BAB 44

1591 Kata
Aku kembali sendirian setelah Adrian mengantar adiknya pulang, aku menunggu Adrian kembali lagi karena katanya ia sudah berada di perjalanan. Aku merasa senang dengan kehadiran Rara yang ikut menghiburkj, setidaknya aku merasa tidak begitu bosan begitu ia datang. Rara juga lucu dan baik, meskipun masih kecil namun ia tidak rewel atau merepotkan seperti anak - anak lainnya. Ia terkadang menjahili Adrian namun ia juga penurut karena memang selalu menuruti apa yang Adrian katakan. Dulu, aku pernah ingin punya adik. Tidak peduli itu perempuan atau laki - laki, apapun itu sepertinya akan terasa menyenangkan jika aku punya adik. Setidaknya aku tidak akan merasa sendirian dan memiliki teman bermain yang bisa aku ajak main kapanpun. Kami juga akan saling menjaga dan melindungi. Aku senang saat tante Erly saat itu hamil ketika aku masih duduk di SMP, tapi sayang kandungan tante Erly saat itu bermasalah sehingga tante Erly terus menerus mengalami pendarahan dan akhirnya keguguran. Kami semua merasa sedih ketika hal itu menimpa tante Erly, bahkan tante Erly sangat terluka saat itu. Oleh sebab itu, aku meminta tante Erly untuk menganggapku seperti anaknya meskipun memang dari awal ia sudah menganggapki begitu dan pada akhirnya memang tante Erly selalu memanggapku sebagai anaknya. Tante Erly juga selalu melindungiku, ia selalu memenuhi kebutuhanku walau sering kali aku menolak. Aku sangat takut jika tidak bisa menbalas budi atas kebaikannya, tapi mendengar tante Erly tidak mengharapkan itu satu - satunya cara yang bisa aku lakukan adalah untuk menyayanginya dengan tulus. Malam ini, Adrian akan menginap di rumah sakit. Aku juga tadi semlat bertelepon dengan mama Adrian yang terdengar mencemaskanku, meskipun aku belum pernah bertemu langsung dengannya namun aku dapat merasakan ketulusannya. Tadi sore juga, om Juna meminta perawat membawa satu ranjang kosong, agar tidak perlu Adrian tidur di sofa karena aku tahu pasti badan Adrian merasakan sakit meskipun ia tidak bilang padaku. Adrian masuk membawa sebuah paper bag ditangannya, aku menyambutnya dan duduk di ranjangku. "Apa itu?" tanyaku bingung menunjuk ke arah paper bag yang ia bawa. "Ini dari Mama, kalo ini dari---" ucap Adrian terputus membuatku menatapnya curiga. "Dari siapa?" tanyaku pada Adrian yang tiba-tiba tidak melanjutkan ucapannya. Adrian duduk di sampingku sambil mengenggam tanganku erat. Meski kulihat ada keraguan di matanya, namun Adrian tetap memberikan paper bag itu kepadaku. Aku terdiam beberapa saat, berpikir harus menerima paper bag itu atau tidak. Adrian juga terlihat sedikit bingung dan terdiam, aku memandangnya penuh tanda tanya. Namun Adrian masih terdiam beberapa saat, ia mengusap wajahnya dengan sebelah tangannya membuatku semakin bingung menatapnya. "Ini dari ayah kamu," ucap Adrian pelan, mendengar ucapan Adrian aku langsung memperbaiki posisi dudukku menatapnya lebih dalam. Mulutku terdiam, aku tidak mengerti apa yang di maksud oleh Adrian jika paper bag itu dari ayah. Sedangkan saat ini saja ayah masih terkulai lemas di atas ranjang dengan banyak alat yang terpasang di tubuhnya, mataku menatap Adrian dalam ia terlihat ragu saat ingin mengucapkan sesuatu. Saat aku menatapnya lagi Adrian terlihat bingung, lalu aku membuka paper bag yang dibawa Adrian, setelah aku membuka paper bag itu dari dalamnya aku melihat ada sebuah kotak yang. Mataku menatap sekilas kotak itu, Adrian meminta aku mengeluarkan kotak yang aku tidak tahu apa isinya. Aku menatap Adrian, "apa itu?" tanyaku bingung menatap Adrian, ia mengambil bungkus paper bag itu dariku, lalu memintaku untuk membuka kotak yang aku temukan dari dalam paper bag. Aku meletakkan kotak itu di atas kasur dan membuka penutupnya. Mataku membelalak tidak percaya, ternyata di dalam kotak tersebut ada sebuah gaun berwarna biru laut dan sepatu berwarna putih. Aku menatap heran gaun itu, sejenak aku merasa gaun itu terlihat tidak asing bagiku, sepertinya aku pernah melihatnya. Setelah beberapa saat berpikir aku menatap gaun itu dengan pandangan tidak percaya, sembari mengangkat gaun yang berada di dalam kotak itu, "ini apa?" tanyaku menatap Adrian. Sebenarnya aku tahu jika gaun ini adalah gaun yang sama dengan apa yang aku pernah tunjukan kepada ayah waktu itu, aku menatapnya heran bagaimana bisa ayah menyiapkan gaun dan sepatu cantik itu untukku. Mataku menatap penuh tanda tanya pada Adrian yang dari tadi hanya diam, aku pikir Adrian tengah memilah kata - katanyanya. Adrian tersenyum kecil, "seperti yang tadi aku bilang ini dari ayah kamu," ucap Adrian menatapku dalam. "Kok bisa ada di kamu?" tanyaku tanpa mengalihkan pandanganku dari gaun itu, aku memperhatikan gaun itu dan memegangnya perlahan. Aku melebarkan gaun itu menunjukkan bentuk sempurna dari gaun itu, air mataku pun juga mulai ikut turun. Tanganku meraba pads setiap sisi gaun, menatap gaun ini dengan penuh haru. "Ini, sebenarnya ayah kamu minta tolong sama aku untuk beli gaun ini. Kata ayah kamu, mata kamu terlihat bahagia saat nunjukin gaun ini. Jadi dia pesan gaun ini untuk kamu," ucap Adrian dengan lembut, air mata perlahan menetesi pipiku. Pikiranku jadi teringat ke saat itu, waktu dimana ayah ingin memberikanku uang untuk membeli gaun perpisahan sekolah yang aku tolak. Padahal, aku terus saja bilang untuk tidak membelikan itu dan biarkan aku yang membelinya sendiri. Tapi, ayah ternyata tetap membelikan aku gaun itu. Tidak ada sekalipun dibenakku akan terpikirkaan ayah membelikanku gaun ini. Padahal, aku hanya berniat menunjukkannya saja. Aku juga menatap sepatu putih dengan hak yang tidak terlalu tinggi. "Gaun ini, baru sampai di rumah kamu tadi. Tapi, karena gak ada orang jadi kurirnya nelpon aku. Karena aku yang bantu ayah kamu pesen gaun ini," jelas Adrian, aku akhirnya mengerti kenapa hadiah ini biasa ada di Adrian. Mataku semakin berkaca-kaca, isak mulai keluar dari mulutku. Sedih tambah kurasa, harusnya ayah yang memberi gaun ini langsung padaku tapi ayah malah masih terbaring berjuang untuk hidupnya. "Aku mau ketemu ayah," ucapku berusaha bangkit. Saat ini, perasaanku benar-benar merasa bersalah kepada ayah. Namun, Adrian terus melarangku untuk menemui ayah sekarang karena jam yang sudah menunjukkan pukul 9 malam. "Besok aja ya, biarin ayah kamu istirahat." Aku ingin menolak dan membantah ucapan Adrian, tapi aku tidak bisa karena bagaimanapun apa yang diucapkan Adrian benar. Pelukan dari Adrian mulai menenangkanku, aku menangis di dalam peluk Adrian. "Jangan nangis terus, kamu sekarang sering banget nangis." Air mata yang turun dipipiku diusap oleh Adrian, ia merapikan rambutku dan menatapku hangat. Aku benar - benar masih tidak menyangka jika ayah memberiku hadiah ini, padahal aku memang sudah menolak sejak awal. Tapi, aku benar - benar senang karena ayah peduli padaku namun aku juga merasakan sakit karena bukan ayah yang memberikannya kepadaku secara langsung. "Jangan kayak gini, gak hanya aku yang sedih lihat kondisi kamu. Ayah kamu juga pasti sedih," ucap Adrian memintaku untuk tetap kuat. Aku menuruti ucapan Adrian, seperti sihir apapun yang dikatakan oleh Adrian terasa benar di telingaku. Aku mencoba untuk menguatkan diriku dan terlihat baik - baik saja, benar apa yang Adrian katakan aku tidak ingin ayah sedih melihatku setelah sadar nanti. "Sekarang biar kamu gak sedih, buka dong hadiah dari Mama." Aku mengangguk dan mulai membuka paperbag satu lagi yang dibawa oleh Adrian. Di dalamnya aku melihat sebuah kotak seperti kotak perhiasan, aku menatap Adrian bingung yang hanya ditatap senyuman lebar oleh Adrian. "Apa ini?" tanyaku menatap Adrian yang tersenyum lebar. "Buka aja, ayo buka." Aku membuka penutup kota itu, lalu menutup mulutku karena terkejut melihat isi dari kotak itu. "Kalung?" tanyaku terkejut ketika melihat isi yang berada di dalam kotak itu. "Ini dari Mama," jawab Adrian mencoba menjelaskan kebingunganku. "Ini beneran dari Mama kamu? Inikan mahal banget, jangan deh mending kamu balikin ke ibu kamu. Aku gak enak," ucapku tidak enak dan menyodorkan kotak itu ke Adrian yang berakhir juga ditolak oleh Adrian. "Bentar Lun," ucap Adrian yang menghentikanku, ia mengeluarkan ponselnya yang sedang mengeluarkan suara. "Siapa?" tanyaku tanpa suara melihat Adrian mengangkat telepon. "Mama," balas Adrian tanpa suara. Aku mengangguk mengerti, membiarkan Adrisn berbicara dengan mamanya. Aku menatap Adrian yang berbicara sambil berjalan, ia kemudian mendekatiku. Aku menatapnya dalam sambil memperhatikan Adrian yang masih sibuk berbicara dengan mamanya, membuat aku semakin merindukan ayah. "Mama mau bicara kamu mau?" tanya Adrian tiba - tiba. Mataku langsung membulat mendengar apa yang dikatakan oleh Adrian, aku sedikit tergugup menatap Adrian yang tengah tersenyum lebar ke arahku. "Beneran?" tanyaku terkejut karena ucapan Adrian yang tiba-tiba. "Iya, beneran." Aku mengangguk senang, lalu Adrian mengubah panggilan suara menjadi panggilan video. Untuk pertama kalinya aku melihat mama Adrian secara langsung, aku cukup kagum menatap wajah mama Adrian. Aku dapat melihat garis wajah Adrian dan Rara diturunkan oleh Mamanya. "Halo Tante, selamat malam." "Selamat malam Luna, gimana keadaan kamu?" tanya mama Adrian, padahal baru tadi sore kami berteleponan. "Luna baik tante," ucapku ramah. "Syukurlah kalau begitu, kamu udah nerima hadiah dari tante 'kan?" tanya mama Adrian denhan senyum lebar, membuatku merasa tidak enak. Aku menunjukkan kotak perhiasan yang tadi kubuka bersama Adrian. "Tante, Luna sangat berterima kasih banget sama Tante. Tapi, Luna gak bisa nerima hadiah ini. Luna ngerasa ini terlalu berlebihan," ucapku dengan suara yang lemah karena aku benar-benar tidak enak untuk menerima perhiasan dari mama Adrian namun aku juga takut jika mama Adrian tersinggung karena aku menolak. "Gak apa-apa, pokonya itu Tante kasih kamu dengan ikhlas. Kamu pakai ya," ucap mama Adrian ramah. Kali ini aku juga menyerah, sama seperti Adrian aku tidak bisa menolak ucapan mama Adrian. Akhirnya, meski masih merasa tidak enak aku menerima kalung dari mama Adrian. "Ya udah, kamu istirahat. Adrian, mama matiin dulu soalnya Rara mau tidur." Aku dan Adrian berpamitan pada mama Adrian lalu beberapa detik kemudian panggilan video itupun berakhir. "Udah dengerkan, sini aku pakein kalungnya." Adrian mengambil alih kalung itu lalu memasangkannya ke leherku. Aku menatap kalung itu penuh senyuman, karena bagaimanapun ini adalah ketulusan dari mama Adrian. Aku dan Adrian hendak bersiap tidur, namun tiba-tiba pintu dibuka secara kasar membuat aku dan Adrian sedikit terkejut. "Luna, ayah kamu semakin kritis."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN