Laki-Laki Jubah Hitam

1675 Kata
Senandung nada melantun merdu dari bibir ranum milik seorang gadis. Cahaya matahari membuat dress putih yang berpadu dengan kulit seputih salju itu bak mutiara yang bersinar. Rambut coklat keemasannya terikat asal. Beberapa anak rambut menjuntai. Membuat kesan berantakan pada gadis yang beberapa bulan lagi akan genap dua puluh tahun. "No-Nona.... Bolehkah aku merapihkan rambut Nona?" tawar Caroline. Dari matanya terpancar keberanian yang dipaksakan. "Tidak perlu. Penampilan orang sakit memang berantakkan seperti ini kan?" ujar Senora. "Be-begitu ya. Ma-maaf," ujar Carolone kikuk. Sepertinya ia masih syok dengan karakter asli Senora. "Anu.... apakah Nona ingin aku membuka jendela ini? Supaya angin bisa masuk," usul Caroline. "Humm. Terserah." Caroline menyibak horden dengan motif bunga wisteria itu. Warna ungu mendominasi sesuai dengan lambang keluarga Vermilion. Jendela besar itu terbuka. Helaian anak rambut Caroline bergerak pelan. Banyak pohon bunga wisteria yang tampak terawat mendominasi halamab depan. Caroline tidak pernah berhenti takjub saat bunga wisteria di kediaman ini bermekaran pada musimnya. Pandangannya berhenti pada satu benda asing yang masuk dari gerbang menjulang di depan sana. "Ah, Nona Delina sudah pulang. Kenapa cepat sekali?" gumam Caroline keceplosan. Berkat itu Caroline langsung membekap mulutnya seraya melirik majikannya yang tengah duduk menyantap sarapan. "Tidak usah disembunyikan. Aku tahu apa yang baru kau gumamkan," ucap Senora santai. Ia menaruh sendor peraknya dan tersenyum. "Lebih tepatnya aku sudah memprediksi kepulangan Delina." "Ba-bagaimana bisa? Ku dengar acara tea party itu bisa menghabiskan waktu satu hari." "Haha, yah, kau benar. Tapi, bagaimana acara akan berlangsung jika pemeran utama tidak datang?" "Pemeran utama?" tanya Caroline kenmbingungan. Setelahnya ia langsung tersadar dan menelan kasar salivanya. Tidak menyangka wanita cantik di depannya memanfaatkan situasi ini untuk mempermalukan adik tirinya. Perlahan wajah terkejut itu tampak mengendur. Digantikan tatapan kagum pada sosok elegan di depannya. Ya! Sekaranf Caroline tidak akan salah melayani seseorang! "Nona... apa Nona ingin aku menyajikan darjelly tea? Minum s**u dan bubur hambar saja pasti membuat lidah Nona tidak enak kan?" "Humm. Ku pikir itu lebih baik." "Kalau begitu saya izin undur diri Nona. Mohon tunggu sebentar," bungkuk Caroline sebelum mangkir dari tempatnya. Punggung lebar yang seolah terbiasa menanggung beban keluarga itu telah hilang bersamaan pintu ditutup. Senora mengambil satu pucuk bunga tulip dalam vas. Mematahkan satu persatu kelopaknya. Tak bisa! Senora tidak bisa menahan tawa sejak tawaran Caroline terlontar! "Hahahahaa. Dia memakan umpan ku. Aduh, Caroline yang malang. Kau pasti sangat menderita saat menaruh setia pada Delina." "Kau tenang saja. Aku tidak butuh banyak bidak untuk melindungi ku. Cukup satu tapi setia. Dan aku akan menjamin keselamatan mu," tekad Senora. Semua yang Senora rencanakan. Sejak mengetahui fakta bahwa di s**u itu terdapat sesuatu yang mampu membahayakan Senora.Ia mulai menyusun rencana untuk membuat Caroline berpihak sepenuhnya. Bukan karena ancaman atau uang. Tapi dari dirinya sendiri. Tak ada kesetiaan yang benar-benar besar jika tidak datang dari diri sendiri. Begitulah Senora memanfaatkan keadaan ini untuk menarik Caroline menjadi miliknya. Membuatnya takjub dan merasa terlindungi jika memiliki majikan seperti Senora. *** PLAK! Seisi pelayan yang berada di ruang tengah menoleh ke sumber suara nyaring yang tampak sakit itu. Sebagian dari mereka memandang nanar. Sebagiannya lagi terhibur dengan mengulas senyum samar. "Kau pikir aku lelucon, hah?! Berani-beraninya kau mempermainkan ku!" ucap Delina menggebu. Tangannya masih terasa panas bekas menampar wanita yang menjadi kakak tirinya. "Apa maksud mu Delina?" sahut Senora. "Bukankah kau pergi ke acara tea party itu dengan gembira. Kenapa kau pulang marah-marah begini?" "Tutup mulut mu! Kau sengaja menjebak ku kan? Kau hanya pura-pura sakit dan meminta ku datang untuk menggantikan mu. Tapi nyatanya? Acara itu diperuntukkan untuk mu!" Senora terkekeh. Bekas tamparan itu mulai membekas merah. Tapi berusaha ia tahan untuk pertunjukkan menyenangkan. "Wah, aku tidak tahu Marquis Adler begitu berbaik hati mengadakan acara untuk ku. Kalau saja aku tahu, dalam keadaan sakit pun aku akan berangkat. Aku jadi tidak enak pada Marquis Adler." "Lagi pula.... aku sakit bukan karena ingin ku. Semalam Tiba-tiba aku merasa tidak enak badan. Aneh sekali kan?" sindir Senora. Melirik penuh arti ke Delina. "Apa? Kau mencurigai ku menaruh sesuatu di s**u mu?!" Kena kau! Batin Senora. "s**u? Oh ayolah Delina. Aku tidak mencurigai mu. Kenapa kau tiba-tiba membahas s**u? Apa kau memang menaruh sesuatu di sana?" DEG! "Ku pikir karena menu makan malam tadi malam adalah jenis ikan-ikanan. Aku menyukai masakan koki rumah ini. Tapi tubuh ku yang tidak mengizinkan ku memakannya. Yah, mungkin karena alergi ku kambuh. Ini murni kecerobohan ku. Tapi.... beda ceritanya kalau kau menaruh sesuatu pada s**u yang diantar oleh Caroline." "Hah! Bicara mu semakin aneh!" dengus Delina kikuk. Senora mengendurkan senyum. Sorot matanya menjadi tajam. "Apa yang kau taruh di minuman ku?!" "A-aku tidak menaruh apapun! Tanya saja Caroline!" Skakmat! "Caroline?" Panggil Senora. "Maukah kau bersaksi atas nama Delina?" "S-saya...." ada kegugupan dari sorot matanya. Tidak perlu khawatir! Senora yakin Caroline tidak akan berkhianat. "S-saya diberitahu untuk mengantarkan s**u ke kamar Nona Senora. Hanya itu...." "Sudah puas kan? Aku tidak ada hubungannya dengan penyebab sakit mu. Memang kau saja yang penyakitan!" hardik Delina. Diam-diam jemari milik Caroline mengepal. Dirinya terlalu takut mengatakan semuanya. Jujur saja, selama ini perlakuan Delina terhadapnya sangat tidak baik. Seringkali Caroline dijadikan tumbal atas kejahatannya. Kali ini tidak lagi! Caroline harus lepas sepenuhnya dari Delina! "Tapi... aku sempat memergoki Nona Delina memasukkan sesuatu di s**u Nona Senora." Bisik-bisik seisi ruangan samar terdengar. Mereka sibuk menerka kejadian yang sebenarnya. Ada juga yang melayangkan tatapan tidak suka pada Croline. Salah satunya adalah Delina. Matanya melotot sempurna. samar terdengar gemertak giginya. Ah, dia benar-benar termakan emosi. "Kau!" "Berani-beraninya kau menuduh ku! Pelayan tidak tahu diri!" PLAK! Sekali lagi suara tamparan menggema. Si pelaku mematung di tempat. Syok dengan apa yang baru saja terjadi. Begitupun para pelayan yang melihat. Mereka mengatupkan bibir sangking terkejutnya. Sedangkan si korban penamparan merasakan denyut hebat pada pipi kirinya. Walau begitu, Senora masih bisa menahan. Ya, semua ini demi rencana terselubungnya. Hanya merekrut Caroline? Oh ayolah, Senora memang berniat membuat Caroline setia padanya. Tapi, apa salahnya jika memecah kepercayaan para pelayan yang sejak awal berpihak pada Delina dan Rosaline? Mereka semua adalah orang bodoh yang haus akan perlindungan majikannya. Pertunjukan yang baru saja terjadi akan menggiring simpati mereka pada Senora. Sebagai sosok majikan baik hati yang mau mengorbankan diri demi pelayannya. Cerdik bukan? Ya, Senora memang cerdik. Tapi sayang ia dididik oleh ibunya untuk menjadi wanita baik hati yang tidak boleh menyakiti siapa pun. Saat Ibunya pergi barulah ia merasakan pahitnya realita. Lalu, pertemuannya dengan iblis yang bersembuyi di balik gelar putra mahkota seketika mengubahnya menjadi seseorang yang berbeda. Senora Vermilion yang asli. Yang tidak terikat ajaran dari Ibunya. "Apa-apaan ini?" sahut suara baritone. Sontak semuanya menoleh dan mendapati Aslan dengan raut murka. Di sampingnya tampak pelayan yang sudah berkucuran peluh akibat telat menyampaikan informasi bahwa sang kepala keluarga sudah kembali dari urusan mendadak. "A-Ayah, i-ini...." jeda sejenak, Delina sengaja tidak merampungkan kalimatnya dan justru bergelayut manja di lengan sang Ayah. "Ayah, Kak Senora menjebak ku. Dia bilang tidak bisa datang ke acara tea party keluarga Adler dan menyuruh ku menggantikannya. Tapi, apa Ayah tahu? Ternyata keluarga Adler sengaja membuat tea party itu untuk Kak Senora. Aku dihujat banyak orang. Mereka semua menyindir ku tidak tahu diri. Lalu saat pulang Kak Senora tiba-tiba menuduh ku menaruh sesuatu di minumannya. Ayah.... Kak Senora sudah-" "Diam! Kau membuat ku malu Delina!" ucap Aslan pelan namun sangat tajam. "A-Ayah...." Rengek Delina berderai air mata. Hah! Selalu seperti ini! Batin Senora. Aslan itu memang terkesan dingin dengan anak-anaknya. Tapi ada satu waktu Aslan akan melunak. Dan sialnya itu hanya berlaku pada Delina. Senora tidak tahu apa alasannya. Padahal dirinya pun putrid kandungnya. Terlebih Senora yang sekarang sudah menjadi kebanggaan keluarga. Tapi Aslan tidak pernah menunjukkan bentuk kasih sayangnya sebagai Ayah. Lihatkan kemarin? Justru dengan gamblangnya ia menyuruh Senora menerima pernikahan tanpa bisa menolak sama sekali! Yah, mungkin sejak awal Aslan tidak pernah mencintai ibunya. Dan hanya menjadikanny asebagai alat untuk masuk ke keluarga bangsawan setingkat Count. Sejatinya Aslan hanya anak seorang Baron yang dikuasai keluarga Vermilion. Derajatnya seketika meninggi karena ia menikahi Ibu Senora yang saat itu menjadi putrid tunggal keluarga Vermilion. Muak dengan pemandangan gila ini. Fokus Senora beralih ke orang di belakang tubuh Aslan. Kepala Senora sedikit miring untuk bisa melihat jelas. Sosok tinggi berjubah hitam dengan motif berwarna emas di sisi ujungnya. Wajahnya tertutupi tudung hingga Senora harus menyipitkan mata untuk memastikan. "Siapa dia?" gumam Senora. Mata mereka sempat bertemu. Kurang dari tiga detik laki-laki bertudung hitam itu melengos. Tidak sopan! Batin Senora. Ia pun ikut melengos sambil mengerucutkan bibir. Awas saja! Setelah Aslan pergi, Senora akan menceramahi bawahan Ayahnya ini! "Senora," panggil Aslan. Oh! rupanya Ayah dan anak itu sudah menyelesaikan urusan mereka? "Iya Ayah?" "Bagaimana keadaan mu sekarang?" Tumben sekali Aslan peduli. Biasanya mau Senora sekarat pun ia akan memilih perjalanan dinasnya dan pergi berminggu-minggu. "Aku sudah agak mendingan," ucap Senora dengan senyum palsu seperti biasa. "Pipi mu...." Reflek Senora mundur dua langkah ketika Aslan hendak menggapai pipi Senora. Entahlah, dari pada rasa sakit yang akan muncul akibat sentuhan itu. sepertinya Senora lebih khawatir dengan hatinya yang akan melemah jika Aslan menunjukkan bentuk kasih sayang seperti ini. "I-Ini akan membaik besok." "Begitu.... Syukurlah." Seulas senyum tampak pada wajah laki-laki dengan usia yang tidak muda lagi. Jujur, Senora dibuat merinding dengan itu. Ada apa ini? Apakah kekaisaran akan diserang oleh musuh sehingga laki-laki ini bertobat? Ah, rupanya bukan karena itu! Senora baru menyadari tingkah aneh Ayahnya setelah Aslan berbalik menghadap laki-laki berjubah hitam yang tadinya Senora anggap sebagai bawahan. "Maaf atas ketidaknyamanan ini. Mereka memang sering seperti itu. Tapi mereka saling menyayangi satu sama lain," ucap Aslan sopan pada laki-laki itu. Sial! Senora punya firasat tidak enak. Apalagi setelah tudung itu dibuka dan menampakkan wajah tampan dengan rahang tegas dan mata tajam mengintimidasi. "Tidak masalah. Aku mengerti situasinya," ucap laki-laki itu dengan suara berat khasnya. "Tapi...." Lanjut laki-laki itu. Ia melewati Aslan begitu saja dan mengikis jarak dengan Senora. "Jika aku melihat kejadian serupa terulang kembali pada calon istri ku. Akan ku pastikan keluarga Vermilion tidak akan baik-baik saja." DEG! Ah! Sial! Senyum Senora mengembang sempurna. Berbanding terbalik dengan tubuhnya yang gemetar hebat. Laki-laki ini adalah orang itu! Orang yang diwaspadai Agares. Duke Rion Alastair.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN