BAB 34

1615 Kata
Malam ini, ayah menjagaku di rumah sakit. Adrian juga baru saja datang, aku memintanya untuk kembali besok saja. Karena, jika ia di sini bisa saja ia ikut kecapekan. Lagian, ayah juga tidak ingin merepotkan Adrian selagi dirinya bisa. Ayah besok libur karena pekerjaanya sudah ia kerjakan dengan cepat beberapa hari ini, itu sebabnya ayah bisa libur karena ia sudah mengurangi pekerjaanya untuk beberapa hari ke depan dengan cara mengerjakannya lebih dulu, itu yang aku dengar dari cerita ayah. Adrian juga sama keras kepalanya, ia akan pulang tapi menolak untuk pulang sekarang. Aku menghebuskan napas lelah tidak bisa membantah Adrian yang semakin hari semakin keras kepala. "Luna, ayah pulang sebentar ya. Mau ambil baju ganti buat besok kerja, sekalian baju kamu. Gak apa - apa 'kan kalau ditinggal sebentar," ucap Ayah yang menatap cemas ke arahku. Daripada ayah yang mencemaskan keadaanku, aku juga lebih mencemaskan keadaan ayah karena harus bolak balik dari rumah ke rumah sakit, padahal ia juga harus berkerja dan mengurus keperluan lainnya. Rasanya, aku menyesal mengapa aku memiliki imun yang lemah sehingga mudah sekali sakit. Padahal, setiap kali aku sakit ada banyak orang yang nantinya akan aku repotkan. "Oh, ya udah gak apa-apa. Ayah jangan terlalu terburu-buru, Luna juga gak sendirian. Adrian ada di sini," ucapku menunjuk ke arah Adrian yang tersenyum canggung nenatap ayah, sedari tadi ayah menatap penuh selidik ke arah Adrian membuatku terus menerus menahan tawa karenanya. "Iya, Luna. Eh, iya, Adrian. Om titip Luna ya, sampe Om kembali lagi. Jangan macem - macem," ucap Ayah menatap tajam ke dalam mata Adrian. Adrian tersenyum canggubg, aku yakin sekali Adrian kesulitan bernapas karena terus - terusan ditatap dengan tatapan penuh selidik oleh ayah. "Siap Om, serahin saja ke Adrian. Luna akan selalu Adrian pantau," ucap Adrian dengan kekehan. "Ya udah, Ayah pulang dulu." Pamit ayah, lalu ia berjalan keluar dari kamar. Aku dan Adrian sama-sama menatap pintu, mengekori gerakan ayah hingga akhirnya menghilang. Aku mengambil remot televisi lalu mengganti saluran, aku ingin mencari acara yang menarik namun tidak menemukannya. Belakangan acara di televisi terlalu membosankan, banyak sineteron - sinetron tidak jelas. "Masih sakit Lun?" tanya Adrian, aku menggeleng sambil menatapnya. Aku meletakkan kembali remot di nakas samping tempat tidurku, kuputuskan untuk menyalakan televisi dengan saluran acak agar tidak terlalu merasa sepi. Suara dari televisi cukup membuatku merasa senang karena setidaknya aku tidak merasa sepi, meskipun aku tidak mengerti apa yang mereka bicarakan di dalam televisi itu. "Udah gak apa-apa kok, udah baikan." Aku tersenyum lebar, karena memang aku sudah merasa jauh lebih baik. "Kalo mimisan masih?" tanya Adrian lagi, hari ini Adrian terlalu banyak bertanya menurutku, ia seakan penasaran dengan banyak hal. "Masih, tapi udak gak sesering itu. Udah baikan banget malah," ucapku menatap Adrian yang tengah memeriksa ponselnya. Syukurlah aku semakin membaik, itu yang dikatakan oleh dokter. Meskipun sesekali aku masih mimisan namun itu tidak sebanyak biasanya, aku hanya perlu menyeka dan menunggu sebentar lalu mimisaku pun hilang. Tidak seperti biasanya yang mengharuskanku mengambil berkali - kali tisu lalu berusaha untuk menyekanya karena terlalu banyak darah yang keluar, tadi juga aku dengar hasil tes darahku juga lebih baik. Entah sudah keberapa kalinya aku menjalani tes hingga rasanya tanganku begitu kaku karena sering tertusuk jarum, bekasnya juga ada yang masih terlihat. "Oh gitu, eh iya besok undangan buat perpisahan dibagiin. Aku besok ke sekolah dulu ambil undangan kita ya, nanti baru ke sini. Paling agak siangan, gak apa-apa?" tanya Adrian menatap cemas ke arahku, mungkin ia memikirkan jika besok aku harus sendirian apalagi besok ayah juga bekerja. "Iya gak apa-apa lah, emang kenapa? Aku biasa kok sendirian selama ini, jadi jangan pikirin aku. Lagian juga cuma sebentar 'kan," ucapku mencoba untuk membuat Adrian tidak merasa cemas, malah dibanding dengan kemarin, hari ini kondisiku benar - benar jauh lebih baik. "Itu mah kamu yang minta dipikirin," ucap Adrian dengan nada seakan mengejekku membuat kami sama-sama tertawa. Adrian mengupas buah dan memberikannya kepadaku, ia juga memakannya sendiri. Kami mengobrol banyak hal sambil memakan buah yang dikupas oleh Adrian. "Adrian, kok aku pusing banget ya?" ucapku tiba-tiba merasakan kepalaku yang sakit dan pusing. Adrian langsung dengan cepat meletakkan buah dan pisau yang ia pegang lalu mengelap tangannya menggunakan tisu. "Aku bantuin kamu baring," ucap Adrian langsung menurunkan kasurku dan membantuku membaringkan tubuhku. "Aku panggil dokter bentar," ucap Adrian hendak pergi namun tertahan olehku yang menarik lengannya. "Gak usah, pusing dikit bentar lagi pasti hilang. Aku masih bisa tahan kok," ucapku dengan senyum kecil, aku ingin mencoba membuat Adrian tidak mencemaskanku meskipun rasanya kepalaku memang sangat pusing tapi jika aku terlihat mengeluh Adrian yang pasti akan lebih mencemaskan aku. "Gak bisa Lun, aku harus panggil dokter. Aku gak mau kamu kenapa-kenapa, kamu tunggu di sini." Adrian melepaskan tanganku yang menahan lengannya dengan lembut, lalu berjalan dengan tergesah keluar dari kamar. Beberapa saat kemudian, Adrian kembali dengan seorang dokter dan beberapa perawat. Mereka langsung mengecek kondisiku melalui alat-alat yang aku tidak tahu dengan pasti apa fungsinya, sesuatu seperti senter dengan cahaya diarahkan kepadaku. "Apa kamu kesulitan napas?" tanya Adrian menatapku cemas, wajahnya terlihat serius sekarang. Aku mencoba menarik napasku, saat aku melakukannya aku merasa napasku memang sedikit sesak. Dadaku terasa penuh dan napasku tertahan, aku tidak bisa menarik napas panjang. Jika memaksa dadaku akan terasa sakit tiba - tiba dan membuat kepalaku menjadi pusing. "Sedikit dok," ucapku jujur karena memang aku tiba-tiba menjadi kesulitan napas. "Oksigennya dipasang lagi," ucap dokter tadi yang langsung dipatuhi oleh perawat. Padahal baru saja pagi tadi aku melepaskan oksigen dari hidungku namun sekarang aku harus mengenakan oksigen lagi di hidungku, tapi aku tidak ada pilihan lain karena memang napasku yang terasa sesak. "Kayaknya demam lagi, tapi belum terlalu panas. Nanti obat buat nurunin demamnya disuntikkan ya, sama pakai oksigen dulu. Nanti 3 jam lagi saya cek apakah udah membaik," ucap dokter tadi yang langsung kujawab anggukan. Perawat memasangkan oksigen pada hidungku, menbuatku perlahan mulai dapat bernapas kembali dengan nyaman, namun katena itu aku jadi tidak bisa berbicara dengan Adrian. Setelah perawat keluar Adrian duduk dan terus menggenggam tanganku, aku hanya bisa membalas dengan menggenggam kembali tangannya. Ia bahkan terus mengajakku berbicara meski tahu jika aku tidak sepenuhnya bisa menjawab, hanya sesekali menggeleng atau mengangguk. "Kamu istirahat dulu, jangan banyak pikiran. Udah merem aja," ucap Adrian menatap nanar ke arahku, aku hanya bisa diam dan mengikuti apa yang disarankan oleh Adrian. Beberapa saat kemudian aku membuka mataku lagi, "gak bisa tidur?" tanya Adrian yang seakan mengerti. Aku mengedipkan mataku membenarkan ucapan Adrian, ia langsung mengenggam tanganku mencoba untuk membuatku merasa sedikit lebih tenang. Entah sudah berapa lama kami dalam posisi seperi ini, hingga pintu terbuka dari luar. Tubuh tinggi jakung ayah keluar dari balik pintu itu dengan beberapa bawaan ditangannya. "Loh, kok pakai oksigen lagi? Kamu kenapa?" tanya Ayah yang baru ssja datang, ia berbicara dengan nada paniknya. Ayah langsung berjalan mendekatiku dan memperhatikan kondisiku, ia terlihat sedih melihatku yang memasang kembali oksigen di hidungku. Padahal, saat tadi pagi aku menelpon ayah karena oksigenku terlepas ayah terdengar sangat senang sekali. "Luna kenapa Adrian?" tanya Ayah lagi karena tidak mendapat jawaban dariku. "Tapi katanya pusing Om, terus Adrian panggilin dokter. Katanya Luna demam dan kesulitan bernapas, makanya dipakein oksigen lagi." Adrian berusaha menjelaskan kondisiku pada Ayah karena aku yang masih kesulitan untuk berbicara. Aku hanya mengangguk membenarkan semua ucapan Adrian, ia bahkan menjelaskan dengan baik pada ayah. Persis seperti penjelasan yang diberikan oleh dokter. "Tapi, Om jangan cemas. Kalo napas Luna udah teratut lagi, dalam 3 jam akan dibuka oksigennya." "Ya ampun, terima kasih Adrian. Kalau gak ada kamu, Om gak tahu harus gimana." Ayah menepuk pundak Adrian hangat, bahkan aku dapat melihat ayah memperlakukan Adrian seperti anaknya sendiri. Melihat itu, membuatku merasa senang. "Sama-sama, Om." "Ya udah, kamu istirahat ya. Jangan banyak pikiran," ucap Ayah lalu menarik selimut untukku. Aku menuruti perintah ayah dan memejamkan mata, karena tidak ada pilihan yang aku punya selain istirahat karena aku sendiri yang bisa merasakan efek dari sakit ini jika terus memaksakan diri. "Kenapa nangis," ucap Ayah melihat air mata yang turun dari sudut mataku. Aku juga sebenarnya tidak tahu alasan mengapa aku menangis, rasanya perasaanku terlalu mudah goyah. Air mata yang turun saja aku tidak bisa mengendalikannya, padahal aku tidak ingin semua orang lebih mencemaskanku. Di depan semua orang, setidaknya aku harus terlihat baik - baik saja. Jika aku menunjukkan kelemahanku di depan semua orang, aku tahu bukan aku yang nantinya akan merasa sedih tapi orang lain yang nantinya malah akan merasa sedih karenaku. "Udah jangan nangis, kamu gak apa - apa. Ini bawaan kamu demam aja,", ucap Ayah lagi - lagi mencoba untuk menenangkanku. Padahal, aku yakin sekali saat ini ayah kebih frustasi daripadaku. Perasaanya lebih banyak terluka dan beban pikirannya bertambah karena aku. "Adrian, kamu sebaiknya pulang dulu ya. Kamu besok ke sini lagi, Om gak mau kamu malah jadi pasien lain di sini." Adrian awalnya ingin menolak dan tetap ingin tinggal di sini, tapi benar apa yang dikatakan ayah aku juga tidak ingin jika nanti Adrian malah menjadi pasien lain hanya karena aku. "Baik Om, tapi tolong kalau ada apa - apa jangan sungkan buat hubungi Adrian. Om bisa ngadelin Adrian," ucap Adrian tegas, mendengarnya membuatku lagi - lagi merasa bersyukur. "Iya, pasti Om akan kabarin kamu. Hati - hati di jalan," ucap Ayah, aku mengangguk dalam hati aku juga berharap Adrian berhati - hati dan sampai di rumah dengan selamat. "Aku pulang dulu ya Om, Luna," ucap Adrian berpamitan denganku dan Ayah. Setelah itu Adrian pulang ke rumahnya, sedangkan ayah masih menungguiku. Ia bahkan tidak bergerak barang sejenakpun, membuatku jadi merasa kecewa pada diriku sedniri karenanya. "Kamu pejemin mata kamu, jangan pikirin apa pun dan tidur. Ayah ada di sini," ucap Ayah mengenggam tanganku. Mataku perlahan kupejamkan, dengan banyak usaha akhirnya aku bisa tertidur untuk beberapa saat mengistirahatkan tubuh dan pikiranku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN