03 | Hidup Setelah Mati

1738 Kata
"Papa yakin dia masih manusia?" Eliza bertanya pada sang suami yang tengah memperhatikan lekat-lekat wajah tertidur pemuda yang beberapa jam lalu mereka temukan terdampar di pantai. "Manusia hidup nggak mungkin bisa melihat kita, Ma," jawab Damar tanpa kerutan bingung sama sekali di wajahnya. Pertanyaan tersebut sangat jelas jawabannya. Seperti yang dikatakan Adrian, Damar kehilangan hitungan waktu di hari 4056. Hingga saat ini ia tidak tahu persis sudah berapa lama mereka mendiami pulau ini. Selama itu pula, tak terhitung berapa kali ada orang luar datang. Baik itu nelayan terdampar atau sengaja istirahat, ataupun pengusaha yang tengah mencari pulau pribadi. Tak ada satu pun dari mereka yang mampu melihat keberadaan keluarga Yunta di sana. Pemuda ini pastilah sama seperti mereka, yaitu arwah-arwah malang yang tersesat menuju jalan pulang. Eliza mendesah pendek, seperti masih ada yang mengganjal benaknya. "Tapi kenapa tiba-tiba ada arwah tersesat di sini setelah selama ini cuma ada kita?" "Mana Papa tahu. Sama seperti kita yang nggak tahu kenapa bisa tersesat di sini, pemuda ini mungkin juga mengalami kematian mengerikan." "Memangnya apa yang telah dilakukan pemuda semuda ini sampai mengalami kematian mengerikan?" Eliza menatap wajah pemuda itu antara kasihan dan sayang. "Siapa orang jagat yang tega merenggut kehidupannya?" Dulu, semasa hidupnya, Damar Yunta kerap memikirkan apa itu kematian, bagaimana rasanya, apa yang akan terjadi setelahnya. Ia percaya, kehidupan tidak berhenti setelah mati. Ada kehidupan lain yang menanti, kehidupan yang abadi. Namun, apa yang dialaminya kini sangat jauh dari apa yang dibayangkannya. Ia dan keluarganya telah mati dalam insiden malam itu, itulah mengapa mereka tidak menua meski setelah sekian lama. Ia tidak tahu mengapa jiwanya tidak dibawa ke surga atau neraka, dan malah tersesat di dunia manusia yang semestinya ia tinggalkan bersamaan dengan desah napas terakhirnya. Rupanya, misteri bukan hanya berlaku bagi kehidupan mereka yang bernyawa saja. Kehidupan setelah kematian juga memiliki misterinya sendiri, dan itu belum juga berhasil Damar Yunta dan keluarganya pahami hingga saat ini. Sementara tidak ada yang bisa mereka lakukan karena mereka benar-benar terjebak di pulau ini. Setiap hari mereka hanya menjalani 'hidup' sambil menunggu 'mati'. Mati yang sesungguhnya. "Adik kecil belum bangun," celetuk Anisya yang setia menemani di sebelah pemuda ini. "Anisya, jangan panggil dia adik. Meskipun kamu mungkin lebih tua dari dua, jangan memanggilnya seperti itu," tegur Damar pada sang bungsu. "Kenapa memangnya?" Anisya bertanya polos dengan matanya bulatnya yang mengedip lucu. "Pokoknya jangan, nanti dia bingung." "Dikasih tahu, jadi dia nggak bingung." Damar mendesah, ia sedang malas memikirkan alasan untuk saat ini. Kemunculan pemuda ini membuatnya banyak mengenang masa lalu, masa semasa ia masih hidup. "Kamu urus aja lah, Ma," decak Damar, beranjak dari duduknya. Seperti biasa, menyerahkan tugas memusingkan—menjawab pertanyaan anak-anak pada Eliza. "Aw-aw Arrgh! Leherku patah-leherku patah!" "Lepeh lagi nggak?" "Udah tertelan, gimana mau lepeh— Arrgh! Papa tolong, Alin mau bunuh aku." Maksud hati ke luar mencari ketenangan, Damar malah dihadapkan pada keributan. Apalagi jika bukan Alin dan Adrian yang tak ada bosan-bosannya bertengkar. Salah satu kebiasaan buruk semasa hidup yang terbawa hingga sekarang, bahkan setelah mati mereka belum juga bisa akur. Damar menggeleng-geleng tak habis pikir. Biar saja kedua anaknya itu bunuh-bunuhan, toh mereka tidak mungkin mati dua kali. "Eliza, Alin mau bunuh Adrian lagi, nih," teriak Damar ke dalam rumah dan melenggang pergi begitu saja, menyerahkan semua urusan pada sang istri. *** Nino pikir dirinya sudah mati sesaat setelah ia melompat dari atas pesawat yang akan jatuh di atas perairan. Hal terakhir yang sempat Nino ingat adalah ia berenang sekuat tenaga melawan pusaran arus saat badan pesawat mencapai permukaan air dan tenggelam. Sampai akhirnya Nino kepayahan dan pasrah ke mana ombak akan membawanya. Nino baru benar-benar yakin bahwa dirinya masih hidup, ialah saat ia terbangun dari di sebuah pulau kosong. Ia mampu merasakan sengatan matahari di kulitnya dan merasakan ujung jari kakinya digigiti kepiting pasir, serta mendengar suara orang-orang di sekitarnya. Meski tidak tahu di mana ia sekarang, setidaknya Nino bisa tidur memulihkan diri dengan tenang karena ia telah mendapat pertolongan. Nino tidak siap untuk mati. Memikirkan kematian saja tidak pernah. Seperti apa rasanya mati, alih-alih ingin merasakannya sendiri, Nino lebih memilih bertanya pada hantu saja. Apa yang baru dialaminya beberapa waktu lalu sangat mengerikan dan membuat Nino makin takut mati. Tanda lain bahwa Nino masih hidup ialah apa yang dirasakannya sekarang. Ia merasakan sebuah tangan kecil mengenggam tangannya. Perlahan, Nino membuka mata dan mendapati dirinya tengah berada di sebuah ruangan asing. Terlihat seperti sebuah kamar bercat kuning pucat dengan langit-langit putih. Ia sendiri berbaring disebuah ranjang dengan kelambu jaring-jaring mengelilingi ranjang. Ruangan yanh sepintas sederhana dan nuansanya mengingatkan Nino pada film-film tahun 90-an hingga awal 2000-an. Entah mengapa ruangan ini hangat dan terasa nyaman sekali. "Adik bangun." Celetukan itu membawa perhatian Nino ke sampingnya, pada pemilik tangan kecil yang mengenggam tangannya. Cara bocah itu menatap menggunakan sepasang mata bulatnya itu tampak sangat menggemaskan sehingga bibir Nino melengkungkan senyuman begitu saja. Terdengar suara pintu terbuka, Anisya menoleh ke arah pintu di mana mamanya baru saja masuk. "Mama, adik bangun," tunjuknya dengan nada riang. Seorang wanita berjalan mendekati ranjang dan sesaat hanya memandangi Nino. "Baguslah kalau kamu sudah bangun." "Iya, terima kasih sudah menolong saya, Tante." Wanita sekira usia pertengahan 30-an itu mengangguk dan tersenyum kecil. "Pada dasarnya kamu nggak perlu ditolong juga akan baik-baik saja." "Maksudnya?" Nino bertanya bingung. Bukankah jika tidak segera mendapat pertolongan, nyawa Nino tidak akan bisa diselamatkan? "Nanti kamu akan mengerti sendiri, pelan-pelan saja. Ayo keluar, kamu pasti sudah lapar," jawab Eliza, lalu meninggalkan kamar terlebih dulu, meninggalkan Nino yang masih berkerut bingung dan Anisya yang tak putus menatapnya dengan antusias. Ya, entah apapun maksudnya, Nino berusaha tak ambil mau ambil pusing. Yang penting ia masih hidup, sekarang tinggal bagaimana Nino bertahan dan mencari cara kembali ke rumahnya sendiri karena ayahnya pasti sangat mencemaskan keselamatannya. "Ayo makan." Suara imut Anisya membuyarkan lamunan singkat Nino. Nino lantas bangun perlahan, duduk sebentar lantaran kepalanya masih sedikit pusing. "Adik masih sakit?" tanya Anisya. "Udah nggak apa-apa," jawab Nino menenangkan. "Nama kamu siapa?" "Anisya." "Kalau nama aku Nino, Kakak Nino. Jangan panggil aku adik, ya, panggil kakak." "Tapi kan, kamu adik aku." Nino mendesah pelan, tak ingin berdebat dengan anak kecil. Mungkin Anisya belum tahu beda antara kakak dan adik. Setelah itu, barulah Nino berdiri dan berjalan keluar kamar dengan tangan Anisya masih menggandeng tangannya. Anisya menggandengnya menuju sebuah ruang tengah rumah yang luas. Di sana ada sofa panjang berbahan kulit yang menghadap ke TV cembung, lengkap dengan seperangkat DVD player beserta spreker di kanan kiri. Perhatian Nino langsung tersita pada dua orang anak yang tengah bersimpuh dengan kedua tangan dinaikkan ke atas. "Itu Kakak Alin dan Kakak Adri, mereka sering dihukum Mama." ujar Anisya seolah tahu Nino memang sesang bertanya-tanya siapa mereka serta apa yang dilakukan "Apa kamu lihat-lihat?" Alin menyelak lantaran tak suka orang asing melihatnya dalam keadaan paling memalukan. Dihukum hanya karena rebutan makanan dengan Adrian. "Hai, kamu beneran bisa melihat kami, ya?" Bocah lelaki gendut di sebelah Alin menyapa. "Pertanyaan bodoh," dengus Alin bersamaan dengan sikunya mendorong Adrian hingga adiknya itu terhuyung dan jatuh menyamping. Pipi tembam Adrian terasa sakit karena menghantam lantai lebih dulu. Bibir Adrian mendesis-desis menahan marah, dalam sekali sentakan ia langsung bangin dan balas mendorong Alin hingga berhasil membuat Alin terjengklang. Alin tentunya tak mau kalah, ia balas menyerang Adrian. Perang pun kembali berlanjut. Nino spontan ingin melerai, tapi tangan Anisya menahannya. "Biarkan saja mereka selalu bertengkar." "Tapi ...," gumam Nino bimbang, ngeri melihat Adrian yang gendut menduduki perut Alin yang bertubuh mungil itu. Dalam gerakan terjepit dan serba terbatas, Alin hanya bisa meremas-remas pipi Nino yang sepertinya memang ingin pergi ke suatu tempat. Ketika Anisya menarik tangannya, Nino pun turut bergeming dari sana. Anisaya membawanya ke bagian belakang rumah, ada dapur yang menyatu dengan ruang makan. Di sana terdapat sebuah set meja makan bulat berbahan kayu yang dilapisi taplak kotak-kotak kecil. "Oh, kamu sudah bangun? Sini-sini, duduk," sambut lelaki dewasa yang Nino asumsikan sebagai ayah atau kepala keluarga ini. Dengan hangat dan ramah, dia bahkan menarikkan kursi untuk Nino duduki. Nino mengedarkan pandang ke sekeliling ruangan. Sejauh ini, semua yang Nino jumpai di rumah ini sangat kuno. Termasuk model-model pakaian yang dikenakan orang-orangnya. Namun lagi-lagi Nino tak mau terlalu ambil pusing, mungkin keluarga ini memang menyukai hal-hal berbau vintage sehingga terbawa ke kehidupan sehari-hari. Jika Nino menanyakannya, salah-salah mereka bisa salah paham, mengira Nino sudah ditolong tapi berani-beraninya ikut campur gaya hidup mereka. "Kamu bisa santai di sini. Anggap rumah sendiri," ujar lelaki itu lagi. "Oh ya, siapa namamu? Aku Damar, dia istriku Eliza, dan ini putri kecil kami yang manis, Anisya." Nino mangangguk sopan, meningkati keramahan Damar. "Saya Nino, Clevonino. Panggil Nino saja, Om." "Alden?" Sontak dan serentak ketiga kepala itu menoleh pada Anisya, wajah Damar dan Eliza tampak kaku sesaat sebelum Damar menyamarkan kecanggungannya sendiri lewat tawa. "Haha ... Anisya, nama dia Nino," beri tahu Damar pada sang anak, lalu beralih pada Nino. "Nino, tolong dimaklumi kalau Anisya memanggil kamu adik. Sebelum kamu datang, dia memang sempat punya adik. Mungkin itulah kenapa dia menganggap siapapun yang datang setelah kami dia anggap adik." "Ah ...," gumam Nino dengan kepala mengangguk-angguk seolah mengerti, padahal ia tidak mengerti sama sekali maksud ucapan Damar tadi. "Jadi Alden itu adiknya Anisya." "Benar." "Maaf, lalu di mana dia sekarang?" "Dia hidup tenang di dunianya sendiri," jawab Eliza, bersamaan dengan dia menaruh semangkuk besar kuah yang masih mengepulkan asap. Mendadak Nino merasa tidak enak hati karena ingin tahu terlalh banyak. "Maaf, saya nggak bermaksud mengingatkan kalian dengannya." "Nggak apa-apa," timpal Eliza enteng, sembari menuangkan nasi ke piring-piring. "Kami masih mengingat dia sesekali. Meski kami sedih karena dia tidak bisa berkumpul bersama kami, tapi kami yakin dia berada di tempat lebih baik." "Itu pasti, Tuhan pasti menjaga dia dengan baik." "Iya, menurutmu juga begitu, kan?" Nino tersenyum mengimbangi senyum Eliza. Ia bisa melihat luka di matanya yang coba ditutupi lewat senyuman itu.Tentu saja, kehilangan orang terkasih pasti tidak mudah. "Apa segini cukup?" tanya Eliza, merujuk pada piring berisi nasi yang disodorkannya di depan Nino. "Cukup, Tante. Terima kasih." "Nggak usah sungkan, ambil sendiri lauknya. Makan saja sepuasnya." Nino tersenyum senang, ia memang sudah sangat lapar dan deretan makanan di depannya ini hanya membuat cacing-cacing di perutnya makin belingsatan. "Ehm, apa kita nggal menunggu kakak-kakaknya Anisya yang di depan?" tanya Nino, melihat Damar dan Eliza juga bersiap untuk makan. "Maksudmu Alin dan Adrian?" Damar menanggapi dengan mulut penuh makanan. "Jangan pedulikan mereka kalau nggak mau gila. Kita sudah melewati hal berat di dunia sampai akhirnya bisa berada di sini, jadi ayo jalani 'hidup' kita yang sekarang dengan damai."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN