BAB 10

1445 Kata
"Ya Allah, Mas. Gimana ini?" "Udah, kamu jangan nangis. Semua pasti akan baik-baik aja." Pandanganku terasa kabur saat membuka mataku, saat cahaya masuk melalui celah - celah mataku membuat aku merasa bertambah pusing. Sesaat setelah aku berhasil menyesuaikan cahaya yang masuk ke mataku, aku menatap jam dinding yang tepat tergantung dihadapanku. Kepalaku terasa sangat berat dan pusing, entah berapa jam aku sudah tertidur tapi ketika aku terbangun dan menatap ke sekeliling ruang kamar, aku melihat ruang kamar yang kosong. Tidak ada siapapun di sini selain hanya aku sendirian, untuk bergerak sedikit saja tubuhku terasa sakit. Aku melihat bayangan dari balik pintu, perlahan aku mencoba bergerak kembali setelah berhasil aku merasa kepalaku sudah tidak terlalu pusing, namun tetap saja susah untukku bergerak. Aku mencoba sekali lagi, meskipun sulit akhirnya aku bisa duduk di atas kasurku. Napasku sedikit berat dan aku mencoba mengaturnya terlebih dahulu, setelah itu aku mencoba untuk berdiri meskipun awalnya tubuhku seakan kehilangan keseimbangan namun setelah mencoba menyesuaikan diriku akhirnya aku bisa berjalan ke arah pintu. "Saran saya, sebaiknya segera dilakukan pemeriksaan lebih." Saat aku membuka pintu, benar saja aku melihat ayah, Om Juna dan Tante Erly yang tengah berbicara dengan seorang dokter. Entah apa yang mereka bicarakan aku tidak bisa mendengar dengan jelas karena aku lebih berusaha untuk menahan tubuhku sendiri. Aku melihat tidak lama kemudian dokter tersebut langsung berpamitan dan Tante Erly membantuku masuk kembali ke dalam. Aku berjalan dengan lebih baik setelah tante Erly menbantuku, ia mengomeliku yang malah bergerak dari atas kasur. "Tante udah lama datang?" tanyaku, masih dibantu Tante Erly berjalan menuju ranjang. "Nggak terlalu lama. Kamu gimana? Apa baik-baik aja?" tanya tante Erly mendekatiku, ia juga bahkan mengecek keningku dengan telapak tangannya. "Iya Tante. Oh iya, Tante tadi liat temen aku?" tanyaku teringat terakhir kali sebelum tidur ada Adrian di sini. "Temen?" tanya Tante Erly kembali. Aku mengangguk. "Iya, Adrian namanya." Tante Erly ikut mengangguk, ia mengambil kursi duduk disampingku. "Iya, liat. Tadi Tante suruh pulang soalnya udah kemaleman." "Oh," balasku mengerti. "Cuma oh?" ucap tante Erly yang seakan mengejekku, ia menatapku dengan tatapan penuh arti. "Apa ih, Tante emangnya harus gimana?" tanyaku sebal dengan mengerucutkan bibirku, melihat aku yang terlihat kesal tante Erly malah tertawa senang. "Luna, Ayah bawain kamu sup ayam. Kamu makan dulu, ya," ucap Ayah yang baru masuk bersama dengan Om Juna, aku mengalihkan pandanganku ke arah lain. Tante Erly langsung mengambil alih bungkusan yang dibawa ayah, lalu memindahkannya ke dalam mangkuk. Meskipun aku perang dingin dengan ayah tetapi aku sudah mencoba memutuskan untuk mencoba memaafkan, apalagi teringat dengan Dika aku jadi berpikir waktu berjalan dengan begitu cepat dan aku tidak ingin menyia-nyiakan itu untuk membenci seseorang. "Maaf ya kalo Luna selalu ngerepotin," ucapku merasa tidak enak pada tante Erly dan om Juna yang terus - terusan kesusahan karena merawatku padahal aku belum bisa membalas apapun kebaikan mereka. Rasanya, memang selama ini aku hanya merepotkan semua orang yang peduli kepadaku. Diam - diam terkadang aku menangis, berpikir telah menyusahkan banyak orang padahal aku tidak ingin siapapun kerepotan karenaku. "Kita ini keluarga Lun. Iya, kan, Mas?" ucap tante Erly meminta pembenaran pada om Juna. "Iya. Kamu udah kita anggap sebagai putri kami, Lun. Jadi jangan pernah berpikir begitu," ucap om Juna lalu mengusap lembut puncak kepalaku. "Terima kasih ya Om, Tante," ucapku dengan tulus dari hatiku yang terdalam. Mendengar ucapan dari Om Juna yang seakan mendukung ucapan Tante Erly membuat perasaanku menghangat, tapi entah mengapa aku melihat senyum yang terlihat sedih dari wajah ayah. "Mas ayo makan," ucap tante Erly memanggil ayah yang terlihat melamun. Tatapan dan senyum yang ayah tunjukkan tidak seperti senyuman bahagia, ayah terlihat sedih dengan senyumnya. Jujur saja, aku tidak ingin melihat ayah seperti itu, tapi aku masih belum bisa untuk bersikap dekat dengan ayah. "Kenyang banget," ucapku mengusap perutku yang terlihat membesar karena terlalu sering makan dan tidur selama di rawat. Malam ini, Tante Erly menemaniku menginap di rumah sakit. Ayah pulang bersama Om Juna setelah Om Juna berkali-kali meminta ayah untuk menitipkanku pada Tante Erly. Om Juna, terlihat mengkhawatirkan ayah yang berkerja terlalu keras. Entah, apa pekerjaan yang ayah lakukan aku juga tidak tahu. Aku melihat Tante Erly sudah tertidur, aku bergerak perlahan agar tidak membangunkan Tante Erly karena Tante Erly memang mudah untuk terbangun jika terganggu sedikitpun. Saat menghidupkan ponselku, aku melihat sebuah pesan masuk dari Adrian. Ia bersikeras untuk bolos sekolah besok agar dapat ikut membantuku pulang yang jelas saja langsung kutolak keninginan anehnya itu. 21.34 Lun, males bgt besok upacara 21.35 Gak boleh malas 21.35 Kamu kapan masuk lagi Lun? 21.35 Lusa kayaknya, kenapa 21.36 Gada yang nyontekin Melihat tingkah Adrian membuatku tersenyum kecil, bagaimana bisa ia bilang kangen saat baru saja mereka bertemu beberapa jam yang lalu. Adrian Memanggil Aku melihat di layar ponselku nama Adrian terpampang jelas, langsung saja aku melirik Tante Erly memastikan ia masih tertidur. "Halo," ucapku dengan suara yang pelan. "Halo Luna, masih bangun?" tanya suara dari balik telepon yang aku kenal jelas. Aku mengernyitkan dahiku, padahal belum ada lima menit aku tidak membalas pesannya. Adrian terlihat bersemangat di balik telepon, aku tersenyum kecil mendengarnya. "Kenapa?" tanyaku lagi, aku heran Adrian ini sepeeri ingin memberi tahu sesuatu tapi ragu. "Kok bisik-bisik?" tanya Adrian balik. "Udah malem, nanti Tante aku bangun." "Oh, gini Lun. Em ...," ucapan Adrian terjeda membuatku makin bingung. "Apa?" tanyaku karena Adrian terlalu lama diam. "Aku cuma mau ingetin kamu untuk tidur dan istirahat Lun, biar besok bisa pulang. Selamat malam," ucap Adrian cepat lalu menutup panggilannya.. Sesaat, aku baru saja akan menyahuti ucapannya, tapi ternyata ia sudah mematikan panggilan di antara kami. Aku menggelengkan kepalaku heran. Semakin mengenal Adrian, banyak hal yang aku tidak pernah bayangkan akan ada di sosok Adrian. 21.45 Tidur ya Lun, see you tomorrow Pesan dari Adrian tadi kubiarkan, hanya k****a tidak kubalas. Aku meletakkan kembali ponselku saat kulihat Tante Erly yang terbangun. "Belum tidur, Lun?" tanya Tante Erly masih dengan posisinya yang berbaring di sofa. "Ini mau tidur, Tan," ucapku, menarik selimutku. "Ya udah, tidur ya. Biar besok bisa pulang," balas Tante Erly. Aku mengiyakan lalu menutup mataku perlahan, membawa diriku menuju alam mimpi. Aku membuka mataku kembali ketika mendapati diriku tidak bisa tidur, entah mengapa aku yang tadinya mengantuk mendadak menghilang. Padahal, tadi aku sudah beberapa kali menguap tapi sekarang malah seakan tidak merasakab kantuk sama sekali. Udara dingin malam ini yang harusnya cocok untuk tidur dengan nyenyak, aku merasa diriku tidak tergoda untuk tertidur. Seakan menantang diriku, mataku terasa mampu bertahan hingga pagi. Pikiranku kembali, mengingat Adrian. Belakangan ini, aku sedikit berharap kepada Adrian. Meskipun belum sepenuhnya aku bisa menerima Adrian, tapi tidak dapat aku pungkiri jika Adrian adalah salah satu alasan mengapa aku menunggu hari di mana aku bisa masuk ke sekolah kembali. Memang benar, jika aku terlalu egois untuk seperti ini. Tapi, trauma dengan pertemanan juga dengan setiap hinaan yang harusnya anak seusiaku alami membuatku menjadi lebih kuat untuk membentengi diriku sendiri. Padahal, sebenarnya dulu Om Juna dan Tante Erly tahu aku di bully ia bahkan memintakku untuk sekolah di luar negeri saja. Itu tidak susah bagi mereka, memintaku melupakan biaya karena kasih sayang tanpa batas mereka. Namun, aku meyakinkan jika aku bisa bertahan dan baik-baik saja, hingga akhirnya Om Juna dan Tante Erly berusaha memahamiku. Mereka bahkan berada di garis terdepan jika ada seseorang yang menyakitiku, itu hal besar yang sanpai saat ini sangat aku syukuri. Pernah dulu aku pindah sekolah karena ikut dengan Om Juna yang harus mengawasi cabang di kota lain, saat itu bahkan aku mempunyai seseorang yang kusebut pacar pertama kalinya. Tapi, pada akhirnya saat mereka tahu jika aku adalah anak dari seorang pembunuh. Saat itu juga semua orang menjauhiku dan menganggapku sebagai seseorang yang menjijikan untuk didekati. Padahal, harusnya aku tengah jatuh cinta atau patah hati karena cinta onyet tetapi aku malah mendapatkan panggilan yang hingga saat ini bahkan melekat kepadaku. Luna si anak pembunuh. Begitulah, aku tidak bisa menerima Adruan begitu saja. Meski jika Adrian memang benar-benar tulus. Tapi bagiku tidak semudah itu membuka kepercayaan bagi orang lain. Semakin dewasa, bagiku kini pertemanan bukan hanya seseorang yang berada di samping aku atau mendengarkan keluhkesahku. Tapi bagiku, aku membutuhkan teman yang bisa selalu mendukung apa pun yang aku lakukan. Seseorang yang tidak mengatakan apa yang kulakukan itu buruk, tapi mendukung apa yang kulakukan. Aku membutuhkan orang yang mengatakan salah jika aku memang salah dan benar jika aku memang benar. Bukannya diam dan membiarkanku terjatuh. Juga teman yang akan memelukku erat ketika aku terjatuh, mendekapku dan mengatakan aku akan baik-baik saja. Bukan teman yang menyalahkanku jika aku salah dan meninggalkanku jika aku terpuruk. Tanpa aku sendiri sadari, aku sendiri yang membuat diriku jatuh karena membuka diri terhadap Adrian. Padahal, sekuat tenaga aku menepis tapi tetap saja terlalu sulit untuk menepis kehadiran Bian di sini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN