KH Bisri Sansuri

3788 Kata
Kiai Bisri Syansyuri Teguh Berfiqh Tegas Bersikap Kiai Haji Bishri Syansuri (18 September 1886 – 25 April 1980) seorang ulama dan tokoh Nahdlatul Ulama (NU). Ia adalah pendiri Pondok Pesantren Denanyar, Jombang dan terkenal atas penguasaannya di bidang fikih agama Islam. Bisri Syansuri juga pernah aktif berpolitik, antara lain sempat sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) mewakili Masyumi, menjadi anggota Dewan Konstituante, ketua Majelis Syuro Partai Persatuan Pembangunan dan sebagai Rais Aam NU. Ia adalah kakek dari Abdurrahman Wahid, Presiden Republik Indonesia keempat. . Bisri Syansuri lahir dari pasangan Syansuri dan Mariah, pada tanggal 18 September 1886 (2 Dhulhijjah 1304 H). Anak pertama dari pasangan ini bernama Mas’ud, yang kedua adalah anak perempuan bernama Sumiyati. Bisri adalah anak ketiga dan setelah itu masih ada dua anak lagi yaitu Muhdi dan Syafa’atun. Mereka semuanya lahir di Desa Tayu, Pati, Jawa Tengah. Keluarga ini sangat kuat dalam menjalankan ibadah, dari garis silsilah ibunya, Bisri merupakan keluarga besar Kiai Kholil Kasingan Rembang dan Kiai Baidlowi Lasem[1]. Masyarakat Tayu pada umumnya memiliki tingkat kehidupan yang rendah apabila di bandingkan dengan derah lainya di pulau Jawa. Tanah pertanian yang tidak subur dan laut yang tidak meghasilkan ikan, menjadikan masyarakatnya bersikap pasrah dan mempercayai segala macam takhayul. Pada kondisi yang seperti itu, banyak orang tua yang menyekolahkan anaknya di pesantren. Pesantren merupakan pusat pendalaman ilmu dan pesantren juga memiliki peran yang vital sebagai penyedia calon ulama bagi daerah pedalaman Jawa. Ulama yang dihasilkan dari pesantren tidak pernah putus hingga saat ini. Bisri, anak ketiga dari Syansuri dan Maniah nantinya juga ditakdirkan akan menjadi bagian dari proses pengembangan ajaran Islam di pedalaman Jawa. Bisri mulai belajar Al-Qur’an pada usia tujuh tahun dengan belajar membaca dan aturan bacaan (tajwid) pada Kiai Shaleh di Desa Tayu. Pelajaran tersebut ditempuh Bisri hingga usia Sembilan tahun, kemudian beliau melanjutkan belajarnya kepada keluarga dekatnya yang menjadi ulama terkenal dan memiliki pesantren di Desa Kajen sekitar 8 km dari Tayu. Gurunya adalah Kiai Abdul Salam yang hafal Al-Qur’an dan terkenal dengan penguasaannya yang mendalam tentang ilmu fiqih. Melalui ulama ini pula, Bisri mempelajari dasar-dasar tata bahasa Arab, fiqih, tafsir, serta kumpulan hadits. Kiai Abdul Salam dalam mendidik Bisri sangat ketat. Sikap Kiai Salam yang fiqih oriented inilah yang kemudian mempengaruhi pola pikir dan karakter Bisri di kemudian hari[2]. Hidup KH. Bisri Syansuri menegaskan jika dia meneruskan perjuangan Syekh Mutamakkin. Masa hidupnya hampir bersamaan dengan Syekh Abdurrahman Ba syaiban atau Pangeran Sambu yang makamnya di belakang Masjid Lasem Rembang. Keduanya me miliki kedekatan kekerabatan yang bertemu pada Sultan Pajang, Sultan Hadiwijaya/Jaka Tingkir. Ke duanya berjuang bersama melanjutkan perjuangan Jaka Tingkir yang telah menjauhi kehidupan keraton untuk berkiprah di masyarakat. Dari jalur Pangeran Sambu inilah dikemudian hari muncul ulama-ulama besar terutama di Lasem, seperti Mbah Ma shum, Mbah Baedlowie, Mbah Zubair, Mbah Abdul Aziz, Kiai Umar Harun dan lain sebagainya. Karenanya, tak heran jika pada era berikutnya, para penerus Syekh Mutamakkin dan Syekh Abdurrahman Sambu saling bersilaturahmi dan bersinergi. Dan, Bisri adalah titik temu dari kedua jalur syekh tersebut, sehingga hubungannya dengan Kiai Hasyim Asy ari cukup dekat dan mem beri perhatian khusus kepada Bisri Syansuri, bahkan akhirnya memperat hubungannya dengan menikah kan putra-putri mereka. Dalam Arsip Nasional III-6 disebutkan, tepat nya pada tahun 1898, Bisri menuju ke Kajen, bersama putra Kiai Amin, yaitu KH. Sholeh Amin (pendiri NU). Di Kajen, Bisri berguru kepada Kiai Siroj dan Kiai Abdus Salam. Kiai Siroj bin Ishaq (w.1926 M), pendiri Pon dok Wetan Banon (sekarang bernama Salafiyah) di Kajen Pati. Kiai Siraj, murid Kiai Ismail Kajen dan Kiai Abdullah. Kiai Abdullah merupakan salah seorang kiai yang cukup berpengaruh di zamannya, sebuah titik balik generasi penerus leluhurnya, Syekh Mutamakkin. Sedangkan KH. Abdus Salam (w. 1944) adalah salah satu putra Kiai Abdullah, pendiri Pondok Pesantren Mathaliul Falah kajen. Sebenarnya, KH. Abdus Salam masih paman Bisri dari jalur ibu. Putra-putra KH Abdus Salam cukup dekat dengan Bisri Syansuri, seperti KH. Mahfudh (ayah KHM. Sahal Mahfudh, Rois Aam PBNU) dan KH. Abdullah Salam. KH. Abdus Salam ini juga cukup dekat dengan Kiai Hasyim Asy ari. Pernah dalam suatu kesempatan Kiai Hasyim Asy ari berkesempatan silaturahmi di kediaman beliau. Aku pengen ketemu Kiai Salam, kata Kiai Ha syim Asy ari. Salah satu saudara Kiai Abdus Salam, Kiai Nawawi pun mengantarkan. Sampai di ke diaman Kiai Salam, didapati tuan rumah sedang mengajar anak-anak kecil mengaji. Kiai Hasyim serta-merta menahan langkah, menyembunyikan di ri dari pandangan Kiai Salam, dan menunggu. Setelah semua anak-anak kecil itu selesai mengaji, barulah Kiai Hasyim mengucap salam, yang lantas disambut dengan suka-cita luar biasa. Setelah bercengkrama dan meninggalkan ke diaman Kiai Salam, Kiai Hasyim kelihatan ngungun. Air matanya mengambang. Yahya Staquf menceri takan ulang dalam bentuk percakapan seperti ini: Ada apa, Yai? Kiai Nawawi keheranan. Kiai Hasyim mengendalikan tangisnya, meng hela napas dalam-dalam. Aku punya cita-cita sudah sejak sangat lama tapi hingga sekarang belum mampu ku laksanakan Kiai Salam malah sudah istiqomah Aku iri Cita-cita apa, Yai? Ta liim as shibyaan (Mengajar anak-anak kecil). Kiai Abdul Salam yang hafal al Quran dan terkenal dengan penguasaannya yang mendalam atas fiqh itulah yang nampaknya telah mematri minat Bisri dalam berkiprah. Di bawah ulama ini Bisri mempelajari dasar-dasar tata bahasa Arab, fiqh dan tafsir al Quran (seringkali disingkat 'tafsir' saja) serta kumpulan hadits Nabi yang berukuran kecil dan sedang. Kiai Abdul Salam menerapkan pola kehi dupan beragama yang sangat keras aturan-aturannya dan berjalur tunggal moralitas/akhlaqnya. Tidak heranlah jika di kemudian hari sifat berpegang pada aturan agama secara tuntas menjadi salah satu tanda pengenal kepribadian Bisri yang khas, yang menurut Gus Dur yaitu Pecinta Fiqh Sepanjang hayat. Gemblengan yang diterimanya dari Kiai Abdul Salam di usia menginjak masa remaja ternyata sangat membekas, dan sangat menentukan corak kepribadian yang berkembang dalam dirinya di kemudian hari, demikian tulis Gus Dur. Di bawah asuhan Kiai Salam ini, Bisri mempelajari ilmu fiqh dan ilmu-ilmu aqidah, berhubungan dengan doktrin, keyakinan keagamaan dan perilaku. Bisri nampaknya berprinsip sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui, sehingga selama di Kajen, sekaligus berguru kepada kiai Abdus Salam, Kiai Siroj dan tidak menutup kemungkinan dengan kiaikiai lainnya di Kajen. Guru-guru Bisri selama menuntut ilmu di Kajen dimakamkan di komplek pemakaman Syekh Mutamakkin Kiai Bisri juga memperdalam lagi dengan belajar kepada , KH Fathurrahman bin Ghazali di Sarang Rembang, Kiai Syua'ib Sarang (Rembang) dan Kiai Khalil Kasingan (Rembang). Pada usia 15 tahun, Bisri berpindah lokasi belajar. Beliau menuju pesantren di Demangan, Bangkalan Madura di bawah asuhan KH. Kholil, seorang ulama besar yang menjadi guru dari hampir semua kiai yang terpandang di Jawa pada saat itu. Bisri mulai mempelajari ilmu nahwu dan shorof sebagai pendukung ilmu Al-Qur’annya. Saat berguru pada Kiai Kholil inilah, beliau bertemu dengan Abdul Wahab Hasbullah, seorang santri yang menjadi sahabat dan rekan perjuangannya. Pada waktu itu tradisi santri berkeliling untuk menuntut ilmu masih sangat kuat terjadi di beberapa pesantren. Begitu pula yang dilakukan oleh Bisri dan Wahab Hasbullah. Pada tahun 1906 keduanya memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di Pesantren Tebuireng Jombang, asuhan KH. Hasyim Asyari. Bisri belajar di Pesantren Tebuireng selama 6 tahun. Bisri dan Wahab sangat mengagumi reputasi pimpinan Pondok Pesantren Tebuireng yakni KH. Hasyim Asy’ari, karena kedalaman ilmu-ilmu agamanya sehingga membuat beliau mendapat gelar maha guru atau Hadratussyaikh[3]. Selama di Tebuireng, Bisri mendapat ijazah ajar dari gurunya untuk mengajarkan kitab-kitab agama yang terkenal dalam literatur lama, seperti kitab fiqih Al Zubad (yang kemudian menjadi kegemarannya), hingga ke kitab hadis yang menjadi spesialisasi KH. Hasyim Asyar’i yaitu hadits Bukhari, dan Muslim. Ketika itu sudah terlihat corak keilmuan Bisri yang akan membuatnya terkenal di kemudian hari. Pendalaman pokok-pokok pengambilan hukum agama dalam fiqih sangat beliau kuasai. Bisri menyelesaikan pendidikannya di Tebuireng pada tahun 1911-1914, kemudian berangkat ke Mekkah bersama Abdul Wahab Hasbullah. Keduanya kemudian belajar pada sejumlah ulama terkemuka di Tanah Suci, semisal Syaikh Muhammad Baqir al Jogjawi, Syaikh Muhammad Sa’d Yamani, Syaikh Ibrahim Madani, dan Syaikh Jamal Maliki. Juga belajar kepada gurunya Kiai Hasyim Asy’ari seperti Kiai Ahmad Khatib Padang, Syu’aib Daghistani dan Kiai Mahfuz Termas. Ketika Kiai Bisri berada di Mekkah selama dua sampai tiga tahun, di sana awal mula pembentukan sebuah cabang Sarekat Islam di tanah suci. Pendirinya antara lain, KH. A. Wahab Hasbullah, KH. Asnawi Kudus, KH. Abbas Jember, dan KH. Dahlan Kertosono. Kiai Bisri tidak melibatkan diri dalam organisasi tersebut, namun hal ini kemudian mengubah pola pikirnya bahwa perlunya mengorganisir dalam melakukan perjuangan keagamaan di luar jaringan pesantren. Selain itu Kiai Bisri tidak ikut terlibat secara intens dalam organisasi Sarekat Islam karena menunggu perkenaan dari guru yang sangat dihormatinya, Kiai Hasyim Asy’ari, hanya saja, sebelum mendapat izin dari gurunya, beliau harus kembali ke Tanah Air[5]. Sebelum kembali ke tanah air, Kiai Bisri menikah dengan Nur Khadijah, adik perempuan sahabat karibnya, KH. A. Wahab Hasbullah. Pernikahan ini terjadi pada tahun 1914, dan pada saat itu pula Kiai Bisri memutuskan untuk kembali ke tanah air.Di kemudian hari, anak perempuan Bisri Syansuri (Nyai Solihah) menikah dengan KH Wahid Hasyim dan menurunkan KH Abdurrahman Wahid dan Ir.H. Solahuddin Wahid. Sepulangnya dari tanah suci Kiai Bisri menetap di pesantren mertuanya, Tambak Beras Jombang. Bisri tinggal selama dua tahun, untuk membantu mertuanya di bidang pendidikan dan pertanian. Pada tahun 1917 Kiai Bisri berencana untuk mendirikan sebuah pesantren di Desa Denanyar Jombang. Denanyar merupakan sebuah desa yang terletak di garis perbatasan antara Kota Jombang dengan daerah pedalaman sebelah barat laut. Dengan letak yang strategis, didukung adanya pabrik gula yang praktis, namun ternyata Desa Denanyar rawan dengan berbagai tindak kejahatan, seperti perampokan, pencurian, dan pembunuhan. Kiai Bisri tidak gentar melihat berbagai kejahatan di desa tersebut, beliau tetep yakin dengan niat awalnya untuk mendirikan pesantren dan mertuanya Kiai Hasbullah sangat mendukung langkahnya untk mendirikan pesantran. Hingga pada akhirnya Kiai Bisri berhasil mendirikan pesantren sendiri di Denanyar. Hanya saja sebagaimana kebiasaaan saat itu, Kiai Bisri menerima santri putra saja dan tidak menerima santri perempuan. Pada era tersebut masyarakat masih memandang remeh pendidikan bagi anak perempuan, ditambah lagi tidak ada sekolah ataupun pesantren yang menerima perempuan. Perempuan pada zaman tersebut hanya disuruh diam saja di rumah untuk membantu memasak dan setelah itu disuruh menikah walaupun umur mereka masih terbilang dini untuk menikah. Akses pendidikan juga sangat terbatas, hanya anak-anak priyayi yang bisa bersekolah. Kiai Bisri kemudian bertekad untuk memajukan pendidikan Islam yang kemudian bersama istrinya melakukan sebuah inovasi dengan membuka kelas khusus untuk santri-santri putri. Langkah inovatif ini dimulai pada tahun 1919 dengan memberikan pendidikan yang sistematis kepada santri putri. Dalam tradisi pesantren, pondok pesantren putri Denanyar dipandang sebagai satu-satunya yang ada pada masa itu atau setidaknya di wilayah Jawa Timur. Tidak heran apabila kemudian Kiai Bisri disebut sebagai pejuang kesetaraan gender, khususnya di kalangan pesantren. Kiai Bisri lah orang pertama yang mendirikan kelas khusus untuk santri-santri perempuan di pesantren yang didirikannya. Di zaman yang masih kental dengan nilai-nilai patrimonial waktu itu, apa yang dilakukan Kiai Bisri termasuk kategori aneh. Guru yang sangat dihormatinya, Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari tidak menentang terobosan yang dilakukannya. Kalau saja hadratussyaikh melarang, niscaya Kiai Bisri tidak akan melanjutkan langkah fenomenal yang telah dibuatnya. Hal ini semata-mata karena takdzimnya yang begitu mendalam kepada sang guru yang dicintainya. Pesantren Kiai Bisri di Desa Deanyar tersebut kemudian dinamai dengan pesantren Mamba’ul Ma’arif. Pada tahun 1923, Kiai Bisri mendirikan Madrasah Salafiyah yang pelajarannya khusus pada pelajaran agama. Lama pelajarannya 6 tahun dengan menyandang nama resmi Madrasah Mabadi’ul Huda. Selain bergerak di dunia pesantren, Kiai Bisri juga sisi pergerakan, ia bersama-sama para kiai muda saat itu antara lain KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Mas Mansyur, KH Dahlan Kebondalem, dan KH Ridwan, membentuk klub kajian yang diberi nama Taswirul Afkar (konseptualisasi pemikiran) dan sekolah agama dengan nama yang sama, yaitu Madrasah Taswirul Afkar. Ia adalah peserta aktif dalam musyawarah hukum agama, yang sering berlangsung di antara lingkungan para kiai pesantren, sehingga pada akhirnya terbentuklah organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Keterlibatannya dalam upaya pengembangan organisasi NU antara lain berupa pendirian rumah-rumah yatim piatu dan pelayanan kesehatan yang dirintisnya di berbagai tempat. Pada masa penjajahan Jepang, Bisri Syansuri ini terlibat dalam pertahanan negara, yakni menjadi Kepala Staf Markas Oelama Djawa Timur (MODT), yang berkedudukan di Waru, dekat Surabaya. Pada masa kemerdekaan ia pun terlibat dalam lembaga pemerintahan, antara lain dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), mewakili unsur Masyumi (tempat Nahdlatul Ulama tergabung secara politis). Pesantren, tidak pernah ditinggalkan, sekalipun sudah menjadi pejabat. Terbukti antusiasme masyarakat terbilang tinggi. Ini dibuktikan dengan berdirinya madrasah untuk santri putra dan putri ini terisi penuh empat kelas. Inovasi terus dilakukan oleh Kiai Bisri dengan cara mengubah bentuk madrasah salafiyah menjadi madrasah modern. Perubahan radikal ini dilakukan kurang lebih pada awal tahun 1950-an, setelah bangsa Indonesia benar-benar berdaulat. Di tengah-tengah proses reformasi pendidikan pesantren ini, istri Kiai Bisri, Hj. Nur Khadijah meninggal dunia pada tahun 1955. Wafatnya istri yang setia mendampingi Kiai Bisri dalam melakukan reformasi di bidang Pendidikan Islam ini tentu banyak mempengaruhi pemikiran Kiai Bisri. Hanya saja, Kiai Bisri tidak mau larut dalam kesedihan. Pada tahun 1956, atas prakarsa Kiai Bisri, dibukalah Madrasah Tsanawiyah yang setara dengan SLTP. Dua tahun berikutnya, tepatnya tahun 1958, Madrasah Tsanawiyah putri dibuka. Modernisasi terus dijalankan secara konsisten. Tepat pada tahun 1962, didirikanlah Madrasah Aliyah yang kemudian juga berjalan dengan stabil. Pada tahun itu juga status organisasi dikukuhkan dengan membentuk Yayasan Mamba’ul Ma’arif (YAMAM)[6]. Kiai Bisri tidak pernah berkeinginan mengubah Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif menjadi lembaga pendidikan modern, namun dalam perkembangannya Kiai Bisri menghendaki adanya kurikulum Salaf dan Kholaf dalam Pondok Pesantren. Mengenai hal kurikulum pengajaran di Lembaga Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif terdapat perpaduan kurikulum salaf dan kholaf yang sejatinya tidak dapat diprosentasikan secara pasti, dikarenakan adanya lembaga pendidikan baru yang bersifat formal ini menopang pendidikan salaf pondok pesantren, namun dapat diperkirakan sekitar 70% pendidikan salaf dan 30% pendidikan kholaf (departemen agama). Dari lembaga pendidikan ini lahir beberapa tokoh besar seperti PROF. KH. Abd. A’la Basyir, DR. DRA. Hj Sinta Nuriah Wahid ., M.Hum, KH. Arori Ahmad (PP MAMBA’UL MA’ARIF Denanyar,Jombang) dll. Ia juga menjadi anggota Dewan Konstituante tahun 1956, hingga ke masa pemilihan umum tahun 1971. Setelah wafatnya KH Abdul Wahab Chasbullah, tahun 1972 ia diangkat sebagai Rais Aam (ketua) Syuriah (pimpinan tertinggi) Nahdlatul Ulama.[butuh rujukan] Ketika NU bergabung ke Partai Persatuan Pembangunan, ia pernah menjadi ketua Majelis Syuro partai ini. Ia terpilih menjadi anggota DPR sampai tahun 1980. Pemikiran Kiai Bisri tercatat sebagai penggagas terobosan-terobosan yang sangat maju pada masanya dalam aspek fiqih. Contohnya dalam hal RUU Perkawinan, dan Keluarga Berencana. Salah satu prestasi yang paling mengesankan yaitu ketika Kiai Bisri Syansuri berhasil mendesakkan disahkannya UU perkawinan hasil rancangannya bersama-sama ulama NU. Padahal sebelumnya pemerintah sudah membuat rancangan Undang-Undang Perkawinan ke Dewan Perwakilan Rakyat. Kiai Bisri memiliki pola pikir fiqih minded, ternyata mampu memberikan pengaruh signifikan pada setiap gagasan yang beliau lahirkan. Modernisasi pendidikan Islam agar tetap berkembang sesuai kemajuan zaman terus dilakukan oleh Kiai Bisri. Maka atas dasar itu pendirian pesantren putri yang pertamaka kali di Jawa dipelopori oleh Kiai Bisri, kelak di kemudian hari diikuti oleh banyak kiai lainnya. Sehingga pendidikan tidak diskriminatif dengan mengutamakan laki-laki saja. KH. M. Bisri Syansuri dikatakan sebagai “Kiai Plus“. Dalam diri KH. Bisri Syansuri paling tidak melekat tiga karakter sekaligus. Yaitu sebagai perintis kesetaraan gender dalam pendidikan di pesantren, seorang ahli dan pecinta fiqh dan sekaligus seorang politisi. Kiai Bisri berupaya membekali para santrinya dengan kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan kinestetikal (keterampilan). Santri yang tidak mempunyai keterampilan hidup, maka akan menghadapi berbagai problematika yang akan mempersempit perjalanan hidupnya. Dengan demikian dapat dipahami bahwa tujuan pendidikan Kiai Bisri adalah untuk memenuhi kebutuhan duniawi dan ukhrowi, moralitas dan ahlak, dengan titik tekan pada kemampuan kognisi (iman), afeksi (ilmu) dan psikomotor (amal, akhlak yang mulia). Kiai Bisri Syansuri selain menjadi pengasuh pesantren juga berperan aktif dalam mendirikan Organisasi Nahdlatul Ulama pada 31 Januari 1926 di Surabaya. Beliau duduk sebagai A’wan (anggota) Syuriah dalam susunan PBNU pertama kali. Pada masa perjuangan kemerdekaan, Kiai Bisri bergabung ke dalam barisan Sabilillah dan menjabat sebagai Kepala Staf Markas Besar Oelama Djawa Timoer (MBO-DT) yang kantornya di belakang pabrik paku Waru, Sidoarjo. Di saat maju bertempur di Surabaya, Kia Bisri ditemani santrinya yakni Salamun dan Ahmadun (adik) sesuai perintah gurunya KH Bisri Syansuri harus "gantian" kalau ikut bertempur di Surabaya dari markas Kiai Bisri ini. Dan KH Bisri Syansuri jugalah yang mengatur semua logistik makanan untuk para pejuang..makanan para pejuang itu tiwul dan gatot (terbuat dari ubi kayu) yang dibungkus daun pisang. Setelah peristiwa Surabaya, tepatnya pada 1947 atau di saat Agresi II Belanda, bapak saya dapat tugas lagi dari KH Bisri Syansuri untuk menyembunyikan dan menemani KH Wahid Hasyim (menantu beliau) di rumah Bapak di Desa Turipinggir Megaluh. Sekitar empat bulan lamanya KH Wahid Hasyim berada di Turipinggir bersama Bapak, Paklek Ahmadun, Pakde Munandar dan juga penjagaan barisan Lasykar Hizbullah lain. Di Turipinggir pada setiap malam Jumat, KH Bisri Syansuri sang mertua selalu saja mengirimkan hidangan matang kepala kambing untuk sang menantu yg diantar dua orang santri yang berjalan kaki 8 km, jarak Denanyar-Turipinggir. Dan itu ternyata makanan kegemaran KH Wahid Hasyim "ayah Gus Dur" ini. Kiai Bisri juga menjadi anggota BP KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) mewakili Masyumi (tempat Nahdlatul Ulama tergabung secara politis). Tetapi keterlibatan tersebut dilanjutkan dalam keanggotaan Dewan Konstituante tahun 1956, hingga kemudian Kiai Bisri memilih untuk menghendaki keluarnya Nahdlatul Ulama dari keanggotaan partai Masyumi. Kemudian setelah Nahdlatul Ulama keluar dari Masyumi yang menjadi partai politik tersendiri dengan kemampuan menyuguhkan kekuatan besar dalam pemilihan umum tahun 1955. Terakhir keterlibatannya yang semakin besar dalam urusan pemerintahan di negeri ini, tugas yang dipikul Kiai Bisri menjadi tidak semakin ringan dan waktu yang dapat disediakannya langsung untuk mendidik santri di pesantrennya juga semakin mengecil. Sifat dari kekuasaan Syuriah (Dewan Agama) yang begitu besar dalam lingkup pengambilan keputusan di lingkungan Nahdlatul Ulama, yang bahkan dapat membatalkan keputusan yang diambil oleh pihak Tanfidziah (Dewan Pelaksana), dengan sendirinya membuat lebih penting lagi keterlibatan Kiai Bisri dalam proses pengambilan keputusan politik. Setelah wafatnya Kiai Hasyim Asy’ari, kedudukan Ra’is Akbar dihapuskan dan digantikan kedudukan Rais Am sejak 1947, dengan Rais Am pertama Kiai Abdul Wahab dan Kiai Bisri sebagai wakilnya. Untuk memasuki era Demokrasi terpimpin bukan perkara mudah bagi para pemimpin NU. Walaupun organisasi para ulama tersebut setuju dengan Manifesto politik dan kembali ke UUD 1945, tetapi ketika hendak masuk Kabinet dan DPR-Gotong Royong menjadi masalah karena pada waktu itu ada dua aliran. Kiai Wahab menghendaki NU masuk dalam sistem tersebut, sementara Kiai Bisri Syansuri menentangnya. Dengan argumen yang kuat akhirnya pendapat Kiai Wahab yang diterima secara resmi, sehingga NU masuk ke dalam sistem Demokrasi Terpimpin. Pasca peristiwa G30 S/PKI tahun 1965, Kiai Bisri harus meninggalkan Jombang untuk turut dalam pengambilan keputusan di lingkungan NU mengenai masalah-masalah nasional. Kiai Bisri pun diangkat sebagai Rais Am. Ketika NU bergabung ke PPP (partai persatuan pembangunan), Kiai Bisri juga menjadi ketua Majelis Syuro partai ini. Pendirian prinsipil NU dalam sejumlah perbenturan dengan pemerintah selama tahun 1970-an biasanya dikaitkan dengan kepemimpinan KH. Bisri Syansuri. Sikap rendah hati dan tidak gila jabatan tampak saat mengikuti dinamika perjuangan di tahun 1960-an. Saat berlangsungnya Muktamar NU ke-24 pada tahun 967 di Bandung, Kiai Bisri menunjukkan sikap tawadlu’ yang perlu kita teladani. Ketika itu sedang terjadi pemilihan Rais Am yang melibatkan antara dua kiai sepuh yang sama-sama berwibawa, yaitu KH. Abdul Wahab Hasbullah Rais Syuriah PBNU dan Kiai Bisri. Hasil pemilihan ternyata di luar dugaan.Walaupun lebih muda, tiba-tiba Kiai Bisri bisa meraih suara terbanyak. KH. Abdul Wahab Chasbullah pun menerima kekalahan dengan berbesar hati, apalagi yang mengalahkan sahabat dekatnya sekaligus adik iparnya sendiri. Menanggapi sikap Kiai Bisri, Kiai Wahab menerima amanah itu. Tidak perlu merasa tersinggung, karena walaupun sudah uzur tetapi merasa masih dibutuhkan untuk memimpin NU dalam menghadapi situasi sulit masa orde baru. Sementara Kiai Bisri dipercaya sebagai Wakil Rais Am. Kemudian ketika Kiai Wahab wafat pada tahun 1971, baru Kiai Bisri menduduki posisi sebagai Rais Am hingga wafat pada tahun 1980 dan kedudukannya sebagai Rois Aam PBNU digantikan oleh Kiai Ali Ma'sum Krapyak, Yogyakarta. Itulah keteladanan politik kiai. Beberapa partai politik di Indonesia cenderung terus mengalami degradasi dan gagal membangun sistem internal yang kokoh. Karena itu gagal pula menjadi unsur penting yang menopang proses stabilisasi politik nasional. Hal itu bisa terjadi karena beberapa elite partai tidak mampu mengawinkan ketiga perspektif di atas (teologis, akhlak dan fiqh) dalam berpolitik, bahkan sebagian lagi mengabaikan ketiga dimensi itu, sehingga terseret dalam pusaran konflik yang berkepanjangan. Orientasi politiknya hanya kekuasaan jangka pendek, aturan main cenderung dilanggar, dan kesantunan politik diabaikan. Suatu praktik politik bertentangan dengan apa yang sudah dibangun para kiai di masa lalu. Kiai Bisri adalah orang besar, karena beliau memilih mengikuti sebuah pola kehidupan yang tunduk kepada hukum fiqh. Dengan kewafatannya, hilang pula sebuah tonggak besar dalam kehidupan kita sebagai bangsa: angkatan ulama yang mampu menerapkan hukum fiqih. KH. Bisri Syansuri memang tidak banyak menulis karya berupa buku,” kata Kiai Aziz Mashuri, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Aziziyah Denanyar Jombang. Ini memaklumi pertanyaan tersebut, sebab untuk mengukur kebesaran seseorang kadang-kadang dinilai dari banyaknya buku dibuat. Namun, melihat kiprah Mbah Bisri, jelas penilaian di atas kurang tepat. Sebab, karya monumental Mbah Bisri bersama beberapa ulama lain adalah organisasi bernama Nahdlatul Ulama (NU) serta orang-orang besar yang dibimbing Mbah Bisri dalam rapat, pengajian di rumah dan masjid, diskusi di dalam perjalanan, di dalam rapat politik, maupun dalam berbagai kesempatan lain. Buah pikirannya juga terurai di mana-mana, dalam banyak kesempatan dan peristiwa, dikembangkan oleh banyak kader dan santri, dan tidak sempat dibukukan. Adapun perkara minim dan nihilnya pendokumentasian gagasan dan buah pemikiran Mbah Bisri ini juga dapat dimaklumi karena selama beliau hidup tidak memiliki seorang sekretaris maupun asisten pribadi yang bertugas mencatat pemikirannya. Jadwal yang sangat padat dan aktivitasnya sebagai pemimpin umat, sejak muda hingga menjelang kewafatan pada usia kurang lebih 96 tahun, ternyata dirasa cukup kurang untuk bisa memiliki waktu luang menulis buku. Sebaliknya, dalam kurun 70 tahun, waktunya digunakan untuk membina umat, mengasuh pesantren, menemani kalangan ulama, berdiskusi dengan politisi dan kelompok pergerakan, berjuang di era perang kemerdekaan, dan menyediakan diri sebagai nahkoda NU. Benar, Mbah Bisri memang tidak sempat menulis buku beraksara A, B, C maupun Alif, Ba, Ta dan seterusnya, tapi beliau telah menulis dalam jiwa para santri, kader, dan masyakat melalui keteladanan selama hidupnya. Jadi, Mbah Bisri tidak menulis buku, karena hidupnya adalah teks terbuka yang bisa dibaca oleh siapapun. KH. Bisri Syansuri wafat pada umur 93 tahun, tepatnya pada tanggal 25 April 1980. Beliau dimakamkan di komplek Pesantren Denanyar (PP Mamba’ul Ma’arif Denanyar, Jombang. Ia meninggalkan putra ; Ahmad Atoillah, yang dikenal dengan nama KH. Ahmad Bisri, Muassomah, Muslihatun, Nyai Sholihah Wakhid Hasyim, Musyarofah, Sholihun, Ali Abd Aziz dan Shohib. Sumber Referensi 1. KH. A, Aziz Masyhuri, Almaghfirlah KH. M. Bisri Syansuri: Cita-cita dan pengabdiannya (Surabaya:al-ikhas,tt), hal 21. 2. Abdurrahman Wahid, Kiai Bisri Syansuri : Pecinta Fiqih Sepanjang Hayat, (Jakarta: Amanah, 1989), hal 10. 3. Kiai Bisri Syansuri; Tegas Berfiqih, Lentur Bersikap 152 4. Amin, Samsul Munir. Percik Pemikiran Para Kiai. Yogyakarta: PT. LKIS Printing Cemerlang, 2009. 5. Anam, Choirul. Profil Nahdlatul Ulama Sebagai Organi sasi Sosial Keagamaan Berhalauan Ahlussunah Wal Jama ah. Surabaya: Aneka Ilmu, 1984. 6. Anonim. Ibu Kartini Seratus Tahun. Jakarta: PP Mus limat NU, t.t. 153 Simpedes BRI 372001029009535
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN