PART 5 - LOWONGAN KERJA

1727 Kata
Mata seorang Pratama sejak tadi tak lepas sedikitpun dari sosok lelaki tampan yang memiliki rambut sangatlah tidak mencerminkan kerapihan sama sekali. Bagaimana tidak, jika diperhatikan, lelaki di depannya ini aslinya tampan. Hidungnya mancung, rahangnya lebar dan sorot matanya tajam. Kedua alisnya lebat, sama lebatnya dengan bakal bulu-bulu halus di sekitar rahangnya. Tapi bagi Tama yang sama-sama lelaki, rambut lelaki bernama Dhiyo ini terlalu berantakan sekali. Seolah memang tak menyukai kerapihan. Tama saja sering gatal jika sebulan tidak memotong rambutnya. Tak jauh dari tempanya, tampak Jono sedang berusaha membantu Dhiyo mengoleskan obat. Tadinya tentu saja Echa yang berinisiatif, tapi Tama tidak mengizinkan. Tidak akan ia biarkan adiknya dekat dengan lelaki yang tidak ia kenal siapa dan dari mana asal usulnya. "Pasti sakit ini sih." Jono mengoleskan perlahan obat luka di sudut bibir Dhiyo. Tangan bergerak tapi bibir Jono ikut berjarak alias mangap. Jangan lupakan juga matanya yang melotot dan hidung yang kembang kempis. Membayangkan sekeras apa pukulan yang diterima lelaki ini. "Ini sih sudah biasa." Dhiyo berusaha bicara perlahan. Walau begitu ia sedikit meringis. "Heh! Yey tukang ribut kah?" Kini mata Jono menyipit. "Kenapa sampai babak belur begini muka? Yey gak sayang sama wajah Yey yang tampan ini?" "Siapa namamu?" Pertanyaan Tama membuat semua yang ada di sana menatap ke arah Tama. Ia memang sudah mendengar nama lelaki ini tapi belum bertanya secara pribadi. Echa yang baru saja datang dari arah dapur setelah membuat teh manis hangat untuk mereka berempat ikutan menoleh ke arah kakaknya. Setelah meletakkan nampan di atas meja, ia ikutan duduk tak jauh dari Tama. "Dhiyo." Dhiyo menjawab. "Nama panjang?" "Cuma Dhiyo." "Asal dari mana?" Echa memutar bola matanya malas. "Kak Tama." "Kamu diam, kakak tanya dia." Bukan apa, Tama seolah sedang menginterogasi Dhiyo sekali. Padahal lelaki ini hanya mengantarkan Echa pulang. Bukan lelaki yang berstatus pacar atau kekasih hati yang harus Tama kenal luar dan dalam. Apalagi sampai bertanya nama panjang dan asal usul dari mana. Bahkan Tama masih menatap ke arah Dhiyo, ketika memberi peringatan pada sang adik. "Aku dari Jakarta. Kost di Jakarta pusat." Dhiyo menjawab dengan santai. Walau begitu ia menyadari ada bentuk kecurigaan dari lelaki, kakak Echa ini. "Pekerjaan?" Astaga! Echa menatap tak percaya pada kakaknya. Memang Kak Tama mau apasih? "Aku pengangguran sekarang." Tama tertawa garing. Jawaban yang sangat tidak masuk akal sekali. "Motormu itu bernilai, bukan motor seorang pengangguran." Jelas Tama bisa meraba harga motor yang lelaki ini kenakan. Motor yang mencerminkan kegagahan seorang laki-laki. Bukan motor yang biasa ia lihat dipakai oleh seorang tukang ojek, atau karyawan biasa. "Itu hadiah dari ibuku. Aku mana bisa beli motor. Aku kan masih cari-cari pekerjaan." Dhiyo tidak berdusta kali ini. Itu adalah pemberian kedua orangtuanya, tepatnya sang bunda. Tapi ternyata setelah membelikan motor itu, sang bunda menyesal karena ia jarang pulang ke rumah. Mata Tama kian menyipit. Entah, ia merasa ada yang aneh dari lelaki ini. Dan Dhiyo sesekali menatap ke arah Echa dan menemukan bentuk kekhawatiran di sana. Hatinya sedikit menghangat. Hingga senyum ia berikan begitu saja pada Echa. Tentu saja senyuman Dhiyo tersampaikan pada Echa. Gadis manis itu tersenyum, seolah memberitahu jika semua baik-baik saja. "Heh, eike yang mengobati yey, tapi si mungil yang diberi senyuman!" Jono protes. Sontak Dhiyo dan Echa memutus senyuman. "Hmmm." Tama berdehem. "Saya gak sembarangan membiarkan Echa dekat dengan orang asing." "Bisa kamu ceritakan apa yang terjadi malam ini?" "Kak Tama-" "Echa diam, kakak gak tanya sama kamu!" Echa merengut kesal, dan itu tampak menggemaskan di mata Dhiyo. Ia menghela napas sebelum berkata. "Malam ini aku janji ketemu sama bosku, di sebuah rumah makan. Aku sudah berhenti bekerja seminggu yang lalu, seharusnya aku dapat uang pesangon malam ini, tapi bosku gak datang. Dan di sana aku ketemu Echa sama kekasihnya yang bernama Ramdan!" "Hah! Ramdan, eike pikir namanya rujak!" Jono membereskan obat-obatan sambil komat-kamit. "Lalu?" "Aku melihat sesuatu terjadi pada Echa, dan berhubung bosku gak jadi datang, ya aku keluar. Lalu aku melihat Echa seperti orang yang mau bunuh diri." "Apa?" Tama dan Jono bertanya bersamaan. Keduanya serentak menoleh kepada Echa. "Ih gak! Echa gak bunuh diri! Dhiyo salah." Protesan Echa membuat Dhiyo tersenyum. Entahlah mendengar gadis ini menyebut namanya kok terasa berbeda dari rekan-rekannya yang lain, ya? Dhi-yo. Panggilan Echa padanya lebih mesra, ditambah wajah gadis itu semakin menggoda, walau dengan mulut mengerucut. Dhiyo lupa, jika Tama sejak tadi meneliti gerakan sedikitpun dari lelaki ini, termasuk ketika menangkap ada yang beda dari tatapan Dhiyo pada Echa. "Hmmm." Kembali Tama berdehem. "Yey kenapa babang tampan? Apakah sakit tenggorokan?" Jika tidak ingat ada tamu, ingin rasanya Tama melempar Jono dengan lap di bawah kakinya. Merusak suasana saja. Padahal kan dia sedang berperan menjadi seorang kakak yang over protektif pada adik satu-satunya. Apalagi Tama tahu lelaki tamunya ini seperti menaruh hati pada sang adik, dan Echa tampaknya pun sama. Ini kok aneh, kalau Echa sama si Ramdan, kok sejak tadi senyum-senyum gak jelas sama si Dhiyo sih! "Gak apa Jono, aku baik-baik saja." Tama menjawab pertanyaan Jono dengan santai. "Ya barangkali Yey tertelan biji kedondong, kan kita tadi nge-rujak! Aduh, kok rujak lagi sih!" Jono menutup mulutnya. Seakan nama rujak kini mondar-mandir di bibirnya. "Kamu lanjutkan lagi ceritamu coba!" titah Tama pada Dhiyo. "Ya ternyata aku salah, Echa hanya menyebrang dan tidak lihat-lihat. Hampir ia tertabrak mobil." "Oh my god! Serius yey mau ketabrak mungil?" Jono memandang horror. "Gak jadi Mas Jono. Kan ada Dhiyo yang tolong." Echa kembali menggeleng. "Setelah itu aku berinisiatif antar Echa pulang, karena Echa seperti tak tahu arah pulang. Dan tiba-tiba kekasih Echa datang dan kami ribut. Lelaki itu tidak terima Echa pulang bersamaku. Dia hendak memukulku tepat ketika Echa mau melerai keributan. Jadilah Echa kena pukul." "Aduh Cha-Cha Maricha! Yey itu ya, kalau ada orang berantem gak usah sok melerai! Kita jadi tim sorak saja di pinggir lapangan, jingkrak-jingrak macam cheleders!" "Itukan Mas Jono. Echa gak mau ada yang berkelahi karena Echa." "Ih mungil, ternyata mungil-mungil yey jadi perebutan dua cowok keren. Bagaimana kalau yey tumbuh sedikit saja itu body, bisa se-kecamatan perebutan yey!" Hah! Mas Jono semakin gak jelas! Bikin malu saja. "Eh tapi gak deh, eike belum lihat tampang si rujak! Apakah lebih ganteng babang ganteng gondrong apa si rujak?" "Gantengan Dhiyo lah!" Upss seketika Echa menutup mulutnya. Ia keceplosan. Echa menggigit bibir bawahnya ketika ke tiga pasang mata menatap ke arahnya. Echa bersemu. Kecurigaan Tama semakin besar pada sang adik sekarang. Jangan bilang Echa tipe gadis yang mudah berpaling ke lain hati. "Ih untung deh kalau gitu. Jadi yey putuskan saja si rujak itu!" "Kenapa kamu gak bilang akan pergi sama si-siapa lelaki itu?" Tama bertanya pada Dhiyo. "Ramdan," jawab Dhiyo pelan. Echa menunduk meremas kedua telapak tangannya. "Echa tadinya gak tahu kalau pertemuan malam ini berantakan kak." "Apa yang sebenarnya terjadi antara kamu dan Ramdan? Kamu pergi sama dia kan?" Echa mengangguk. "Lalu? Kenapa kamu akhirnya bisa sama Dhiyo? Kenapa dia gak bertanggung jawab sama kamu, bawa kamu pergi tapi biarkan kamu pulang sendiri? Lelaki b******k!" "Ramdan bermaksud memperkenalkan Echa sama kedua orang tuanya, tapi ...." "Tapi apa Echa? Bicara jangan sepotong-sepotong!" Gusar sudah Tama jadinya. "Kedua orang tua Ramdan tidak setuju kalau-" "Mereka orang kaya, iya!" Echa menunduk. Tama mengumpat. Ia membenci situasi ini. Ketika orang-orang yang memiliki kelebihan materi pasti akan memandang rendah orang seperti dirinya dan Echa. "Kakak sudah bilang sama kamu Echa, untuk hati-hati dalam bergaul, terutama dengan orang yang lebih dari kita." "Tapi Ramdan baik kok kak. Pasti ibunya yang larang dia antar Echa pulang." "Ck, tapi tetap mereka akan selalu melihat materi! Kamu mau sakit hati?" "Mbak Nanaz saja bisa bahagia dengan Pak Dayan-" "Jangan bawa-bawa mereka!" Bentakan Tama membuat Dhiyo ikutan menoleh. "Tidak semua orang seperti Dayan terhadap Nazla!" "Maaf, tapi boleh aku ikut bicara?" Dhiyo menginterupsi. "Aku gak bermaksud kurang ajar, tapi aku tidak setuju dengan ucapanmu." "Yang mana? Ucapanku yang mana yang kau tidak setujui?" "Tidak semua orang yang memiliki kelebihan materi bisa membuat sakit hati orang lain." "Tahu apa kamu. Mereka orang-orang kaya di luar sana, lebih menghormati dan lebih menghargai orang yang status sosialnya sama dengan mereka." Dhiyo bungkam. Sepertinya bicara sama Tama percuma. "Berhubung kamu sudah antar Echa dalam keadaan selamat, aku ucapkan terima kasih." Hanya ada nada dingin dalam suara Tama. Walau begitu, Dhiyo tetap tersenyum. "Hanya kebetulan saja kok, bosku gak datang tadi." "Lalu bagaimana dengan urusanmu tadi?" tanya Tama lagi. "Mungkin menunggu kabar dari bosku. Sementara aku masih mencari-cari pekerjaan." "Memang kamu itu lulusan apa?" Echa ikut bertanya. "Cuma SMA." Dhiyo menjawab. "Kamu bisa menyetir?" tanya Tama. Dhiyo menggeleng. "Aku mana punya mobil, aku cuma punya motor." "Kamu biasa kerja apa Dhiyo?" tanya Echa. "Apa saja." "Eh yey mau kerja di toko bunga Alina? Bareng eike?" Dhiyo menggeleng. "Aku mau cari kerjaan di pabrik, kalau bisa." "Eh daripada yey nganggur, mending bantuin eike di toko. Nanti eike tanyain Nanaz, kemarin kan dia tawarin orang baru buat bantuin eike." "Mas Jono kan ada Mas Komar." Echa mengingatkan teman Jono yang kini di toko Bunga Alina. "Aihs, eike sudah setengah mati ngajarin dia. Di suruh cari warna salah mulu. Ya kali eike kena komplen lagi sama Emak-emak rempong." "Memang ada kasus apa lagi Mas Jono?" Echa tersenyum. Kalau Jono sudah bercerita, alamat Echa tertawa. "Kemarin eike beliin dia sendal baru. Eika kasih tahukan itu sendal, eike taruh di bawah meja. Eh kenapa dia keluar pakai sendal orang yang sedang belanja coba. Hadeh, butuh kesabaran extra punya anak buah macam si komar." "Tapi aku masih mencoba sih cari pekerjaan di pabrik gitu, ya kerja apa saja sih, yang penting kerja." Dhiyo menatap pada Echa. Membuat gadis itu tiba-tiba teringat sesuatu. "Kamu mau bekerja di Gudang tempat Echa kerja?" tanya Echa. Tama menoleh ke arah adiknya, begitu juga Jono. "Memang ada lowongan di tempat kamu?" "Ada, tapi Echa harus tanya sama kepala gudangnya dulu, barangkali bisa. Soalnya semenjak ganti kepala Gudang, tempat Echa mulai gak enak kerjanya." "Gak enak kenapa?" tanya Dhiyo penasaran. "Ya gitu deh, beda ama kepala Gudang yang lama. Sayang yang lama pensiun. Nanti deh kalau kamu mau Echa bisa tanya sama dia, soalnya teman Echa kemarin keluar karena gak betah sama kepala Gudang Echa." "Tapi dia gak macam-macam sama kamu kan Cha?" tanya Tama. Dia khawatir sama adiknya. "Gak sih kak, kan dia tahu Echa dekat sama Pak Dayan dan mbak Nanaz, jadi dia gak berani bentak-bentak Echa. Tapi kalau sama yang lain, galaknya minta ampun." Dhiyo mengangguk. "Boleh kalau memang ada lowongan pekerjaan, aku mau kerja di tempat kamu."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN