13 | Alden Kita

1073 Kata
"Kita harus lakukan sesuatu biar dia keluar dari rumah kita," cetus Alindra penuh tekad. "Tapi apa, ya?" Alin lalu melemparkan pandangan pada subjek yang diajaknya bicara, siapa lagi kalau bukan Adrian. Tetapi sedetik kemudian ia mengembuskan napas menahan kesal, pasalnya di saat ia mulai memikirkan langkah-langkah untuk mengusir Nino, Adrian tampak santai memakan buah pisang hingga kedua pipinya membulat. Alin mendecakkan lidah. "Bisa nggak sih, kamu taruh dulu pisangmu itu? Nggak akan ada yang merebutnya dari kamu." "Kamu bisa makan sama aku kalau mau. Nih," ujar Adrian mengulurkan sebuah pisang pada Alin tapi detik berikutnya menariknya lagi tanpa menunggu sang kakak memberi respon. "Nggak mau? Ya sudah." Alin menipirkan bibir, sembari dalam hati merapalkan mantra untuk menenangkan diri. Saat ini satu-satunya sekutu yang dimiliknya untuk mengusir Nino hanya si gendut tak berguna Adrian Yunta. "Aku nggak bisa mikir kalau lapar," lanjut Adrian, membuka kulit pisang keduanya lalu melahapnya dalam satu gigitan besar. Sekali lagi Alin mengembuskan napas. "Cepat habiskan pisangmu meskipun aku nggak yakin dalam keadaan kenyang kamu bisa mikir." Adrian menghendikkan bahu tak peduli, pun dengan Alin yang menyesal mengapa perlu melibatkan Adrian. Gadis itu bertopang dagu, sementara satu tangannya yang lain mengetuk-ketuk meja, memikirkan sendiri hukuman apa kiranya yang tepat jika dibunuh berkali-kali tidak tak cukup menghukum. "Sebenarnya nggak ada yang bisa kita lakukan tahu, Kak." "Ck, telan dulu baru bicara. Menjijikkan." Adrian telalu kebal untuk sakit hati mendengar ejekan Alin. "Memangnya apa yang lebih mengerikan dibanding mati? Dia sudah mati, lalu apa lagi?" "Aku juga tahu itu, makanya aku bilang pikirkan cara mengusir dia karena Papa sama Mama pasti akan membela dia. Lagian mereka aneh banget, membela orang asing sampai sebegitunya. Mereka tega hukum aku berlutut di bawah matahari karena menusuk arwah yang nggak bisa mati," gertu Alin kesal setiap kali mengingat kedua orangtuanya lebih memihak Nino dan memperlakukannya seolah-olah ia seorang pembunuh betulan. "Kamu tahu, Kak ...." Ucapan Adrian terjeda lantaran lantaran harus menelan pisang dalam mulutnya agar bisa melanjutkan bicara lebih leluasa. "Tadi aku nggak sengaja dengar Mama sama Papa bicara, katanya Nino itu mengingatkan mereka sama Alden." "Hah? Apa karena perkiraan umur mereka sama?" Adrian mengangguk-anggukkan kepala. "Mama Papa membayangkan seandainya masih hidup, Alden pasti akan mirip seperti Nino." Alin menghela napas lelah. "Mereka membayangkan hal nggak penting," cibirnya. "Tapi, Kak, karena mereka aku jadi membayangkan juga ...," ucap Adrian menggantung. "Membayangkan apa?" Adrian menatap Alin dengan daging pisang yang sisa satu lahapan. "Kalau kita masih hidup, kita jadi sebesar apa, ya?" tanyanya, mengajak Alin berandai-andai. "12 tambah 19, artinya sekarang umur aku 32 tahun." "31 tahun, bodoh," ejek Alin bernada acuh tak acuh, padahal sebenarnya dalam menaknya ikut berandai-andai juga. Jika umur Adrian harusnya 31 tahun, maka ia sendiri sudah 34 tahun. "Bayangkan saja kita mirip Mama dan Papa, seharusnya umur kita sekarang hampir sama dengan mereka." "Berarti Papa sama Mama udah nenek-nenek, dong Adrian sialan, sekarang Alin tidak bisa berhenti membayangkan. Ia penasaran, seandainya ia masih hidup, seperti apa kehidupannya? Apa ia akan berhasil menjadi atlet bulutangkis sesuai cita-citanya sebelum umurnya berhenti. Ia mungkin juga telah berkeluarga, kira-kira ia menikahi lelaki seperti apa? Berapa anaknya? Alin mendesah lemah. Kendati menjadi arwah kekal dan di pulau ini tidak ada orang jahatnya, jauh di lubuk hati Alin, ia berharap bisa meninggal alami termakan usia. Alin menyesal, seharusnya ia bisa melakukan lebih banyak hal. Untuk apa hidup abadi tapi terkurung di masa ia mati. Kehidupannya hanya berputar-putar, satu-satunya yang membuatnya tidak jadi arwah gila adalah karena ia menjalani ini dengan keluarganya. Alin menggelengkan kepala, berusaha menghentikan pikiran tak berguna itu. Di saat yang sama, Papa mereka membuat suara langkah heboh memasuki rumah sambil memanggil-manggil nama mama mereka. Sontak Alin dan Adrian saling melempat pandang penuh tanya. "Papa kenapa?" tanya Adrian. Alin mengangkat bahu tak tahu. Sejurus dengan Damar menghilang di balik pintu kamar, Anisya memasuki rumah dengan dengan langkah lesu. "Sya," panggil Adrian, melambaikan tangan menyuruh Anisya menghampiri mereka. "Ya, Kakak Adri?" "Kamu tadi sama Papa?" tanya Alin tak sabaran. "Iya, Kakak Alin, sama Adik juga," jawab Anisya dengan suara lemas tak seceria biasanya. Jawaban Anisya kontan membuat Alin dan Adrian makin penasaran. "Sama Nino? Dari mana?" "Apa terjadi sesuatu? Kenapa Papa kelihatan panik?" sambung Adrian. Alih-alih menjawab, bibir Alin malah mengatup makin rapat hingga bibirnya mencebik ke bawah. Sontak Alin dan Adrian saling berpandangan bingung, mereka sama-sama tahu bahwa gestur itu merupakan aba-aba sebantar lagi Anisya akan menangis. Dan benar saja, tiga detik kemudian tangis Anisya pecah. "Lho lho kenapa kamu nangis? Ada apa? Masih aja cengeng." Alin tak sabaran menunggu Anisya berhenti menangis untuk memuaskan rasa penasarannya. "Adik ... luka adik nggak hilang-hilang. Adik sakit." Untuk ketiga kalinya, Alin dan Adrian kembali lempar pandang dengan kening dipenuhi tanda tanya tak kasat mata. *** Tubuh Eliza meremang, badannya seakan kehilangan daya hingga ia harus meraba tembok agar tidak limbung. Setelah beberapa saat lalu Damar menceritakan apa yang sukses membuatnya syok hingga ia tidak bisa menyimpannya sendirian. "Tunggu, tunggu, Pa. Maksudmu Nino itu belum meninggal? Dia bukan arwah seperti kita?" "Yang jelas, dia beda dari kita." Damar merujuk pada luka Nino yang tak bisa hilang. "Tapi waktu Alin menusuknya, lukanya langsung gilang, kan?" "Beda, Liz," sergah Damar. "Yang tadi dia terluka karena tergores kayu, sementara yang sebelumnya adalah ditusuk pisau, benda yang cuma ada di alam kita. Sama kayak luka di kakinya yang sudah ada sejak kita menemukannya, luka itu juga belum hilang." Eliza menggeleng pelan, berusaha menyangkal semua itu, sama persis seperti yang dilakukan Damar beberapa waktu lalu. Tak peduli seberapa keras ia berpikir, tetap saja tidak masuk akal bagaimana Nino bisa melihat mereka jika benar dia adalah manusia. Dan, yang paling tidak masuk akal adalah mengapa Nino memiliki tanda lahir persis seperti yang dimilili Alden? Fakta bahwa Nino bukan anak kandung Abrawan membuat Damar tak bisa mencegah pikirannya untuk tidak berpikir, bagaimana jika sebenarnya Nino adalah Alden? "Aku bingung, Pa." Eliza meraba sekitar agar bisa mencapai kursi untuk diduduki. "Tapi kalau dia manusia kenapa dia bisa melihat kita? Ah, mungkin dia keturunan orang pintar yang bisa melihat benda halus kali, ya, Pa? Kita kan sama dengan hantu," pikir Eliza, berusaha menyimpulkan situasi agar lebih masuk akal untik dipahami. "Liz, masih ada satu hal yang harus kamu tahu." Meski masih belum yakin bagaimana menyampaikan ini ke Eliza, Damar tetap harus melakukannya karena Eliza berhak tahu. "Apa lagi?" tanya Eliza waspada sebab air muka Damar sangat serius. Ia belum siap untuk menerima kejutan lain, tapi di sisi lain merasa penasaran. "Nino ... aku rasa, dia adalah Alden kita."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN