18. Zach yang menyebalkan

1432 Kata
Gio keluar membawa makanan pesanan Zach dan juga Raya. “Mikha ke mana?” tanya Raya setelah dia tidak lagi melihat sosok Mikha sejak tadi. “Bang Mikha sudah pulang, Kak,” jawab Gio. “Udah pulang?” ulang Raya sedikit kaget. “Iya. Permisi, kalau begitu silakan dinikmati makanannya,” ujar Gio lalu berlalu kembali ke dapur. “Kenapa?” tanya Zach. Raya menggeleng lalu kembali makan, dia belum makan apa pun dari tadi sehingga dia kelaparan sekarang. “Aku dapat libur hari Sabtu nanti, kita pergi nonton nanti,” ujar Zach. “Aku bahkan belum bilang iya atau tidak,” ujar Raya. Zach mencebik, “Memangnya kamu bisa menolak?” “Kamu selalu memaksakan kehendak kamu, Zach. Itu kenapa kamu diputuskan sama—" Raya tidak melanjutkan ucapannya. Zach menatap Raya dengan tajam. “Apa semuanya salahku?” Zach tersenyum miring. Raya terdiam. *** Mikha membaca pesan dari Raya yang mengatakan bahwa wanita itu ingin makan roti lapis dari kafe Mikha dan ia ingin Mikha yang mengantarnya. Karena itulah Mikha sudah berada di kantor Raya pagi ini, dia berjalan menuju meja resepsionis. “Bapak Mikha ya? Mau nganter makanan untuk Bu Raya??” tanya resepsionis itu. Mikha mengangguk membuat resepsionis itu tersenyum. “Silakan naik ke lantai tujuh aja, Pak. Kata Bu Raya silakan diantar langsung,” ujar resepsionis itu. Mikha memandang sebal resepsionis itu namun dia tetap melanjutkan perjalanannya menuju lift. “Dia gak sadar kalau aku sedang marah padanya ya? Sekarang malah membuat aku harus menemuinya,” ujar Mikha sebal. Semalaman dia tidak bisa tidur karena menahan diri agar tidak menangis itu ternyata susah. Kepalanya sakit tapi lebih sakit hatinya, namun karena dia orang dewasa, saat pagi tiba semuanya harus menjadi baik-baik saja. Denting lift berbunyi menandakan Mikha sudah sampai di lantai tujuh, Mikha lalu keluar dan mencari keberadaan Raya. Matanya menangkap sebuah ruangan yang terbuat dari kaca dan berjalan ke sana namun pemandangan di sana membuat Mikha menghentikan langkahnya. Pemandangan Raya tengah dicium pipinya oleh Zach yang lalu keluar dari ruangan Raya itu membuat Mikha seperti mendapatkan serangan jantung pagi-pagi. Mikha memperhatikan lagi baju Zach dan ingat bahwa baju itu adalah baju yang sama yang digunakan Zach semalam. Itu artinya keduanya menginap bersama semalam. Zach yang keluar dari ruangan itu berhenti sejenak saat melihat Mikha, dia menatap Mikha lama lalu tersenyum miring dan berjalan melewati Mikha dengan bangganya seolah dia sudah mengalahkan Mikha dengan telak. Mikha menarik nafas dan menghembuskannya untuk menenangkan dirinya setelah itu dia berjalan kembali masuk ke dalam ruangan Raya. “Heh!! Kenapa juga aku harus bertemu dengan pria menyebalkan itu pagi-pagi begini!” Suara itu membuat Mikha menghentikan langkahnya dan akhirnya melihat wanita yang menggerutu di pagi hari ini. Dia adalah Elin sekretaris Raya, Mikha sudah pernah bertemu dengan dia sebelumnya. “Pak Mikha? Ada apa pagi-pagi ke sini?” tanya Elin. “Pagi, Lin.” Mikha tersenyum. “Eh, iya. Pagi Pak,” sapa Elin. Mikha mengangkat bungkus makanan untuk Raya, “Biasa, layanan antar makanan!” “Loh, kok Bapak yang nganter? Biasanya Mas-mas yang lain,” ucap Elin lalu membuka pintu untuk Mikha. “Gak tahu, diminta sama Bosmu,” ujar Mikha. “Cie, kangen tuh sama Bapak,” ujar Elin lalu tertawa. Dia kemudian masuk ke dalam ruangan Raya. Mikha mendongkol sebenarnya dalam hati karena dia tahu bahwa Raya tidak sendirian semalam dan dia tidak tahu apa yang mereka lakukan semalaman itu. “Pak, Bu Raya sedang mandi dan Bapak diminta untuk menunggu sebentar,” ujar Elin. Mikha mengangguk. “Lagian punya rumah malah tinggal di kantor,” lanjut Elin. “Dia tinggal di kantor?” tanya Mikha, cukup terkejut karena dia baru tahu bahwa Raya tinggal di kantornya selama ini. Elin mengangguk, “Sudah sebulan ini.” Mikha mengingat lagi dan paham kenapa Raya tidak lagi mau pulang ke rumahnya. Rumahnya tidak lagi aman semenjak Papa dan Mamanya bisa masuk ke dalam rumah itu. Mikha hanya bisa menghembuskan nafas pasrah. Dia tahu ini juga berat untuk Raya. Dia kembali menatap Elin yang masih memasang wajah cemberutnya. “Kamu kenapa marah-marah masih pagi begini?” tanya Mikha. “Oh, itu. Habis ketemu sama makhluk dajal,” jawab Elin ketus. “Makhluk dajal?” “Iya. Namanya Zach, temannya Bu Raya,” jawab Elin. Jawaban Elin membuat Mikha kembali bersemangat. “Teman? Kamu yakin? Mereka terlihat ... akrab,” ucap Mikha. “Aku sih yakinnya Bu Raya pasti terpaksa untuk berteman sama dia,” ujar Elin lagi. Mikha tahu ini kesempatan bagus dan dia akan memanfaatkannya sekarang. "Memangnya mereka berteman sejak kapan?” tanya Mikha lagi. “Kalau tidak salah setahun lalu, saat perusahaan ini baru-baru berdiri,” jawab Elin. Tiba-tiba dia memandang ke kiri dan kanan seolah mengawasi jika ada orang yang mendengar percakapan mereka. “Zach itu adalah mantan target dari perusahaan ini, dan yang menjadi agen saat itu adalah Bu Raya,” lanjut Elin dengan suara berbisik. “Ah masa? Tahu dari mana kamu?” pancing Mikha. “Aku sih waktu itu belum ada tapi aku dengar cerita yang sama dari pegawai-pegawai yang lain. Dulu, Zach itu adalah target pertama untuk perusahaan ini. Tunangannya adalah klien pertama, seorang putri konglomerat di negeri ini sedangkan Zach adalah putra pemilik rumah sakit ternama. Si tunangan Zach ini lalu meminta Bu Raya untuk menjebak Zach dan katanya karena baru pertama kali Bu Raya malah menggunakan perasaannya pada Zach. Padahal kenyataannya Zach tidak pernah berselingkuh sebelumnya, dan malah selingkuh pertama kali dengan Bu Raya,” jelas Elin panjang lebar. “Maksud kamu, Raya jatuh cinta sama Zach?” tanya Mikha. Elin mengangguk, “Walaupun pada akhirnya berhasil untuk menjebak Zach dan membuat pertunangan mereka batal lalu membuat Zach dimarahi habis-habisan sama Ayahnya, hubungan ketiganya jadi berantakan karena perasaan Bu Raya.” Mikha mengangguk. “Karena itulah sekarang Bu Raya paling gak bisa menolak Zach. Karena dia merasa bersalah sama Zach,” lanjut Elin. Mikha lumayan paham sekarang, namun hatinya masih belum bisa menerima kenyataan bahwa Raya dan Zach berada berdua semalaman. “Kalian ngobrol apa? Asyik banget kelihatannya.” Raya keluar dengan rambut yang basah. “Kamu ... keramas?” tanya Mikha. “Iya, memangnya kenapa? Nada kamu kayak Ibu waktu itu,” ujar Raya mengingat peristiwa dia dan Mikha ketahuan bersama semalaman. Dia menatap Mikha dengan tatapan menghakimi. “Apa yang salah dengan keramas di pagi hari sih?” Raya kembali masuk ke dalam ruangannya. “Makasih ya, Lin. Nanti aku kirimkan kamu makan siang juga,” ujar Mikha dan berjalan masuk ke dalam ruangan Raya. “Bener? Asyik.” Senyum mengembang di wajah Elin, hari ini dia makan makanan enak, gratis. Raya duduk di sofa di ruang kerjanya diikuti Mikha. “Ini roti lapis kamu, ngapain harus aku yang nganter sih? Aku tuh sibuk pagi-pagi begini, aku harus ke kafe, lihat kondisi ayah terus—" “Terus kenapa datang?” potong Raya. Mikha terdiam. “Hm?” Raya memajukan wajahnya. Mikha masih terdiam, dia tidak tahu harus menjawab apa. “Terus kenapa masih datang untuk melakukan hal sepele ini kalau kesibukan kamu banyak?” tanya Raya. “Untuk terima kasih saja,” jawab Mikha membuat Raya mundur dan memandangnya dengan sebal. “Sudah ‘kan? Aku mau pergi lagi nih.” Mikha bangkit dari duduknya. “Kamu kenapa pulang duluan semalam?” tanya Raya. Mikha terdiam. “Gak pamit lagi,” lanjut Raya. “Kamu lagi asyik ngobrol sama Zach, gak mungkin aku ganggu,” ujar Mikha. Raya mencebik, “Padahal aku ingin kamu ganggu.” Mikha terdiam, dia tidak tahu harus mengartikan apa maksud dari kalimat Raya tadi. “Kenapa kamu tinggal di sini?” tanya Mikha. “Hah! Lagi-lagi kamu mengalihkan pembicaraan,” ujar Raya, telunjuknya menunjuk ke arah Mikha. “Jangan tinggal di kantor begini, kamu bisa gampang stres. Cari apartemen saja,” ujar Mikha. “Aku sudah memutuskan! Aku akan pindah ke rumah kalau nanti aku menikah,” ujar Raya. Mikha berbalik memandang Raya yang sekarang sudah tidur telentang di sofa. “Kamu mabuk ya?” tanya Mikha. “Aku hanya minum kopi dan coklat panas, bagaimana ceritanya aku mabuk?” bantah Raya. “Kamu terlihat seperti orang mabuk,” ujar Mikha. Keduanya terdiam untuk beberapa saat. “Makan roti lapisnya selagi hangat. Aku sudah harus ke kafe,” ujar Mikha. “Begitu!” ujar Raya membuat Mikha menghentikan langkahnya. “Begitu caranya pergi, pamit!” lanjut Raya. Wanita itu berdiri dan mengambil sebuah map dari mejanya dan menyerahkannya pada Mikha. “Apa ini?” tanya Mikha. “Kontrak kerja sama untuk menjadikan kafe kamu jadi arena kami,” jawab Raya. “Arena?” “Tempat kami menjebak para buaya-buaya itu,” lanjut Raya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN