15. Bantuan

1913 Kata
Mikha menatap lelaki di depannya dan juga Raya yang berada tidak jauh dari tempat dia berdiri, matanya menatap lekat dua orang yang dari tadi sibuk berbicara yang sepertinya sebuah pembicaraan yang serius. “Bang? Kok ke sini?” tanya Gio yang baru saja kembali setelah melakukan pengantaran makanan. “Hah? Oh, itu ... aku bosan di rumah sakit jadi ke sini sebentar,” jawab Mikha, matanya kembali menatap ke arah Raya dan juga pria bernama Zach itu. “Itu cewek yang selalu Bang Mikha kirimin makanan ‘kan?” Gio meletakan helmnya dan juga ikut menatap Raya dan Zach. Mikha menatap Gio, “Tidak selalu. Baru dua kali.” Gio menatap ke arah Mikha lalu kembali menatap Raya dan Zach, “Sepertinya mereka pacaran.” “Apa?” Mikha tampak terkejut namun sedetik kemudian dia kembali bertingkah biasa saja. “Iya, tadi aku dengar si cowok manggil ceweknya dengan sebutan Sayang,” ujar Gio lagi. “Ya sudah kalau begitu, memangnya apa hubungannya denganku?” Mikha membuang lap yang dari dia pegang dan berjalan menuju ke ruangannya yang berada di atas. Suasana hatinya mendadak buruk saat mendengar ucapan Gio. Gio menatap kepergian Mikha yang langsung naik ke atas tanpa menatap ke arah wanita itu lagi. “Kenapa aku ngerasa, Bang Mikha jadi kesal ya?” Gio bingung. Sementara Mikha masuk ke dalam ruangannya dengan gusar, dia membanting tubuhnya ke sofa dan berbaring di sana. “Kenapa dia bawa cowok lain ke kafeku?” Mikha kembali naik ke atas sofa dan mengintip dari balik kaca. Dia masih melihat Raya yang sedang berbicara dengan lelaki itu. “Apa itu adalah salah satu kliennya?” Mikha kembali dalam posisi duduk. Dia menggerakkan kakinya cepat karena gusar. Dia lalu pergi ke ujung ruangan dan ternyata benar, dia bisa melihat Raya dan juga Zach dari posisinya sekarang. Mata Mikha dapat melihat cara Zach menatap Raya, lelaki itu menginginkan dan memuja Raya. “Cih, pandangannya seperti orang m***m!” Mikha menghakimi Zach. Pandangannya kembali pada Raya yang memegang lehernya terus-terusan, sesekali dia menulis sesuatu di tablet miliknya. Senyum Mikha muncul tiba-tiba karena melihat Raya. “Hah? Apa ini? Kenapa aku tersenyum?” Mikha bertanya pada dirinya sendiri. Dia menggeleng beberapa kali bahkan menampar pipinya. Tiba-tiba matanya menangkap tangan Zach yang terulur untuk mengelus pipi Raya, Mikha menempel di kaca karena gemas. “Benar-benar m***m!” Mikha kembali menghakimi Zach. “Ah! Cukup! Aku tidak mau melihatnya lagi.” Mikha mundur dan kembali menuju sofa. Hatinya berdegup dengan cepat membuatnya dia kelelahan sendiri. Suara ketukan pintu membuat Mikha kembali berdiri dan membuka pintu, sosok Raya muncul di depan pintu. “Eh kenapa? Kamu sudah selesai makan?” tanya Mikha. Raya menggeleng, “Aku sudah menemukan donor untuk Ayah kamu.” Mikha begitu terkejut, rasa bahagia meluap di hatinya. Tidak sadar dia menarik Raya dan memeluknya membuat Raya terkejut dan mengedipkan matanya cepat karena tidak percaya. “Ah, maaf. Aku terlalu senang.” Mikha melepaskan pelukannya dari Raya membuat suasana seketika itu juga menjadi canggung. “Terima kasih, Raya. Kamu baru mengenal kami tapi bantuanmu berharga sekali,” ucap Mikha. Raya tersenyum, “Iya, sama-sama. Sering-seringlah kirim aku makanan.” “Pasti, aku akan pastikan mulai sekarang kamu gak akan kelaparan,” ujar Mikha yang membuat Raya tertawa. “Ray!” panggil Zach dari bawah membuat Raya dan Mikha mengalihkan pandangan mereka pada lelaki itu. “Ayo!” lanjut Zach sambil memberikan kode pada Raya. “Iya,” sahut Raya. “Aku tunggu di mobil ya, sayang,” ucap Zach lalu berlalu keluar dari kafe. Raya kembali menatap Mikha yang mengalami perubahan ekspresi. “Ya udah, ini berkas dari orang yang akan menjadi donornya Ayah. Nanti kamu kasih ke dokter ayah,” ucap Raya. Mikha mengangguk, “Sekali lagi, terima kasih.” Raya mengangguk dan tersenyum “Aku pergi dulu kalau begitu.” “Raya!” panggil Mikha membuat wanita itu menghentikan langkahnya. “Kamu ... ah tidak jadi,” ucap Mikha. “Mikha! Apaan? Aku ini gampang penasaran,” ujar Raya. Mikha tertawa. “Benar, gak jadi. Gak penting,” ucap Mikha lagi. Raya mencebik, “Ya sudah, aku pergi dulu.” Mikha mengutuk dirinya sendiri ketika melihat Raya sudah berlalu keluar dari kafenya. Mikha menarik nafas panjang. “Harusnya tadi aku tanya saja itu pacarnya atau bukan.” *** Mikha keluar dari ruangan dokter dengan hati yang gembira, donor jantung untuk Ayah ternyata memiliki tingkat kecocokan yang tinggi. Mikha benar-benar lega sekarang. “Gimana Bang?” tanya Ibu begitu Mikha kembali masuk ke ruangan. “Donornya, sangat cocok dengan Ayah. Kata dokter operasi Ayah akan dilakukan sesegera mungkin,” ucap Mikha membuat Ibu dan Ayah langsung berpelukan. “Terima kasih, Tuhan.” Keduanya mengucapkan syukur. “Terima kasih, Bang,” ucap Ayah. “Jangan hanya terima kasih sama aku, Yah. Terima kasih juga sama Raya, ‘kan dia yang bantu cari donornya,” ujar Mikha. “Ke mana anak itu? Kok sudah gak pernah ke sini?” tanya Ibu. “Dia ‘kan pasti punya kesibukan, Bu.” Mikha menjelaskan. “Harusnya kamu nikahi saja dia, Bang. Ayah setuju sekali kalau sama dia,” ujar Ayah. “Yah!” Mikha memperingatkan lagi. “Raya sama Mikha gak ada hubungan apa-apa! Menyuruh kami cepat-cepat menikah sama saja menyuruh kami untuk berjalan di jalanan gelap tanpa penerangan,” ujar Mikha lagi. “Sebentar!” Ibu berdiri dan mengambil tasnya, lalu dia kembali dengan ponsel di tangannya. “Jangan diganggu, Bu. Raya mungkin lagi sibuk,” ucap Mikha lagi. Namun peringatan Mikha diabaikan Ibu, wanita itu dengan cepat menelepon Raya dan sedang menunggu wanita muda itu mengangkat teleponnya. “Halo?” suara Raya terdengar. “Raya?” sapa Ibu. “Iya, Bu. Ada yang bisa Raya bantu?” tanya Raya. “Kamu di mana? Lagi sibuk ya?” tanya Ibu lagi. “Ehm, gak terlalu sibuk sih. Kenapa memangnya?” “Ini ... Abang tuh kangen sama kamu Cuma malu bilangnya makanya Ibu yang telepon,” ujar Ibu membuat Mikha melotot mendengarnya. “Bu!!” Mikha hendak protes namun Ibu dengan santainya meletakkan jari telunjuknya di depan bibir untuk menyuruh Mikha diam. “Mikha?” tanya Raya. “Ya iyalah, anak Ibu yang laki-laki yang Ibu panggil Abang ‘kan Cuma Mikha,” jawab Ibu sambil cengengesan. “Bu,” ujar Mikha lagi kali ini dengan nada lebih rendah, Mikha menggeleng-gelengkan kepalanya. Tawa Raya terdengar. “Mampir ya ke sini nanti sore kalau kamu sudah pulang kantor,” ujar Ibu. “Ehm ... Iya. Nanti aku mampir,” jawab Raya. “Oke deh, makasih ya, Raya.” Ibu lalu memutuskan sambungan telepon. “Bu!” protes Mikha. “Bagus, Bu.” Ayah mengangkat jempolnya ke arah Ibu membuat Mikha tidak percaya dengan apa yang baru saja dia lihat. “Anak kita ini belum pernah pacaran ‘kan? Gak ada salahnya kita bantu,” lanjut Ayah. “Hei!!” Mikha kembali protes namun dia sudah diabaikan oleh Ibu dan Ayahnya. “Kamu! Pergi pulang mandi dan ganti baju yang bagusan sedikit. Gimana mau gaet cewek kalau penampilan kamu seperti itu, sekalian gunting rambut kamu, tuh!” Ibu memberi perintah. “Iya. Ubah sedikit penampilan kamu. Percuma wajah ganteng dari Ayah itu kalau penampilan kamu begitu-begitu saja,” ujar Ayah. “Memangnya apa yang salah dari penampilanku?” Mikha tidak terima. “Kamu terlihat seperti ... ck apa namanya?” Ibu mencoba mengingat sesuatu. “Homebless,” ujar Ibu. “Homeless, Bu.” Mikha memperbaiki. “Ah, itulah pokoknya. Sekarang sana pulang, sekalian jemput adikmu, dia nunggu di halte katanya,” lanjut Ibu. Mikha menghembuskan nafas pasrah lalu berjalan pergi. Dia lalu menelepon Raya. "Hai, kamu kangen aku ya?” ujar Raya begitu panggilan mereka tersambung. “Jangan dengerin kata Ibu,” ujar Mikha. Raya tertawa. “Kamu gak perlu datang kalau sedang sibuk,” lanjut Raya. “Aku akan datang,” jawab Raya. “Hah?” “Aku mau datang. Mungkin sejam lagi,” lanjut Raya. “Oh gitu. Oke, ya udah. Aku tutup dulu, ya.” Mikha menutup panggilan telepon itu dan berlari menuju mobilnya, dia Cuma memiliki waktu satu jam sebelum Raya datang. Mikha bahkan memacu mobilnya dengan cepat menuju halte untuk menjemput Mitha. “Ayo cepat naik!” ucap Mikha. “Iya sabar. Kenapa buru-buru amat sih?” protes Mitha. “Ayah dan Ibu sendirian di rumah sakit,” jawab Mikha membuat alasan. “Ayah kambuh lagi?” tanya Mitha panik. “Gak. Cuma tetap aja gak bisa kita ninggalin Ayah Ibu lama-lama,” ucap Mikha lagi. “Abang aneh,” ucap Mitha. “Abang mau potong rambut ya?” tanya Mitha lagi. “Tahu dari mana?” “Ibu.” “Iya.” Mikha dan Mitha turun menuju ke barber shop untuk memotong rambut Mikha namun sayangnya tempat itu sangat padat. “Aduh! Gak keburu nih,” ujar Mikha. “Memangnya Abang mau ke mana?” tanya Mitha. “Hah? Apa? Ah, gak ke mana-mana,” jawab Mikha. “Jadi gimana? Mau di sini atau pindah?” tanya Mitha. “Pindah aja,” jawab Mikha dan lalu keluar. Mereka berpindah di empat barber shop sebelum akhirnya mendapatkan satu yang tidak terlalu ramai. “Ada apa hari ini? Biasanya tidak ramai. Kenapa hari ini semuanya tiba-tiba ingin potong rambut?” keluh Mikha. “Pertanyaan seharusnya adalah ada apa dengan Abang hari ini? Ngotot banget mau potong rambut,” ujar Mitha. *** Raya mengetuk pintu ruangan Ayah lalu membukanya, dia disambut senyuman Ibu dan Ayah Mikha yang hangat. “Eh, sudah sampai. Ayo duduk!” Ibu menarik tangan Raya menuju ke sebuah kursi. “Ayah gimana keadaannya?” tanya Raya. “Sudah lebih mendingan, jadwal operasinya minggu depan,” jawab Ibu. Raya tersenyum senang. “Terima kasih ya, Raya. Kamu sangat membantu,” ucap Ayah. “Sama-sama, Yah. Semoga Ayah cepat pulih,” ucap Raya. “Ngomong-ngomong, Mikha sama Mitha ke mana?” tanya Raya. “Lagi pulang sebentar untuk bersih-bersih. Apalagi Mikha, dia seneng banget pas denger kamu mau datang,” ujar Ibu membuat Raya tertawa. “Ayah malah berharap kalian berjodoh. Ayah pengen banget punya menantu seperti kamu,” ujar Ayah membuat Raya tersenyum kikuk. “Ayah! Jangan bikin Raya sampai salah tingkah begitu dong. Maaf ya, Raya,” ujar Ibu. “Eh, gak apa-apa kok, Bu.” “Kamu punya pacar, Raya?” tanya Ibu. “Hah? Ah, gak punya,” jawab Raya. “Sukanya cowok yang kayak gimana? Kayak Bang Mikha suka gak kamu? Dia memang agak berantakan dan ceroboh tapi dia baik kok, ganteng lagi,” ujar Ibu. Raya ingin menjawab namun pintu depan tiba-tiba terbuka dan kini Raya dapat melihat sosok Mikha berada di sana, dengan potongan rambut baru yang membuatnya tampak lebih segar dan juga tampan. Raya berkedip beberapa kali saat menatap Mikha. “Hai Ray. Sudah dari tadi?” sapa Mikha. “Hah? Ah, baru kok,” jawab Raya. “Gitu dong, Bang. Kalau gini ‘kan Abang lebih ganteng lagi,” puji Ibu. “Aku memang sudah ganteng, Bu. ‘kan mukanya udah mirip sama Ayah,” ujar Mikha. Tidak lama kemudian Mitha sampai ke ruangan itu. “Ayah!” Mitha berlari kecil dan memeluk Ayahnya. Hati Raya menghangat melihat pemandangan tersebut, dia kembali iri. “Aku mau ngambil makanan dulu, udah diantar Gio di depan,” ujar Mikha yang kemudian keluar dari ruangan. “Ada Kak Raya? Pantasan,” ujar Mitha. “Kenapa?” tanya Raya. “Pantas saja Bang Mikha ngotot pengen potong rambut dan belanja baju baru,” ujar Mitha lagi membuat Raya merasa kupu-kupu di perutnya beterbangan sekarang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN