BAB 17

1225 Kata
Suasana kelas hening sejak tadi pagi. Bahkan suara burung-burung yang berkicau dapat terdengar dengan jelas. Ujian kali ini dilaksanakan dengan sejujur-jujurnya. Bahkan dalam satu kelas tidak hanya ada satu pengawas, melainkan ada dua pengawas yang mengawasi. Aku melingkari jawaban pada lembar jawabanku. Menghitung soal matematika, memasukkan rumus soal fisika dan memahami soal bahasa Indonesia. Entah mengapa rasanya soal ujian ini cukup berbeda dengan apa yang aku pelajari. Bagiku soal ini masuk dalam tipe soal yang cukup sulit. Butuh waktu yang lebih banyak dari soal lainnya untuk menentukan jawaban yang menurutku benar. Waktu dua jam tidak cukup sebenarnya. Apalagi ketika harus mengecek ulang jawaban. Keraguan tidak hanya ada pada satu soal terkadang. Saat mengecek, beberapa terlihat aku melakukan keliruan saat menghitung, namun jadi terkoreksi karena aku memeriksa kembali jawaban yang sudah kuisi. "Susah juga, agak beda dengan contoh yang dijelaskan. Soal ini malah beda," gumamku saat menatap soal-soal ini. Untungnya aku sempat melihat contoh soal lain saat belajar, jadi aku tahu cara untuk menyelesaikannya. "Ini, harus di ulang lagi. Rumusnya beda," gumamku dalam hati ketika sadar harus meneriksa kembali beberapa jawaban uang tadinya aku tidak yakin. Aku mencoba menghitung ulang dan mencocokkannya dengan jawabanku sebelumnya. Sekalian melihat apa ada kesalahan yang tidak sengaja aku lewatkan, untungnya aku teringat rumus cepat untuk menghitung jawabannya. Belakangan, sebelum ujian aku mempelajari beberapa rumus yang bisa digunakan untuk menghitung dengan cepat. Alasannya memang karena untuk mengurangi waktu, tetapi belakangan juga aku sering ketinggalan pelajaran. Apalagi, sebelumnya aku sudah beberapa kali tidak hadir di kelas, belajar sendiri tidak semudah itu. Sedangkan, jika belajar kelompok aku tidak memiliki siapa pun untuk dijadikan kelompok. Sakitku kemarin yang kukira hanya demam dan akan pulih dalam beberapa hari malah menjadi lebih panjang, membuatku juga harus dirawat inap lebih lama di rumah sakit. Untungnya Adrian sempat menyalinkan catatan pelajaran yang aku lewatkan selama aku sakit, sehingga aku bisa mempelajarinya saat pulang ke rumah. "Waktu kalian sepuluh menit lagi,. Cek kembali jawaban kalian sebelum dikumpulkan." Aku mengulang kembali lembar pertama soal lalu memeriksa ulang lembar jawabanku. Setelah aku yakin, aku berdiri meninggalkan lembar jawabanku di meja. Aku tidak ingin goyah lagi, lalu berdiri mengikuti arahan pengawas yang sudah memperbolehkan keluar lebih dulu ketika sudah mengerjakan soal ujian. "Kamu bisa keluar duluan," ucap pengawas saat ia mengetahui aku sudah selesai menyelesaikan soal-soal itu. "Terima kasih, Pak," ucapku lalu berjalan dulua keluar dari dalam kelas. Aku berjalan menuju toilet, lalu membuka salah satu bilik toilet. Suasana di luar kelas masih sepi, tapi beberapa siswa lain sudah mulai keluar karena waktu mengerjakan ujian juga sudah selesai. Aku membuka pintu bilik toilet, saat aku melangkahkan kakiku aku langsung saja terpeleset karena lantai yang basah serta sebuah ember jatuh mengguyurku. "Heh, kamu mau lulus ini jadi apa? Anak pembunuh tapi nggak tahu diri. Mati aja sana!" Aku berusaha berdiri meski seluruh kakiku terasa sakit. Aku memegang dinding, tapi kembali terpeleset. Aku melihat busa di antara air yang mengalir di lantai. Sudah jelas jika air yang disiramkan padaku adalah air sabun. "Gimana? Belum mandi 'kan lo? Bau sampah soalnya," ucap Anggi membullyku. Aku tidak tahu jika Anggi sudah keluar, karena saat ujian kelas dibagi menjadi dua sehingga absenku yang berjauhan dengannya membuatku cukup bersyukur karena tidak perlu menahan emosi karena perlakuan Anggi dan teman-temannya. "Lo nggak pantes tahu gak buat lulus. Malu-maluin alumni aja," lanjut Anggi lalu pergi bersama gengnya meninggalkanku. Aku terus berusaha berdiri, kakiku sedikit kebiruan saat ini. Aku berdiri di depan wastafel lalu membersihkan pakaianku yang basah semua. Aku keluar dari dalam toilet dengan kondisi basah, seluruh siswa kini melihat ke arahku. Bahkan guru yang lewat ikut tidak memedulikanku, saat tahu yang menjahiliku adalah Anggi. Semua orang di sekolah ini tentu tahu jika Anggi dan gengnya merupakan anak dari orang yang berkuasa. Bahkan, ayah Anggi merupakan salah satu donatur di sekolah ini membuat semua guru tidak bisa berkutik jika tidak ingin sumbangan untuk sekolah dicabut. Aku membuka lokerku, mengeluarkan pakaian olah raga dari dalamnya. Lalu berjalan kembali menuju toilet, aku masuk ke dalam bilik dan mengganti pakaianku. "Luna!" "Lunaaa!!!" "Lunaaa!!! Lunaaaa!!!!" Aku keluar dari balik bilik toilet, lalu setelah merapikan diriku aku berjalan keluar. Di luar aku melihat Adrian yang menatapku khawatir, aku berkali-kali meyakinkan Adrian jika aku baik-baik saja. Aku berjalan menaruh kembali pakaianku ke loker, sedangkan Adrian terus mengekoriku. Banyak pertanyaan yang dilontarkan oleh Adrian tapi tidak aku gubris. "Pembalasan," gumamku. Kini aku mengepalkan erat tangganku sambil berjalan menuju kelas. "Luna mau ke mana?" tanya Adrian dengan nada cemas. Adrian terus mengikuti langkahku yang berjalan lebih cepat menuju kantin, membeli sebotol kecil minuman bersoda, lalu berjalan ke kelas. Pertanyaan terus muncul dari mulut Adrian namun tidak kujawab. Aku masuk ke dalam kelas, lalu berhenti di meja Anggi. Kini, Anggi dan gengnya menatapku dengan pandangan mengejek. "Apa lo?" ucap Anggi lalu tertawa meremehkan. Aku terdiam beberapa saat, lalu tersenyum kecil mengambil jus yang berada di atas meja Anggi. Langsung saja aku menumpahkan jus strawberry itu ke kepala Anggi yang langsung membasahi seluruh pakaiannya. Kini, pakaiannya yang berwarna putih berubah menjadi merah. Teman-teman geng Anggi langsung menarik tanganku yang kubalas dengan hentakan kasar membuat mereka semakin terhuyung. "Berani-beraninya lo!" Anggi hendak menamparku, tapi layangan tanganyna dihentikan oleh Adrian yang tiba-tiba berada di sampingku. Aku senang Adrian ada di sini, membuatku lebih percaya diri untuk tidak diam saja karena sudah diperlalukan seperti ini oleh Anggi dan teman-temannya. Mungkin selam ini aku bersabar dam hanya diam, tapi sampai kapan aku harus seperti ini. Saat Adrian menghempaskan tangan Anggi, gengnya berusaha menarik rambutku tetapi terhalangi oleh Adrian. Kali ini, Adrian benar-benar menepati janjinya untuk melindungiku. Anggi kembali melayangkan tangannya berusaha menamparku, lalu kutangkap dan kuhentakan membuatnya terdorong mengenai meja dibelakangnya. "Apa-apaan kamu, Luna!?" ucap kepala sekolah yang tiba - tiba datang. Keributan mendadak berakhir saat kepala sekolah tidak sengaja lewat di dalam kelas dan melihatku mendorong Anggi. "Anggi, ini ada apa?" tanya kepala sekolah yang langsung menatap cemas dan takut dengan Anggi. Kulihat Anggi yang tadinya menatapku tajam mendadak berpura-pura menangis saat kepala sekolah datang menghampiri kami. "Kenapa kalian ribut-ribut?" tanya kepala sekolah lagi. "Dia udah bully saya, Pak," ucap Anggi menunjukku seakan-akan aku sudah melakukan pembully-an keladanya. Padahal, astaga semua orang tahu harusnya aku yang megadu karena dibully selama aku sekolah di sini, tapi malah Anggi yang memanfaatkan kesalahpahaman kepala sekolah dan menjadkkannya bumerang untukku. "Kamu Luna, ikut saya ke kantor. Se - ka - rang!" "Tapi, Pak, saya nggak salah," ucapku menolak, karena memang aku tidak salah. Semua orang bahkan tahu, sebelum ini Anggi-lah yang membullyku tapi sekarang aku malah disalahkan oleh kesalahan yang tidak baru ini saja aku perbuat. "Kamu jangan banyak alasan!" ucap kepala sekolah tegas dan dengan nada tinggi. "Tapi benar Pak, dia nggak salah. Saya saksinya," ucap Adrian mencoba menjelaskan mengenai kesalahpahaman apa yang saat ini terjadi. Namun, entah mengapa kepala sekolah seakan bersikap tuli dan tidak ingin mendengarkan pendapat dari kedua sisi malah menyalahkanku saja. Padahal, aku juga punya jawabanku sendiri. "Kenapa? Belain pacar kamu? Udah sekarang Anggi sama Luna ikut saya," ucap kepala sekolah dengan tegas. Anggi menatapku dalam, terlihat sekali kekesalan di wajahnya. Namun, ia seakan tidak takut sama sekali dan berjalan lebih dulu daripada aku yang mengikutinya dari belakang dengab terpaksa. Dengan langkah yang berat dan tidak bisa menolak tentu aku memaksakan kakiku melangkah mengikuti kepala sekolah yang sudah berjalan lebih dulu bersama Anggi. Dari sini aku melihat kepala sekolah yang seperti khawatir dengan kondisi Anggi, tapi tidak sekalipun dia menanyakan tentang kondisiku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN