BAB 37

1608 Kata
Aku mencoba mengatur napasku yang semakin berat, entah kenapa setiap aku menarik napas dadaku terasa seakan tertekan dan sakit. Membuatku harus menahan sakit karena berusaha menarik napas dengan dalam, kepalaku juga semakin sakit karena Anggi yang sedari tadi menarik rambutku. Beberapa kali aku terbatuk, udara yang kurasakan sangat buruk dan berdebu. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, aku menatap Anggi meminta pertolongan kepadanya. Jantungku juga berdegup dengan kencang dan aku bisa merasakannya dengan jelas. "Kenapa? Susah napasnya?" tanya Anggi dengan tawa kecil, ia tahu apa yang aku rasakan namun tidak memperdulikannya sama sekali. Senyum kecil muncul di bibirnya, "ambilin air minum untuk dia, gak asik 'kan kalau dia mati sekarang," ucap Anggi memberi perintah kepada anak buahnya. Anak buah Anggi langsung mengikuti perintahnya, mereka memberikan aku air mineral meski rasanya aku ingin menolak tapi aku juga membutuhkan itu. Setelah beberapa saat Anggi mendekatiku lagi, kali ini ia mengusap rambutku perlahan. Ia memengangi rambutku perlahan, lalu menariknya membuatku meringis kesakitan. "Sakit," ucapku lebih seperti menggumam karena memang rasanya sakit sekali saat rambutku ditarik oleh Anggi. Saat Anggi melepaskan tangannya dariku, aku dapat melihat rambutku yang rontok jatuh dari tangan Anggi. Sakit sekali rasanya, tapi mau bagaimana lagi jangankan untuk melawan bahkan berteriak juga aku gak bisa. "Gue belum selesai ngobrol, kayaknya udah lama kita gak ngobrol ya. Lo pasti kangen 'kan sama gue," ucap Anggi dengan senyum lebar, jika saja situasinya tidak seperti ini aku dengan senang hati menyukainya namun karena kondisinya berbeda aku sangat membenci senyuman di bibir Anggi sekarang. Senyum di bibir Anggi membuatku semakin waspada, aku tidak tahu hal gila apa lagi yang akan ditunjukkan oleh Anggi. Aku benar - benar tidak bisa berbuat apapun saat ini, syukur - syukur ketika aku bisa bernapas dengan lebih baik sekarang. Anggi juga terlihat seakan tidak ingin melepaskanku, matanya terlihat marah dan wajahnya bahkan terlihat lebih kejam menurutku. Senyum di bibir Anggi tidak terlihat cantik tetapi terlihat sangat sinis. "Lepasin aku Anggi, aku janji akan maafin kamu. Aku janji bakal bicarain masalah Papa kamu dengan om Juna," ucapku berusaha untuk membujuk Anggi yang malah sekarang menertawakan ucapanku. "Hahahaha ... apa lo bilang, lepasin? Lucu banget ya," ucap Anggi diiringi dengan tawanya yang memenuhi ruangan sunyi. Anggi menatapku ia bahkan masih tertawa saat aku berkali - kali meminta untuk dilepaskan olehnya, hati Anggi seakan tertutupi oleh kebencian yang ia rasakan. "Iya lepasin gue, gue janji bakal bantu masalah Papa lo sama om Juna. Tapi lepasin gue," ucapku mencoba membuat penawaran, aku tidak memiliki rencana lain yang bisa aku gunakan untuk membebaskanku saat ini. Anggi bangkit dari duduknya tiba - tiba, "kalo ga salah, papa tadi bawa gunting 'kan?" tanya Anggi pada papanya yang sedari tadi menonton kami. "Ini maksud kamu?" tanya papa Anggi sambil mengangkan sebuah gunting berukuran sedang. "Iya, aku pinjam dulu ya Pa. Aku mau main sama dia," ucap Anggi yang layaknya sudah seperti psikopat, aku benar - benar takut saat ini. Memang, sedari tadi aku berusaha untuk terlihat kuat agar Anggi tidak bisa menindasku sesukanya. Tapi sepertinya ini tidak berpengaruh sama sekali terhadap Anggi, ia malah semakin menjadi - jadi. Anggi mengambil gunting dari tangan papanya, ia berjalan mendekatiku membuatku mencoba untuk mundur meskipun aku tahu aku tidak bisa mundur sama sekali. "Kamu mau apa?" teriakku saat Anggi mendekat kepada papanya dan mengambil gunting yang tadi angkat oleh ayahnya. "Udah sebaiknya lo diam aja, gue akan buat lo cantik. Lo 'kan suka jual diri," ucap Anggi menghinaku, rasanya perasaanku semakin kacau apalagi Anggi terlihat berani dan tidak segan - segan melakukan apapun. Anggi mendekat kepadaku, membuatku berteriak menolak. "Berisik, banget sih. Tutup mulutnya," perintah Anggi membuat salah satu pria kekar dari belakangku mendekatiku dan menempelkan kembali lem yang sama seperti sebelumnya ke mulutku. "Siap-siap untuk menjadi cantik," ucap Anggi semakin mendekat ke arahku. Aku merasa rambutku terus dipegang oleh Anggi, langsung saja aku menggelengkan kepalaku menolak tindakan yang akan ia lakukan padaku. "Bos dia mimisan," ucap anak buah Anggi yang lebih dulu menyadari keadaanku, kepalaku memang sudah terasa amat pusing tapi perlakuan Anggi yang kasar membuat rasa sakit di kepalaku semakin menjadi - jadi. Aku terdiam beberapa waktu saat baru menyadari ternyata ada banyak darah yang mengalir dari hidungku menetesi baju yang kupakai. Aku menangis sejadi - jadinya, belum selesai kepalaku terasa pusing namun saat ini aku hampir mati karena Anggi. Aku tidak mengerto harus bersikap seperti apa, hidungku terasa sangat sakit karena aku terus menangis. Anggi terlihat sama sekali tidak peduli denganku, ia bahkan terlihat semakin bersenang - senang. Dalam hatiku terus berdoa agar Ayah, Adrian atau om Juna segera menemukan aku. Aku menangis, sakit ditubuhku mendadak menjadi berlipat ganda. "Jangan cemas, gue tau kalo dia udah sering gini. Nanti juga baik sendiri," ucap Anggi percaya diri, ia bahkan sudah memegang rambutku berniat meneruskan kegiatannya. Rambut dikepalaku terasa tergenggam, benar saja dengan dugaanku. Anggi memotong rambutku dengan bentuk yang tidak beraturan. Pertama, ia menarik rambut bagian belakang dan mengguntingnya entah bagaimana bentuknya namun aku dapat nerasakan angin yang dapat menembus leherku. Aku yakin, jika kini rambut bagian belakangku sudah sangat pendek.Kali ini, aku dapat melihat rambutku yang rontok jatuh dari tangan Anggi. Sakit sekali rasanya, tapi mau bagaimana lagi jangankan untuk melawan bahkan berteriak juga aku gak bisa. Kini, tangan Anggi bergerak menuju bagian samping rambutku. Aku tidak bisa melakukan pemberontakan karena aku merasakan tubuhku sudah semakin lemah. "Sebelah sini gaya apa ya?" ucap Anggi seaakan-akan bertanya pada dirinya sendiri, ia bahakn tersenyum lebar ketika sedang mengatur rambutku. Pasrah. Hanya itu yang dapat aku lakukan sekarang saat gunting itu menjatuhkan rambutku yang terpotong. Mataku tiba-tiba menjadi kabut lagi. Serasa kepalaku di jatuhi sebuah batu, aku merasakan kegelapan pada mataku membuatku langsung tidak sadarkan diri. Saat itu, yang kuingat adalah suara tawa besar yang keluar dari mulut Anggi. *** "Kalau dia mati gimana bos?" tanya anak buah Anggi dengan nada suara yang cemas. "Kita buang saja ke laut," ucap Anggi seakan tidak ada beban, terlalu mudah baginya berbicara seperti itu. "Tapi bos, bukannya akan berbahaya." "Kamu saya bayar, jadi ikuti saja perintah saya. Mengerti!" ucap Anggi ketus menekankan pada anak buahnya. Aku mendengar samar-samar obrolan yang lewat indra pendengaranku, kepalaku cukup berat saat ini untuk kuangkat. Suara Anggi tiba - tiba masuk ke telingaku, ia terlihat gusar. "Pa, gimana ini? Dia masih belum sadar?" tanya Anggi setelah berjalan menuju papanya yang sedari tadi diam dan hanya menonton apa yang terjadi. Kali ini aku mendengar suara papa Anggi yang tidak kalah cemas dari anak buahnya, Anggi awalnya memang terdengar kuat dan tidak memperdulikan diriku tapi sekarang Anggi malah berbicara dengan suara yang sedikit bergetar memgenai keadaanku. "Sabar aja, kalau memang sudah tewas kita buang," ucapnya datar namun terdengar ada kepanikan dalam ucapannya itu "Iya, pa." "Sekarang siram lagi gadis itu," perintah Anggi yang langsung saja dituruti oleh anak buahnya. Aku merasa tubuhku semakin dingin, bahkan aku kini sudah gemetar. Kali ini pipiku sakit bukan karena tamparan tangan, tapi tamparan air yang dilemparkan padaku. Aku meringis mencoba menggerakkan tubuhku, mereka bahkan terus menyiram tubuhku tanpa berhenti. Aku merasa dingin di saat bersamaan dengan guyuran itu, perih aku rasakan di sekujur tubuhku. "Udah, dia udah sadar," ucap anak buah Anggi menghentikan kegiatannya yang menyiram tubuhku. Aku mengangkat kepalaku lemah, pandanganku kini tidak jelas. Bahkan aku tidak dapat melihat apa yang ada di depanku dengan jelas. Anggi memegangi pipiku, ia menatapku dengan pandangan tajamnya. "Buka lem di mulutnya," perintah Anggi lagi. Rasa peri atas tarikan lem tidak lagi membuatku meringis, tubuhku terlalu banyak menahan rasa sakit hingga tidak bisa lagi menunjukkan rasa sakit. "Beri dia air minum, Anggi" ucap papa Anggi yang awalnya mendapatkan penolakan dari Anggi. Kulihat dari jauh seseorang berjalan mendekatiku, namun aku masih tidak bisa melihat secara jelas. Anak buah Anggi menyodorkan botol air mineral kepdaku, aku hendak melepaskannya. Meskipun Anggi sudah melepaskanku, aku masih kesulitan menggerakkan tanganku karena aku merasa seluruh tubuku kaku saat ini. "Minum," ucap suara dihapanku yang kini aku yakini adalah Anggi. Aku kesulitan minum, karena Anggi yang memrgangi botol minum secara kasar. Bahkan, rasanya lebih banyak air yang tumpah daripada yang aku minum. "Bagaimana, seru 'kan permainannya?" tanya Anggi yang terlihat senang setelah mengetahui jika aku sudah sadar. "Tolong lepasin aku," ucapku lirih aku hanya bisa meringis. Perutku terasa sangat sakit, bahkan aku dapat merasakan jika mimisanku masih mengalir meski tidak sebanyak tadi. "Apa? Lepasin? Lucu banget lo!" bentak Anggi yang membuatku terkejut. "Aku akan bilang ke om Juna buat nyelesain ini semua dengan damai," ucapku mencoba meyakinkan papa Anggi. "Tolong lepasin aku," ucapku lirih aku hanya bisa meringis. Perutku terasa sangat sakit, bahkan aku dapat merasakan jika mimisanku masih mengalir meski tidak sebanyak tadi. "Apa? Lepasin? Lucu banget lo!" bentak Anggi yang membuatku terkejut. "Om dari tadi merhatiin, Om dengerkan apa yang saya janjikan. Saya beneran janji akan bilang ke om Juna buat nyelesain ini semua dengan damai," ucapku mencoba meyakinkan papa Anggi, aku melihat ada sebuah harapan dari mata papa Anggi. "Kamu kira saya bodoh!" bentak papa Anggi kasar, entah kenapa papa Anggi seakan tidak mempercayaiku. "Sepertinya dia masih ingin bermain bersama kamu Anggi," ucap papa Anggi yang membuatku terdiam membeku. "Dengan senang hati, Pa." Anggi kini menggunting pakaianku, membuatku semakin terasa dingin. Apalagi angin yang menembus melewati rumah tak beratap ini, membuatku semakin menggigil. "Anggi tolong lepasin, aku sedang sakit." "Sakit? Gini doang sakit, lemah lo!" teriak Anggi terus menghinaku, ia bahkan menatap remeh ke arahku. Aku meringis sambil menatap Anggi memohon, tetapi sepertinya Anggi sama sekali tidak peduli dengan ucapanku. Aku menggeleng, "bukan, aku benar-benar lagi sakit." Plak!!! Darah menetes dari hidungku, lebih banyak dari tadi. Bahkan kini bercampur dengan air yang tadi mereka siram padaku. Sekali lagi, aku tidak bisa menahan rasa sakit ini. Membuatku merasakan denging di telingaku. Sebelum akhirnya aku kembali tidak sadarkan diri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN