BAB 29

1449 Kata
Aku tersenyum lebar saat setelah turun dari mini roller coaster, sedangkan wajah Adrian kini terlihat sedikit pucat. Aku tertawa kecil melihat ekspresi Adrian, yang dibalas dengan tataapan datar darinya. Aku sengaja memilih menaiki wahana itu sebenarnya untuk menjahili Adrian karena aku tahu Adrian tidak terlalu suka ketinggian. Sebenarnya aku juga tidak tega untuk menjahuli Adrian seperti ini, tapi sekali - kali kurasa tidak akan apa - apa. Setelah turun, wajah Adrian terlihat sangat pucat membuatku sekarang menjadi merasa bersalah. Sedari tadi Adrian memegangi kepalanya yang masih terasa pusing, ia beberapa kali mengacak rambutnya kasar. Tanganku mencegah Adrian untuk mengacak rambutnya kembali, lalu mengusap rambut Adrian dengan lembut. “Duduk dulu,” ujarku meminta Adrian duduk untuk menyesuaikan dirinya terlebih dahulu, apa lagi wajah Adrian terlihat pucat. “Ketawa aja terus Lun,” balas Adrian sedikit kesal, meski begitu aku tetap tertawa. Aku masih mengusap wajah Adrian yang terlihat pucat namun semyum di wajah Adrian tidak menghilang sejak tadi, ia terlihat senang dan nyaman setelah aku mengusap kepalanya lembut. “Bentar ya aku beli minum,” ucapku lalu berdiri, Adrian memegang pergelangan tanganku menahanku melangkah. “Bareng aja,” balasnya sambil menatapku. “Masih pusing kan? Tunggu aja,” ucap Adrian memintaku untuk mencari tempat duduk dan menunggunya. “Gini doang, bareng ayo.” Adrian lalu berdiri dan berjalan bersamaku dengan masih mengenggam tanganku. Entah dia yang lupa melepaskan, atau bagaimana tapi aku tidak ingin memintanya melepaskan. Bukan karena apa, tapi aku terlalu malu untuk berkata kepada Adrian melepaskan tanganku. Adrian melepas gengamannya saat akan membayar minuman yang kami beli, aku mengambil tisu dari tasku untuk menyeka keringaku dan memberikannya pada Adrian. Aku menerima minum yang diberi Adrian, lumayan meredakan tenggorokanku yang terasa kering. "Eh, ada cilok," ucapku bersemangat, aku menunjuk sebuah stan makanan yang menjual cilok lalu menarik Adrian ke sana, tanpa banyak protes Adrian hanya mengikutiku. Cilok adalah salah satu jajanan favoritku, entah mengapa meskipun memiliki bentuk dan rasa yang hampir sama dengan bakso tetapi aku masih jauh lebih menyukai cilok daripada bakso. "Mau gak?" tawarku pada Adrian yang masih mengatur napasnya karena aku menariknya dengan cepat. "Enak gak?" tanya Adrian terlihat kurang yakin. Aku tertawa melihat ekspresinya, "cobain deh," ucapku meyakinkannya. Adrian berpikir selama beberapa detik, "boleh," ucap Adrian menganggukan kepalanya. Aku memberikan dua lembar uang kertas sepuluh ribuan kepada penjual setelah ia memberikan padaku dua cup cilok, aku mengajak Adrian duduk di dekat lokasi bianglala tadi. "Enak," ucapku mengunyah cilok yang tadu kubeli. Awalnya, aku tidak terlalu menyukai cilok tapi setelah beberapa kali melihat tukang cilok tak jauh dari kantor editor aku mencoba membelinya dan aku cukup menyesal mengetahu jika rasa cilok bisa seenak itu. "Gimana enak ga?" tanyaku menatap dalam mata Adrian mencari kejujuran. "Kurang pedes sih," balas Adrian tetap mengunyah ciloknya. Kami hanya memakan dalam diam sambil sesekali saling mencuri cilok, aku tertawa melihat Adrian. Setelah tidak bersekolah, aku tidak menyangka jika akan masih berteman dengannya. Bahkan, saat mendaftar kuliah kami memutuskan untuk kuliah di kampus dan jurusan yang sama. Seperti kebetulan, ternyata hal yang kami sukai juga hal yang sama. Semoga saja kami benar-benar lulus saat seleksi jika tidak akan sulit bagiku untuk mencari teman baru dan akrab dengan orang lain. "Mau ke mana lagi? Kayaknya kita udah hampir cobain semua wahana," ucapku karena mulai merasakan sakit di kakiku, mungkin kaarena tanpa aku sadari kami sudah cukup lama berkeliling namun tidak terlalu terasa karena kami terlalu larut di tengah keramaian. "Tunggu bentar deh, aku buang sampah dulu." Adrian mengambil cup bekas cilok dan botol minum yang kami beli tadi, aku mengikutinya berdiri. "Bareng aja, sekalian balik yuk. Capek banget rasanya," ucapku karena memang aku sudah lelah. "Tunggu di sini aja deh, soalnya aku mau ke toilet bentar daripada kamu nunggu lama." Aku berpikir sejenak, "iya juga yah, kalo gak aku ke mobil duluan. Mana kuncinya?" tanyaku sambil menjulurkan tanganku untuk menerima kunci mobil. "Jangan, barengan aja nanti kamu malah hilang. Bingung aku nyarinya, udah kamu duduk aja di sini sebentar." Aku menatap Adrian kesal karena tidak mempercayai aku untuk kembali sendiri, akhirnya aku juga mengalah dan duduk di kursi tadi seperti yang dibilang oleh Adrian. Aku menatap kepergian Adrian yang mulai menghilang diantara kerumunan orang-orang. Aku menundukan pandanganku, menatap ujung sepatuku. Sudah cukup lama dari waktu Adrian pergi tadi, namun ia masih belum kembali juga. Aku terus memandangi ke arah sepatuku, kakiku menggantung dari dudukku. Tatapanku terhenti saat aku melihat sebuah sepatu berhenti tepat dihadapanku, aku menaikan kembali pandanganku mencari tahu pemilik sepatu yang sebenarnya aku tahu itu Adrian. Aku menutup mulutku, menatap Adruan yang kembali membawa sebuah boneka Hello Kitty yang berukuran cukup besar dan sebuah gulali yang masih berada di dalam bungkusnya. "Adrian?!" "Luna, maaf jika kamu tidak suka atau malu dengan cara yang sederhana ini. Tapi, dari titik ini aku ingin kita berjuang bersama. Bukan untuk berpacaran, tapi untuk sama-sama berkomitmen hingga kita bisa menikah di saat kita sudah sama-sama membahagiakan orang tua kita. Jadi, apa kamu mau berjuang bersamaku?" Aku menatap Adrian terharu, air mataku menetes tanpa aku sadar. Senyum dari bibir Adrian membuatku tiba-tiba menangis, jujur saja aku sangat bersyukur mengenal Adrian. Aku bersyukur dengan takdir Tuhan yang mengirimkan Adrian untuk seseorang sepertiku. "Jawab ya Lun," ucap Adrian menyadarkanku dari lamunan. "Adrian, terima kasih untuk semua yang kamu lakuin selama ini. Aku mau," balasku lalu menutup mukaku karena air mata yang semakin tidak terbendung. Adrian langsung memelukku, menenangkan diriku. "Kok nangis, gak kepaksa 'kan Luna?" ucap Adrian bercanda, aku memukul dadanya membuat Adrian sedikit mengaduh kesakitan. "Makasih ya, kenapa sok-sokan mau romantis sih. Gak cocok," ucapku masih mengelap air mataku. Aku bahkan tidak sadar jika saat ini semua orang tengah memandang kami, tidak sedikit juga yang mengarahkan ponselnya ke arah kami mungkin untuk memfoto atau memvideokan kami. "Adrian aku malu, ayo pergi," ucapku menundukkan pandanganku. Ini adalah pertama kalinya untukku diperlakukan seperti ini, rasanya sangat campur aduk. Aku senang namun juga malu karena banyak orang yang menatap ke arah kami, ada juga yang diam - diam mengarahkan ponselnya pada kami entah untuk mengambil gambar atau yang lain. Adrian mengangguk lalu kami berjalan bersama menuju area parkir, aku menbantu Adrian dengan membawa gulali sedangkan Adrian sibuk membawa boneka yang cukup besar membuatku tertawa melihatnya. Selama kami berjalan, banyak orang yang memandang ke arah kami. Terlebih ke arah Adrian yang tengah membawa sebuah boneka besar dalam pelukannya, melihat itu tentu saja membuatku tertawa lebar. "Bentar deh," ucapku menghentikan langkah diikuti dengan Adrian yang ikut menghentikan langkahnya karena aku yang memintanya berhenti secara tiba - tiba. "Ada apa lagi sih Lun?" tanya Adrian yang sekarang memandang bingung ke arahku. "Kamu berdiri sebentar di sana," ucapku menunjuk beberapa langkah di belakang Adrian, meskipun aku melihat tatapan bingung di wajah Adrian namun ia tetap mengikuti ucapanku. Adrian mundur beberapa langkah, tepat di tempat yang tadi aku tunjuk. "Ada apa emangnya di sini?" tanya Adrian yang menatap bingung ke sekeliling. Aku memintanya menunggu dan tetap pada posisinya lalu aku mengeluarkan ponsel di saku celanaku dengan cepat, membuka aplikasi kamera dan mengambil gambar Adrian. Setelah beberapa saat, Adrian menyadari jika aku mengambil gambarnya. "Bisa - bisanya," ucap Adrian menatapku dan mengusap rambutku lembut, kupikir ia akan marah namun tidak kusangka malah mengusap rambutku lembut. "Bagus tahu," ucapku menunjukkan hasil potretanku ke Adrian. "Mana coba lihat," saut Adrian mengambil ponselku, ia melihat hasil foto yang aku ambil dan menggesernya. "Ini bagus," ucap Adrian membuatku tersenyum bangga dengan hasil tanganku itu. "Tuh 'kan bagus," ucapku percaya diri. "Nah gini lebih bagus," ucap Adrian menyerahkan kembali ponselku, aku menatapnya bingung karena Adrian terlihat tersenyum lebar. "Dih," ucapku mencibir setelah sadar wapaper ponselku kini berganti dengan wajah Adrian yang tadi aku ambil. Mataku menatapnya heran, wajah Adrian terlihat bangga ia bahkan terus menatap puas ponselku. Aku tidak ingin ambil pusing lalu memasukkan ponselku ke dalam tas, aku tidak ingin Adrian melihat aku menjadi salah tingkah karenanya. Adrian terkekeh dan tersenyum, "gimana, bagus 'kan?" tanya Adrian bangga. "Iyain aja," ucapku singkat, malas berdebat dengan Adrian yang makin mengesalkan. Aku hendak berjalan duluan meninggalkan Adrian, namun langkah kakiku di cegah dengan Adrian yang menarik lenganku. Aku membalikkan badanku, menatap penuh tanya pada Adrian. "Tunggu dulu," ucap Adrian padaku lalu ia berjan menjauh beberapa langkah dariku. Dari posisiku saat ini, aku dapat melihat jika Adrian tengah berbicara dengan seseorang yang tidak aku kenal. Bahkan, beberapa saat kemudian Adrian kembali dengan membawa orang itu di belakangnya. "Tolong ya Mas fotoin kami," ucap Adrian yang di balas dengan anggukan ramah oleh pria itu. "Ayo Luna, sini," panggil Adrian menyuruhku untuk mendatanginya. Adrian menggandengku dan merangkul pundakku, kami mengambil beberapa foto yang kurasa wajahku sangat kaku di sana. Aku masih sangat terkejut, dalam semalam hubungan aku dan Adrian berubah. Namun, meski begitu aku tetap senang jika hubunganku dan Adrian berjalan dengan baik - baik saja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN