mohon, Om," mohon Namira. Tiba-tiba Dian datang dengan sedikit sinis membalas ucapan Namira, yang tadi sempat dikatakan pada suaminya. "Kami berdua ke mari itu, ya, karena ingin mencari Ayah sama Ibumu. Sekarang ayo ikut aku, jangan terlalu lama di sini," ajak Dian, dengan menarik tangan mungil Namira. Gadis kecil itu sedikit kaget, sekaligus merasa kesakitan saat Dian menggenggam tangan mungil itu cukup erat. Namira yakin, setelah ini pasti tangannya akan memerah dan berbekas tangan. Namun, Namira sama sekali tidak menunjukkan rasa sakitnya. Sebab ia sudah hafal betul sikap Tantenya padanya, untuk kali ini Namira hanya diam. Karena yang ia inginkan hanya ingin bertemu kedua orang tuanya. 'Ah, sakit sekali. Kenapa Tante Dian selalu kasar sama aku, padahal aku tidak pernah berbuat salah. Tahan Namira, jangan tunjukkan rasa sakitmu. Jika kamu tidak ingin Tante Dian semakin menyakitimu,' batin Namira, dengan mengikuti langkah lebar Dian Tantenya. Dian melangkah ke arah resepsionis, diikuti oleh Heru suaminya. Tidak lama, Heru bertanya di mana mendiang Kakak dan Kakak iparnya berada saat ini. Namira hanya diam, meskipun ia masih kecil. Tapi, ia cukup mengerti pembicaraan orang dewasa. Karena dia adalah anak yang pintar, dan sangat cerdas. "Selamat malam, saya adalah keluarga korban kecelakaan sore tadi. Kalau boleh tahu, di mana saudara saya bernama Amir dan Rina?'' ucap Heru dengan tanya, ia hanya menyebutkan nama depan saudaranya karena panik. "Oh, Anda saudara dari korban kecelakaan yang meninggal sore tadi, ya. Kebetulan saya mau menghubungi nomer telepon Anda, untuk mengabarkan kalau Anda sudah boleh mengambil kedua jenazah yang telah meninggal itu," jawab salah satu resepsionis. Degh! 'Kedua Jenazah, apa maksud dari ucapan wanita itu?'' 'Jangan-jangan itu? Ah, tidak! Itu tidak mungkin,' tanya Namira dalam hati, dengan ekspresi terkejut. Meskipun Namira terkejut, dan ingin tahu. Tapi, ia tidak lantas langsung bertanya ia hanya menyimak saja, dan memastikan kalau pemikiran jelek itu tidak menjadi nyata. Heru masih melanjutkan pembicaraannya, dan sudah mengeluarkan dompetnya untuk membayar semua biaya perawatan Namira, dan administrasi pengambilan jenazah. "Kalau boleh tahu, berapa semua administrasi yang harus saya bayar? Selain administrasi pengambilan jenazah, saya juga mau membayar perawatan keponakan saya," tanya Heru, seraya mengeluarkan sejumlah uang dari dompetnya. Penjaga resepsionis itu seketika tersenyum, sambil memeriksa berkas catatan pasien dan korban kecelakaan di dalam buku di hadapannya. "Untuk semuanya sudah ada yang membayarnya, Pak. Jadi, Anda tidak perlu lagi membayarnya. Sekarang Anda boleh melihat jenazah itu, di ruang melati. Dari sini lurus, di sisi kanan ada nama ruang melati di situ kedua jenazah berada. Nanti akan ada petugas yang membantu, Pak," jelas wanita itu sopan. "Baik, terima kasih." Dian mendengar kalau tidak harus membayar baik administrasi pengambilan jenazah, dan perawatan Namira wanita itu seketika tersenyum lebar dan bahagia. Melihat Heru suaminya telah berjalan lebih dulu, menuju ruang melati. Dian yang nampak sumringah karena uangnya akan tetap utuh, langsung menghentikan langkahnya dan membuat Namira sedikit bingung. "Tante, kenapa Tante berhenti. Ayo kita ikuti Om Heru, Tante," ajak Namira, dengan sedikit menarik tangan Dian. "Tidak! Sebelum aku memberitahumu kabar bahagia, Sayang. Apa kamu mau mendengarnya, kamu pasti senang nanti Namira," jawab Dian seraya tersenyum sinis. "Apa itu, Tante. Tolong cepat, ya, karena Namira mau ke Om Heru," ucap Namira cepat, tatapannya masih ke arah depan, seolah ia sangat penasaran siapa kedua jenazah yang di maksud penjaga resepsionis tadi. Dia semakin mengembangkan senyumnya, setelah melihat situasi sekitar nampak sepi. "Apa kamu tahu, siapa kedua jenazah yang di bicarakan oleh Om kamu itu dengan wanita tadi? Kedua jenazah itu adalah Ayah sama Ibu kamu, keduanya sudah mati. Jadi, sekarang kamu sudah tidak memiliki kedua orang tua. Alias yatim piatu, uh, kasihan sekali kamu! Masih kecil-kecil begini, tidak punya orang tua," jawab Dian dengan nada sinis, senyum mengejek pun terpatri di bibirnya. Sedangkan Namira yang mendengar itu, tidak bisa membendung air matanya lagi. Setetes air mata mulai jatuh, dan air matanya terus berjatuhan membasahi kedua pipinya. Degh! ''Tante! Itu tidak mungkin, Ayah sama Ibu masih hidup. Jangan bicara sembarangan soal mereka, Namira bisa tahan kalau Tante menyakiti Namira. Tapi, jangan bicara kalau kedua orang tua Namira sudah meninggal," teriak Namira, yang sudah tidak bisa ia tahan karena marah sama Dian. "Memang benar orang tuamu sudah mati, kalau kamu tidak percaya lihat saja di ruang melati itu. Kamu akan melihat sendiri, kalau kedua orang tuamu sudah terbujur kaku," jawab Dian masih dengan tawa sinisnya. Air mata kehilangan itu terus berjatuhan, Namira seketika berlari ke ruang melati dan memastikan kalau yang diucapkan Tantenya adalah bohong.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN