BAB 46

1466 Kata
Tidak terasa, sudah hampir sebulan kejadian yang tidak pernah kami harapkan itu terlewati. Aku lebih bersyukur, saat om Juna bilang pesta perpisahan sekolah ternyata ditunda. Meskipun awalnya ada banyak pertentangan, namun saat kasus Anggi masuk ke berita nasional. Semua orang ikut bersimpati dan menerima jika acara dilaksanakan mundur. Mengenai Anggi, akhirnya ia dan papanya akan mendapatkan hukuman atas apa yang sudah ia lakukan. Semua bahkan sudah di atur dan di urus oleh pengacara yang di sewa oleh ayah dan om Juna, ia memastikan jika Anggi dan papanya akan mendapatkan balasan dari apa yang mereka lakukan. Apalagi, yang Anggi dan papanya lakukan bukan lagi sebuah kejahatan tapi sudah merupakan tindak kriminal yang bisa membahayakan nyawa orang lain. Om Juna juga berkata jika aku tidak perlu menghadiri persidangan atau bertemu lagi dengan Anggi, aku cukup menerima semua yang sudah di atur oleh ayah dan om Juna karena aku percaya itu adalah yang terbaik untukku. Karena keterlambatan perpisahan, akhirnya acara perpisahan akan di laksanakan malam ini. Apalagi saat ini sedang sibuk - sibuknya karena masa orientasi yang baru selesai dan perkuliahan sudah mulai berjalan di bulan kedua. Aku menatap sekali lagi gaun yang diberikan oleh ayah sebelum aku akhirnya memasukan kembali gaun tersebut ke dalam paperbag. Ayah masih di rumah sakit dan harus di rawat beberapa hari lagi, aku sendirian di rumah karena harus membersihkan rumah menyambut ayah yang akan pulang. Setelah siap, aku berjalan ke luar rumah menuju halte bus. Aku berencana untuk pergi ke salon yang sudah tante Erly pesan karena acara perpisahan akan diadakan nanti malam. Aku tersenyum karena memiliki kesempatan memakai baju dan sepatu pemberian ayah dan dapat menunjukkan kepadanya. Sebuah mobil bus besar berhenti di halte menbiarkan penumpang dari dalam keluar lebih dulu sebelum penumpang dari luar masuk. Aku berdiri karena kursi yang penuh, tapi untungnya jarak rumah salon tidak terlalu jauh sehingga berdiri sebentar bukan masalah bagiku. Setelah melewati dua halte pintu terbuka di halte ketiga, aku berjalan menuju pintu keluar. Melirik jam yang ada di pergelangan tanganku aku berjalan lebih cepat, apalagi ditambah panas udara membuatku mulai berkeringat. Aku mendorong pintu masuk salon, lalu menyebutkan nama tante Erly sebagai orang yang memesankan tempat padaku. Para pegawai langsung memperlakukanku dengan baik, mereka membersihkan wajahku terlebih dahulu sebelum memoles berbagai jenis make up di wajahku. Perlahan hasilnya mulai terlihat, aku sudah memberi pesan pada tante Erly agar tidak dibuat terlalu tebal dan aku mulai melihat hasilnya yang sesuai dengan keinginanku. Aku mengetik sesuatu di ponselku, Adrian yang juga hampir selesai bersiap mengirimiku pesan karena akan segera pergi dan menjemputku. "Selesai bisa di lihat dulu," ucap pegawai salon yang sudah mendandaniku selama hampir satu jam. Aku mematut diriku di cermin, menatap puas dandanan dari salon itu. Aku bersiap menuju ruang ganti dan mengganti pakaianku, agak sulit memang memakai pakaianku karena harus dikancingkan satu persatu untungnya aku dibantu oleh pegawai salon. Aku keluar dari ruang ganti setelah cukup lama berkutat di dalamnya, aku sedikit terkejut melihat Adrian yang sudah duduk dengan setelannya. "Udah lama?" tanyaku pada Adrian yang baru saja datang. "Enggak baru aja kok," jawab Adrian dengan senyum kecil. "Sebentar ya maaf harus nunggu dulu," ucapku merasa tidak enak karena membuat Adrian malah menungguku. Adrian tanpa berbicara menikmati jus jeruknya, sedangkan aku kini tengan menerima pegawai salon menata rambutku. Entah apa yang mereka buat, meski rambutku terkadang beberapakali terasa ditarik tapi aku tetap menahannya. "Gimana, puas gak sama style ini?" tanya penata rias itu meminta pendapatku, karena memang pada akhirnya aku sendiri yang harus percaya diri dengan penampilanku. Aku mematut diriku di depan cermin, "ini bagus dan simple,." ucap Salsa yang merasa puas dengan dandanannya. Aku mematut diriku di cermin, memperhatkan rambutku yang terlihat lebih ikal dan tanbahan seperti crown dengan bunga berwarna putih senada dengan sepatuku. "Gimana?" tanyaku pada Adrian, kini ia mengalihkan pandangannya padaku meninggalkan ponsel yang masih digenggamannya. "Bagus menurut aku, cocok kok sama gaun kamu. Cantik," ucap Adrian memujiki ia bahkan tersenyum lebar, membuatku malah ragu apakah ia benar jujur atau hanya ingin mengejekku. "Gak bohong 'kan?" tanyaku ragu. "Kapan sih aku bohong sama kamu," ujar Adrian tersenyum lebar. "Mbak sama Masnya mau di fotoin?" tanya penata rias yang tadi mendandaniku. Aku mengangguk, meminta Adrian memberikan ponselnya karena ponselku sedang aku isi daya. Beberapa kali, pegawai itu mengambil fotoko dengan Adrian aku merasa senang dan meminta Adrian mengirimkan foto itu kepada Ayah. "Udah selesai 'kan? Ayo kita berangkat," ucap Adrian, aku mengangguk membereskan beberapa barangku dan mencabut ponselku dari pengisi daya. Aku mengikut Adrian menuju parkiran dan meletakkan barang-barangku di kursi belakang. Adrian mulai membawa mobil dengan kecepatan sedang menuju gedung tempat acara perpisahan akan dilaksanakan. Adrian menekuk tangangnya memintaku untuk meggandeng tangannya. Kami berdua masuk melewati karpet merah, banyak murid dari kelas lain yang juga datang. Beberapa orang menyapaku ramah, membuat suasana perpisahan ini sangat berbeda dengan suasana sekolah yang selama ini membuatku tersiksa. Langkahku sedikit terhambat karena bagian bawah gaunku yang dibuat tidak lebar, untungnya Adrian sendiri menyesuaikan langkahnya denganku tanpa diminta. Saat masuk, kami diminta mengambil nomor undian yang nantinya akan dibacakan untuk menampilkan bakatnya. Aku dan Adrian sama-sama memilih kotak undian untuk pertunjukan bakat menyanyi. Suaraku sebenarnya tidak bagus, tapi aku berpikir pasti lebih aman memilih bakat ini daripada yang lain karena pasti banyak juga yang akan memilih bakat ini jadi kemungkinan aku terpilih juga semakin kecil. "Ke sana yuk," ujar Adrian menunjuk beberapa orang yang aku tahu adalah teman Adrian di sekolah. Adrian memimpin jalan, sedangkan aku mengikutinya. Ia langsung menyapa temannya kulihat Adrian cukup akrab dengan mereka. "Gimana tes lo?" tanya teman Adrian yang aku juga lupa siapa namanya karena memang tidak satu kelas dengan kami. "Gue lulus, minggu depan daftar ulang. Lo semua gimana?" tanya Adrian balik. "Biasa, tes lagi. Hahaha ... btw selamat ya." Adrian mengangguk, aku melepaskan gandengan tangan Adrian memberi tanda akan mengambil minum. Acara semakin ramai, pertunjukan bakat juga sudah mulai dari tadi. "Baiklah, sekarang pertunjukan bakat menyanyi yang selanjutnya adalah bernyanyi duet. Gimana nih? Bosen 'kan kalo solo, nah jadi sekarang kami akan mengundi dua nomor untuk tampil duet." Aku menatap panik setiap pengundian nomor, meskipun aku yakin kemungkinan terpilih kecil namun tetap saja aku merasa was-was. "Nomor seratus tiga puluh tujuh, silakan naik ke atas panggung " Aku menatap nomor undian di tanganku, jantungku berdegup kencang saat nomor yang dipanggil hanya selisih satu nomor dariku. "Luna," ucap Adrian yang kini membeku. Aku menatapnya bingung, lalu ia menunjukkan nomor undian yang ada di tangannya. "Naik sana," ucapku bersemangat. "Tapi duet, apa kamu gak marah?" tanya Adrian meminta persetujuanku. "Sama cowo 'kan?" tanyaku percaya diri. Namun, tidak seperti harapanku. Saat nomor selanjutnya di sebutkan seseorang naik kepanggung lebih dulu daripada Adrian. "Aku gak apa-apa, kamu naik aja. Aku nonton dari sini," ucapku mencoba meyakinkan Adrian. Karena aku terus mintanya maju karena pembawa acara dan teman-temannya menyemangati Adrian, ia akhirnya naik ke atas panggung. Mataku tertuju pada Adrian awalnya, entah apa yang tengah ia diskusikan dengan gadis yang menurutku cukup cantik. Bahkan, setauku dia adalah gadis yang disebut-sebut tercantik di sekolah. Aku bertepuk tangan, memberi semangat Adrian dari kejauhan. Musik mulai dimainkan, membuatku terhenyut dalam suara hangat Adrian. Sudahlah, aku mencoba melupakan hal yang menganggu pikiranku. Lagi pula, aku tidak akan bertemu dengan orang itu lagi. *** Pesta perpisahan baru saja selesai, seluruh tubuhku terasa sakit terutama kakiku karena memakai sepatu yang sedikit tinggi. Untung saja Adrian menyimpan sepatu sneakers di dalam mobilnya, ia membiarkanku memakai itu karena tidak tega melihat aku yang terus menahan sakit karena kakiku yang lecet. Selama 15 menit Adrian membawa mobilnya akhirnya kami sampai ke rumah sakit. Aku memintanya langsung pulang setelah menurunkan aku, tapi dia tetap bersikeras untuk mengantarku ke dalam. Di sinilah akhirnya kami sekarang, ayah menatapku dengan penuh senyuman saat datang memakai baju yang ia beli. Tidak henti-hentinya ia memuji penampilanku, padahal aku sudah merasa malu karena itu. Namun senyum di wajah ayah membuatku merasa puas dan juga lega, aku tidak ingin senyum itu menghilang dari wajah ayah. "Kami cantik seperti ibumu," ucap Ayah tersenyum lebar namun dari matanya tersirat akan kesedihan yang ia pendam. Aku juga terus berterima kasih kepada ayah atas hadiah yang ia berikan padaku. Treasure box dari ayah seperti kotak berisi keajaiban. Semuanya menjadi membaik setelah itu. Ayah meminta Adrian pulang beberapa menit yang lalu, sedangkan aku pergi ke kamar mandi dan melepaskan pakaianku. Meski sulit, akhirnya aku bisa melepasnya. Aku kembali berbicara dengan ayah sembari menghapus sisa make up yang ada di wajahku. Setelah itu, aku kembali ke toilet untuk mencuci wajahku. Aku mengambil tisu yang berada di meja, lalu berbaring di kasur tambahan yang berada di seberang ayah. "Luna," panggil Ayah membuatku menatapnya. "Iya?" tanyaku bingung, aku menatap ayah yang terdiam tapi masih terus menatapku dalam. Aku menunggu ayah menyelesaikan ucapannya, karena itu sengaja aku tidak memotong ucapannya. "Ayah percaya sama Adrian," ucap Ayah dengan senyumnya. Aku juga tersenyum, lalu memenjamkan mataku setelah ayah memintaku untuk beristirahat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN