"Kamu jangan coba-coba kabur dari sini, ya. Kalau nekat, sama saja kamu mau bunuh Daddy!" Itu adalah peringatan kesekian kali yang dilayangkan Tuan Dominic pada putri semata wayangnya.
"Dad, stop ngulang kalimat yang sama. Aku bosen dengernya, makin migren nih."
"Daddy takut kamu nekat, biasanya hidup kamu penuh dengan plot twist!"
Gadis bernama lengkap Alice Dominic itu tersenyum miring. Tidak hanya daddynya, teman-teman Alice pun tahu jika dia sering membuat kejutan untuk orang-orang di sekelilingnya. Mungkin lebih kerennya disebut akal kancil. Dia cerdik dengan seribu akal bulusnya!
"Gara-gara Daddy sih. Katanya hebat, kok sampai bangkrut?" decaknya keheranan. Masih tidak menyangka jika hidupnya memiliki plot setajam belati. Dia yang sering menciptakan kejutan, ternyata Tuhan lebih jago membuatnya hampir kena serangan jantung.
Tuan Dominic memijat pelipis. "Daddy lengah, alhasil kena tipu."
"Ah, cemen! Bukannya dari dulu Daddy kelewatan cerdas selama berbisnis? Lagian udah bagus-bagus punya kerjaan terjamin, malah nambah penyakit main judi. Bukannya meraup lebih banyak untung, malah gulung tikar. Ck ... Daddy, Daddy, apes banget hidupnya."
"Mungkin nasib Daddy ketularan plot twist kamu."
Alice bersungut, hatinya meremang marah, tapi tidak bisa diungkapkan karena Tuan Dominic adalah ayahnya. "Plot twistnya ngecewain, masa ngorbanin anak sendiri jadi santapan om-om? Ini namanya Daddy yang ketiban tangga, aku yang sekarat."
"Sudah nggak ada pilihan lain, Alice. Siapa lagi yang Daddy harapin selain kamu?" Alice kembali membuang muka, berasa terkubur hidup-hidup dalam kegelapan. "Daddy menikahkan kamu, bukan menyuruh kamu jual diri."
"Apa bedanya? Aku menikah sama om itu biar perusahaan Daddy selamat dari kebangkrutan. Daddy jual aku demi kekuasaan."
"Alice, dengarkan Daddy ... kalau kita nggak ngelakuin cara begini, memangnya kamu mau tinggal di kontrakan kecil, putus kuliah, dan nggak bisa lagi jajan enak?"
Alice mendengkus, melipat kedua tangannya di dadaa. Dia masih mengenakan gaun pengantin putih gading, sengaja pulang duluan dari tempat pemberkatan karena tidak betah berada di sana. Kali ini Alice tidak bisa berpura-pura bahagia, hidupnya sedang di ambang kesengsaraan.
"Kenapa Daddy nggak jual aku ke anak muda kaya raya aja sih? Jason itu umurnya tiga puluh dua tahun, apalagi sebutannya kalau bukan om-om. Jijik!"
Tiba-tiba teringat saat ciuman pertama mereka setelah mengucapkan janji suci tadi, cambang Jason mengenai wajah Alice, menggelikan!
Dia tidak suka pria bercambang--terkecuali Daddynya, semakin kelihatan tua.
"Daddy kalah taruhan sama Jason, dia sendiri yang meminta kamu sebagai imbalan. Apa boleh buat, daripada Daddy dipenjara, terus kita jatuh miskin. Nggak mungkin Daddy biarin kamu jadi gembel di jalanan."
"Padahal aku bisa sendiri nyari anak tunggal kaya raya," ucapnya angkuh.
Isi kepala Alice bekerja keras memikirkan cara menghindari suaminya saat pria itu datang. Jason sedang mengurus kerjaan katanya, entah kerjaan seperti apa, Alice tidak ingin ambil pusing. Dia harap Jason tidak mencampuri urusannya juga.
"Si Jason itulah yang kamu cari. Dia anak tunggal dari keluarga nomor satu di Ibukota ini. Kekayaannya nggak bisa kita ragukan lagi."
"Aish, harusnya kemarin aku perjelas aja doanya pada Tuhan. Anak tunggal kaya raya yang masih muda, bukan om-om ngeri kayak Jason. Dia kelihatan mesumm, mukanya penuh hal-hal mistiss!"
"Pokoknya pinter-pinter kamu aja jadi istrinya Jason, ya. Jangan buat dia marah, nanti dia rampas lagi aset Daddy, kita jadi gelandangan." Tuan Dominic bersiap pulang ke kediamannya, ingin istirahat. Beberapa hari ini terasa melelahkan, dia tidak bisa tidur memikirkan perusahaan dan nasib para karyawannya.
Alice berdiri, mencegah kepergian Tuan Dominic. "Daddy serius mau pulang sekarang? Aku gimana? Aku takut di sini, Dad, aku nggak bisa tanpa Daddy!"
"Kamu sudah menikah sama Jason, tentu saja di sini tempat tinggal kamu sekarang. Nanti Daddy suruh Pak Haris mengantarkan barang-barang kamu." Dia memeluk putrinya. Sangat berat melepaskan permata hatinya yang selama ini Tuan Dominic besarkan dengan rasa kasih dan cinta. "Ajak Jason main ke rumah setiap akhir minggu, rumah kita bakal sepi tanpa kicauan kamu. Biasanya pasti ada saja yang menyulut emosi."
"Aku nggak bakal betah di sini."
"Rumah ini dua kali lipat lebih luas dari rumah kita. Kamu suka kemewahan, pasti senang dimanjain Jason."
"Daddy yakin banget? Muka om-om itu kelihatan pemarah, aku takut dia nggak sesabar Daddy menghadapi tingkah unik aku."
Tuan Dominic terkekeh. "Bukan unik, tapi menyebalkan."
Alice menaikkan bahu, bahasa lembut yang dia ciptakan sendiri untuk menggambarkan tingkah absurdnya. "Ya sudahlah, Daddy hati-hati ya. Kalau Jason macam-macam sama janjinya, aku bakal minta cerai atau sekalian gores lehernya. Dia nggak boleh membohongi kita, aku udah rela jadi tawanan dia!"
"Daddy sudah memegangi kontrak kesepakatan hitam di atas putih. Jason nggak bakal melanggar, tergantung bagaimana kamu memperlakukan dia."
"Apa harus tidur bersama, Dad?" Dia menggigit bibirnya. Tiba-tiba deg-degan, padahal Jason belum datang.
Tuan Dominic mengangguk, menepuk puncak kepala Alice pelan sambil tersenyum sedih. Dia telah mengorbankan putri kesayangannya, semoga Tuhan tidak menghukumnya.
"Tentu saja, kalian suami dan istri. Sudah seharusnya kamu memberikan hak dia. Dalam surat perjanjian kamu juga diwajibkan memberi keturunan, jadi Daddy harap kamu bersedia hamil dalam waktu dekat. Jangan meminum pil, atau melakukan pencegah kehamilan lainnya. Jason bisa murka kapan saja. Daddy nggak mau dia menyakiti kamu."
Tangan Alice langsung berkeringat dingin, memeluk Tuan Dominic begitu erat, seolah memberitahu ketakutannya. "Semoga om-om itu cepat mati ya, Dad. Biar aku nggak usah susah payah menjadi istri dia."
Lihat bukan, Tuan Dominic mengira Alice akan menurut karena tidak berdaya, ternyata ada saja akal bulusnya dalam keadaan genting.
"Dia orang kuat dan sangat hati-hati, nggak semudah itu membuat dia meregang nyawa. Kamu jaga ucapan, berada di sini banyak yang mengawasi gerak-gerik kamu."
"Dia belum pulang, bisa aja kecelakaan di jalan 'kan? Aku beneran berdoa banget, Dad, nggak pa-pa jadi janda juga, yang penting bebas."
"Dasar anak ini ...!" Tuan Dominic gemas sendiri, kemudian segera menyudahi kekonyolan putrinya. "Daddy pulang dulu, kamu ke kamar saja, bersiap nenyambut kedatangan suami."
"Cih, mimpi apa aku semalam jadi sekarang udah jadi istri orang? Aku masih kuliah, lagi enak-enaknya main sama temen."
"Rayu Jason sebisa kamu, maka kamu bisa mendapatkan kebebasan yang sama."
"Aku nggak yakin!" Alice menggerutu jengkel.
Dia mengantarkan daddynya hingga mobil hitam itu melesat dari pekaran rumah Jason. Kediaman Herbert sangat mewah, Alice tidak membayangkan jika dia akan terkurung di sini selamanya.
Harus ada cara lain agar dia bisa bebas!
Jason bukan seseorang yang mudah diajak kerja sama, dia kelihatan kolot. Yah, namanya juga orang tua, pemikirannya berbeda dengan anak muda seusia Alice.
***
Setibanya Jason di kediaman Herbert, dia menyuruh para pekerjanya jangan ada yang berkeliaran di lantai atas--sekitar kamarnya. Dia tidak ingin diganggu oleh siapa pun saat melakukan permainan yang menyenangkan bersama istrinya.
Sangat geli menyebut gadis kecil itu istrinya. Tapi memang begitulah adanya, Alice sudah dia nikahi dengan perbedaan usia dua belas tahun. Gadis malang yang berhasil dia rampas dari ayahnya saat memenangkan permainan.
Ide cemerlang yang terlintas begitu saja saat sedang frustasi dipaksa menikah oleh ayahnya. Jason bisa menolak, tapi harus mengorban warisan keluarga yang akan jatuh ke tangan putra angkat Tuan Herbert--Aldric, sebanyak 75% dari keseluruhan saham.
Bagaimana bisa dia menyerah begitu saja, apalagi selama ini Jason selalu berkuasa di atas segalanya, tidak ada seorang pun yang berhasil mengalahkan kedudukan dia.
"Selamat siang, Tuan Jason. Menu kesukaan Tuan sudah siap, mau makan siang sekarang?" Bibi Pety menyapa hangat. Dia adalah juru masak andalan Jason.
Namun, agaknya siang ini berbeda. "Saya akan makan beberapa jam lagi, Bi." Ada sesuatu yang harus Jason cicipi terlebih dahulu. Ini lebih menakjubkan dari semua menu yang Bibi Pety ciptakan.
"Baik, Tuan. Ajaklah Nona Alice sekalian, dari tadi dia belum turun ke bawah, mungkin ingin makan siang bersama Tuan."
Jason hanya mengangguk kecil, kemudian meninggalkan Bibi Pety menaiki undakan tangga yang akan membawanya ke lantai dua--area pribadi Jason.
"Alice ... di mana kamu?"
Bariton itu mengagetkan Alice yang sedang memilih setelan di ruang khusus pakaian. Cepat-cepat dia bersiap sebelum Jason yang menemukannya dalam keadaan hanya mengenakan handuk sejengkal di atas lutut. Bisa habis dia dimakan oleh Jason.
Pria itu meletakkan jasnya di kepala sofa, melepaskan kemejanya hingga menyisakan celana panjang berwarna hitam. Tubuh atletisnya sangat seksi, terpahat dengan sempurna di usia yang begitu matang ini.
Awalnya Jason membuka kamar mandi, tapi tidak menemukan Alice di sana. Aroma bunga campur buah-buahan segar menyambut indra penciuman Jason, ketahuan jika wanita itu baru saja selesai membersihkan diri.
"Alice, di mana kamu? Jangan membuat saya marah. Akal kancil kamu itu tidak berlaku pada saya."
Kecerdikan Jason jauh di atas rata-rata, harusnya tidak mungkin Alice bisa membodohinya dengan gampang.
Alice keluar dari ruang pakaian. Dia mengenakan celana kain hitam dan blouse putih. Sangat rapi dan wangi. "A-apa?" sahutnya berusaha santai, meski sebenarnya tengah ketar-ketir takut dilempar Jason ke atas ranjang. Hei, pria itu menatap seolah sedang menelanjangii Alice!
"Mau ke mana kamu dengan pakaian rapi begitu?" Jason melipat tangan kirinya ke pinggang, sementara tangan yang satu mengusap rahang keheranan.
"Aku mau ke kampus."
"Kamu bercanda?"
Alice menggeleng cepat. Dia segera menghindar, menjemur handuk basahnya. Alice duduk di kursi rias, mengeringkan rambut dan memoles wajahnya dengan mekap sederhana ala anak kuliahan.
"Ini hari pernikahan. Tetap di rumah dan lakukan yang seharusnya."
Meski sedang tegang, Alice tetap melanjutkan kegiatannya. Nada bicara Jason begitu datar dan dingin, ekspresinya juga sulit dijelaskan. Kenapa pria itu begitu mengintimidasi?
Alice semakin takut padanya.
"Hari ini ada jadwal kuliah siang, aku nggak bisa bolos, nanti mengulang. Siapa suruh kamu milih tanggal nikah hari ini, harusnya weekend aja."
Jason tersenyum miring mendengar Alice berucap tegas padanya. Gadis itu memiliki nyali yang luar biasa.
"Semua keputusan ada pada saya." Jason mendekati Alice, berdiri tepat di belakangnya. Mereka sempat bersitatap melalui cermin, sebelum akhirnya Alice menghindar lebih dulu. "Apa perlu saya hubungi dosen kamu biar dia memberikan izin?"
Jason menepikan rambut Alice, memberi beberapa kecupan hangat pada ceruk leher gadis itu.
Alice berjengkit, segera memasukkan alat mekapnya ke dalam dompet khusus, lalu beranjak dari sana. "Dasar Jason mesumm!" umpatnya dalam hati.
"Aku mau berangkat kuliah dulu!"
Hanya dengan memencet sebuah tombol canggih miliknya, pintu kamar langsung terkunci otomatis. Jason kembali mengantongi remote kecil itu, menatap Alice dengan alis terangkat satu. Siapa pun tidak ada yang bisa bermain-main dengannya.
"Berteriaklah, tidak ada yang berani membebaskan kamu di sini."
Alice menggeram, kedua tangannya terkepal. "Jason, jangan cari gara-gara. Ini masih siang bolong, nggak lucu banget kamu meniduriku sekarang. Nanti malam aja, aku janji."
"Kamu akan kabur setelah dari kampus, saya hafal niat kamu itu."
"Ke mana aku bisa kabur? Sekali pun ke ujung dunia, kamu bakal tetap menemukan."
"Itu benar! Kamu cerdas."
Saat Jason mengambil langkah mendekati Alice, gadis itu segera berlari menghindar. Namun belum sempat jauh, Jason duluan merengkuh pinggangnya.
Sial, gerakan Alice terbaca olehnya.
"M-malam aja, Om. Suer, aku harus kumpulin niat dan keberanian dulu. A-aku bentar lagi mau ujian, takut nilainya langsung E. Dosen aku killer loh, dia nggak suka sama mahasiswa yang sering bolos kelas."
Dadaa Alice berdebar lima kali lebih cepat dari sebelumnya, jantung seakan jatuh ke perut saking gugupnya.
Berada dalam jarak dekat dengan Jason, napas pria itu terasa hangat di leher Alice. Ya Tuhan, suaminya ini benar-benar pemangsa!
Sudah cukup bermain-main dengan wanitanya, Jason melepaskan Alice, membuat gadis itu berpegangan pada lemari. "Dasar omes!"
"Saya masih mendengarnya, Alice."
"Buka pintunya, Om, aku mau berangkat ke kampus. Belum lagi kena macet, nanti aku telat."
"Apa saya tidak salah dengar? Perbaiki panggilan kamu, saya tidak senang mendengarnya. Am om am om, enak aja!"
"Jangan sok muda, kamu emang lebih cocok jadi Om aku daripada suami, ketuaan."
Jason duduk di sofa single, memejamkan matanya beberapa saat. "Pergilah, kamu membuat kepala saya makin pusing."
"Pintunya masih dikunci."
Jason hanya bertepuk tangan, sensor itu langsung berfungsi dengan baik. Terdengar suara wanita berbahasa Inggris, dia memberitahu jika pintu telah terbuka.
Astaga, canggih sekali kediaman orang kaya.
"Jangan mencoba kabur, kamu akan tau akibatnya."