Waktu - Kota - Kesempatan

1220 Kata
Hey, pernahkah kalian merasa Déjà vu? “Yak, peluit pun terdengar. Dengan ini Persib berhasil keluar sebagai pemenang dari Piala Presiden!” Sang komentator tiada henti meracau riang di siaran televisi. Suaranya membahana memecah keheningan kamar. Aneh, kenapa aku aku tak terkejut, kesal, atau kecewa akan kekalahan tim yang kudukung? Aku seperti sudah tahu, bahwa mereka memang tidak akan menang. Waktu menunjukkan pukul tujuh malam. Sang mentari tak lagi bersinar menembus padatnya awan. Sebentar lagi akan turun hujan, jadi niatku ke pusat kebugaran urung dijalankan.. Ada semacam firasat aneh yang kudapatkan. Mendadak aku berubah waswas, tak nyaman, bahkan sampai berpikiran bahwasanya apartemen ini bukanlah tempat aman. Batinku seakan menjerit bahwasanya aku harus pergi sekarang juga. Kenapa? Dan pergi ke mana? Pandanganku menerawang jauh ke luar jendela, menyusuri puncak dari gedung apartemen di seberang sana. Aku seperti sedang mengantisipasi sesuatu. Atau mungkin batinku mengharap kedatangan seseorang? Entah apa pun itu, yang jelas bukanlah kekosongan yang sedang kutuju. Lampu penerangan menghentikan tugasnya. Listrik mati begitu saja. Semuanya menjadi gelap gulita. Padahal lokasiku berada di pinggiran ibukota, seharusnya pemadaman merupakan hal yang langka. Dentum suara petir terdengar keras, menyalakan kesunyian dalam situasi yang mencekam. Binar di angkasa seakan berusaha menerangi seisi semesta. Kilat di balik awan merambat seperti sulur pepohonan, menyebar mengisi cakrawala. Menakutkan. Anehnya, aku sama sekali tak merasa terkejut. Batinku bahkan berhasil menebak, detik ke berapa dentuman petir akan datang menyapa. Perasaan Déjà vu ini mengakar semakin kuat. Gedung apartemen di seberang tak setinggi apartemen tempatku tinggal. Bagian atasnya setara dengan lantai yang kutempati. Di sana, di puncak gedung itu, pandanganku sukses menangkap keberadaan sosok gadis berambut panjang. Dia tengah sibuk menyendiri. Tubuhnya seakan mematung, teriam kaku seraya bersandar pada tepian pagar pembatas. Apa dia hendak bunuh diri? Kulihat rambutnya berkibar bebas, menebar secara tak wajar seperti tak  memiliki bobot. Tiap helainya mengayun pelan absen dari tarikan gravitasi, terlihat seperti rambut yang terbenam dalam air. Angin hujan bertiup semakin kencang. Sempat kuambil sebuah binokular untuk memerhatikan lebih dekat. Mendadak aku gagal mengatupkan mulutku, terkesiap menatap kecantikannya. Sorot matanya terasa janggal. Tak ada refleksi cahaya di sana, seolah tak memiliki hawa kehidupan. Bulu mata lentik nan tebal membuatnya terlihat seperti boneka. Belum termasuk kulit pucat seputih salju, terasa kontras di bawah rambut gelap sebagai puncak mahkota. Kain putih longgar yang ia kenakan, melayang bebas seperti mengapung di dasar danau. Aku bersumpah, tubuhnya itu terlihat seperti berpendar menyinari sekitar. Segala sesuatu tentang dirinya, terasa amat tak wajar. Dia manusia? Sebuah pertanyaan lugu terbesit di benakku. Masuk akal. Orang macam apa yang bertengger sendirian, kehujanan di puncak bangunan? Apa aku sedang menyaksikan penampakan? Mungkinkah itu sesosok kuntilanak yang orang-orang bicarakan? Seharusnya aku merinding, merasa takut. Namun kenapa aku malah ingin menemuinya? Seperti ada rasa ketidakpuasan yang berkecamuk di d**a, mengamuk seganas badai di luar sana, memaksa untuk segera bertukar sapa. Kedua kaki ini mengayun tanpa diperintah, bergegas pergi, berlari menyusuri lorong sepi. Membingungkan, batinku merinding ketakutan. Aku tak paham kenapa aku merasa rindu di hati. Semuanya terasa seperti misteri. Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Kenapa aku rela berlari seperti orang kesetanan begini? Dadaku terasa amat bergemuruh, kembung kempis berusaha menggapai oksigen di udara. Dinginnya tetes hujan tak sedikit pun meredakan panas di kepala. Sayangnya, tempat ini kosong tak berpenghuni. Kecewa kurasakan, karena gagal menemukan apa yang kucari. Gadis itu hilang entah ke mana. Tapi aku tahu, besok dia akan berada di tempat ini, tepat di jam yang sama. “Ukh...” Kujambak kepalaku sendiri, seraya menggeram kesal berusaha menggali memori. Kenapa aku bisa memprediksi itu? Datang dari mana segala informasi ini? Tahu dari mana aku akan keberadaanya? Siapa dia sebenarnya? Aku seperti pernah mengalami semuanya. Ini merupakan pengalaman Déjà vu paling parah selama hidupku. Malam itu kuhabiskan dengan merenung dalam nestapa. Kenapa aku ingin sekali menemuinya? Kenapa batin ini merasa tak tenang? Sebagian dari diriku merasa tempat ini adalah sebuah ancaman. Aku harus pergi sejauh mungkin. Akan tetapi, sebagian lain memaksaku untuk mencari kebenaran. Siapa dia? Dan apa yang dia ketahui? Perasaan ini begitu bertentangan hingga nyaris membuatku gila.   ...   Hari ini hari Sabtu, aku tak bisa menjalankan aktivitas liburan seperti biasa. Pagi sampai sore kuhabiskan dengan tidur, atau menjalani kegiatan simpel untuk membuang waktu. Rasanya ingin sekali kukutuk matahari karena terlalu lama menyinari hari. Gedung apartemenku berdiri angkuh menatap gedung di seberangnya. Kaca jendela di tiap lantainya berpendar cerah berwarna jingga, memantulkan cahaya sore dari langit temaram di belakangnya. Suara adzan terdengar sayup berkumandang. Secara tak langsung itu menjadi pertanda akan waktu yang telah tiba. Aku bisa bertemu dengan gadis itu. Dia akan muncul ketika siang berganti malam. Lama aku menunggu, hingga akhirnya dia muncul begitu saja di hadapanku. Sungguh, dia memang terlihat seperti hantu. Aku bisa melihat lanskap kota secara samar di tengah tubuh semi transparan itu. Belum termasuk tubuhnya yang absen dari tarikan gravitasi. Dia seperti sedang berada di luar angkasa. “Rita...” ucapku sendu. Tiba-tiba saja aku tahu siapa namanya. Aku tak lagi ambil pusing. Perasaan ini begitu aneh. Aku bersumpah, ini merupakan pertama kalinya kami bertemu. Tapi rasanya seperti sedang bertemu dengan orang dari masa lalu. Ada semacam rindu di dalam kalbu. Tapi sepertinya dia tak mengenalku, terlihat dari ekspresinya yang berubah asing ketika menatapku, “Kau tahu namaku?” Sebuah anggukan kuberikan sebagai jawaban. Mulutku lantas meracau pelan, “Sedang apa kau di sini?” Gadis itu menghela napas sejenak, “Kau mengenalku, tapi tak paham apa tujuanku di sini. Lucu sekali.” “Memangnya kenapa?” Sejenak gadis itu menatapku, “Itu berarti kau sudah siap untuk mati.” Aku tak merasakan sedikit pun ancaman dari ucapannya. Dia hanya membalikkan badan, seraya diam membisu. “Kau itu sebenarnya apa?” ucapku ragu. “Aku bukan hantu,” jawabnya cepat, “Aku datang jauh dari masa depan, dari negeri bernama Exiastgardsun. Keberadaanku di sini tak lebih dari sebuah bayangan.” Pandangannya tertuju pada gemerlap kota di kejauhan. Tak ada rasa heran yang tercipta, aku menelan semuanya dan percaya begitu saja, “Lantas, apa tujuanmu?” “Menyaksikan kiamat.” Jantungku berdegup keras, “Maksudnya?” “Kau akan lihat sendiri.” Pandanganku menangkap kejauhan sebuah benda dari angkasa. Ekornya berwarna merah, terbuat dari api menukik jatuh menghujam daratan. Detik itu, malam tiba-tiba berubah menjadi siang. Binar cahaya meletup menerangi semesta. Cahayanya mengalahkan keperkasaan sang surya, sanggup mengoyak retina siapa pun yang berani memandangnya. Suasana berubah terik meski hanya sesaat. Aku menjerit kesakitan seraya berusaha melindungi mata. Dentuman besar tertangkap di telinga beberapa detik setelahnya. Aku tak bisa melihat apa-apa. Tubuhku terpental jauh, dihantam dinding energi tak kasat mata, terbuat dari angin panas membara. Pohon dan tiang tumbang berguguran. Gedung-gedung roboh berguguran. Puing-puing bangunan menebar dalam bentuk serpihan. Aku mendapati diriku telentang jatuh dengan luka mengenaskan. Perutku robek hingga seluruh isinya koyak terburai. Sekujur tubuhku berlumuran darah kering. Kulitku terasa basah oleh lelehan kulit yang melepuh. Lengan dan kedua kakiku tertekuk dalam arah yang tak wajar. Panas, perih, ngilu. Penderitaan yang kurasakan sungguh tak terkira, pedih yang menyiksa membuatku menangis tanpa suara. Rasa sakit memenuhi pikiran hingga memaksaku lumpuh tak berdaya. Tiupan angin berembus kencang seperti badai. Datangnya dari pusat ledakan. Di atas sana, awan berbentuk jamur terlihat membumbung tinggi berusaha menerobos angkasa. Dentuman lainnya datang di arah berlawanan. Detonasi nuklir tengah meratakan seisi ibukota. Inikah kiamat yang dimaksud oleh Rika? Ah, gadis itu malah berdiri tepat di sampingku. Menatap iba atas kematianku. Dia terlihat seperti hologram. Pandanganku memburam, “Tolong... aku...” “Akan kukembalikan kau ke hari sebelumnya. Cobalah untuk mengubah takdirmu.”   ***   “Yak, peluit pun terdengar. Dengan ini Persib berhasil keluar sebagai pemenang dari Piala Presiden!” Televisi di kamarku seolah berusaha untuk memecah bisu. Mataku terlalu berat untuk bisa bangkit mengumpulkan kesadaran. Aku tahu Persib akan memenangkan kejuaraan. “Mimpi apa aku tadi?” Mendadak saja aku menjadi linglung. Hati ini entah kenapa berubah cemas dirundung ketakutan. “Oh, aku harus pergi. Di sini tidak aman.” Tapi langkahku terhenti. “Pergi ke mana?” Kenapa aku menangis? Apa yang terjadi?    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN