Di pagi itu, suara derakan pintu gerbang rumah terdengar karena sebuah dorongan. Seorang wanita bertubuh mungil berdiri di depan mobilnya sambil berdecak pinggang melihat rumah berlantai dua yang baru di bangunnya dan kini sudah siap untuk tempati.
Wanita itu memperhatikan dengan bangga. Hari ini dia resmi pindah ke rumah barunya.
“Kenapa diam saja? Cepat masukan mobilnya! Mereka menunggu,” teriakan seorang wanita paruh baya yang mengomel membuyarkan kesenangan Rosea.
Rosea yang tidak bergegas memasukan mobilnya ke dalam, membuat beberapa mobil box yang mengangkut barang-barang Rosea mengantri di belakang.
“Santailah, aku mau melihat hasil kerja kerasku dulu.”
“Kamu belum di anggap bekerja keras kalau belum membawa calon suami ke rumah, cepat masuk jangan menghalangi jalan!”
Raut wajah bahagia Rosea langsung menghilang begitu mendengar ibunya kembali membahas calon suami. “Berhentilah membicarakan calon suami, aku sangat bosan mendengarnya,” gerutu Rosea kesal.
“Jika kamu masih belum membawa calon suami ke hadapan mamah, mamah tidak akan berhenti membicarakannya, bila perlu sampai kuping kamu copot.”
Rosea bertolak pinggang terlihat kesal, dia merasa malu bila orang tuanya berbicara sekasar itu mengomelinya di hadapan banyak pekerja.
“Kenapa masih diam saja Sea? Cepat masuk!” Teriak Kartika sambil menekan-nekan klakson meminta Rosea segera memberi jalan masuk.
“Iya iya!” balas Rosea dengan ketus. Rosea segera berlari kembali memasuki mobilnya dan membawanya masuk ke dalam. Beberapa mobil box akhirnya masuk menyusul ke dalam, orang-orang yang bekerja segera turun dan bersiap-siap menurunkan barang.
Dengan sigap Kartika langsung membuka pintu yang terkunci dan mengatur beberapa pekerja untuk membawa barang-barang ke dalam rumah.
Kartika mengintruksikan para pekerja untuk menempatkan barang yang mereka bawa dan membuka beberapa kain yang menutupi semua barang-barang baru yang sudah tersedia di rumah.
Rosea menarik napasnya dalam-dalam, dengan senyuman lebarnya dia melihat ke sekitar rumahnya yang terlihat mengagumkan.
Kehidupan bebas yang Rosea nantikan benar-benar sudah berada di depan mata, dia tidak akan lagi mendengarkan omelan kedua orang tuanya yang mendesaknya untuk segera menikah, Rosea juga akan bebas bepergian dan pulang kapanpun dia mau tanpa perlu menyelinap seperti maling.
Akhir-akhir ini Rosea di desak untuk segera menikah oleh kedua orang tuanya, sepanjang hari mereka terus menerus menyindir dan membandingkan Rosea dengan keponakannya yang kini sudah menikah bahkan sudah memilik anak. Karena alasan itulah kini Rosea memilih tinggal sendiri agar terhindar dari desakan orang tuanya yang semakin hari semakin membuatnya merasa tertekan.
Rosea Gabriella, orang-orang memanggilnya Sea karena dia adalah wanita yang tenang, kuat, namun bisa menghancurkan seperti air di lautan.
Rosea memiliki paras cantik, mandiri, pekerja keras, dan memiliki karier yang cukup bagus sebagai pengusaha perhiasan dan penulis dongeng anak-anak di suatu majalah.
Di balik kesuksesannya yang memiliki karier bagus dan berwajah cantik, Rosea memiliki masalah dengan yang namanya jodoh.
Pandangan Rosea dan orang tuanya terhadap hubungan asmara begitu bertolak belakang.
Rosea adalah jenis wanita yang suka kebebasan tanpa ikatan yang terlalu dalam, salah satunya dalam masalah hubungan asmara. Rosea suka berkencan dengan beberapa pria, mereka akan berhubungan dalam waktu beberapa bulan, dan ketika pria yang Rosea kencani terlalu serius dengannya, maka Rosea akan memutuskan mereka.
Berkencan adalah hal penting bagi Rosea, namun kebebasan lebih penting baginya.
Hal ini menjadi masalah bagi kedua orang tua Rosea, mereka menganggap Rosea tidak normal dan mengkhawatirkan karena tidak menetapkan hatinya. Apalagi kini usia Rosea sudah dua puluh enam tahun, mereka khawatir Rosea menjadi perawan tua karena terlalu mencintai kebebasan dan melupakan jati dirinya sebagai wanita.
Orang tua Rosea tidak suka Rosea terlalu bebas dan mandiri karena hal itu membuat Rosea tidak suka bergantung pada orang lain apalagi pada seorang pria.
Kekhawatiran orang tua Rosea membuat mereka terus menerus membicarakan masalah jodoh untuknya, mereka mendorong Rosea untuk segera memiliki seorang suami dan membawa Rosea pada pertemuan keluarga dimana ada keponakan dan sepupu Rosea yang jauh lebih muda darinya sudah menikah.
Kehadiran mereka yang sudah menikah dan memiliki anak di harapkan membuat Rosea sedikit berpikir dan merasa iri untuk segera mambangun sebuah rumah tangga.
Sayangnya, sampai saat ini, cinta dan pernikahan adalah dua hal yang masih di anggap mustahil untuk Rosea karena dia masih begitu mencintai kebebasannya. Rosea menganggap bahwa tidak menikah itu bukanlah kesalahan, bukan pula hal yang memalukan, menikah dan tidak menikah adalah sebuah pilihan.
“Ada apa sebenarnya dengan kamu Sea? Berhentilah tersenyum tidak waras seperti itu,” oceh Kartika yang kini berdiri di ambang pintu sambil bersedekap, memperhatikan Rosea yang sejak tadi hanya diam dan tersenyum tidak jelas.
“Memangnya aku tidak boleh tersenyum senang apa?”
Kartika menyipitkan matanya dan berdecih melihat Rosea penuh perhitungan. “Jangan pikir mamah tidak tahu apa yang sebenarnya kamu pikirkan Sea, mamah tahu kamu sedang senang karena kini bisa terlepas dari pantauan. Ingat ya Sea, pindah rumah bukan berarti kamu bebas ya. Kamu harus tetap memikirkan calon suami, jika tidak, mamah akan menjodohkan kamu dengan anak sahabat mamah dan menyuruh mereka langsung datang melamar.”
“Dengar ya Mah, jika Mamah terus mendesakku dan membuatku merasa semakin tertekan di sini, di masa depan aku tidak hanya akan pindah rumah saja, aku akan pindah dan menetap tinggal di luar negeri,” jawab Rosea dengan tegas dan tidak main-main.
Kartika melotot seketika, wanita itu menahan ucapannya karena tidak mau merusak pagi mereka dengan perdebatan lagi.
Kartika membalikan badannya dengan cepat, “Cepat masuk, kita harus beres-beres,” titah Kartika terdengar lebih lembut.
Perlahan Rosea tersenyum karena ancamannya kali ini cukup manjur untuk membuat ibunya berhenti mengomel. “Siap, Kanjeng Ratu” Rosea berlari pergi untuk menjadi babu di rumah barunya dalam waktu sehari.
***
Suara riang nyanyian anak-anak terdengar dari sebuah bus yang kini bergerak di jalanan, anak-anak kecil di dalamnya terlihat senang menikmati perjalanan pulang mereka dari sekolah.
Di antara ramaiannya anak-anak yang bernyanyi, terdapat seorang anak laki-laki yang kini tengah duduk di kursi paling belakang sambil menopang pipinya yang kemerahan. Anak itu memilki mata yang biru dan rambut pirang, dia terlihat berbeda dari anak-anak lainnya.
Anak itu terlihat memilih duduk dalam kesendirian dan mengasingkan diri dari keramaian, wajah mungilnya memasang raut muka yang sedih karena harus segera pulang dan kembali rumahnya yang membosankan.
Anak itu bernama Prince.
Prince lebih suka diam sendirian dan memperhatikan setiap belokan jalan yang di lewatinya di daripada harus bergabung bersama teman-temannya.
Bus sekolah itu memasuki area perumahan dan mengantarkan beberapa anak kecil yang tinggal di sana, anak-anak yang turun dari bus sudah di tunggu babysitter maupun orang tuanya.
Prince masih duduk di tempatnya, memperhatikan satu persatu teman-temannya sudah turun dari bus hingga menyisakan dirinya seorang.
Prince memutuskan melompat turun dari kursi dan melewati beberapa kursi lainnya yang kini sudah kosong. Prince memutuskan untuk duduk di kursi belakang sopir.
“Prince, kamu akan turun di mana?” tanya Jannah.
Jannah adalah salah satu sopir yang bertugas mengantar jemput semua murid yang masih bersekolah di taman kanak-kanak.
“Toko nenek,” jawab Prince singkat.
“Baiklah,” Jannah mengangguk.
Selama ini Prince selalu turun di tiga tempat, terkadang di rumahnya, rumah kakek-neneknya, terkadang pula di depan toko neneknya karena keluarganya sibuk dengan pekerjaan mereka.
“Bu Jannah, bisakah mengemudinya lebih pelan?” tanya Prince.
Jannah tersenyum ramah dan mengangguk setuju, wanita itu membelokan kemudinya keluar dari area perumahan dan pergi menuju tempat di mana Prince akan di turunkan.
***
Selesai merapikan rumah, Rosea memutuskan pergi ke taman umum mencari suasana baru yang bisa dia nikmati di kala santai, keberadaan taman yang tidak terlalu jauh membuat Rosea bisa menempuhnya sambil berjalan santai dalam waktu beberapa menit.
Rasa puas memenuhi hati Rosea karena di dekat wilayah perumahannya ada banyak taksi yang tersedia, semua keperluan dari tempat hiburan, restaurant, tempat nongkrong, hotel, tempat olahraga, mall dan gerai barang-barang mewah, berkumpul begitu mudah untuk di jangkau.
Rosea beruntung bisa membeli tanah dari kakek misterius dengan harga yang murah, entah ke mana perginya kini kakek misterius yang baik hati itu, sudah hampir setengah tahun mereka tidak bertemu.
Dengan langkah lebarnya Rosea berlari melintasi jalanan mencari tempat duduk yang tersedia di pinggir lapangan.
Sejenak Rosea terdiam, wanita itu melihat bangku yang akan di dudukinya sudah di tempati oleh seorang anak kecil. Rosea berdeham cukup keras membuat anak laki-laki yang duduk itu langsung mendongkakan kepalanya.
“Hay, aku boleh ikut duduk di sini tidak?” tanya Rosea seraya menunjukan tempat kosong di samping Prince.
Tanpa bersuara Prince mengangguk memperbolehkan, Prince kembali memperhatikan beberapa anak remaja yang tengah bermain bola.
Rosea langsung duduk dan mengeluarkan macbooknya, sejenak wanita itu meluangkan waktunya untuk memeriksa laporan-laporan yang masuk mengenai toko perhiasannya yang sudah beberapa hari ini dia tinggalkan karena sibuk mengurus kepindahan.
Setelah lebih dari dua puluh menit berkutat dengan laporan yang masuk, Rosea kembali menutup macbooknya dan memasukannya ke dalam tas, kini dia mengeluarkan sekotak makanan yang di bawanya dari rumah.
Rosea membuka penutup makanan dan melihat nasi goreng buatannya, dengan cepat dia mengambil sendok dan mulai menyuapkan sesendok nasi bercampur udang, telur, sosis dan makanan lainnya yang terasa sedikit basah gurih di mulutnya.
Baru satu suap Rosea memakan makananya, kini dia tidak dapat mengunyahnya lagi ketika menyadari anak kecil yang duduk di sampingnya, kini tengah memperhatikannya.
Aroma masakan Rosea membuat Prince langsung mengalihkan perhatiannya dari anak-anak yang bermain bola.
“Mau?” tanya Rosea berbasa-basi.
Prince menegakan tubuhnya untuk melihat isi isi kotak makanan Rosea. Prince menelan salivanya dan tidak menjawab karena ragu. Makanan yang di bawa Rosea sangat menggodanya, namun Prince tidak bisa menerima tawarannya karena neneknya akan marah besar jika Prince makan sembarangan.
“Usiamu berapa?” Suara Rosea merendah dan sedikit lebih lembut.
Prince tertunduk mencoba mengingat usianya sekarang.
“Ini memakai micin, aku masak memakai micin karena micin itu enak. Tapi anak di bawah lima tahun tidak boleh memakannya,” jelas Rosea memberitahu.
Prince mangangkat kepalanya dan memperhatikan Rosea yang kembali menyuapkan makanannya.
“Enam tahun,” jawab Prince untuk pertama kalinya membuka suara.
Rosea menelan makananya perlahan, wanita itu langsung membuang mukanya dan menyodorkan kotak makananya. “Kalau mau, kamu boleh makan satu suap saja,” tawar Rosea yang terdengar seperti anak kecil yang sedang berusaha merelakan makanan kesukaannya di makan orang lain.
Prince mengerjap kaget karena ada orang asing yang baik dan juga hangat kepadanya.
Masih dengan perasaan ragunya Prince mengambil kotak makanan Rosea dan menempatkannya di pangkuannya. Sekali lagi Prince memperhatikan isi kotak makanan Rosea dengan penuh ketelitian.
“Apa ini tidak berbahaya?” tanya Prince tidak terduga.
Pupil mata Rosea melebar, pertanyataan anak kecil itu terdengar cukup sombong dan tidak sopan untuk dia dengar. “Jika berbahaya, aku tidak akan mungkin memakannya.”
“Siapa yang memasak?” tanya Prince lagi, jawaban Rosea sama sekali belum mampu menghilangkan keraguan di hatinya.
“Aku.”
“Kenapa tidak juru masak yang membuat?”
Rosea melongo kaget, pertanyaan anak itu semakin terdengar sombong dan membuat jiwa susah Rosea meronta-ronta.
Siapa sebenarnya yang mendidik anak ini? Bagaimana bisa dia sudah seprofessional itu dalam berbicara tidak mengenakan?.
Rosea membuang napasnya dengan kasar, dia tidak bisa kesal dan tersinggung dengan anak kecil. Mereka masih polos dan tidak bersalah, yang bersalah adalah orang-orang yang di contoh olehnya.
“Aku tidak punya juru masak,” jawab Rosea dengan jujur.
“Kamu sungguh mau membaginya?” Prince kembali bertanya.
“Kalau kamu tidak mau, kembalikan saja,” kesabaran Rosea mulai hilang.
Mata Princa sedikit berkaca-kaca, anak itu teringat jika ini untuk pertama kalinya ada orang dewasa yang mau mengajaknya berbicara di taman dan menawarinya makanan, tanpa menanyakan di mana orang tuanya dan menganggap Prince anak yang tersesat.
“Aku mau,” bisik Prince samar.
Mendengar suara lemah bercampur sedih anak itu, Rosea langsung menggerakan wajahnya dan kembali melihatnya. Rosea terpaku memperhatikan bagaimana anak itu menyendokkan makanannya dengan ragu dan segera memasukannya ke dalam mulutya, lalu mengembalikan kotak nasi Rosea.
“Namamu siapa?” Tanya Rosea yang kini ikut menyuapkan makananya lagi.
“Prince.”
“Namaku Rosea, panggil aku Sea.”
Tidak ada jawaban apapun lagi dari Prince, namun anak itu kembali melihat kotak makanan Rosea dan memperhatikan bagaimana Rosea menyuapkan makanannya lagi dengan rakus seperti takut Prince mencuri makanannya dan meminta beberapa suap lagi.
Perasaan tidak tega menyentuh hati Rosea begitu melihat tatapan sedih di mata Prince karena Rosea tidak menawarinya lagi, dengan terpaksa akhirnya Rosea kembali menyodorkan kotak makananya. “Masih mau? Makan saja.”
Prince mengambil tas di belakangnya dan membukanya, Prince mengambil kotak makanannya sendiri dan memberikannya kepada Rosea. “Kita bertukar,” kata Prince terdengar bijaksana.
Rosea mendengus geli mendengarnya, ucapan Prince membuat Rosea cukup tersanjung. Dengan cepat akhirnya mereka saling bertukar makanan.