BAB 48

1289 Kata
Matahari mulai beranjak naik, aku merasa senang hari ini karena ayah akan mengantarkan aku ke kampus. Mataku masih mengantuk akibat begadang semalaman karena mengerjakan tugas kampus yang menumpuk, ternyata kuliah memang tidak seindah sinetron. Sudah meminggu ini ayah masuk kerja lagi dan kabar baiknya ayah akan berkerja di sini untuk beberapa waktu, sehingga aku tidak perlu berjauhan dengan ayah. Banyak pekerjaan di markas besar sehingga Ayah di minta untuk kembali, apalagi beberapa ada beberapa anggota yang baru saja menyelesaikan pelatihan. "Sal ayo berangkat," panggil Ayah dengan sedikit berteriak dan aku mengunci rumah dengan terburu - buru. Aku masuk mobil duluan membawa bekal makanan yang diwadahin oleh ayah, karena bangun kesiangan aku harus sarapan di mobil. Ayah sudah mengomeliku karena ia juga ikut kesal sudah berkali-kali membangunkanku. Tapi, karena semalaman aku begadang menyelesaikan revisi n****+ aku jadi kesiangan. "Enak," ucapku pada ayah saat memakan suapan pertama nasi goreng buatan ayah. "Kamu kalo gak bisa bagi waktu, stop dulu nulisnya. Belum lagi kamu ikut bantuin tante Erly, ayah gak mau ya kalo sampe kamu jadi mengabaikan kesehatan." Aku terdiam mendengar omelan ayah, walau begitu sebenarnya ayah berniat baik padaku. Namun, mungkin karena aku masih muda jadi terlalu ambisius terhadap berbagai pekerjaan yang mendatangiku. Padahal sebenarnya aku selalu menjadikan itu sebagai kesempatan untuk aku belajar, apalagi aku bisa belajar langsung dari tante Erly sayang sekali jika aku harus menyianyiakan kesempatan yang aku punya. Banyak di liar sana orang - orang yang berebutan ingin bekerja atau sekedar magang di perusahaan besar seperti milik om Juna dan tante Erly tapi tidak semua orang bisa memiliki kesempatan itu, oleh karena itu aku sangat tertarik ketika bisa membantu. Ayah juga sebenarnya bukan melarangku untuk membantu tante Erly, aku tahu sekali sebenarnya bukan seperti itu yang dimaksud oleh ayah. Hanya saja, ayah sebenarnya ingin aku berhenti memforsir diriku sendiri dan berhenti jika aku sudah merasakan kelelahan. Aku lebih dari tahu jika ayah akan terluka jika aku sakit, jadi ayah selalu saja mengomeliku untuk aku ingat menjaga kesehatanku sendiri karena kesehatan adalah hal terpenting. "Ayah, Luna juga tahu. Luna baik - baik aja kok," ucapku terus - terusan meyakinkan ayah. Ayah menggelengkan kepalanya, "kamu jangan nganggep remeh kesehatan," balas Ayah dengan nada kesalnya. "Iya Luna tahu, Luna janji akan ngurangin kegiatan Luna. Janji," ucapku pada Ayah. Syukurnya, setelah itu ayah tidak lagi mengomeliku. Sebenarnya bukan mengomeliku, tapi memberiku nasihat karena aku juga sadar jika aku tidak punya banyak waktu untuk diriku sendiri. Aku sadar itu ketika saat ayah pulang, aku bahkan pulang lebih lama daripada ayah ataupun jika aku ada di rumah dan berkerja dari rumah aku tidak berhenti hingga lewat dari tengah malam. Padahal, sering sekali aku mengeluh leher dan tubuhku sakit. Beberapa kali juga aku sering hampir telat bangun jika tidak ditelepon oleh ayah atau Adrian yang membangunkanku setiap pagi. Mobil Ayah melaju melewati gapura masuk ke kampusku, jalanan sedikit macet karena kampusku yang terletak di daerah perkantoran yang memang ramai sekali di pagi hari. Kemacetan bukan hal baru untukku karena hampir setiap kali aku masuk pagi, aku harus berlarian turun dari bus atau jika bersama Adrian biasanya ia akan membawa motor jika harus menjemputku. Karena memang hampir selalu telat, Adrian biasanya lebih memilih membawa motor menjemputku agar bisa menyalip ketika harus melewati kemacetan. "Ayah berhenti di mana?" tanya Ayah saat sudah memasuki area kampusku. Gedung fakultasku memang terletak di bagian paling belakang, sehingga jika berjalan kaki dari gapura depan akan memakan waktu 10 menit sendiri. Memang ada jalan pintas dengan lewat dari fakultas lain, tetapi cukup sulit karena harus keluar masuk ke area fakultas lain dan berjalan lewat belakang gedung. Aku menunjukkan jalan menuju gedung fakultasku pada ayah, karena sedikit macet aku langsung bersiap mengambil barang-barangku. "Di sini?" tanya ayah setelah menghentikan mobilnya pas di gebung fakultasku. Aku mengambil berkasku yang ada di pintu belakang, lalu menyalimi tangan ayah. "Lun, itu bukannya mobil Adrian?" tanya Ayah menunjuk mobil yang berada di depannya. "Lah, iya-iya. Baru datang kayaknya," jawabku setelah memastikan jika itu memang mobil milik Adrian. Aku berniat turun dan mendekati Adrian tapi langkahku membuka pintu mobil terhenti saat melihat pintu mobil sebelah penumpang Adrian terbuka menampilkan sosok yang aku kenal. "Itu siapa?" tanya Ayah yang juga ikut bingung. Aku menatap ke arah yang ayah tunjuk, benar saja seseorang keluar dari dalam mobil Adrian. Padahal, aku meminta Adrian pergi lebih dulu karena ayah yang ingin mengantarku dan ia berniat memakai motor bukannya mobil. Sekarang, selain ia tidak membawa motor ia juga ternyata datang bersama orang lain. "Gak tahu, temennya kali. Ya udah, Luna masuk dulu," ucapku berusaha bersikap tidak peduli, padahal aku juga sebenarnya penasaran siapa yang datang bersama Adrian. Aku berpamitan dengan ayah, lalu berjalan masuk ke dalam gedung tanpa menoleh sedikitpun ke arah mobil Adrian yang juga melaju setelah aku keluar dari mobil. "Luna kan?" ucap seseorang menepuk pundaku, aku menolehkan pandanganku ke belakang. Aku terdiam beberapa saat, sebenarnya aku tahu siapa yang menepuk pundakku ingin rasanya aku menghindarinya tapi tidak bisa. "Iya, siapa?" tanyaku berpura-pura tidak ingat padahal saat pertama melihat wajahnya aku tahu dengan jelas jika ternyata orang yang datang bersama Adrian adalah Gita, orang yang sama saat di acara perpisahan. "Gue Gita, kita satu sekolah 'kan," ucapnya dengan nada suara yang ramah, aku mengangguk dan tersenyum kecil mataku menatap Adrian yang hanya diam di belakang Gita. "Oh iya, aku baru inget. Eh, maaf aku duluan ya soalnya udah mau masuk. Takut telat," ucapku dengan senyum canggung lalu berjalan meninggalkan Gita dan Adrian yang masih berada di belakangku. Aku langsung pergi tanpa mendengar jawaban Gita, aku benar-benar merasa kesal dengan Adrian yang tidak bilang apapun bahkan ia tidak menanyakan pendapatku lebih dulu jika akan pergi ke kampus bersama Gita. Aku masuk kelas dan sedikit membanting beberapa tumpuk tugas kuliah yang kubawa. Cika dan Bian yang sudah datang duluan menatapku bingung. "Kenapa lo?" tanya Cika menatapku heran. Aku diam, masih mengatur napasku. Karena kesal, aku tidak ingat jika sudah ke kelas dengan menaiki tangga, padahal kelas ini berada di lantai 5. "Gue capek banget," ucapku singkat, sebenarnya aku sedang tidak dalam mood yang bagus untuk diajak ngobrol.. Cika dan Bian yang mengerti jika aku tidak dalam mood yang baik ikut diam, tidak mengatakan apapun ataupun bertanya lagi. Mereka melanjutkan berbicara berdua dan mendiamkan aku, tidak mengangguku sama sekali. Aku masih diam sambil masih mengatur napasku. Karena kesal, aku tidak ingat jika sudah ke kelas dengan menaiki tangga, padahal kelas ini berada di lantai 5. Ponsel di dalam tasku bergetar, aku mengambil dan melihat tulisan di layar. Nama Adrian yang tertulis membuatku semakin kesal, aku langsung mematikan ponselku. Pikiranku benar-benar kacau, untungnya tidak lama dosen masuk dan jam pertama kuliah dimulai. Sehingga, pikiranku yang rumit mulai terpokus dengan pelajaran. Saat aku tengah mencatat pelajaran, otakku kembali mereview kejadian tadi pagi. Aku mendadak tidak bisa pokus dengan pelajaran, tiba-tiba sebuah spidol terlempar ke arahku. "Jika kamu tidak berada di kelas saya, lebih baik kamu keluar sekarang." Aku terdiam saat semua orang menatapku terkejut, dosen ini memang dikenal kejam. Aku terdiam, merasa bersalah. "Keluar dari kelas saya!" ucap Dosen itu dengan nada yang meninggi. "Maaf, Bu," ucapku masih duduk, aku masih terkejut karena bentakan dari dosen itu dan bagaimanapun juga aku tidak ingin keluar dari kelas. "Keluar sekarang juga! Masuk ke kelas saya minggu depan," ucap Dosen itu tegas dengan nada lebih tinggi, aku menatap ke sekeliling yang nampak menunduk dan diam. Aku menghela napas berat dan memasukan bukuku ke dalam tas lalu keluar dalam kelas. Aku, melihat Adrian yang baru datang. Ia memanggilku namun aku tidak menghiraukannya. Aku berjalan tanpa arah, memutuskan untuk duduk di kantin memesan es jeruk. Aku berpikir, apakah aku terlalu egois bertingkah seperti ini. Tapi, aku hanya tidak ingin kehilangan Adrian. Aku juga merasa Adrian sudah tidak sering menghabiskan waktu denganku, membuatku merasa kini ada jarak antara aku dan Adrian.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN