31

1665 Kata
Jika ada hal yang patut disyukuri, maka satu-satunya hal itu adalah kejadian ini ternjadi saat Nino dalam masa libur semester perkuliahan. Sebab kalau tidak, bisa dipastikan Nino tidak akan bisa fokus belajar. Sekarang saja, ia mengabaikan list yang telah ia buat untuk mengisi libur panjangnya ini. Entah Nino bisa atau tidak menyelesaikan masalah ini sebelum masa liburannya selesai, tepatnya dua bulan lagi. Hari ini, Roni mengizinkannya keluar tanpa interogasi. Jujur saja, hal itu lama-lama membuatnya cemas karena jelas-jelas Roni tahu Nino tengah melakukan sesuatu yang tidak akan papanya sukai, tapi Roni malah membiarkan. Tidak ada yang tahu isi kepala manusia, pun dengan tujuan Roni membebaskannya untuk apa. Tetapi Nino tidak akan semudah itu terperdaya, ia akan memanfaatkan waktu yang dipunya sebaik mungkin tapi di saat yang sama juga waspada. Dengan memakai topi dan masker, saat ini Nino berada di barisan kursi paling belakang sebuah auditorium, bersama dengan ratusan orang lain yang sengaja datang untuk menghadiri seminar di mana Sisca Kurnia adalah narasumbernya. Awalnya, saat pertama kali menemukan nama Sisca Kurnia di papan reklame dan mencari tahu sedikit tentangnya, Nino langsung tercengang karena dari segi umur dan keterikatan dengan Abrawan sesuai dengan apa yang Nino cari. Tetapi Nino belum seratus persen yakin sebab ia belum tahu latar belakang Sisca Kurnia sebelum menjadi seorang anggota dewan seperti sekarang. Satu hal lain membuat Nino menaruh perhatian lebih pada sosok Sisca Kurnia ini adalah karena dia tergabung dalam komisi yang menangani bidang pemberdayaan perempuan dan di luar itu dia terkenal dengan concern-nya terhadap isu-isu pelecehan seksual yang dialami oleh perempuan. Namun, dalam informasi yang beredar, dulunya Sisca Kurnia hanya seorang karyawan biasa sebelum menjadi kader partai, makanya Nino ingin memastikannya lagi. Sebagian besar peserta yang hadir adalah perempuan. Acara berlangsung dengan lancar dan semarak, Sisca Kunia membawa materi seputar pertolongan apa yang bisa kita berikan pada kenalan kita yang menjadi korban pelecehan seksual, terlebih pada para korban yang memilih sengaja tutup mulut dan memendam traumanya sendiri lantaran takut akan intimidasi pelaku, juga malu akibat stigma buruk yang selama ini semua kita tahu. Kasus pelecehan seksual sering dikaitkan dengan cara berpakaian, pertemanan terlalu akrab dengan laki-laki, atau karena pulang terlalu malam sendirian untuk keperluan tertentu. Tak sedikit masyarakat yang menyalahkan korban karena tidak ‘menjaga’ diri, alih-alih menyalahkan pelaku karena tak menjaga pandangan dan berlindung dibalik permakluman salah kaprah seperti, ‘namanya juga laki-laki’, seolah-olah laki-laki disamakan dengan hewan yang tidak punya akal untuk bisa membedakan mana yang salah dan benar, serta tak bisa mengendalikan nafsu mereka, sehingga salah perempuan telah memancing jiwa hewani mereka. Padahal faktanya, banyak pula kasus pelecehan seksual terjadi pada wanita agamis berpakaian serba tertutup. Tak hanya menyasar perempuan acak yang ditemui di jalan, tak satu dua terdengar kasus ayah, kakek, kakak, atau paman kandung korban sendiri lah pelakunya. Mungkin tidak banyak yang bisa Nino temukan di sini, setidaknya Nino mendapat pemahaman baru tentang bagaimana ia sebagai seorang laki-laki harus memperlakukan perempuan. Nino menoleh ke samping saat merasakan sesuatu menimpa pundaknya, sebaris senyum terbit di wajahnya saat mendati sesuatu yang menimpa pundaknya itu adalah kepala Cessa. Gadis itu memang paling benci dengan acara dengan sesi ceramah panjang atau wawancara topik serius semacam ini, bahkan baru memasuki ruangan dan duduk selama lima menit, dia sudah menguap lebar. Dengan hati-hati Nino mengulurkan tangannya untuk membenahi kepala Cessa agar lebih nyaman. "Selama ini banyak yang mengira saya concern dengan isu-isu perempuan karena isu tersebut termasuk bidang pekerjaan saya sebagai anggota dewan," ujar Sisca, menjawab pertanyaan salah satu peserta seminar saat sesi tanya jawab. Peserta itu bertanya alasan terbesar yang membuat Sisca tak pernah lelah menyuarakan isu yang telah dibicarakan sejak sangat lama tapi tak kunjung ada perubahannya. Melalui layar monitor besar yang dipasang di kanan kiri panggung, Nino melihat Sisca menggelengkan kepala. "Padahal itu tidak semata bentuk tanggung jawab pekerjaan, melainkan saya karena saya tahu bagaimana rasanya menjadi korban pelecehan seksual." Deg! Punggung Nino seketika menegak lurus mendengar pernyataan itu, benarkah ini Sisca yang dicarinya? Agaknya, tak hanya Nino yang terkejut, melainkan juga hampir seluruh isi auditoriom ini—kecuali Cessa yang masih tidur. Sisca tersenyum simpul, memandang para pesera seolah maklum dengan reaksi kaget mereka. "Saya memang belum pernah mengungkap ini ke semua orang, bukan karena saya malu atau takut. Tapi karena ada alasan pribadi yang tidak bisa saya ungkap. Di kesempatan ini, saya ingin sedikit membagikan tentang masa lalu saya. Kejadiannya sudah terjadi sangat lama, tapi butuh bertahun-tahun bagi saya memulihkan diri dari trauma. Saat itu saya adalah karyawan baru di sebuah perusahaan media, itu adalah pekerjaan pertama saya setelah lulus sekolah dan saya berharap banyak dari pekerjaan itu karena saya tulang punggung keluarga. Saya berusaha sangat keras menjalankan tiap tugas, disuruh A jalan, disuruh B gerak tanpa protes cuma biar mendapat kesan baik dari para senior dan atasan. Tapi kepatuhan saya dimanfaatkan oleh mentor saya waktu itu, ya dia lah yang melakukannya. Awalnya secara verbal lewat candaan-candaan garing, lama-lama dia mulai berani menyentuh saya sampai puncaknya, dia ingin memperkosa saya. Tuhan menolong saya, saat saya makin lemas kehabisan tenaga buat berantok, ada teman yang memergoki. Apa yang saya alami sangat buruk, hanya saua sedikit lebih beruntung dibanding saudara-saudara kita yang sampai mengalami depresi berat dan tidak sedikit juga yang meninggal di tempat." Apa-apaan ini? Pikir Nino. Mengapa momnnya pas sekali? Sisca membuka masa lalunya di saat Nino sedang mencari-cari tentang itu. Mungkin ini semacam kebetulan, mungkin Tuhan terlalu kasihan padanya sehingga diberi petunjuk dengan sedemikian mudah. Terlalu mudah hingga Nino sangat terkejut dan tak punya bayangan apa yang harus dilakukannya setelah ini. Saat pembawa acara menanyakan siapa lagi yang ingin bertanya, Nino refleks mengangkat tangan. Gerakannya itu membuat kepala Cessa terantuk dan berdesis 'aduh' karena mendadak harus bangun. "Ya, Mas di belakang yang pakai masker. Silakan bertanya." Sang pembawa acara menunjuk Nino di antara puluhan tangan teracung lain, barangkali karena penampilan Nino cukup mencolok dibanding mereka. Lalu kemudian seorang panitia memberinya mikrofon. "Silakan perkenalkan nama dan pekerjaan," sambung pembawa acara. Nino membenahi letak masker medis warna hijau yang dipakainya itu, sebelum bertanya. "Terima kasih, nama saya Ni–co dan saya seorang mahasiswa. Saya ingin bertanya, tadi Anda bilang ada alasan pribadi mengapa Anda tidak menceritakan pengalaman buruk Anda, lalu kenapa sekarang Anda menceritakannya?" Sisca tersenyun, tampak antara maklum dan telah menduga akan mendapat pertanyaan demikian. "Baik, pertanyaan yang sebetulnya pribadi tapi saya tahu teman-teman semua pasti sama penasarannya seperti Mas Nico," mulai Sisca. "Disamping alasan pribadi, saya pengakuan saya itu juga sekaligus untuk menganggap orang-orang yang skeptis terhadap apa yang saya lakukan. Ada yang menganggap saya cuma jualan narasi demi tujuan politis, ada yang bilang saya melebih-lebihkan, ada yang bilang saya tidak pantas bicara hanya karena saya bukan korban. Saya harap setelah ini nggak ada lagi suara-suara sumbang itu lagi. Bahkan seandainya pun saya tidak pernah mengalami, saya atau siapapun wajib menyadarkan sekitar kita bahwa manusia bisa menjadi predator lebih bahaya dari hewan buas karena minimnya pengetahuan. Mari saling mengingatkan, mari saling menjaga, mari saling membantu demi lingkungan hidup yang lebih manusiawi." Gemuruh tepuh tangan memenuhi seluruh isi auditorium sebagai timbal balik betapa menyentuhnya penyataan Sisca Kurnia. Sisca tersenyum bersahaja menerima gaung sanjunh tersebut. Sepintas dari pembawaan diri dan caranya bicara, Nino pikir Sisca terlihat cukup bisa dipercaya. *** Keluar dari auditorium, Cessa menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan "Hah ... akhirnya menghirup udara segar lagi," desah gadis itu berlebihan, seolah-olah mereka baru keluar dari goa pengap. "Gimana, No? Udah mendapat sesuatu baru?" tanya Cessa, menolehkan kepala pada Nino. "Kayaknya emang dia." "Benarkah?" Nino mengangguk pelan. "Emangnya kamu beneran nggak dengar sama sekali tadi?" Cessa meringis bodoh. "Kayaknya aku ketiduran, deh," aku Cessa membuat Nino menggeleng tak habis pikir. Nino lantas menjitak pelan kepala Cessa, lebih ke jitakan gemas. "Dasar. Bukan kayaknya ketiduran, tapi emang sengaja tidur aja kan." "Ya gimana, namanya juga ngantuk." Sekali lagi Cessa meringis. "Abis ini kita makan, kan?" tanya Cessa penuh harap. Nino menghela napas berlagak malas. "Habis tidur, makan. Baiklah baiklah." "Yes!" pekik Cessa girang. "Aku yang pilih tempatnya, ya." Tentu saja Nino mengiyakan, tapi sebelum mereka pergi, Nino pamit untuk ke toilet lebih dulu. Nino menghabiskan waktu sekitar 20 menit karena letak toilet cukup jauh dari tempat mereka tadi. Nino berjalan secepat mungkin agar Cessa tidak mengomel lantaran terlalu lama menunggunya. Namun, langkah Nino melambat saat sosok Cessa telah terlihat lantaran gadis itu tidak sendirian. Dia tampak sedang berbicara dengan seseorang yang tentu saja Nino ketahui siapa dia. Sisca Kurnia. Nino menyipitkan mata, apa yang mereka bicarakan hingga gestur tubuh mereka tampak serius, padahal biasanya Cessa konyol dan kekanakan tak kenal situasi dan tempat. Saat langkahnya kian dekat, Sisca Kurnia lah yang menyadari keberadaanya lebih dulu. "Oh, siapa ini? Nino Abrawan, kan?" tunjuknya, seakan kaget menemukan sosok Nino. "Kamu mahasiswa yang tanya tadi, kan?" Nino mengangguk sopan sebagai ganti salam, sekaligus mengiyakan tebakan Sisca. "Iya, benar," jawabnya pendek. "Wah, saya nggak nyangka anak Presiden datang ke seminar saya." "Kebetulan topiknya menarik. Seminarnya keren, Bu," balas Nino. "Terima kasih kalau pesannya sampai di kamu. Ini ... Kalian datang berdua?" tanya Sisca, menunjuk Nino dan Cessa bergantian. "Iya, saya datang sama dia." Sisca kemudian mengangguk. "Baiklah kalau begitu, saya duluan." Sisca berjalan menjauh kemudian, setelah saling Nino sedikit membungkukkan badan sopan. Tanpa buang waktu, Nino langsung menatap Cessa. "Kok kamu bisa ngobrol sama dia?" Wajah Cessa saat ini beda dengan yang dilihatnya beberapa menit tadi, sekarang wajah Cessa kembali ceria dan konyol. "Bisa lah, aku yang nyamperin buat minta foto. Dia ternyata orangnya ramah banget, makanya sekalian aku tanya-tanya sedikit tentang kerjaan dia sebelum jadi anggota dewan." "Terus?" "Cuma jawab karyawan biasa," jawab Cessa mengerucut seolah menyesal tidak dapat memberi jawaban memuaskan. "Kalau cuma tanya itu, kenapa muka kamu tadi tegang banget? Aku hampir mikir kamu dimarahi sama dia, takutnya kamu ceroboh atau gimana." "Eh, itu ... ya aku malu lah ketemu tokoh keren," sanggah Cessa cepat. "Nggak mungkin kan aku cengengesan, biar kelihatan pintar gitu ...," lanjut Cessa tertawa cekikikan sendiri. Gadis itu lantas merangkul Nino. "Udah, ah, aku lapar. Ayo makan, nanti aku beri tahu apa aja yang sempat aku tanya tadi ke Bu Sisca."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN