BAB 54

1675 Kata
Mama Adrian mendorong pintu lemarinya, aku dapat melihat dengan jelas keseriusan dari wajahnya. Kemudian mama Adrian menarik pergelangan tanganku membawaku duduk di atas kasur bersamanya, aku ikut duduk meskipun tentu saja aku merasa canggung dan juga bingung. "Luna, dari tadi Tante liatin kamu diem terus. Kamu gak kayak biasanya, kamu kenapa?" tanya mama Adrian menatap dalam mataku, aku terkejut mendengar pertanyaanya karena aku tidak menyangka akan mendengar pertanyaan seperti ini. Aku mengenggam tangan mama Adrian, "Tante Luna baik-baik aja," jawabku dengan senyum lebar, ada perasaan hangat saat mendengar mama Adrian ikut mencemaskanku. "Jangan bohongi perasaanmu, Tante tahu kamu gak baik-baik aja. Apa karena Gita?" tanya mama Adrian menebak seakan tahu apa yang aku pikirkan sejak tadi. Pandangan mama Adrian terus tertuju padaku, bahkan ia tidak mengalihkan tatapannya dariku membuatku tidak enak hati untuk mengelak atau tidak menjawab. Aku masih diam sambil tersenyum tipis, menimang-nimang apakah sebaiknya aku mengatakannya. "Iya, Tante. Sebenarnya, Luna sedikit tidak nyaman kalau Adrian terlalu dekat dengan Gita. Bukan karena Luna gak suka Adrian deket sama perempuan," ucapku memberikan pengertian. Aku tidak ingin mama Adrian salah memahami perkataanku. "Iya, Tante tahu kalo kamu bukan orang yang seperti itu. Apa kamu khawatir Adrian mengecewakanmu?" tanya mama Adrian lagi, aku masih terkejut karena mama Adrian bisa berpikir seperti itu mengenai perasaanku. "Luna bukan khawatir karena itu, tapi Luna khawatir dengan perasaan Luna sendiri. Luna terus ngerasa jika Gita sedang mendekati Adrian, ini yang membuat Luna merasa tidak nyaman." "Kamu gak harus ngerasa kayak gitu, Tante yakin jika Adrian gak akan ngehianatin kamu. Apalagi setelah semua kalian lewatin bareng, itu bukan hal yang gampang. Tante minta kamu jangan berpikir seperti itu lagi ya, bahkan jika Adrian sampai benar-benar menghianati kamu dan memilih wanita itu, Tante gak akan setuju. Sebagai seorang ibu, Tante tahu jika wanita itu tidak cukup baik untuk Adrian." Mama Adrian langsung mengusap air mata yang turun dipipiku, ia mengenggam tanganku terus meyakinkan diriku. Tok... Tok... Tok... Pintu diketuk dari luar, aku segera menghapus air mata yang membasahi pipiku. "Ma, Adrian boleh masuk?" ucap suara Adrian dari balik pintu. Aku mengangguk, menyetujui kode mama Adrian saat bertanya apakah aku sudah siap bertemu lagi dengan Adrian. "Iya masuk saja," jawab mama Adrian, saat Adrian mendorong pintu ke dalam aku dan mama Adrian sama - sama menatap ke arahnya yang baru saja masuk. "Ma, tumben di kamar sama Luna." "Temen kamu mana?" tanya mama Adrian menatap Adrian yang berjalan menuju kami. "Udah pulang," balas Adrian singkat. Adrian merangkul pundaku, sambil mengusap-usap rambutku. Aku tersenyum kecil saat Adrian menatapku, meski begitu aku dapat melihat jika mama Adrian menatap dalam ke arah aku dan Adrian. "Kamu udah mau pulang?" tanya Adrian padaku, aku masih tersenyum tipis dan mengangguk pelan. "Kok ditanya sih, biarin dulu Luna di sini. Lagian 'kan Mama udah jarang ketemu Luna," ujar mama Adrian, ia protes dengan pertanyaan Adrian kepadaku. "Em... Luna kayaknya pulang aja Tante, lagian gak enak kalo Luna di sini takutnya ganggu." "Ganggu kenapa sih? Luna, tante gak pernah ngerasa kamu itu penganggu, jangan merasa kayak gitu," ucap mama Adrian langsung menanggapi ucapanku. "Iya Tante," ucapku merasa tidak enak, namun senyum di wajah mama Adrian tentu saja sangat menenangkan. "Tapi maaf Tante, Luna gak enak kalo pulang malam," ucapku mengungkapkan ketidakenakan yang aku rasakan. "Tuh 'kan, anaknya baik. Jangan disakiti, awas kamu. Mama coret dari kartu keluarga kalo kamu nyakitin Luna," ucap mama Adrian terdengar serius pada Adrian namun mampu membuatku tertawa. "Iya bos," ucap Adrian pasrah terhadap omelan mamanya. "Kamu turun duluan sana," ujar mama Adrian mengusir Adrian. "Gini nih kalo ada anak kesayangan, anaknya sendiri dianiaya," ucap Adrian memprotes namun dengan kekehan yang juga membuatku tertawa mendengarnya. "Udah sana," ujar mama Adrian berusaha mengusir Adrian dan membuatku tertawa kecil. "Kamu pakai atau simpang gak apa-apa," ujar mama Adrian menyerahkan kotak perhiasan berisi kalung tadi padaku. "Tapi Tante 'kan udah pernah kasih Luna ini," ucapku pada mama Adrian. Aku menunjukkan kalung pemberian mama Adrian pertama kali, bahkan masih kupakai hingga sekarang. "Udah, ini sekarang pokoknya milik kamu." Aku menghela napas, tidak bisa melawan atau menolak lagi ucapan mama Adrian yang terdengar tegas. "Ya udah Tante, terima kasih banyak untuk semuanya. Luna gak tahu harus gimana lagi," balasku memeluk mama Adrian. "Sama-sama, Tante ini udah anggap kamu anak. Jangan sungkan untuk ke sini," balas mama Adrian memelukku hangat. "Kalau gitu Luna pulang dulu, Adrian pasti udah nungguin di bawah," ucapku dengan nada suara pelan, mama Adrian mengangguk lalu tersenyum lebar menatapku. Aku berdiri dari dudukku, ditemani mama Adrian kami berjalan ke lantai bawah. Sedangkan Adrian juga mengekori kami, aku mengambil tasku. "Ma, Adrian nganterin Luna dulu." "Hati-hati," balas mama Adrian. Aku mengambil tangan mama Adrian lalu menyalaminya, mama Adrian mengusap lembut rambutku. "Rara, Kak Luna mau pulang nih. Turun dulu Nak," ucap mama Adrian memanggil Rara yang masih berada di kamarnya sejak tadi. Dari bawah, aku melihat Rara yang sedikit berlari menuruni tangga. Ia mengampiriku lalu memelukku dengan hangat. "Besok-besok ke sini lagi ya Kak," ucap Rara yang terlihat sedih melihatku akan pulang. Aku membalas pelukannya, "iya, besok-besok Kakak ke sini lagi." Aku melepaskan pelukanku dari Rara, kami di antar oleh mama Adrian dan Rara menuju teras depan. Mobil Adrian masih terparkir di tempat tadi, ia meminta satpam membukakan gerbang sebelum membukakan pintu untukku masuk. "Luna pulang dulu," ucapku mendadahkan tanganku kepada mama Adrian dan Rara yang juga membalas dadahanku. Adrian melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, ia membunyikan klaskon setelah keluar dari gerbang rumahnya. "Tadi bicara apa aja sama Mama?" tanya Adrian terdengar penasaran. "Enggak ada," sautku singkat. Tadinya, aku sudah ingin berbaikan dengan Adrian. Melupakan perasaan yang mengusikku, namun karena kejadian tadi sore perasaanku kembali kacau membuat kekesalanku pada Adrian tidak hilang begitu saja. "Beneran? Jarang padahal Mama ngajak orang lain ke kamarnya, aku sama Rara aja kalau masuk pasti cuma karena ada hal penting aja atau karena mau manggil Mama." "Mungkin Mama kamu nyaman berbicara sama aku, jadi mau lebih dekat jadinya ngajak aku masuk." "Iya juga, aku seneng kalo kamu sama Mama semakin dekat." "Boleh aku putar musik?" tanyaku pada Adrian. "Kok nanya, kayak sama siapa aja. Pasti boleh lah Lun," jawab Adrian tersenyum, mungkin menurutnya tingkahku ini lucu karena aku mendengar kekehan kecil diakhir ucapannya. Namun, bagiku alasan sebenarnya aku ingin menyalakan musik adalah agar aku tidak perlu banyak berbicara dengan Adrian. Pandanganku mengawasi setiap kendaraan yang lewat, semakin malam memang daerah ini semakin ramai banyak penjual yang menjula berbagai makanan dipinggir jalan membuat jalan ini biasanya macet di sore hari. "Luna, besok mau ikut ke tempat proyek aku?" tanya Adrian tiba - tiba, aku menatapnya sambil berpikir sejenak. "Kayaknya gak bisa, soalnya mau ngerjain n****+ lagi." "Yah, padahal aku udah ngajak Gita juga. Dia kayaknya tertarik deh sama desain, kayak kamu. Makanya 'kan kamu suka bantuin proyek tante Erly," ucap Adrian terdengar bersemangat. Entah Adrian sadar atau tidak, namun dapat aku dengar semangat yang membara dari ucapan Adrian saat mengatakan ketertarikan Gita terhadap pekerjaan desain yang dilakukan Adrian. Namun, menurutku hal seperti itu harusnya tidak langsung diterima begitu saja oleh Adrian jika benar ia memang menjaga perasaanku. "Jadi, kalo aku cuma berdua sama Gita memangnya gak apa-apa? Aku gak mau kamu salah paham lagi," lanjut Adrian memberikan penjelasan, namun bagiku terdengar seperti alasan. "Kalau kamu tahu bisa membuatku salah paham, harusnya kamu gak nanyain hal ini. Kalau gini, kamu gak mikirin perasaanku," batinku bergumam. "Iya, terserah kamu." Aku masih mengalihkan pandanganku ke arah jalan raya, mencoba menahan air mata yang terus seakan memberontak ingin keluar dari mataku. "Udah sampai," balas Adrian menarik rem tangan. "Aku anterin ke depan," ucap Adrian hendak keluar dari mobil namun langsung kutahan. "Gak usah, kamu langsung pulang aja. Lagian, Ayah lagi gak ada di rumah. Gak enak sudah malam," ucapku mencoba memberikan penjelasan. Selain karena itu, sebenarnya aku tidak ingin lebih lama bersama Adrian. Aku ingin mengambil waktuku sendiri untuk memikirkan semua ini. Aku berpamitan dengan Adrian, lalu keluar dari mobil. Meskipun tidak melihat ke belakang namun aku tahu mobil Adrian belum menghilang. Hingga akhirnya aku masuk kembali ke dalam rumah dan mobil Adrian baru bergerak maju. Kulangkahkan kakiku dengan kasar menuju pintu, terlalu lelah untuk bermain-main dengan perasaanku hari ini. Kukira semua akan baik-baik saja, kupikir aku yang terlalu sensitif namun entah mengapa rasanya sakit. Apa karena Adrian adalah orang pertama yang terbuka padaku dan membuatku percaya jika sosok teman, sahabat, dan pacar itu ada. Tok ... Tok ... Tok ... Baru saja aku hendak melepaskan pakaianku, langkahku terhenti saat pintu rumah diketuk dan bel dibunyikan. Aku berjalan menuju pintu, memutar kunci dan knop pintu. "Adrian?" Aku menatap Adrian heran, tubuhnya basah terguyur hujan. Berada di dalam rumah membuatku tidak sadar jika di luar hujan. "Masuk dulu," ajakku melihat tubuhnya yang basah. "Aku langsung pulang aja, aku cuma mau kasih kamu ini." "Apa ini?" tanyaku mengambil kotak yang disodorkan Adrian. "Ini, Hadiah." "Ya ampun, hanya karena ini kamu balik lagi?" Adrian mengangguk dengan senyumannya, "sebentar, tunggu sini." Aku berjalan masuk, mengambil jaket milik Adrian yang beberapa kali ia pinjamkan padaku. Bahkan aku baru sadar jika jaket Adrian lebih banyak daripada milikku. "Pakai ini," ucapku memberikan jaket pada Adrian. "Aku pulang ya, takut Mama nungguin. Kamu masuk aja," ucap Adrian, aku menggelng memaksa untuk melihatnya lebih dulu. "Hati-hati jangan ngebut," ucapku. Adrian mengangguk lalu berlari menuju mobilnya. Pintu kukunci kembali, lalu berjalan menuju kamar. Kududukan bokongku di kasur mengambil kotak dari Adrian. Aku menatapnya selama beberapa saat, entah apa isi dari kotak ini namun rasanya perasaanku tidak karuan melihat kotak yang sekarang ada di pangkuanku ini. Setelah menatap kotak itu selama beberapa saat, tanganku mulai tergerak untuk membuka penutup dari kotak itu. Saat kotak itu terbuka, aku melihat sebuah sepatu berada di dalam kotak, bersama sepucuk kartu ucapan. Sepatu ini, sebenarnya sepatu yang pernah kulihat saat pergi berjalan bersama Adrian satu bulan lalu. Entah bagaimana bisa Adrian kebetulan memberikan aku sepatu yang sama dengan yang sempat aku inginkan saat itu, karena rasanya saat itu aku tidak memberitahukannya kepada Adrian jika aku menyukai sepatu itu. Senyumku tidak dapat kusingkirkan, saat membaca kata-kata manis dari si dingin Adrian. *** Sepatu pasangan untuk orang yang paling berharga bagiku, ayo kita melangkah bersama kemanapun itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN