5. Shayna Maheswari Nugraha

1597 Kata
Bismillahirrahmanirrahiim Allahumma shali’ala Muhammad wa’ala ali Muhammad === Revan dan Nita sedang makan malam bersama dua putri mereka, Shayna Maheswari Nugraha dan Vania Wulandari Nugraha. Revan dan Nita memang diberi waktu oleh Allah untuk berpacaran setelah menikah kembali. Setelah beberapa waktu menanti, mereka dikaruniai dua bidadari cantik adik Maryam, Shayna dan Vania. Keduanya tumbuh menjadi gadis yang cantik, shalihah dan berakhlak baik. Tentunya, belajar dari pengalaman pahit yang dirasakan Revan dan Nita dulu, mereka tak menyia-nyiakan amanah yang diberikan oleh Allah. Keduanya mendidik Shayna dan Vania dengan sangat baik. Revan dan Nita tak mau apa yang menimpanya di masa lalu terjadi pada kedua putri mereka. Tidak. Keluarga kecil Revan hanya sebentar tinggal di Bandung. Hanya sampai Shayna berusia dua tahun. Karena ketika itu Pak Nugraha jatuh sakit dan sebagai anak lelaki yang pertama, Revan harus kembali ke Jakarta mengurusi bisnis kedua orang tuanya meski ada sang adik, Shofi. Setelah kurang lebih sakit selama satu tahun, Pak Nugraha berpulang ke pangkuan illahi, alhasil Revan menetap di Jakarta hingga kedua putrinya besar. Bisnisnya yang ada di Bandung dengan terpaksa ia serahkan kepada orang kepercayaannya dan sesekali ia mengecek. Sekarang, ia sedang melatih anak bungsunya Vania yang baru lulus kuliah untuk ikut terjun mengelola bisnisnya sedangkan Shayna lebih tertarik untuk melanjutkan bisnis galeri rajut milik Nita. “Jadi, kapan grand opening galeri kamu di Bandung, Shay?” tanya Revan pada Shayna. “Hmm, insya Allah sabtu ini, Bi. Alhamdulillah semuanya sudah beres.” “Alhamdulillah.” “Oh ya, berarti kita undang keluarganya Faraz sama Lisa juga kan, Bi?” tanya Nita yang duduk di sebelah Revan. “Iya dong, pasti. Harus, gak enak kalau gak undang mereka.” “Iya ya, nanti Bunda telepon Lisa. Kamu masih ingat sama keluarga Om Faraz Tante Lisa gak, Shay?” tanya Nita pada Shayna. “Yang di Bandung itu kan ya, Bun? Hmm, lupa lupa inget sih, udah lama banget juga kan gak main ke sana, terakhir pas kapan ya? Shayna juga lupa,” ucap Shayna. “Hmm iya juga sih. Ya udah, besok Bunda undang keluarga mereka di acara grand opening galeri kamu ya, sekalian reunian. Mudah-mudahan si Ghali juga bisa ikut, biar kalian bisa saling kenal. Masih ingat gak kamu sama Ghali?” “Hmm, inget sih waktu kecilnya, Bun. Sekarang pasti udah beda lah.” “Udah makannya selesain dulu, Bunda. Jangan ngerecokin Shayna terus,” tegur Revan pada Nita. “Ih, biarin aja, Bi. Siapa tahu kita bisa besanan sama keluarganya Faraz, iya kan, Shay?” ucap Nita sambil melirik pada Shayna. Shayna yang masih mengunyah nasinya hanya bisa tersenyum menanggapi ucapan sang bunda. === Sesuai yang direncanakan oleh Shayna, grand opening Maryam’s Gallery yang baru pertama ada di Bandung dilakukan hari Sabtu pagi. Banyak karangan bunga yang memenuhi halaman parkir sebagai ucapan selamat sekaligus ungkapan suka cita atas dibukanya Maryam’s Gallery di kota yang berjulukan Paris van Java ini. Setelah sukses mengelola tiga galeri milik bundanya yang ada di Jakarta, Shayna memutuskan untuk merambah ke kota mode di Jawa Barat ini. Setelah beberapa bulan melakukan proses analisis dan persiapan, akhirnya hari ini tiba juga. Grand opening dilakukan dengan acara pengajian dan santunan kepada beberapa anak yatim piatu. Shayna harap hal itu akan membawa ridha Allah dan keberkahan dalam usaha yang dijalaninya. Setelah acara pengajian dan santunan selesai, barulah siangnya galeri dibuka untuk umum. Banyak pengunjung yang datang, karena di hari pertamanya ini Shayna memberikan diskon sebagai bentuk promosi bagi galeri barunya dengan harapan agar pelanggannya di kota ini semakin bertambah banyak. “Duh, Lisa mana ya? Kok belum datang juga?” ucap Nita sambil bergantian menatap jam tangannya dan area parkir galeri. “Sabar, Bun. Mungkin kena macet di jalan,” ucap Vania -adik Shayna- yang parasnya memiliki banyak kemiripan dengan adik sang abi, Tante Shofi. “Kakakmu mana, Van?” “Lagi di gudang belakang sih tadi, lagi atur stok barang sama bahan benang rajut katanya.” “Oh, Abi mana?” “Abi lagi teleponan sama orang supermarket, Bun.” Nita kembali melirik ke arah parkir. Wajahnya sumringah ketika melihat wajah yang masih sangat ia kenali meski sudah lama tak jumpa. “Ah, akhirnya mereka datang!” “Siapa, Bun?” “Itu keluarganya Om Faraz sama Tante Lisa, Van,” tunjuk Nita ke arah parkiran. Mereka memang baru turun dari mobil. “Vania, kamu siapin makanan kecil sama minum buat mereka ya. Bunda mau nyambut mereka dulu.” Vania menganggukkan kepalanya menuruti perintah sang bunda. Faraz, Lisa dan Ghali masuk ke dalam galeri yang menjual aneka barang hasil rajutan itu. “Ya Allah, Lisa, Faraz!” pekik seorang perempuan paruh baya. “Nita!” Lisa dan Nita berpelukan erat karena sudah lama tak jumpa. Nita membawa mereka bertiga ke ruangan khusus agar bisa lebih santai bercengkrama. “Ya ampun Ghali, kamu udah besar ya, Tante pangling. Dulu masih tante gendong-gendong lho,” ucap Nita pada Ghali. Ghali hanya tersenyum kikuk dan canggung. “Eh, iya, Tante.” “Abah sama Ambu mana? Si kembar juga? Kok gak diajak?” tanya Nita. “Abah sama ambu udah ripuh, Nit. Maklum faktor U, udah sepuh, gak kuat pergi jauh ke luar. Kalau si kembar gak bisa datang karena ada kerjaan masing-masing. Nanti kamu aja yang disuruh main ke sana katanya. Abah sama ambu juga pada kangen sama kalian.” “Oh gitu, insya Allah nanti aku sama Revan dan anak-anak nyempetin ke sana. Udah lama juga ya gak main ke rumah abah.” “Iya nih, sombong ya kamu semenjak pindah ke Jakarta.” “Eh, bukan gitu. Aku gak mungkin lupa jasa keluarga kalian lah.” “Anak kamu mana, Nit? Aku kok belum lihat. Pasti udah jadi gadis cantik nih sekarang,” tanya Lisa. Tak lama, Vania datang membawa kue dan minuman untuk mereka. “Nih kenalin, ini anak aku yang bungsu. Dia baru lulus kuliah, namanya Vania.” “Assalamu’alaikum Om, Tante, Kak,” ucap Vania sopan. “Wa’alaikumussalam,” jawab Faraz, Lisa dan Ghali serempak. “Van, kamu tolong panggilin abi dulu ya. Shayna di mana?” “Oke, Mbak Shay masih di belakang, Bun.” “Oh iya, kalian aku tinggal dulu sebentar ya, mau manggil Shayna dulu. Tadi dia masih di belakang bantuin nata barang. Tunggu sebentar ya.” Nita meninggalkan mereka bertiga untuk memanggil anak perempuannya. “Gimana tadi Vania?” tanya Lisa pada Ghali. “Biasa aja sih, Bu. Kayaknya kelihatan masih bocah juga kan, baru lulus kuliah,” ucap Ghali santai. “Ck, kamu mah. Yaudah gak apa-apa, masih ada satu lagi kok. Ibu doain biar kamu naksir sama anaknya Tante Nita yang satunya ya, Ghal.” “Mulai deh.” Ghali mengedikkan bahunya sambil menghela napas lelah. “Nah, ini anak tante. Kenalin. Shayna ini Om Faraz, Tante Lisa sama anak lelaki namanya Ghali.” Nita berdiri berdampingan dengan gadis cantik berhijab pink dengan gamis ungu yang cantik. “Shayna, Om, Tante, Kak,” ucap Shayna sambil menangkupkan kedua tangannya di d**a dan tersenyum pada ketiganya. Saat menatap wajah dan senyum cantiknya, entah mengapa Ghali merasa doa ibunya baru saja dikabul oleh Allah. Jika tadi ia merasa biasa  saja melihat Vania, kini ia merasa hal yang aneh saat melihat Shayna. Darahnya berdesir dan jantungnya berdetak tak karuan. Ia merasa seperti melihat bidadari dalam wujud wanita shalihah berbalut  gamis dan hijab. Memang betul seperti apa yang dikatakan oleh Rasulullah SAW, bahwa sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah.  “Wah, cantiknya Shayna!” ucap Lisa kagum setelah cipika cipiki dengan Shayna. “Alhamdulillah, segala puji hanya bagi Allah, Tante,” ucap Shayna dengan kerendahan hati karena menurutnya yang layak mendapat pujian hanya Allah semata. Ia merasa dirinya hanyalah manusia yang penuh aib dan kekurangan, bersyukur Allah masih mau menutupi aib dan dosanya sehingga orang hanya melihat hal baik yang nampak secara lahir. “Masya Allah. Tapi tante beneran lho, nih si Ghali aja sampe gak kedip gitu lihat kamu, Shay,” ucap Lisa sambil menyenggol Ghali yang ada di sebelahnya dengan sikutnya. Ghali yang sempat terpana ketika memandang wajah Shayna langsung tersadar akibat sikutan ibunya dan ia langsung menundukkan pandangannya dengan malu-malu. “Udah jangan digodain begitu anaknya, Bu. Malu tuh,” tegur Faraz pada Lisa. Tak lama, Revan dan Vania bergabung bersama mereka dan ikut bercengkrama banyak hal layaknya keluarga. === Ghali sedang bertugas di dapur sedangkan kedua sahabatnya, Giandra dan Mario sedang berada di ruangannya. Hari ini memang tidak ada yang libur. Ia sengaja memasak karena sebentar lagi keluarga Revan akan bertandang ke restonya, jadi ia ingin menyuguhkan mereka dengan hasil memasak dari kedua tangannya sendiri. Ia memasak sapo tahu sebagai hidangan pembuka. Lalu untuk hidangan menu utama, ia memasak menu andalan restonya yaitu beefsteak saus rendang dengan tingkat kematangan welldone sedangkan untuk hidangan penutup ia membuat caramel custard. Ghali memasaknya sepenuh hati agar keluarga Om Revan terpesona dengan rasa masakannya. “Ekhem ada yang seneng banget nih!” goda Mario bersender di meja pantry. “Iya dong.” “Hadeuh, yang mau kedatengan calon mertua sama pujaan hati.” Ghali hanya terkekeh mendengar sindiran Mario. “Ini sebagai bentuk ikhtiar, Bro!” “Ya, ya paham gue! Gue jadi penasaran kek mana rupanya si Shayna sampai Pak Ustadz kek lo kesemsem begini?” “Yaudah ntar lihat aja. Minggir dulu, gue mau cek custard gue di kulkas.” “Ghal, Om Faraz sama Tante Lisa udah dateng tuh! Nyariin lo!” ucap Giandra yang tetiba muncul di pintu pantry. “Sama si kembar gak, Gi?” tanya Mario. “Iya, minus aki nininya aja.” “Wah, gue ke sana dulu ah, ketemu calon mertua.” “Ck, dasar! Bilangin tunggu bentar gitu, Gi. Gue masih riweuh nih!” (riweuh=repot) “Oke.” Giandra dan Mario meninggalkan Ghali sendirian di pantry. Setelah memastikan semua hidangannya siap, Ghali pun meminta anak buahnya yang menjadi sous chef untuk bentu menyajikan ke piring saji nanti saat keluarga Revan sudah tiba. === “Wah, enak masakannya!” puji Nita setelah mencicipi hidangan pembuka. “Iya enak,” ucap Revan menimpali. “Gimana, Shayna, Vania? Enak gak masakan di resto ini?” Ghali memberanikan diri untuk bertanya. “Iya enak kok, Kak.” Vania menjawab sambil tersenyum. “Alhamdulillah. Ayo silakan lanjut dimakan hidangannya, kalau mau tambah bilang aja ya. Jangan malu-malu.” Lisa hanya tersenyum penuh makna memandang tingkah anak lelakinya. Tak lama seorang perempuan berpenampilan modis datang menghampiri meja Ghali dan keluarga Revan. “Wah, lagi pada kumpul ya. Assalamu’alaikum Om, Tante!” ucap perempuan yang ternyata Kayshila pada Faraz dan Lisa. “Wa’alaikumussalam. Eh, kamu siapa ya? Kok tante gak asing sama wajah kamu?” tanya Lisa sambil berpikir. Kayshila hanya tersenyum sambil tersipu malu. “Kenalkan saya Kayshila, Om, Tante. Calon mantu kalian, calon istri Aa Ghali.” Semua yang ada di meja langsung terbelalak dan Ghali tersedak mendengar ucapan Kayshila.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN