BAB 21

1566 Kata
Suasana kelas hari ini tidak seperti biasanya. Semua merasa gugup tidak terkecuali dengan aku. Hari ini adalah hari terakhir ujian nasional, hari pertama dan kedua sudah dilewati dengan baik. Aku mengakhiri ujian hari ketiga ini dengan suka cita. Akhir perjuangan belajar selama tiga tahun berakhir sudah. Bahkan, pengumuman mengenai pesta perpisahan sekolah sudah diumumkan dan akan diadakan satu bulan lagi. Semenjak kejadian kemarin tidak sekali pun aku bertemu lagi dengan Anggi maupun gengnya. Mereka menghilang seakan tidak pernah ada. Bahkan, murid lain yang menatapku jijik dan sinis dulu kini tidak ada lagi. Aku merasakan kehidupan sekolahku berubah dan berakhir dengan normal, tidak terkecuali dengan Adrian yang tidak berubah sama sekali. Adrian masih sosok yang aku kenal, kebaikan dan perhatiannya tidak bisa dianggap remeh. "Di makan Lun, jangan diliatin aja, gak bakal bikin kenyang," ucap Adrian melihatku masih diam dan belum menyentuh satupun jajanan yang ia bawa. Bahkan kini, ia meletakkan berbagai jenis makanan ringan yang ia dapat dari kantin. Setelah ujian, kami memutuskan menghabiskan waktu memakan jajanan di kelas. "Ini kamu gak sekalian pindahin kantinnya ke sini?" ucapku sengaja menyindiri Adrian, ia sudah benar - benar keterlaluan. Jajanan yang ia beli sangat banyak, entah apa saja hingga ia membawanya saja dengan beberapa kantung. Padahal, ujung - ujungnya nanti tidak semuanya di makan. "Gak banyak, itu bungkusnya aja yang gede. Kalo di buka langsung kempes," ucap Adrian memberi alasan. Aku menggelengkan kepalaku menatap Adrian yang seakan tidak merasakan sindiranku tadi, "oh ya, kamu jadi mau ikut piknik?" tanyaku ketika teringat pesan ayah untuk menanyakan lagi kepada Adrian. Mataku menangkap Adrian yang bertingkah seolah tengah berpikir, "aku, ikut dong. Sekalian refreshing," ucap Adrian dengan senyum lebar. Memang sebenarnya, minggu ingin ayah mengajak Adrian untuk ikut kami piknik. Tentu saja bersama dengam Om Juna dan Tante Erly. Adrian yang mendengar ajakan itu, jelas saja menerimanya dengan senang hati. Sebenarnya, aku sudah mendengar Adrian beberapa kali bertukar pesan dengan ayah dan Om Juna. Adrian mengajak ayah dan Om Juna pergi memancing bersama, namun ayah tetap memintaku menanyakannya secara langsung pada Adrian. "Balik ini ke cafe depan yuk, Lun. Kayaknya rame banget," ajak Adrian tiba - tiba membuat aku yang sedang bingung malah tersedak. Setelah tersedakku teratasi aku menatap Adrian dengan wajah datar, "sana sama pacar kamu aja," ucapku acuh sambil memakan jajanan ringan yang dibawa Adrian. Adrian menatapku sambil mencibir, "menghina apa menyadarkan nih?" ucap Adrian dengan nada tidak terima, yang membuatku tertawa melihat ekspresi Adrian saat lagi kesal. "Lagian, ada apa sih di sana?" tanyaku pada Adrian, ia tampak berpikir beberapa saat. Adrian menghembuskan napasnya berat, "Luna, ke sana itu gak cuma tentang makan doang atau tempat bagus, tapi ngobrol dan quality time barengnya. Lagian juga 'kan jarang - jarang," ucap Adrian yang masih mencoba membujukku. Aku sendiri terkadang bingung dari mana Adrian banyak tahu mengenai tempat-tempat baru buka. Bahkan ia sudah merencanakan akan mencoba ke cafe mana saja. Tentu saja dengan menyeretku, karena alasan tidak mau sendirian. "Ya udah sana sendirian," ucapku tidak peduli, meski sebenarnya banyak hal telah berubah tapi tetap saja aku masih belum terlalu nyaman berpergian ke tempat dengan banyak orang selain saat piknik bersama ayah, om Juna dan tante Erly. "Ngapain sendirian kalo bisa berdua," kata Adrian yang aku juga heran karena ia selalu memiliki jawaban jika ditanya alasannya. Aku menatapnya sebal karena selalu kalah jika berdebat dengannya, "oke," jawabku menyerah. Aku memang sering menolak, tapi beberapa kali akhirnya aku mengalah dan mengikuti keinginan Adrian. Soalnya ketika aku menolak wajah Adrian terlihat cemberut, aku ingin tertawa sebenarnya tapi ya sudahlah seperti kata Adrian lagian kami juga jarang keluar seperti ini. "Adrian inget nggak?" tanyaku tiba - tiba. Adrian memandangku sejenak, "apa?" tanya Adrian yang kebingungan. "Kamu masih ada hutang tiga permintaan sama aku," ucapku tiba-tiba teringat, aku tersenyum penuh arti menatapnya. Adrian menatapku kesal, mungkin ia merasa kesal karena aku tiba-tiba mengingatkan perjanjian yang sudah lama. Memang perjanjian itu sudah lama sekali tapi aku memang tidak pernah membahas atau mengungkitnya kembali. "Apa permintaan pertama kamu?" tanya Adrian menatap tepat ke mataku. Aku terdiam sebentar, kupikir aku bisa menggunakan permintaan itu untuk mengajak Adrian menemaniku. Apalagi aku juga tidak tahu harus menggunakan 3 permintaan itu untuk apa, jadi aku ingin menggunakannya untuk sekali ini. "Besok temenin aku ke mall, aku mau beliin Ayah hadiah ulang tahun." "Memang kapan ulang tahun Ayah kamu?" tanya Adrian yang seakan penasaran, entahlah tapi aku melihat agaknya ia tertarik dengan ucapanku. "Hari kita piknik," jawabku, karena memang kebetulan sekali waktunya. Adrian langsung mengangguk cepat tanpa bertanya lebih lanjut atau membantah, ia juga terlihat bersemangat saat aku mengatakan ingin mencari kado. "Oke nanti aku jemput," balas Adrian, aku menganggukkan kepalaku mengerti. "Tapi jadi ke cafe depan, kan?" tanya Adrian lagi. "Ya udah iya, tapi jangan lama," aku menggelengkan kepalaku menolak, aku inging menghabiskan hari ini dengan bermalas-malasan. Adrian langsung tersenyum lebar saat aku mengatakan akan mengikuti keinginannya untuk ke cafe yang ada di depan, ia langsung bersiap dengan semangat. "Iya, padahal libur juga masih panjang Lun," protes Adrian yang terlihat kesal, aku tertawa kecil mendengar protes Adrian yang mirip seperti anak SD yang tidak ingin cepat - cepat masuk kembali ke sekolah. "Libur panjang memang menyenangkan," gumamku merasa senang. "Ayo keluar," ajakku karena aku tidak bisa lewat jika Adrian tidak menyingkir. "Kamu tunggu di gerbang depan deh, aku ambil motor. Jangan kemana - mana," ucap Adrian setelah membereskan sampah dari jajanan yang kami makan. "Iya, tapi jangan lama," ucapku lalu berjalan duluan. Adrian menatapku dengan sebal karena kami tidak jadi ke depan, ayah menelponku memintaku pulang lebih awal, membuat Adrian tidak bisa memprotes atau membantah. Seperti biasa, Adrian mengantarku kembali ke rumah dengan selamat. Aku langsung berbaring di tempat tidurku, dinginnya penyejuk ruangan membuatku semakin merasa nyaman. Hingga aku memejamkan mataku tak kuasa menahan kantuk yang menyerang. *** Aku memasukkan potongan sayuran yang tadi sudah aku siapkan ke dalam air yang berada di dalam panci, setelah itu aku menutupnya lagi selama beberapa menit kemudian hingga sayuran itu menjadi lebih lembut. Setalah itu aku memasukkan bumbu sup yang sudah aku tumis sebelumnya lalu mencampurkannya ke dalam panci tadi dan kemudian mengaduk panci berisi, hari ini aku ingin membuat sayur sup berisi telur puyuh untuk ayah. Ayah sudah berkerja keras selama ini, aku dapat melihat wajah ayah yang terlihat lebih lelah dari bisanya hari ini. Aku yang bekerja sampingan sebagai penulis saja terkadang merasa sangat lelah, bahkan aku sudah mengakhiri kontrakku menjadi penulis karena aku tidak mampu mengejar waktu seperti dulu. Dan setelah ayah kembali, kebutuhanku juga terpenuhi dengan baik olehnya. Meski begitu aku takut jika aku hanya menghabiskan uang ayah yang selalu memenuhi kebutuhanku, padahal aku belum bisa membalas atau membantu keuangan keluarga. Pintu terbuka menampilkan ayah yang baru pulang. Aku memintanya untuk mandi terlebih dahulu sebelum makan. Selagi menunggu, aku mulai memindahkan isi sup ke dalam mangkuk dan menyusun meja makan. Beberapa menit kemudian, ayah kembali setelah membersihkan dirinya. Aku menuangkan air putih ke gelas yang ada dihadapan ayah. "Gimana ujiannya?" tanya Ayah penuh perhatian. "Sepertinya lancar. Doain aja, Yah." "Aamiin," ucap Ayah yang langsung kuaminkan juga, aku percaya jika doa dari orang tua adalah doa yang paling cepat terkabulnya. "Besok perabotan mulai dipindahin. Kalo selesa, lusa kita bisa pindah. Apa nggak apa-apa?" tanya Ayah meminta pendapatku, sekarang kami hampir memutuskan apapun bersama. Aku mengangguk, sekarang tidak penting bagiku tinggal di mana asal bersama ayah, semua sudah sempurna. Setelah semua persiapan dan pemindahan beberapa barang, kami memutuskan untuk pindah dalam beberapa hari. "Kalo gitu, Luna cepetin buat beresin kamar." "Oh iya, apa kamu mimisan lagi?" ucap Ayah tiba - tiba menanyakan mimisanku, aku menggeleng, terakhir kali aku mimisan adalah saat dirawat di rumah sakit minggu lalu. "Bagus kalau gitu, nanti kalau kamu ngerasa nggak enak atau sakit, bilang ke Ayah." "Memangnya kenapa? Apa sakit kemarin cukup parah?" tanyaku yang ikut bingung. "Bukan, ayah cuma khawatir sama kamu. Pokoknya kalau kenapa-kenapa kamu cukup bilang ke Ayah," lanjut Ayah memberikan penjelasan, aku yang masih bingung tentu saja mengangguk mengerti. Setelah itu, kami melanjutkan makan malam dengan beberapa cerita lucu yang diceritakan oleh ayah. Beberapa kali juga Ayah menanyakan kondisiku, sekolahku, dan apa yang aku khawatirkan saat ini. Aku merasa menjadi lebih dekat dengan ayah sekarang, bahkan kami sekarang saling bergantung. "Biar Luna yang cuci," ucapku setelah Ayah memindahkan beberapa piring kotor ke tempat mencuci piring. "Udah kamu istirahat aja, biar Ayah yang cuci." Aku menggelengkan kepalaku dengan senyum lebar. "Biar Luna aja, udah lama enggak gerak. Lagian juga nggak banyak," balasku bersikeras ingin mencuci piring. "Ya sudah. Kalau begitu, Ayah tidak bisa melarang kamu yang keras kepala ini." Aku tertawa mendengar ucapan ayah dan mulai mencuci piring setelah kami menyelesaikan makan, sedangkan ayah tengah turun membuang sampah. Aku melihat perabotan yang sudah terbungkus rapi, pada akhirnya aku kembali lagi ke rumah bersama ayah. Semakin mengenal ayah aku semakin percaya dengan ucapan ibu bahwa ayah adalah lelaki yang baik. Aku sebenarnya masih penasaran mengenai masa lalu ayah, tapi karena ayah masih belum mampu meceritakannya kepadaku aku hanya akan tetap diam dan tetap menunggu kapan pun ayah siap membagi ceritanya padaku. Setelah mencuci piring, aku kembali ke kamar dan merapikan beberapa barang yang masih belum selesai aku packing. Tidak banyak memang, hanya koleksi n****+ milikku yang kebanyakan mengisi kamar ini. Untungnya, jadi tidak perlu terlalu repot mencari tempat untuk menyimpannya. "Lelah," gumamku pada diriku sendiri. Aku menguap beberapa kali selagi membereskan sisa n****+ yang berada di atas meja, lalu aku masuk ke kamar mandi untuk mencuci wajahku sebelum akhirnya aku memilih tidur untuk mengistirahatkan tubuhku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN