Aku bangun sedikit terlambat hari ini, untungnya ini adalah akhir pekan yang artinya waktu untuk bermalas-malasan. Memang benar, semenjak menjadi mahasiswa aku lebih mengharapkan akhir pekan cepat tiba lebih dari saat masih duduk di bangku sekolah, rasanya aku bisa denhan bebas melakukan apapun tanpa harus memikirkan tugas kuliah.
Aku berjalan ke kamar mandi, mendorongnya perlahan. Tanganku menghidupkan keran air, lalu menadahnya dengan kedua tanganku dan mengusapkannya ke wajahku. Rasanya segar dan juga dingin, aku mengeluarkan sabun untuk mencuci muka lalu mengusapkannyha ke wajahku secara menyeluruh baru membasuhnya lagi dengan air yang mengalir.
Tanganku meraih handuk lalu mengusapkannya ke wajahnku untuk mengeringkannya, lalu aku mematut dirikh di depan cermin. Aku bersiap untuk keluar kamar karena tidak sabar dengan sarapan apa yang ayah buat hari ini, apalagi biasanya setiap akhir pekan ayah akan memasak sarapan istimewah.
Aku membuka pintu kamarku, mataku yang awalnya masih mengantuk tiba-tiba tersadarkan saat melihat Adrian ada di sini Aku heran, tumben sekali Adrian ada di sini tanpa mengabariku terlebih dahulu, biasanya saat ia datang ia terlebih dahulu mengabariku..
"Ada apa?" tanyaku menatapnya sekilas lalu berjalan ke dapur menuang air putih lalu meminumnya, suaraku terdengar serak karena tenggorokanku yang memang terasa kering.
"Mau main masa gak boleh, kenapa sih?" tanya Adrian menatapku hangat, sedangkan aku menatapnya kesal.
Aku masih kesal jika mengingat kejadian kemarin, itu pertama kalinya Adrian tidak menceritakan apapun denganku bahkan ia tidak mencoba untuk menjelaskan apa yang sebenarnya telah terjadi kemarin. Bagaimana aku tidak kesal, jika dia saja bersikap begitu.
"Bukannya kamu mau kerja kelompok?" sautku menyindir Adrian, terserah dia menganggap aku ketus atau bagaimana karena aku masih kesal.
"Iya masih satu jam lagi kok," ucapnha santai bahkan ia terlihat tidak masalah, malah ia tidak menanyakan apapun tentangku. Apa sikapku kurang menunjukkan kekesalanku, sampai Adrian saja tidak menyadarinya.
"Oh," ucapku lalu berjalan ke kulkas dan mengambil sekotak s**u.
"Ayah ke mana?" tanyaku karena tidak melihat sosok ayah, bahkan suaranya juga tidak terdengar.
"Katanya ke toko di depan," ucap Adrian.
Tak lama pintu terbuka, terlihat Ayah membawa sesuatu yang entah apa. Namun terlihat berat, tapi keterkejutanku ternyata tidak berakhir di Adrian. Di belakang ayah, Bian masuk membawa kardus yang terlihat sama beratnya dengan kardus yang dibawa oleh ayah duluan.
Entah apa isi dari kotak itu, namun kelihatannya isi dari kardus itu cukup berat hingga ayah dan Bian bergegas membawa masuk dan meletakkan kotak itu.
"Kok bisa sama Bian?" tanyaku heran ketika melihat ada Bian di belakang ayah, ia terlihat mengatur napasnya selepas mengangkat kardus tadi.
"Gue tadi ke toko bangunan, gue lihat ayah lo kayaknya kerepotan jadi gue bantuin. Lagian gue juga kenal sama ayah lo masa gue gak nolongin selagi gue bisa," ucap Bian masih mencoba mengatur napasnya.
Aku diam, menerima penjelasan dari Bian dan ayah. Mereka juga terlihat cukup akrab padahal baru semalam bereka bertemu.
"Kamu mau minum apa?" tanya Ayah pada Bian.
"Gak usah Om saya pulang aja," ucap Bian bersiap berdiri dari duduknya.
"Loh, kenapa? Udah minum dulu, situ duduk. Ini Adrian pacar Luna," ucap Ayah mencoba mengenalkan Adrian.
Aku tertawa membuat ayah memandangku bingung, "mereka udah kenal," ucapku menjelaskan kepada ayah.
Ayah ikut tertawa mendengar penjelasanku, aku membuatkan jus mangga untuk Adrian dan Bian. Sedangkan untuk ayah, aku membuatkan ice americano.
Kulihat Adrian melirik jam tangannya dan terlihat gelisah, aku mengerti kegelisahannya sebenarnya. Ayah ingin mengajak Adrian dan Bian memancing hari ini, akupun kaget tapi Bian malah dengan senang hati menerima.
"Kamu gimana Adrian, bisa?" tanya Ayah.
"Maaf Om, Adrian gak bisa soalnya ada tugas kelompok."
"Kenapa gak besok aja, 'kan besok minggu. Jadi bisa di undur," ucapku terkesan memberi saran tapi sebenarnya aku sengaja ingin melihat tanggapan Adrian.
"Gak bisa Lun, kesian sama anak-anak."
Aku diam tanpa membalas ucapan Adrian lagi, padahal hari ini aku ingin berbaikan dengannya setelah memikirkan banyak saran dari Bian tapi apa boleh buat. Aku mengantarkan Adrian ke depan menuju mobilnya, ia menatapku namun aku menghindarinya.
"Kamu kenapa? Aku ada salah apa, bicara biar aku bisa perbaiki?" tanya Adrian menatap dalam mataku.
Adrian menarik tanganku ke dalam gengamannya, "gak ada, ya udah kamu pergi nanti telat."
"Aku gak yakin, besok kita bicarain ini lagi ya."
Aku mengangguk pasrah, Adrian mengusap rambutku kasar.
Setelah melihat Adrian pergi aku kembali masuk ke rumah, di ruang tamu aku tidak melihat ayah hanya ada Bian yang sibuk memainkan ponselnya.
"Kamu beneran mau mancing sama ayah?" tanyaku bingung.
Namun, berbeda dengan tanggapan Bian. "Aku suka banget mancing," jawab Bian tersenyum lebar.
"Luna , kamu gak ikut 'kan?" tanya Bian menanti jawaban dariku.
"Luna ikut," ucapku menyambung omongan ayah langsung.
Kulihat ayah sudah mengganti bajunya, aku meminta waktu sebentar untuk mandi dan bersiap. Setelah itu kembali ke ruang tamu, melihat ayah dan Bian yang tengah mengecek alat pancing.
"Tumben mau ikut, biasanya nolak. Sama Adrian aja kamu gak mau ikut," ucap Ayah yang merasa aneh melihatku.
"Pengen aja," ucapku singkat.
Aku sebenarnya malu saat ayah bilang begitu, aku takut jika Bian malah berpikir hal yang tidak-tidak. Lagian aku ikut memancing ini juga karena terpaksa, aku hanya ingin membuat Bian nyaman karena aku takut ia tidak sesabar ayah yang tahan memancing selama berjam-jam.
Aku masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi belakang, sedangkan Bian duduk di kursi depan bersama dengan ayah.
Banyak hal yang diobrolkan oleh mereka, terkadang hal yang tidak terlalu kumengrti seperti tentang politik, aku memilih menyimak obrolan mereka daripada ikut nimbrung.
"Luna, kamu telepon om Juna. Bilangin ke tempat mancing biasa."
Aku mengangguk mengerti dan mulai mencari kontak om Juna, aku menelponnya dan menyampaikan pesan sama seperti yang ayah minta.
Sudah satu jam kami berada di perjalanan akhirnya kami sampai di tempat mememancing, beberapa menit kemudian om Juna datang sendirian.
"Luna, apa kabar nak?"
"Baik Om," jawabku menyalimi lalu memeluk om Juna.
Sudah lama memang aku tidak bertemu dengan om Juna dan tante Erly karena menjelang akhir tahun pekerjaan mereka semakin menumpuk.
"Ini siapa? Kirain sama Adrian," ucap om Juna bingung melihat sosok Bian yang baru ini ia temui.
"Bian, Om."
Sama sepertiku, Bian juga menyalami tangan om Juna yang dibalas dengan senyuman ramah olehnya.
Ayah dan om Juna berjalan duluan di belakang, sementara aku dengan Bian berjalan mengikuti mereka.
"Adrian kayaknya deket sama keluarga lo ya," ucap Bian dengan sedikit berbisik.
"Iya," ucapku canggung.
Banyak hal yang diobrolkan oleh mereka, terkadang hal yang tidak terlalu kumengrti seperti tentang politik, aku memilih menyimak obrolan mereka daripada ikut nimbrung.
***
Malam datang menghampiri, tubuhku serasa habis diinjak oleh gajah karena merasakan sakit dan pegal di seluruh tubuh. Aku berjalan ke arah ranjangku, mandi saja rasanya aku tidak mampu jika tidak memaksakan diri.
Udara medadak menjadi lebih dingin, hujan deras tiba-tiba berguyur di luar. Aku menatap kilatan-kilatan cahaya dan gemuruh yang seakan bersautan.
Aku teringat akan Bian yang baru beberapa saat lalu pulang, aku mengambil ponselku menelponnya namun tidak diangkat membuatku sedikit cemas memikirkan apa dia sudah sampai di rumah atau belum.
Aku mengetikkan pesan menanyakan apakah Bian sudah sampai di rumah atau belum, namun sudah 5 menit pesanku masih belum dibalas. Aku meletakkan kembali ponselku, lalu menarik napas dalam meskipun lelah tapi tadi cukup menyenangkan.
Ayah mengetuk pintuku, lalu mendorongnya. Ia berkata jika mencemaskan Bian, apakah sampai dengan selamat dan memintaku mengirimkan pesan.
Masih dengan mengenggam ponselku, aku menunggu balasan pesan dari Bian. Aku bahkan terus melihat ke arah jam yang berjalan, sudah hampir 10 menit namun masih tidak ada balasan.
Saat itu, tiba-tiba ponselku berbunyi membuatku dengan cepat memeriksa pesan masuk.
21.54
Aku udah sampai, tadi mandi.
Aku mengucap syukur dalam hati, pikiranku tenang saat menerima kabar dari Bian.
21.55
Ya sudah, istirahatlah.
Aku mematikan ponselku dan meletakkannya di nakas sebelum mulai memejamkan mataku karena tubuhku sudah menunjukkan tanda menyerah.