BAB 41

1412 Kata
Sedari tadi aku menatap bingung tante Erly yang tidak menjawab pertanyaanku, tidak biasanya tante Erly seperti ini padaku. Biasanya, tante Erly selalu menjawab pertanyaan yang ajukan namun saat ini ia hanya diam seribu bahasa. Aku merasa sangat aneh, hari ini tante Erly seakan tidak ingin sama sekali menjawab pertanyaanku tentang ayah. Firasatku juga mengatakan jika ada sesuatu yang tengah terjadi pada ayah, namun aku tidak tahu itu apa. Apalagi tante Erly masih menutup erat mulutnya, padahal aku sudah terus bertanya.. Tante Erly terlihat terus saja menghindar membuatku semakin curiga, aku tidak tahu apa yang sudaj terjadi sebenarnya. Menanyai tante Erly tidak memberiku jawaban dan ia hanya terus - terusan membisu. "Tante jawab Luna," ucapku lagi menatap dalam mata tante Erly, aku terus menanyakannya meskipun tante Erly masih enggan menjawab. Tante Erly masih diam bergeming, ia memijat perlahan keningnya. Respon tante Erly benar - benar tidak dapat di duga Salsa. Rasanya terlalu aneh, tante Erly terlihat seakan menyembunyikan sesuatu. Padahal, biasanya saat Salsa bertanya tante Erly akan tersenyum lebar sambil menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Salsa tapi sekarang ia bahkan menutup rapat mulutnua dariku. "Tante, Ayah gak kenapa-kenapa 'kan?" tanyaku menatap dalam mata tante Erly mencari jawaban, berulang kali aku mencoba bertanya berulang kali pula tante Erly hanya diam malah terkadang ia mengalihkan pembahasan. Semakin aku menatap dalam mata tante Erly, ia juga semakin mengalihkan tatapannya dariku. Tidak biasa - biasanya ia bertindak seperti ini, rasanya ini terlalu berbeda. Aku menarik napasku dalam rasanya aku ingin menyerah bertanya kepada tante Erly, ia terus - terusan menghindar dan membuatku merasa kesal karenanya. "Luna," ucap tante Erly lemah, ia akhirnya menatap ke arah mataku namun setelah memanggil namaku ia terdiam lagi. Aku menatap Adrian, tapi sama saja. Adrian bahkan membatu, tidak berbicara sedikitpun. Ia hanya diam, seakan mulutnya terbungkam dengan rapat. Aku memegang kepalakh yang terasa pusing, "kenapa Tante kelihatan gusar, apa yang sebenarnya terjadi?" tanyaku lagi sambil berusaha membujuk tante Erly. Gelengan kepala aku terima sebagai jawaban, "tidak ada apa - apa, Ayah kamu sedang sibuk berkerja. Kamu hanya perlu istirahat ya," ucap tante Erly mencoba untuk membuatku percaya dengan ucapannya, padahal aku tahu jelas ada sesuatu yang di sembunyikan. "Tante aku mau ketemu Ayah, ada di mana Ayah?" tanyaku lagi, aku mengambil tangan tante Erly lalu mengenggamnya. Mataku menatap dalam ke mata tante Erly, aku benar - benar cemas saat ini. "Ayah gak kenapa - kenapa 'kan?" tanyaku mencari jawaban di mata tante Erly. Perasaanku mendadak menjadi bercanpur aduk saat aku menyadari jika tidak ada Ayah di sini, padahal biasanya jika sesuatu terjadi padaku Ayah adalah orang pertama yang akan datang kepadaku. "Tante tolong bicara," ucapku mengambil tangan tante Erly, ia masih diam namun aku merasakan jika tubuhnya bergetar. Tante Erly menangis, ia mengencangkan genggamannya pada tanganku. Saat ini aku makin bingung, pikiranku semakin tidak karuan. Melihat tante Erly yang menangis, aku benar - benar yakin jika sesuatu memang terjadi. Aku memaksakan diri untuk bangun tapi tidak bisa karena tubuhku yang lemah, aku menangis pikiranku kini dipenuhi hal-hal negatif. Aku mengenggam erat tangan tante Erly, mencoba untuk membuatnya menceritakan kepadaku apa yang sebenarnya terjadi. "Tante ada apa?" tanyaku dengan nada sedikit meninggi, aku sudah bertanya dengan segala macam kesabaran namun aku tidak mendapatkan jawaban, padahal aku sudah sadar jika ada sesuatu yang mengkhawatirkan. "Tante akan bawa kamu ke Ayah kalau kamu sudah sembuh," ucap tante Erly terdengar tegas, ia membalas genggamanku dengan erat berusaha meyakinkanku. "Tapi Tante, aku mau ketemu sekarang," tolakku karena aku tidak bisa untuk tidak menghiraukan kecemasanku terhadap kondisi ayah. Apalagi aku sudah tidak sadar selama beberapa hari, saat aku bangun malah ayah orang pertama yang tidak aku lihat ada di dekatku. Ini bukan kebiasaan ayah, tidak mungkin ayah tidak segera mendatangiku jika tahu aku sudah sadar. Makanya, sulit untukku mempercayai ucapan tante Erly. Aku juga ingin menanyakannya pada Adrian, tapi aku yakin jika dia akan sama diamnya dengan tante Erly. Itulah sebabnya aku terus menanyakan tante Erly, karena aku yakin dia yang tahu pasti tentang keadaan ayah. "Tidak bisa Luna," ucap tante Erly menolak dengan tegas. "Kalau Luna gak boleh ketemu Ayah, Luna minta tante bilang ke Ayah buat ke sini sekarang juga. Kalo memang ayah tidak apa - apa dia pasti segera ke sini kalau tahu aku sudah sadar," ucapku berteriak, aku tahu aku salah karena berteriak kepada tante Erly tapi aku ini seorang anak yang wajar saja jika mencemaskan orangtuanya. Aku menangis tak mampu menahan kesedihan, cobaan macam apa lagi ini Tuhan. Rasanya, aku bahkan tidak mampu bernapas karena dadaku yang terlalu sesak. "Kamu bisa bertemu saat kamu sembuh," ucap tante Erly lalu keluar kamar meninggalkanku. Aku dapat melihat jika tante Erly keluar sambil mengusap air mata yang juga turun di pipinya. Aku semakin panik, mataku menatap nanar ke arah tante Erly dan Adrian bahkan tubuhku seakan bergetar karena takut sesuatu hal terjadi kepada ayah. "Adrian, Ayah kenapa?" tanyaku, kali ini perasaanku benar-benar terasa tidak enak. "Ayah kamu gak kenapa-kenapa, karena ada sedikit luka jadi harus di rawat. Kamu cepet sembuh ya, biar bisa melihat Ayah," ucap Adrian menjelaskan kondisi ayah sambil menenangkanku. Genggaman tangannya bahkan tidak ia lepas sejak tadi. Pikiranku kali ini kalut, mau bergerak aku tidak bisa. Tidak ada hal yang bisa aku lakukan selain menunggu, perasaanku benar-benar kacau. Aku takut jika aku sudah membahayakan nyawa ayah, apalagi saat ayah menggantikanku untuk tertembak. Ini benar-benar membuatku merasa sesak yang teramat di dadaku. Seberusaha apapun, tante Erly masih menutupinya padaku. Tidak ada cara lain selain aku berpura - pura percaya dengan omongan mereka. Tante Erly menarik napasnya dalam, "Tante akan urus administrasi kamu," ucap tante Erly lalu keluar dari kamar rawatku. Adrian mengusap air mataku yang turun, sikapnya tidak berubah sedikitpun meski ia tahu jika aku memiliki penyakit yang parah. Setelah mengetahui semua ini, aku merasa sangat bersalah kepada Adrian karena hanya merepotkanya terus-terusan. "Tenggorokanku kering tolong bantu aku minum," ucapku pada Adrian. Adrian melepaskan sejenak genggaman tangannya, mengambil sebotol air mineral. Ia memasukkan pipet ke dalam botol untuk memudahkan aku meminum. Perlahan aku menyesap air mineral itu, tenggorokanku yang sebelumnya kering kini mulai kembali seperti biasa. "Kamu mau makan?" tanya Adrian menatap dalam ke arahku. Perutku terasa sakit, ditambah lapar karena sepertinya aku sudah cukup lama tidak makan setelah makanan terakhirku. "Ada bubur, aku suapin ya." Aku mengangguk, memperhatikan Adrian yang dengan telaten membuka bungkus bubur dan memindahkannya ke dalam mangkuk. Garis wajah Adrian membuatku kagum dengan bentuk wajah yang terlihat gagah, alis yang tidak terlalu tebal namun tidak tipis juga. Mata sipit Adrian seakan memberi nilai tambah pada wajahnya yang terlihat lebih seperti karya seni. "Udah puas ngeliatin ketampanan aku?" tanya Adrian dengan percaya diri membuatku menjadi tersenyum malu. "Gak perlu malu, karena kayaknya cuma kamu yang bisa ngelihat ketampanan aku." Aku tersenyum mendengar candaan yang dilemparkan oleh Adrian. Bahkan, masih sempat baginya untuk bercanda di kondisi apapun. Adrian adalah Adrian. Hingga saat ini, aku selalu bersyukur ia tidak pernah berubah. Semoga saja, Adrian tetap seperti ini dan tidak pernah berubah. "Udah Luna, ngeliatin ketampanan aku gak bikin kamu kenyang. Sini buka dulu mulutnya," ucap Adrian menghentikan pikiranku yang memang selalu tertuju padanya. Mulutku terbuka menerima suapan demi suapan bubur yang diberikan Adrian, sambil menyuapiku ia ia juga tidak henti menceritakan banyak hal padaku. Namun, kali ini aku lebih tertarik pada hal lain. Aku menjadi lebih tertarik saat Adrian menceritakan tentang adiknya. "Jadi, Rara katanya pengen ketemu sama kamu." "Beneran?" tanyaku ikut senang, karena setelah mendengar cerita adik Adrian aku jadi ingin bertemu dengannya juga. "Iya, nanti saat kamu udah sembuhan aku aja dia ke sini." Mataku berbinar senang, aku menunjukkan jari kelingkingku dihadapan Adrian. "Janji?" Tawa pertama selain senyum yang selalu ada di wajah Adrian untuk hari ini terlihat, ia mengaitkan jari kelingkingnya dengan jari kelingkingku. "Janji," balas Adrian lalu mengelus rambutku lembut. "Aku tunggu," balasku senang. "Udah makanya habisin dulu makannya," ucap Adrian masih terus menyuapiku. "Kamu udah makan?" tanyaku, aku tidak ingin Adrian malah ikut menjadi sakit karena hanya peduli padaku dan melupakan dirinya sendiri. "Sudah, sayang." "Gak bohong 'kan?" tanyaku memastikan. "Enggak, aku beneran udah makan." Aku tersenyum lebar lada Adrian, hal hebat lain tentang Adrian adalah ketika tidak pernah marah kepadaku dan ia selalu tersenyum dengan ramah. Padahal, seharusnya pasti pernah mungkin meskipun hanya sesekali aku mengesalkan baginya tapi ini tidak. Ia selalu dengan sabar dan baik menjagaku membuatku ingin selalu menjaga Adrian sampai akhir. "Terakhir sayang," ucap Adrian memberikan aku sendokan terakhir dari bubur. "Terima kasih," balasku mengusap rambut Adrian lembut."Terakhir sayang," ucap Adrian memberikan aku sendokan terakhir dari bubur. "Terima kasih," balasku mengusap rambut Adrian lembut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN