Bismillahirrahmanirrahiim
Allahumma shali’ala Muhammad wa’ala ali Muhammad
===
Seorang gadis sedang membuat sarapan di dapur rumahnya. Ia memakai pakaian rumahan yang menutup aurat plus dilengkapi dengan jilbab instan yang menutupi mahkota indahnya. Gadis itu dengan lihai menyiapkan dua gelas s**u dan juga pancake untuk sarapannya bersama dengan sang kakak sambil bersenandung kecil. Tangannya dengan cekatan mengaduk s**u dan setelahnya membuat pancake di wajan yang sudah panas. Saat ia akan membawa dua gelas s**u cokelat hangat ke meja makan, sang kakak lelaki sudah duduk dengan manis di kursi dengan pakaian khusus untuk olahraga.
“Taraaaa! Sarapan dari Chef Salma sudah siap,” ucapnya sambil menyimpan gelas s**u di sisi kanan kakaknya sedangkan yang dilayani hanya menggelengkan kepala.
“Nah ini udah aku buatin pancake juga buat Abang. Ayo dimakan, mumpung semuanya masih hangat.” Gadis yang bernama Salma itu duduk di kursinya lalu membaca doa sebelum menyantap sarapannya.
“Ck, lebay!” ucap abangnya datar.
Salma hanya mencebik saat diejek oleh abangnya. Meski begitu, kakak lelakinya yang bernama Naufal tetap menikmati sarapannya.
“Ah, Bang Opal suka gitu deh, tinggal makan aja kok. Gimana? Enak, kan?” tanya Salma dengan wajah berbinar.
“Biasa aja, pancake gini doang abang juga bisa bikin,” ucapnya datar sambil mengunyah pancake yang ada dalam mulutnya.
Salma hanya berdecak kesal tapi tak ingin lanjut menanggapi ocehan abangnya.
“Ini menu baru di Milks Heaven lho, Bang. Hasil kreasi aku, nih. Lihat kan, aku bikinnya pakai oat biar berserat tinggi, terus aku kasih buah pisang juga biar wangi. Tambah madu deh sebagai pemanis alami. Besok aku bikinin pancake asin yang pakai sayur deh, mirip-mirip omelet tapi beda dikit.”
Naufal hanya menganggukkan kepalanya karena mulutnya masih sibuk mengunyah. Setelah isi mulutnya berpindah ke lambung, barulah ia buka suara. “Kamu liburan sampai kapan di sini?”
“Nggak tahu, Bang. Seminggu mungkin. Refreshing lah, bosen juga bolak balik Milks Heaven, Coffee’s Heaven. Kali-kali aku bantuin Bang Opal lah, ya, ya?”
“Hmm, hmmm, terserah kamu aja. Asal jangan recokin abang aja.”
“Iya, siap, Bos! Lagian abang tuh harusnya seneng ada aku di sini, rumah jadi gak sepi. Emang abang gak kesepian?” ucap Salma.
“Nggak tuh. Biasa aja.”
“Ah bohong deh. Makanya cepetan nikah biar punya istri jadi ada yang ngurusin.”
Naufal hanya mengedikkan bahunya acuh dan Salma hanya menggelengkan kepalanya. Selalu seperti itu setiap diminta menikah, padahal usia abangnya sudah cukup matang.
Tak lama, ponsel Salma yang ada di atas meja bergetar lalu menampilkan adanya panggilan masuk dari orang yang sangat ia cintai. Salma meneguk susunya sedikit lalu baru menjawab panggilannya. Ia sengaja me-loudspeaker agar abangnya pun bisa ikut mendengar.
“Halo, assalamu’alaikum, Pa,” jawab Salma.
“Wa’alaikumussalam. Kamu lagi ngapain, Sayang?”
“Salma sama Abang lagi sarapan, Pa. Papa sama mama lagi apa di sana?”
“Sama, kita juga lagi sarapan nih, sama Bang Radit juga. Kamu jangan nakal ya di sana, jangan gangguin abang kamu, Salma,” ucap papanya menasihati.
“Iya, Papa Adam-ku sayang, takut banget sih. Aku malah niatnya mau bantuin Abang, kok.”
“Salma.” Kini suara di seberang telepon berganti dengan suara perempuan yang sangat lembut menyapa gendang telinga Salma dan Naufal.
“Iya, Ma?”
“Kamu baik-baik di sana ya. Nanti mama dan papa nyusul ke sana.”
“Hah? Apa? Ngapain nyusul segala, Ma?”
“Lah, ya mau jengukin anak mama lah, emang gak boleh? Sekalian papa kamu juga mau nengok cafe Milks Heaven sama Coffee’s Heaven yang kamu kelola di Bandung.”
“Waduh! Inspeksi mendadak nih!”
“Udah gak usah lebay gitu! Abang kamu mana?”
“Nih ada.”
Lalu mamanya berbicara dengan Naufal sedangkan Salma kembali menghabiskan pancake buatannya.
“Hari ini abang mau ikut nganter-nganter sayur dan buah pesanan pelanggan ya. Kamu di sini aja gak usah ke mana-mana,” ucap Naufal pada Salma dengan tegas.
“Iya, aku mau ke pacuan kuda, Bang. Boleh, ya?”
“Iya, nanti biar diantar sama Pak Ari ya,” ucap Naufal mengizinkan.
“Okay.”
Naufal dan Salma adalah anak—anak dari Adam dan Rayhana. Pasangan itu dikaruniai tiga orang anak. Putra pertama mereka adalah Naufal Ghasan Putra, lalu putra kedua bernama Radit Rayyanza Putra dan sang putri bungsu yang bernama Salma Fahira Dewi. Ketiga putra mereka kini meneruskan bisnis yang dulu Hana dan Adam jalankan.
Radit mengelola cafe Milks dan Coffes Heaven yang ada di Jakarta, sedangkan Salma sudah dua tahun terakhir ini mengelola cabang yang ada di Bandung. Lalu si sulung Naufal mengelola perkebunan dan peternakan kuda milik almarhummah bude Hana yang sudah wafat. Awalnya, Naufal tinggal di rumah almarhummah Bude Ayu bersama sang nenek –ibu dari mama Hana-. Tetapi, sang nenek sudah ikut berpulang ke pangkuan illahi dua tahun yang lalu menyusul Bude Ayu. Jadilah sekarang Naufal hanya tinggal sendiri. Kini, mereka hanya punya nenek dan kakek dari pihak papa Adam.
Jarak cafe cabang yang dikelola Salma letaknya jauh dengan perkebunan yang dikelola Naufal. Jadi, seminggu ke depan ia memutuskan untuk rehat dari aktivitas cafenya dan menghirup udara segar khas pedesaan.
Meski menjadi putri bungsu di keluarga Adam dan Hana, Salma bukanlah sosok yang manja. Kedua orang tuanya dan dua kakak lelakinya tidak pernah memanjakannya. Ia cenderung sedikit tomboy, usil dan menyukai hal-hal yang penuh tantangan. Bahkan ia menyukai olahraga berkuda sejak remaja. Setiap berkunjung ke rumah neneknya ini, Salma tak pernah absen mengasah keterampilannya berkuda bahkan ia sudah mempunyai kuda jantan kesayangannya sendiri sekarang. Kuda jantan berwana cokelat itu ia beri nama Armando karena menurutnya sangat gagah dan tampan. Tadinya, Hana sempat khawatir dengan hobi putrinya itu, tapi Adam dengan bijak menjelaskan pada Hana sehingga ia tak khawatir lagi.
===
Usai salat dhuha, Salma berdandan karena bersiap akan pergi menemui kuda kesayangannya. Ia memakai pakaian kasual yang simpel dengan jilbab merah dan riasan make up tipis. Saat ia membuka pintu rumah, terlihat Naufal berjalan ke arahnya.
“Sal, kamu bantuin abang, dong!”
“Hah? Bantuin apaan?”
“Salah satu supir gak masuk, jadi gak bisa antar sayur dan buah pesanan pelanggan. Kamu gantiin supir itu mau, kan?”
“Apa?!”
“Ih, gak usah kaget dan lebay gitu.”
“Tap ... tapi aku gak tahu apa-apa, Bang. Aku kan mau kencan sama Armando, Bang.”
“Gak usah khawatir. Nanti kamu ditemanin sama Mang Deni. Kencan sama Armando—nya bisa besok lagi kan. Tuh kuda juga gak bakalan kabur.”
“Lah, kenapa gak Mang Deni aja yang anter? Kenapa harus sama aku?”
“Dia baru sembuh dari sakit. Abang takut kalau dia langsung bawa mobil. Ya, kamu mau ya, please.” Naufal memohon dengan tatapan memelas.
Salma tertunduk lesu. Gagal deh kencannya dengan Armando.
“Ayo cepet bantuin abang dulu angkut barang ke mobilnya.”
“Apa?!” Salma ternganga. Kalau begini ceritanya, bukan dirinya yang merecoki Naufal, tapi Naufal yang merecoki rencananya. Meski kesal bukan main, Salma tetap menuruti perintah abangnya.
===
Salma menelusuri jalan-jalan di Bandung bersama dengan Mang Deni. Meski kata Naufal lelaki paruh baya itu baru sembuh dari sakit, tapi selera humornya tidak pernah surut. Salma selalu tertawa dengan lelucon yang dibuatnya.
“Sekarang kita ke mana, Mang?”
“Kita ke GMG Resto, ya. Nanti mamang unjukin jalannya.”
“Okay.”
“Neng Salma pasti seneng deh kalo ke resto itu.”
“Emang ada apa gitu di sana sampai buat saya seneng?” tanya Salma penasaran.
“Chef yang punyanya ganteng loh, Neng. Pasti Neng Salma kesengsem deh. Yakin mamang mah.”
Salma hanya tertawa tipis. “Ah, Mang Deni bisa aja.”
Setelah menempuh perjalanan sekitar lima belas menit, Salma merasa kantung kemihnya penuh. Ia mendadak kebelet buang air kecil.
“Mang, kita ke pom bensin dulu ya nyari toilet.”
“Aduh, tanggung, Neng. Bentar lagi nyampe. Ntar ke toiletnya di resto aja.”
Akhirnya Salma menahannya hingga mereka tiba di parkiran gudang milik GMG resto. Setelah menutup pintu mobil ia berjalan tergesa-gesa karena sudah tak tahan ingin ke toilet. Naas pandangannya yang tak fokus menyebabkan dirinya menabrak seseorang.
“Aduh!”
“Aww!” pekik mereka bersamaan.
“Lo kalau jalan yang bener dong! Pakai matanya! Lihat nih kopinya tumpah!” ucap Ghali sambil mengibaskan pakaiannya.
“Duh, duh maaf gak sengaja! Gue mau ke toilet, maaf buru-buru! Ntar marahnya dilanjut lagi aja ya! Di mana dong toiletnya? Gue udah kebelet sumpah ini!” ucap gadis itu sambil setengah berjongkok.
Setelah ditunjuki arah toilet, gadis itu buru-buru pergi dan Ghali hanya bisa menatapnya sambil geleng-geleng kepala dan menatapnya berganttian dengan kemejanya yang terkena cairan hitam. Ghali segera menuju toilet pria untuk membersihkan kemejanya.
===
Ghali menghampiri mobil box yang terparkir di depan gudang restonya.
“Mang Deni.”
“Eh, ada si sep ganteng.” Maklum, karena urang sunda asli, Mang Deni tidak bisa melafalkan ‘chef’ dengan benar. Ia hanya bisa melafalkan sep sesuai dengan bunyinya.
“Mana pesanan saya hari ini, Mang?”
“Nih ada, bentar nunggu Neng Salma ya. Eh tuh dia orangnya udah datang.”
Salma pun menghampiri Ghali dan Mang Deni yang sedang bercengkrama di depan mobil.
“Neng Salma, kenalin ini sep ganteng namanya teh Ghali, yang punya resto ini. Sep ganteng ini Neng Salma, adeknya Kang Opal.”
“Ekhem, oh, iya. Saya Salma,” ucap Salma sambil menangkupkan kedua tangannya di depan d**a.
“Ghali.” Ghali meresponnya dengan wajah datar dan dingin. Ia masih kesal dengan gadis di depannya ini.
Salma dan Mang Deni mulai membuka pintu belakang mobil boksnya lalu mengeluarkan keranjang kontainer buah dan sayuran pesanan resto Ghali. Ghali pun ikut mengecek kualitas bahan baku untuk menu restonya.
“Mang, yakin ini pesenan saya. ini kayaknya grade B semua deh. Saya kan biasanya pesan yang grade A,” ucap Ghali.
“Ah, yang bener? Apa jangan-jangan ketuker ya?” Mang Deni ikut mengecek kembali dan lelaki paruh baya itu menepuk keningnya.
“Neng Salma, kayaknya salah masukin barang, deh.”
“Hah? Apa? Kok saya yang salah sih, Mang?”
“Jadi gara-gara kamu pesanan saya salah?” tanya Ghali sambil memicingkan matanya menatap Salma tajam.
“Eh, bu ... bukan gitu ... tapi ... “
“Saya gak mau tahu, pokoknya kamu harus ganti rugi!”