Raya terduduk di lantai di depan ruang ICU bersama dengan Mitha dan Ibu yang sedang menangis sambil berpelukan. Nafasnya tidak teratur, antara kelelahan dan juga khawatir.
Rasa bersalah setelah melihat keadaan yang menjadi buruk karena dia, namun semuanya akan jadi tambah lebih buruk jika dibiarkan begitu saja.
“Ibu!” Suara itu membuat Ibu dan Mitha juga Raya menoleh dan menemukan Mikha berlari ke arah mereka.
Ibu langsung bangkit dan memeluk Mikha sambil menangis. Mikha membalas pelukan Ibunya juga memeluk adiknya, ketiganya saling berpelukan sambil menguatkan. Raya kembali takjub melihat pemandangan keluarga di depannya ini, entah mengapa sedikit rasa iri terlintas dalam benaknya.
“Sudah jangan menangis lagi. Ayah akan baik-baik saja,” ujar Mikha menenangkan Ibu dan Adiknya itu.
“Bang,” panggil Ibu.
“Apa benar kamu dan Raya ... kalian tidak benar-benar berpacaran?” tanya Ibu.
Pandangan Mikha beralih pada Raya yang berdiri tidak jauh dari mereka.
“Raya sudah memberitahu semuanya, ya?” Mikha mengulum senyum.
“Karena itulah Ayah jadi kaget dan jantungnya kumat,” ujar Ibu lagi sambil menangis.
Mikha menunduk, “Abang yang salah, Bu. Maaf.”
“Bagaimana kalau kita kehilangan Ayah karena hal itu?” Ibu menangis semakin keras sehingga Mikha harus memeluknya.
“Tidak akan. Ayah akan baik-baik saja. Abang janji,” ujar Mikha. Dia kembali menoleh ke arah Raya namun wanita itu tampaknya sudah pergi.
Cukup lama Mikha, Ibu dan Mitha menunggu di depan ICU sampai seorang dokter keluar dari sana dan menemui mereka.
“Bagaimana keadaan Ayah saya, dok?” tanya Mikha.
Dokter menggeleng, “Tidak baik. Beliau ada di situasi hidup dan matinya. Satu-satunya cara adalah mencari donor jantung untuk Ayah saudara.”
Hati Mikha hancur mendengarnya namun dia memilih untuk bersikap kuat sementara Ibu dan Mitha sudah menangis. Ibu bahkan sampai jatuh ketika mendengar hal itu.
“Ayah ...,” rintih Ibu yang semakin membuat hati Mikha sakit.
Mikha membantu Ibunya untuk duduk kembali di kursi ruang tunggu, tangannya mengusap-usap bahu Ibu. Hatinya semakin sakit melihat Ibu yang tidak berhenti menangis dan memanggil nama Ayahnya. Tidak lama kemudian, wanita itu hilang kesadarannya membuat Mikha dan Mitha panik dan memanggil bantuan. Ibu lalu dipindahkan ke sebuah tempat tidur di ruangan UGD.
“Abang mau cari angin sebentar, kamu jaga Ibu dulu,” ujar Mikha pada Mitha.
Mikha berjalan menuju ke sebuah taman di samping rumah sakit itu. Langkahnya gontai, air matanya turun tanpa permisi, semuanya yang dia tahan di dalam akhirnya muncul juga.
“Jangan dulu ambil Ayahku,” ujar Mikha entah pada siapa.
“Aku belum sanggup kehilangan dia,” sambung Mikha.
Sebuah tangan muncul di penglihatan Mikha yang sedang menunduk, tangan itu memegang sebuah sapu tangan. Mikha mengangkat pandangannya ke atas dan menemukan Raya berada di hadapannya.
“Matamu akan sakit kalau di mengelap air mata pakai tangan,” ujar Raya, mengulang kata-kata Mikha yang lalu.
Mikha mengambil sapu tangan itu dan mengelap air matanya.
“Pasti berat ya?” tanya Raya begitu dia duduk di samping Mikha.
Mikha tidak menjawab.
“Ketakutan kehilangan orang yang kamu sayang,” sambung Raya. Dia kembali menatap Raya.
“Tapi kamu cukup kuat menahannya, hebat.” Raya tersenyum.
“Kamu sudah mengatakan semuanya pada Ayah dan Ibu?” tanya Mikha.
Raya mengangguk lalu kepalanya tertunduk, “Maaf karena aku membuat Ayah jadi kembali sakit begini.”
Mikha menggeleng, “Dari awal itu salah aku. Aku yang memperkenalkan kamu sebagai pacarku.”
Bibirnya kembali bergetar, “Itu semua salahku.”
Mikha tidak tahu kenapa namun dia bisa menangis di hadapan orang lain sekarang. Sesuatu yang tidak pernah dia lakukan sebelumnya.
Raya menarik tubuh Mikha dan memeluk Mikha, menepuk-nepuk punggung Mikha untuk menenangkannya. Mikha meletakan kepalanya di bahu Raya dan menangis di sana. Tangan Raya berpindah ke kepala Mikha, mengelus-elus kepala Mikha yang sedang menangis.
“Semua sudah terjadi dan menyalahkan siapa pun tidak ada gunanya sekarang,” ujar Raya.
“Kamu tidak selamanya kuat, Mik. Tapi kalau kamu malu untuk menangis di depan orang lain, maka kamu bisa menangis di depanku. Aku akan selalu meminjamkan pundakku untukmu,” lanjut Raya.
Ponsel Mikha berdering membuat pelukan keduanya terlepas, Mitha meneleponnya.
“Ibu sudah sadar?” tanya Mikha.
“Oke, Abang ke dalam.” Mikha lalu memutuskan panggilan telepon.
“Kamu mau masuk?” tanya Mikha.
Raya menggeleng, “Sudah malam. Kalian dan Ibu butuh istirahat.”
“Kamu pulang gimana?” tanya Mikha.
“Aku bawa mobil,” jawab Raya.
“Kamu yakin? Gak mau panggil taksi aja? Kamu gak ngantuk ‘kan?”
Raya tersenyum, “Aku baik-baik saja. Masuk sana! Salam buat Ibu.”
Mikha memandang Raya sebentar lalu mengangguk dan berlari masuk kembali ke rumah sakit sementara Raya menuju ke mobilnya.
Raya berada di mobilnya dan teringat sesuatu yang tadi dia dengar, mengenai donor jantung untuk Ayah Mikha. Raya merogoh ponselnya dan mencari kontak seseorang di sana, Raya menatap kontak itu dengan ragu. Sudah hampir setahun dia tidak menghubungi orang ini malah menghindarinya, namun dia tentu saja tidak bisa membiarkan Ayah meninggal tanpa ada pertolongan.
Raya lalu menekan tombol panggil dan menunggu sampai nada sambung itu berhenti.
“Halo, manis. Kangen aku, ya?” Suara dari seberang membuat Raya bergidik.
***
Seorang pria dengan jas dokternya berjalan di sepanjang koridor rumah sakit, wajahnya terlihat sangat kesal dan juga sebal. Di jas dokternya terdapat sebuah logo dan nama rumah sakit ternama.
“Ayah benar-benar keterlaluan! Bisa-bisanya aku disuruh ikut praktik juga padahal aku bisa dapat nilai tanpa perlu susah payah seperti ini! Toh rumah sakit ini juga akan menjadi milikku.” Lelaki itu mengomel sepanjang jalan.
Tiba-tiba saja dia merasa ponselnya bergetar, membuat dia dengan malas meraih ponsel itu. Wajahnya yang tadi terlihat kesal mendadak cerah dengan senyum yang mengembang sempurna.
“Halo Manis, kangen aku ya?” ujarnya begitu dia mengangkat telepon itu.
“Za-Zach?” Raya terbata-bata saat mengucapkan nama itu. Nama yang sudah lama tidak dia dengar lagi.
“Iya Sayang, aku Zach. Kamu masih menyimpan nomorku ternyata. Kenapa? Tidak bisa melupakan aku ya?” tanya pria bernama Zach itu.
Raya menelan salivanya, ini adalah cara bodoh tapi kalau ini berhasil maka ini adalah cara terbaik dan tercepat untuk menolong Ayah.
“Aku butuh bantuan kamu,” ujar Raya.
“Oh ya? Terakhir kali kita bertemu, kamu bilang tidak ingin tahu tentang aku lagi,” ujar Zach.
“Bisa kita bertemu?” tanya Raya.
“Tentu saja, Sayang. Kamu mau bertemu di mana?” tanya Zach.
“Mau ke rumahku?” Zach menyeringai.
“Di kafe saja. Kapan kamu bisa?” tanya Raya lagi.
“Sepertinya sangat mendesak sekali ya?” tebak Zach.
Raya diam saja.
“Besok bisa, tapi malam. Aku harus di rumah sakit saat siang,” ujar Zach.
“Oke. Nanti aku kirim alamatnya,” ujar Raya lalu mematikan panggilan telepon.
Zach tersenyum menatap ponselnya, “Aku suka wanita sok jual mahal ini.”
***
Raya melangkah menuju ke arah ruangan Ibu Mikha, beliau akhirnya harus menjalani opname karena tekanan darah rendah. Raya mengetuk pintu dan membukanya secara perlahan-lahan. Mikha, Mitha dan Ibu yang berada dalam ruangan itu tampak terkejut melihat kehadiran Raya.
“Raya?”
Raya tersenyum lalu masuk ke dalam ruangan, “Ibu sudah lebih baik?”
“Sudah lumayan. Ibu malah cemas sama Ayah sekarang,” ujar Ibu.
“Bu ... jangan terlalu dipikirkan,” ujar Mikha.
“Aku bawa buah buat kalian. Pasti melelahkan di sini,” ujar Raya.
“Makasih, Kak.” Mitha mengambil buah itu dan meletakkannya di meja.
“Kamu sudah makan siang?” tanya Mikha secara tiba-tiba.
“Hah?”
Mikha mencebik lalu melihat jam tangannya.
“Ini sudah jam empat sore dan kamu belum juga makan siang? Kenapa suka sekali melewatkan jam makan sih?” omel Mikha membuat Raya kaget.
“Eh ... itu ... tadi sibuk,” jawab Raya.
“Lain kali hubungi aku biar bisa ku kirimi makanan. Lagi pula jarak kantor kamu dan kafe aku tidak begitu jauh,” ujar Mikha.
Dia lalu mengalihkan pandangannya pada Adik dan Ibunya yang sedang memandang mereka berdua dengan tatapan menggoda yang tertahan.
Mikha salah tingkah karena hal itu.
“Nanti tiap akhir bulan, bayarnya!” lanjut Mikha.
Ibu dan Mitha saling berpandangan dan tertawa kecil bersama.
“Dia salah tingkah, Bu,” ujar Mitha.
“Ibu gak tahu Abangmu bisa seperhatian itu pada orang lain,” tambah Ibu.
Raya ikut-ikutan salah tingkah karena komentar Ibu dan Mitha.
“Oh iya, ada apa kamu ke sini?” tanya Mikha.
“Aku punya kabar baik.”