Sesaat setelah tamparan itu mendarat di pipiku semua orang menatapku terkejut terlebih dengan Adrian dan kepala sekolah yang tidak menyangka semua ini terjadi. Jangankan mereka, aku sendiri saja tidak pernah membayangkan dipukul oleh orang yang sama sekali tidak aku kenal.
"Lunaa!!!" teriak Adrian cepat, bahkan semua orang menatap terkejut ke arahku.
Adrian berteriak saat tamparan itu mendarat di pipiku. Ia yang hendak menahan, tapi terlambat beberapa detik. Pipiku terasa panas saat tamparan itu dilayangkan, rasanya aku hampir pingsan saat tiba-tiba telingaku berdenging mungkin efek dari tamparan keras itu membuatku merasa pusing dan perlahan mulai hilang kesadaran.
"Aw ...," ringisku lagi saat Adrian menggeser tanganku dari pipiku.
"Pak, apa Bapak tidak keterlaluan?" ucap Adrian yang tidak kalah emosi, aku dapat melihat mata Adrian yang sudah memerah.
Ia menatap Papa Anggi dengan tatapan kesal, "Pak, dia ini perempuan, anak orang juga. Bapak menganggap anak Bapak berharga, orang tua Luna juga menganggapnya berharga," ucap Adrian dengan nada tinggi, mata Adrian memerah karna menahan amarahnya. Aku mengenggam tangan Adrian untuk menahan Adrian yang hendak membalas pukulan tadi.
Adrian mengatur rambutku, memeriksa pipiku yang katanya terlihat merah. Aku masih dapat merasakan telingaku berdenging, pukulannya memang sangat keras dan masih meninggalkan rasa sakit.
"Mimisan," ucap Adrian langsung mengambil beberapa lembar tisu dari atas meja. Adrian langsung menyeka darah yang mengalir dari hidungku, aku merasakan kepalaku terasa sangat sakit.
Bahkan, Anggi dan gengnya yang melihat kejadian itu cukup terkejut. Ia tidak menyangka jika Ayahnya akan bertindak kasar, hingga menyaksikan kekerasan itu secara langsung. Jangankan Anggi, Kepala sekolah dan beberapa guru yang ada di dalam ruangan juga ikut terkejut.
Kepala sekolah yang tidak menyangka hal itu terjadi langsung melerai dan menarik Papa Anggi. Aku memegang pipiku yang terasa lanas, aku menyadari darah mulai mengalir turun dari hidungku.
Adrian memintaku duduk, lalu berjalan melewatiku melayangkan tinjunya kepada Papa Anggi. Tidak terima dengan pukulan dari Adrian, Papa Anggi menarik kerah baju Adrian dan bersiap melayangkan pukulannya lagi.
"Ada apa ini?" tanya om Juna menatap tajam ke arah kepala sekolah yang membatu setelah kedatangan om Juna.
Mata om Juna yang awalnya menatap kepala sekolah dengan pandangan bingung berubah menjadi memerah, wajahnya juga terlihat dingin setelah melihat keadaanku. Om Juna menggeser rambutku, ia menyelipkannya ke telingaku dan begitu terkejut ketika melihat wajahku.
"Ya ampun, Luna!" teriak om Juna setelah sadar keadaanku sekarang.
Aku menangis saat melihat Om Juna yang baru saja tiba langsung berlari mendekatiku, ia membantuku menyeka darah yang keluar dari hidungku. Aku yang sedari tadi dipegangi oleh Adrian seakan kehilangan keseimbangan, air mata turun di pipiku yang memerah karena bekas tamparan keras tadi.
"Adrian, ada apa ini? Kenapa Luna bisa mimisan sebanyak ini?" Om Juna masuk ke dalam ruangan bersama seorang guru yang mengantarnya. Namun ia menatapku terkejut setelah melihat hidungku yang mengeluarkan darah dan pipiku yang memerah.
"Dia ditampar oleh Bapak itu," jawab Adrian menunjuk ke arah Papa Anggi yang terlihat takut saat om Juna masuk.
Om Juna terlihat sangat marah, ia bahkan meregangkan ikatan dasi di lehernya. Om Juna menatap kepala sekolah dan papa Anggi bergantian, wajahnya benar - benar terlihat marah sampai aku yang melihatnya juga ikut takut.
"Apa-apaan ini, Pak!?" bentak om Juna, aku dapat merasakan kemarahan yang dipancarkan oleh Om Juna. Meskipun jarang sekali ia marah, tapi ini pertama kalinya aku melihat Om Juna benar-benar marah dan memberikan tatapan seolah akan membunuh.
Pria itu hanya diam setelah Om Juna membentaknya, seakan nyalinya yang begitu besar tadi hilang begitu saja. Aku yang melihat itu bingung harus tersenyum puas atau hanya berdiam diri saja.
"Apa benar ini karena dia, Adrian?" tanya om Juna menunjuk ke arah papa Anggi yang terlihat terdiam.
"Iya Om, benar. Luna dipukul sama b******n itu," ucap Adrian kasar bahkan aku sendiri tidak sadar jika kata-k********r itu mampu keluar dari mulut Adrian.
"Sialan! Beraninya kamu menyentuh dia!"
Om Juna terlihat sangat marah, ia bahkan melonggarkan ikatan dasinya. Hendak kendekati Papa Anggi yang kini membeku di tempatnya.
"Papa kenapa diam saja?" tanya Anggi dengan berbisik tapi dapat kami dengar.
Anggi terlihat marah ketika melihat papanya yang tidak berkutik sama sekali di depan om Juna yang sedari tadi memancarkan tatapan ingin membunuh, bahkan ayah om Juna tidak dapat berkutik sama sekali.
"Dia pimpinan perusahaan. Kamu ini bagaimana mencari lawan tidak tahu di belakangnya ada siapa. Karena kamu sekarang kita habis," sahut Papa Anggi dengan berbisik juga.
"Aku susah napas," ucapku pada Adrian, aku bahkan memegang lengan Adrian erat. Udara seakan menghilang dari permukaan saat itu membuatku merasakan sangat kesulitan untukku bernapas.
"Pak Arjuna," ucap Papa Anggi dan Kepala sekolah bersamaan.
Om Juna mengangkat tangannya meminta kepala sekolah ataupun papa Anggi tidak berbicara apapun, om Juna terlihat sangat marah sampai ia tidak ingin mengatakan apapun.
"Kurang ajar kamu!" Om Juna berjalan hendak memukul kembali Papa Anggi tetapi dihentikan oleh Adrian yang melihat kondisiku semakin serius.
"Om, udah Om. Jangan kepancing dulu. Luna sesak napas katanya," ucap Adrian berusaha menenangkaku yang kini berada dipelukannya.
Om Juna langsung menarik lenganku dari pelukan Adrian, ia melihat kondisiku dengan tatapan terkejut, "ya ampun. Maaf, Sayang," ucap om Juna segera memberikan sapu tangannya untuk menyeka mimisan di hidungku.
"Om ke rumah sakit, Om. Darahnya tambah banyak," ucap Adrian cepat.
"Adrian bantu Om bawa Luna ke mobil. Dan kalian, lihat saja nanti!"
"Ingat! Kamu akan membayar setiap tetes darah anak saya yang keluar, itu balasan tepat untuk kamu," ucap om Juna dingin dan menekankan setiap kata - katanya, om Juna bahkan menunjuk tepat di wajah papa Anggi langsung.
Adrian yang mengerti langsung menggendongku. Aku bahkan merasa seluruh tatapan siswa dan guru sekolah ini menatapku dengan pandangan terkejut mereka. Dengan sedikit berlari, Adrian mengikuti langkah Om Juna.
Om Juna yang semakin cemas langsung membantu Adrian yang sudah menggedongku. Entah sebanyak apa darah yang keluar dari hidungku aku tidak yakin, tapi melihat baju Adrian yang juga memerah membuatku yakin jika itu tidak sedikit.
"Terima kasih, Adrian," ucap om Juna saat Adrian sudah membantuku.
"Om, aku ikut," balas Adrian langsung masuk ke kursi dan memangku kepalaku.
"Luna, sabar ya," ucap om Juna yang masih panik melihat kondisiku.
Aku mendengar kecemasan dari suara Om Juna, bagaimana tidak ia pasti terkejut melihatku seperti ini.
"Halo?"
"Sayang, kamu ke rumah sakit utama, ya. Luna mimisan parah. Sekarang juga. Aku sudah di perjalanan."
"Luna? Kok bisa Mas, ya ampun. Ya sudah Mas, aku segera ke sana sekarang. Nanti parkir di belakang saja, aku akan telepon pegawai."
Aku menangis saat mendengar suara Tante Erly yang juga ikut menangis.
"Iya, cepat ya."
Telepon dimatikan oleh Om Juna, lalu ia menelpon seseorang yang suaranya tentu aku kenali. Aku hanya diam kepalaku terasa semakin pusing, aku memejamkan mataku sejenak untuk meredahkannya.
"Ayah," ucapku lemah.
"Ada apa, Juna?" tanya Ayah dari balik telepon.
"Pokoknya kamu ke rumah sakit yang kemarin, cepat ya Luna mimisan parah."
"Apa?! Iya, aku segera ke sana."
Aku menangis tidak dapat menahan air mataku, tidak hanya karena sakit dipipiku yang belum hilang tapi karen semua orang yang aku sayangi semua sangat menyayangiku.
"Sabar ya, Sayang," ucap Om Juna cemas bahkan ia terus menambah laju mobilnya.
"Aku ngantuk banget," ucapku melemah entah mengapa aku tiba-tiba merasa ngantuk.
"Luna, tetep sadar, Lun."
Aku masih dapat merasakan saat Adrian memcoba me jaga kesadaranku, tapi mau bagaimana lagi jika aku tidak bisa mengontrol diriku. Aku benar-benar memejamkan mataku saat itu.
"Om, Luna mulai tidak sadar."
"Tetap buat Luna sadar. Om akan berusaha sekuat mungkin.""Om, Luna mulai tidak sadar."
"Tetap buat Luna sadar, Om akan berusaha sekuat mungkin."
***
Aku membuka mataku perlahan, pernapasanku yang tadinya sulit kini terbantu oleh alat bantuan pernapasan.
Aku dapat merasakan tanganku digenggam oleh seseorang, aku mencoba menyesuaikan cahaya yang masuk ke mataku perlahan dan mengambil kesadaran meskipun sangat sulit.
Aku melihat ayah mengenggam tanganku, sedangkan Om Juna dan Tante Erly mereka tertidur di sofa. Aku menangis tanpa sadar, beruntungnya aku memiliki mereka.
"Ayah," ucapku perlahan dengan nada yang cukup serak.
Aku tidak yakin ayah bisa mendengar suaraku, aku mencoba menggerakkan jemariku dan saat itulah ayah sadar aku telah terbangun. Ayah langsung membuka lebar matanya dan bangun dari posisinya.
"Luna, akhirnya kamu sadar, Nak. Ayah panggil dokter dulu," ucap Ayah bangkit dari kursinya sehingga membanggunkan Tante Erly dan Om Juna.
Dengan sigap, mereka berjalan mendekatiku. Tante Erly memeriksa cairan infus dan oksigen pernapasanku, aku mengatakan aku baik - baik saja dengan suara yang tidak terlalu jelas karena mulutku tertutup dengan penyambung oksigen.
"Di mana yang sakit, Lun?" tanya Ayah terlihat cemas.
Aku menggeleng, entah karena mati rasa aku tidak dapat merasakan sakit padahal pipiku tadi siang sangat sakit.
"Jangan banyak bergerak dulu, ya," perintah Tante Erly yang kujawab anggukan.
Tak lama, ayah kembali bersama seorang dokter lalu meneriksa kondisiku. Setelah selesai, dokter tersebut meminta ayah untuk keruangannya meninggalkan aku dan Tante Erly kembali.
"Sekarang kamu jangan pikirin apa pun. Kamu tidur, ya."
Aku mengangguk. Kehangatan sikap Tante Erly benar-benar membuatku merasa nyaman. Seakan tersihir oleh ucapannya, aku bahkan kembali memejamkan mataku dan tertidur.