Setengah jam telah berlalu, keadaan masih sama dan tidak ada ada perubahan apapun. Semua peringatan Rosea, semua itu di anggap angin berlalu oleh tetangganya yang kini masih berpesta.
Dua gelas kopi sudah Rosea habiskan malam ini, pekerjaan yang menumpuk masih menantinya untuk segera di selesaikan dan di periksa.
Kepala Rosea terasa berdenyut pusing menahan kesal, tubuhnya mulai lelah membutuhkan istirahat namun dia tidak bisa segera naik ke ranjangnya karena pekerjaan yang belum selesai.
Tidak ada pilihan lain, Rosea harus benar-benar menghentikan keramaian pesta tetangganya agar berkonsentrasi bekerja dan segera istirahat.
Dengan penuh keyakinan, Rosea akhirnya mengambil handponenya untuk menghubungi pihak berwajib. Rosea tidak peduli dan tidak mentoleransi lagi meski jika nanti dia dan tetangganya tidak akan akur.
Panggilan yang di buat Rosea rupanya di tanggapi dengan cukup cepat karena setengah jam setelah menelpon, dua buah mobil polisi datang dan berhenti di depan rumah tetangganya.
Rosea berdiri di balik jendela dan mengintip melalui gorden untuk memastikan apakah kali ini pestanya akan berakhir atau tidak sama sekali.
Tiga orang polisi masuk ke dalam rumah dan di sambut oleh Atlanta di teras, mereka berbicara beberapa saat, Atlanta sempat melihat ke arah rumah Rosea dan menunjuknya sambil berbicara.
Orang-orang yang tengah berpesta di lakukan pemeriksaan oleh anggota kepolisian, hingga akhirnya ada satu orang perempuan dan dua orang pria di gelandang masuk ke dalam mobil polisi.
Pesta yang meriah akhirnya berhenti, satu persatu orang mulai pergi meninggalkan rumah Atlanta, begitu pula dengan polisi yang membawa teman Atlanta.
Kini, Atlanta berdecak pinggang sendirian di depan rumahnya yang berantakan tanpa ada orang dan keramaian lagi, pria itu terlihat kesal karena kesenangannya yang sering dan terbiasa di lakukan, untuk pertama kalinya di kacaukan.
Atlanta mendongkakan kepalanya, dan tanpa sengaja dia melihat ke arah jendela kamar Rosea. Dengan sengaja Rosea langsung membuka gorden jendela kamarnya lebih banyak, wanita itu bersedekap dengan senyuman puasnya karena merasa menang.
Namun alih-alih marah karena pestanya di hentikan karena laporan yang di buat tetangganya, tiba-tiba Atlanta membalasnya dengan senyuman menawannya.
Rosea langsung menjauhkan wajahnya memasang wajah cemberut. “Sinting,” hardik Rosea seraya menutup jendela lagi. Rosea kembali ke meja kerjanya, melanjutkan pekerjaannya yang banyak tertunda.
***
Pagi-pagi sekali Rosea sudah terbangun, wanita itu menghabiskan waktunya untuk melakukan olahraga di pagi sebelum memulai aktivitasnya yang lain.
Rosea menekan layar treadmill mempercepat langkahnya menjadi berlari.
Suara ceburan terdengar di sebelah tembok pagar rumah Rosea. Jarak rumahnya dengan rumah tetangga sebelah hanya terpisah oleh dua buah pagar yang saling berdampingan, karena itu Rosea bisa mendengar suara berisik pesta semalam.
Jika mengingat kejadian pesta semalam, Rosea kini tersenyum geli mengingat bagaimana pesta yang meriah berakhir dengan kedatangan polisi, setengah jam setelah itu tetangganya memanggil banyak tukang bersih-bersih untuk merapikan rumahnya di pagi buta.
Suara ceburan air terdengar lagi menandakan tetangga Rosea tengah berenang.
Setelah lama Rosea bergerak, dia memutuskan turun dari treadmill untuk minum dan mengusap peluh keringat yang membasahi wajahnya.
“Hallo tetangga.”
“Uhuk” Rosea tersedak kaget melihat kehadiran Atlanta yang kini muncul tiba-tiba di balik tembok rumahnya. “Ada apa?” tanya Rosea sambil mengusap bibirnya dengan punggung tangan.
Atlanta tersenyum menawan, bola matanya yang kekuningan seperti emas itu terlihat terang, rambutnya yang basah meninggalkan banyak tetesan air yang membasahi wajah tampannya.
Rosea menyipitkan matanya, dia merasa terngganggu karena sejak semalam Atlanta terus-terusan tersenyum kepadanya.
“Apa senyum-senyum?” decih Rosea terganggu.
Tiba-tiba Atlanta memanjat naik tembok, melewati pagar rumahnya sambil bertelanjang d**a dan masih mengenakan celana renang dengan tubuh yang basah kuyup.
“Apa yang kamu lakukan?” teriak Rosea panik.
“Apa?” Tanya balik Atlanta yang kini melompat memasukan pekarangan rumah Rosea.
“Mau apa kamu masuk?” teriak Rosea ketakutan, Rosea khawatir jika tetangganya akan balas dendam padanya.
Dengan tenang Atlanta melangkah mendekat, pria itu berdiri di hadapan Rosea dalam jarak yang cukup dekat sampai-sampai Rosea bisa melihat tanda merah di d**a Atlanta bekas ciuman.
Rosea menarik napasnya dengan kesulitan, konsentrasinya buyar karena tidak dapat menghindar untuk mengagumi kesempurnaan fisik yang di miliki Atlanta.
Tangan kokoh Atlanta terulur mengajak bersalaman. “Kita belum berkenalan.”
Rosea terdiam dalam keterpukauannya untuk beberapa saat, dengan cepat tangannya menyambut tangan Atlanta dan menggenggamnya dengan kuat.
“Aku Atlanta, siapa namamu?”
“Rosea. Panggil Sea,” jawab Rosea terbata, dengan sangat cepat dia kembali melepaskan diri dari genggaman Atlanta.
Atlanta terdiam sejenak melihat Rosea dengan seksama, kondisinya semalam sedikit mabuk membuat dia tidak melihat wajah Rosea dengan benar. Samar kening Atlanta mengerut, pria itu teringat sesuatu yang sudah cukup lama terlupakan.
“Kamu pernah ke Botswana?” tanya Atlanta tiba-tiba.
“Ada urusannya dengan kamu?”
Atlanta menggeleng terlihat ragu untuk bertanya lebih karena takut salah orang.
“Mau apa kamu ke sini?”
“Untuk pesta semalam.” Atlanta bersedekap dengan dengan mata yang sedikit menyipit menatap penuh perhitungan. “Perlu kamu tahu, aku akan selalu mengadakan pesta sekitar satu atau dua bulan sekali di rumah. Ke depannya ku harap kamu terbiasa dengan pesta di rumahku.”
Kepala Rosea mendongkak membalasa tatapan Atlanta. “Kamu bisa mengadakan pesta selama itu tidak berisik,” jawabnya dengan enteng.
“Tidak ada pesta yang tidak berisik. Jika tidak berisik, itu bukan pesta namanya, namun smedi,” protes Atlanta dengan serius.
“Jika kamu tetap membuat pesta yang berisik. Jangan membuat pesta.”
“Itu hakku.”
“Jika kamu membicarakan masalah hak. Aku akan melaporkannya lagi seperti semalam. Aku memiliki hak untuk melapor jika terganggu,” debat Rosea tidak mau kalah.
“Apa yang kamu katakan itu berlebihan. Hidup jangan terlalu serius,” Atlanta sedikit menyindir.
Rosea langsung bertolak pinggang terlihat tidak terima, dia pindah dan membuat rumah pribadi karena ingin hidup tenang dan bebas. Jika Rosea harus mendengarkan banyak pesta yang sangat berisik mengganggunya, itu sama saja seperti masih tinggal bersama orang tuanya.
“Dengar ya. Secara hukum, siapapun bisa melaporkan tetangganya yang menyebalkan. Kamu harus tahu ya, aku bisa menuntut kamu berdasarkan pada pasal 593 KUH pidana, kamu bisa di kurung bila membuat gaduh dan riuh sehingga ketentraman tetangga kamu menjadi terganggu,” ancam Rosea tidak main-main
Atlanta mengusap wajahnya yang basah karena tetesan air dari rambutnya yang basah, bibirnya yang penuh dan sedikit basah itu sedikit terbuka saat membuang napasnya dengan gusar.
“Kamu bicara seperti itu untuk mengancam aku?” tanya Atlanta dengan suara merendah.
Bola mata Rosea memutar, “Aku tidak mengancam, hanya mengingatkan.”
Bibir Atlanta menekan, menahan perkataan yang hanya menimbulkan perdebatan panjang. Sekali lagi Atlanta mengusap wajahnya, “Baiklah, kita lihat saja nanti. Sampai jumpa.”
Dalam satu gerakan Atlanta membalikan tubuhnya dan segera pergi memanjat tembok dengan mudah, kepergian pria itu tidak lepas dari perhatian Rosea yang kini terlihat penasaran apakah tetangganganya membencinya atau tidak.
Tapi, kenapa Atlanta menanyakan Botswana?
Rosea pernah ke sana untuk membeli berlian tiga tahun yang lalu bersama kekasihnya.
***
Terik panas matahari siang itu terasa sedikit lebih menyengat dari biasanya, Prince duduk di bangku tempat pertemuannya dengan Rosea hari kemarin. Tangan Prince memeluk sebuah kotak makanan berisi macaron merah muda yang dia sengaja siapkan untuk Rosea.
Kepala Prince bergerak ke sana kemari menunggu kedatangan Rosea yang belum dia lihat kehadirannya sejak tadi.
“Prince” Adam datang untuk menjemput Prince. “Waktunya pulang.”
“Sebentar Adam.”
“Kenapa?”
“Aku menunggu kenalanku.”
Kening Adam mengerut, siapa kenalan Prince? Tidak seperti biasanya Prince memiliki perhatian kepada orang lain. Batin Adam bertanya-tanya.
“Sudah waktunya pulang, satu jam lagi kamu ada les bahasa Prancis. Sekarang, ayah kamu ingin mengajak makan siang bersama,” Adam mengingatkan.
Prince tertunduk sedih mendengarnya, dengan terpaksa dia segera beranjak dan pergi mengikuti Adam yang menuntunya pergi masuk ke dalam mobil.
Adam segera menutup pintu dan berlari pergi menyusul masuk, pria paruh baya itu segera melajukan mobilnya menuju perusahaan Leonardo berada. Beberapa kali Adam melihat ke belakang dan memperhatikan kemurungan Prince yang terlihat kecewa akan sesuatu.
“Prince, apa ada sesuatu yang mengganggu kamu?” tanya Adam perhatian.
Belum sempat Prince menjawab, tanpa sengaja dia melihat Rosea yang kini berdiri di belokan jalan. Prince terpekik senang bukan main karena bisa kembali bertemu teman berbicaranya.
“Adam berhenti di sana!” Prince menunjuk ke arah Rosea. “Berhenti di sana Adam!” pinta Prince lebih tegas.
Adam segera menepikan mobilnya di samping Rosea.
“Tunggu di sini. Kamu jangan ikut keluar,” pinta Prince lagi sebelum memutuskan keluar melompat turun dari mobil dan berlari menemui Rosea.
Rosea yang hendak menyebrang langsung mengurungkan niatnya melihat Prince yang berlari ke arahnya dan tersenyum lebar membawa kotak makanan.
“Hay Prince,” sapa Rosea dengan akrab.
Prince tersenyum terlihat senang karena Rosea mengingat namanya.
Begitu Rosea sudah berada di hadapannya, Prince langsung memberikan kotak makanan yang di bawanya kepada Rosea.
Dengan ragu Rosea menerimanya, “Apa ini?”
Prince menarik napasnya dalam-dalam tampak gugup, “Itu untuk Sea,” jawab Prince dengan suara yang mengecil.
“Benarkah?” Rosea tersenyum lebar terlihat terkesan karena ada anak kecil yang baik kepadanya.
Rosea terdiam bingung begitu dia sudah membuka kotak makanan di tangannya, di dalam kotak itu terdapat macaron bersama permen jelly berwarna merah muda.
“Untuk apa kamu memberikannya kepadaku?” Rosea bertanya.
Kesenangan di wajah Prince berubah karena khawatir Rosea tidak menyukai apa yang sudah dia berikan.
Alis Prince sedikit menurun, tangan mungilnya saling berpegangan di tempatkan di d**a. “Kamu bilang, kamu suka makanan warna merah muda,” jawab Prince dengan polos.
Rosea tercengang kaget, kini dia teringat percakaan mereka kemarin. Tapi kemarin Rosea hanya menjawab asal-asalan secara spontan, Rosea tidak menyangka jika Prince akan menangkapnya dengan serius.
Rosea mendengus geli merutuki dirinya sendiri karena sudah berbicara sembarangan pada anak kecil.
“Oh iya kemarin aku lagi suka makanan berwarna merah muda. Terima kasih, aku sangat menghargainya,” celoteh Rosea dengan senyuman lebarnya meredakan kecanggungan interaksi di antara mereka.
“Kenapa kemarin? Apa sekarang sudah tidak suka?” tanya Prince khawatir.
“Aku masih menyukainya sampai besok.”
“Kenapa?” Prince semakin di buat penasaran.
“Kalau kamu makan makanan yang sama setiap hari, kamu akan bosan,” jelas Rosea.
Prince menutup mulut dan sedikit tertawa karena apa yang Rosea jawab sangat mirip dengan apa yang di rasakannya. Prince selalu bosan dengan menu sarapan pagi yang harus dia makan setiap kali menginap di rumah neneknya karena menghidangkan menu makanan yang sama.
“Ingatan kamu sangat bagus Prince, aku sendiri lupa apa yang sudah aku katakan kemarin. Kamu luar biasa,” puji Rosea spontan.
Wajah mungil Prince bersemu merah malu, anak itu menatap dengan mata berbinar terlihat senang mendengar pujian yang di katakan Rosea kepadanya.
“Sea akan ke mana?” Tanya Prince dengan kepala semakin mendongkak menatap wanita itu.
“Aku akan pergi makan siang.”
“Sea bisa memakan itu,” tunjuk Prince pada kotak makanan yang sudah dia berikan.
Rosea tersenyum menatap Prince penuh penilaian. Sikap Prince terlalu aneh bagi Rosea, anak itu terlalu cepat dan mudah bergaul kepada orang asing seperti dirinya, apalagi Rosea adalah wanita yang sudah dewasa.
Interaksi antara Prince dan Rosea tidak luput dari perhatian Adam yang duduk di dalam mobil, pria itu memperhatikan Prince yang menjadi lebih banyak bicara dengan Rosea. Adam ingin keluar dan memastikan bahwa wanita yang bersama Prince adalah wanita baik-baik, namun dia harus menahan diri.
Prince selalu marah dan menangis dengan keras bila Adam tidak mendengarkan titahnya.
Di dalam mobil, Adam memilih memotret wajah Rosea dan segera melaporkannya kepada Leonardo.