ToD II

1153 Kata
"Apa kamu tahu artinya pepatah cinta datang karena terbiasa, Da? Terbiasa bersama, terbiasa bertemu, contohnya orangtuaku, Papaku terbiasa dengan seseorang sampai akhirnya lupa dengan anak dan istrinya di rumah. Tapi syukur deh kalau Raya milih kamu, kirain bakal milih si Abimanyu yang tiap hari nganterin dia bahkan sampai di depan kamarnya." Jika Sabda mengira aku akan takut dengan tatapan matanya yang tajam maka dia keliru, selama hidup aku selalu berada di bawah bayangan luka yang di torehkan oleh Papaku sendiri, lalu dia, seorang asing yang kebetulan hanya teman SMA dan juga calon adik iparku berani menatapku dengan pandangan mata yang mengancam? "Sudah-sudah, satu pertanyaan sudah di jawab. Kamu itu loh Ra, kurang-kurangin nethink, just for fun. " Mungkin perdebatan antara aku dan Sabda akan semakin berlanjut jika saja Ares tidak merangkulku, membuatku mengalihkan pelototanku pada manusia lancang tidak tahu diri ini. "Biasa aja keles Ra lihat guenya, nggak usah sebegitunya, jatuh cinta tahu rasa Lo! Dah, kita putar lagi." Untuk ketiga kalinya botol bir tersebut di putar, bergerak kencang menghadap setiap mata kami satu persatu sebelum akhirnya melambat, dan kali ini ujung botol tersebut melambat ke arah Sabda, sama seperti reaksiku saat botol tersebut menghadap Raya, ekspresi yang sama aku lihat di dua manusia usil yang ada di meja ini, sebelum Raya bertanya, Ares yang ada di sebelahku langsung berseru dengan penuh semangat. "Truth or Dare? Truthlah ya, gue males ngusilin orang!" Tanpa memberikan kesempatan untuk Sabda menjawab Ares sudah lebih dahulu nyerocos. "Kapan Lo mau jujur?!" Aku sudah menantikan Ares akan melontarkan pertanyaan yang bisa membuat kami bertanya, hal-hal yang merepet masalah kenakalan seorang pria contohnya, tapi yang aku dengarkan justru pertanyaan yang terdengar begitu ambigu. Jujur? Jujur soal apa seorang Sabda? Rahasia apa yang di simpan Tentara pengangguran sepertinya hingga alih-alih menjawab tanya dari Ares, Sabda justru meraih gelasnya, mengisi dengan penuh gelas tersebut dan meminumnya dalam satu kali teguk yang membuat Ares dan Randi seketika berseru kecewa. "Done!" "Laaahhh, nggak asyik Lo, Da!" "Iya, chicken, Lo! Nunggu Lo jujur sampai si Ares berubah pikiran mau nikah mungkin." Bukan hanya aku yang kebingungan dengan cara berkomunikasi para pria usil dan apa yang tengah mereka bicarakan, saat aku memandang ke arah Rachel, terlihat jelas jika Rachel juga tidak paham dengan rahasia yang di miliki tiga pria ini. "Kelamaan kalian." Gerah dengan mereka bertiga yang sangat tidak jelas apa yang di perdebatkan, aku bangkit dari kursiku dan meraih botol bir tersebut dan memutarnya kembali. Permainan ToD yang aku kira akan menjadi permainan yang sangat kekanakan tersebut ternyata menyenangkan walau ada dua orang yang tidak aku sukai juga turut bermain, beberapa pertanyaan rancu yang pada akhirnya membuat pertengkaran kecil menjadi hiburan tersendiri untukku, syukurlah, di saat diri kita di tuntut untuk jujur atau melakukan tantangan tidak ada hal aneh-aneh yang di minta pada mahluk durjana ini kepadaku, paling mentok dan menyebalkan adalah dare dari Ares yang meminta satu hari dariku untuk pulang dengannya, permintaan yang terpaksa aku iyakan karena aku benar-benar tidak mau meminum minuman yang kini membuat Rachel dan Randi serta Raya, 3 orang yang paling sering menjadi sasaran mulut botol meracau tidak jelas. Entah bagaimana reaksi dari Papaku nanti saat melihat anak kesayangannya pulang dalam keadaan mabuk, aaahhh, bodo amat, untuk apa aku pikirkan, paling-paling Papa akan memaklumi sikap Raya yang teler sekarang ini, Papa selalu memiliki standar ganda jika menyangkut Raya. "Gue mau usilin Lo tapi nggak tega, Ra. Abisnya hidup Lo udah sengsara banget!" Untuk kesekian kalinya mulut botol tersebut terarah kepadaku, Ares yang baru saja mendapatkan dare dari Rachel untuk mencium siapapun yang baru saja naik di lantai dua ini dengan senang hati melakukannya, nasib baik yang naik cewek cantik, jika yang naik cowok melambai, habislah kesucian Ares yang tinggal secuil. "Makanya kasih yang gampang-gampang, gue bukan anak kesayangan Bokap. Gue cuma numpang di rumah mereka, kalau gue sampai pulang keadaan mabuk, habis gue di kirim ke tempat Nyokap detik itu juga." Seulas senyum terlihat di wajah Ares yang mulai memerah apalagi di bagian hidung bangir sahabat Randi dan Sabda tersebut, "kalau gitu gue kasih yang gampang buat lo, gue minta dare-nya buat Lo cium gue atau Sabda, Ra." Haaahhh, bukan hanya aku yang terbelalak dengan permintaan dari Ares yang di ucapkan dengan sangat lugu dan wajah tanpa dosa, namun semua yang ada di meja ini kecuali Rara yang tertidur meringkuk di sofa, "Kenapa syok begitu, itu lebih mudahkan daripada Lo minum ni satu shoot minuman terkutuk! Atau mau pilih cium Randi, eeeh jangan, Lo bisa perang dunia ketiga sama sohib Lo sendiri kalau berani nyosor calsumnya!" "Sinting Lo, Res. Dare Lo sama sekali nggak bermutu! Suruh milih Lo apa Sabda, mati aja gue daripada harus nyium curut gila macam kalian. Sorry, bibir gue berharga." Gerutuku kesal yang di balas kekehan geli dari Ares, emang ada gila-gilanya ini manusia satu, sayangnya di sini mendapatiku mencak-mencak tidak setuju, Rachel justru bersemangat menyetujui dare yang aku anggap gila ini. "Kenapa sih lo nggak mau, tinggal pilih si Ares apa si Sabda, kalau gue di banding Sabda yang sudah terkontaminasi sama anak pelakor rumah tangga Nyokap Lo, gue pilih si Areslah." Tuhkan, dalam keadaan waras Rachel sudah gila, dan semakin tidak karuan gilanya saat dia sudah setengah mabuk, tolong ingatkan aku agar tidak masuk ke Club' lagi seumur hidupku. "Ya nggak Res, apalagi ini bocah udah bertekad nggak mau nikah, kali aja Ra Lo bisa ngalahin ini manusia durjana. Lumayan jadi Nyonya Club' Malam." "Lo emang sohib paling T.O.P.B.G.T Chel, nggak salah gue ngasih restu buat Lo." Dengusan sebal tidak bisa aku cegah mendapati bagaimana Ares memberikan dua jempolnya pada Rachel, Rachel pikir bujukannya untuk mempromosikan Ares akan berpengaruh dalam hidupku? Meeehhh, bergantian aku menatap Ares dan juga Sabda, astaga, jika di dunia ini hanya tinggal dua pria ini dalam hidupku mungkin aku akan memilih melajang seumur hidupku. "Apa yang bisa gue harap dari seorang yang bahkan nggak mau nikah seumur hidup, Chel? Gue mau lari dari rumah, tapi Lo nggak akan bisa nolongin gue Res." "Gue bisa kalau Lo percaya, Ra. Gue nggak bisa cinta sama Lo, tapi gue bisa lindungi Lo." "Ciiihhh, bullshit." Dan akhirnya aku memilih gelas yang ada di hadapanku, gelas yang lebih besar dan penuh di bandingkan yang di minum mereka tadi karena memang sengaja Ares truth or dare yang di ajukan oleh mereka. "Sara, Lo nggak perlu minum! Taruh, Lo bisa hangover, Ra." Sedari tadi saat giliranku Sabda terus terdiam, namun kali ini pria yang akan menjadi calon adik iparku tersebut angkat bicara sembari memberikan tatapan penuh peringatan kepadaku untuk tidak meminumnya. "Siapa Lo mau atur-atur gue!" Aku bisa melihat Sabda yang berusaha menghentikanku, tapi terlambat, dengan usaha paling keras dalam hidupku aku menenggak minuman terkutuk tersebut, membuat mata siapapun terbelalak terkejut, sungguh rasanya aku ingin menangis merasakan betapa tidak enaknya minuman yang membakar tenggorokanku dengan sangat hebat ini. Ya, ego dan keras kepalaku yang terlalu besar inilah awal musibah segalanya, minuman yang tidak lebih dari 150ml tersebut perlahan merenggut kesadaranku mengaburkan segalanya, menuntunku menuju neraka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN