3 : Putra Mahkota Laksmana

1013 Kata
Anggota inti kerajaan tengah berkumpul di depan gerbang istana untuk menyambut tamu dari kerajaan sahabat, kecuali Selir Jyotika beserta putranya yang tidak tertarik berkumpul dengan mereka, alasannya masih sama yakni tidak terima diperlakukan tidak adil. Tiga bersaudara itu terlihat rapi mengenakan pakaian khas kerajaan, terlebih lagi Hara yang terlihat cantik kala mengenakan mahkota dikepalanya. Gadis itu selalu menampakkan senyuman ceria, sebagai anak perempuan satu-satunya ia harus bersikap dewasa sama seperti saudara laki-lakinya yang lain. Dari tempat mereka berdiri terdengar langkah kaki kuda beserta ringikannya, pertanda bahwa rombongan kerajaan Janardana sudah sangat dekat jaraknya. Benar saja tak lama kemudian muncul lah pasukan prajurit yang mengawal sebuah kereta kuda mewah yang didalamnya mengangkut sang pemimpin mereka. Setibanya mereka di sana, salah satu prajurit Janardana memberi salam hormat pada Raja Rawindra. “Salam hormat hamba pada Raja Agung Rawindra, niat hati kami ke sini untuk mengunjungi kerajaan Narayana.” “Aku terima salammu, kerajaan Narayana menyambut baik kerajaan Janardana.” Setelahnya prajurit tadi mendekati kereta kuda pimpinan mereka, turun lah seorang pria paruh baya yang mengenakan jubah khas kerajaannya, terlihat berwibawa dan sangat disegani. “Raja Rawindra sahabatku,” ujarnya sambil mendekati Raja Rawindra. “Raja Shangkali, selamat datang di Narayana.” Raja Rawindra menyambut baik sahabat lamanya itu. Terakhir kali pertemuan mereka adalah dua tahun silam, selama itu keduanya sibuk mengurus kerajaan masing-masing. “Kau sudah menyambutku dengan baik. Aku datang ke sini tidak sendiri, melainkan bersama dengan putra tunggalku.” “Benarkah? Sudah sebesar apa Putra Mahkota Laksmana sekarang.” Lagi-lagi gorden kereta kuda tersingkap, kali ini Laksmana lah yang keluar. Langkah kakinya seringan angin, penampilannya tinggih nan gagah, kulit sawo matangnya terdapat bekas luka yang menandakan bahwa ia sering bertarung di medan perang. Pria itu berjalan menghampiri ayah dan Raja Rawindra, ia membungkuk memberi hormat pada si tuan rumah. “Salam hormat saya pada Yang Mulia Raja Rawindra.” Laksmana berujar dengan sopan. “Berdiri lah, Nak. Tak ku sangka kau sudah sebesar ini,” jawab Raja Rawindra. Terakhir kali ia bertemu dengan Laksmana adalah saat anak itu berusia Sepuluh tahun, ia sering mendengar berita mengenai ketekunan Laksmana dalam menjaga perbatasan kerajaannya, bahkan tak segan ikut berperang melawan musuh sehingga ia lama tinggal di kamp militer dibandingkan di istananya. “Putraku Laksmana memang baru-baru ini kembali dari kamp militer perbatasan, sekalinya pulang ia membawa banyak luka-luka ditubuhnya, termasuk dengan topeng yang ia kenakan untuk menutupi bekas sayatan pedang dari musuh.” Raja Shangkali berucap, ia juga menunjuk topeng yang dikenakan putranya untuk menutupi bekas luka. Ya, Putra Mahkota Laksmana memakai topeng diwajahnya. Meskipun begitu aura tegas nan wibawa menguar dari sorot mata elangnya. “Putra Mahkota Laksmana memang hebat, aku sering mendengar namanya begitu mahsyur.” “Apakah mereka adalah anak-anakmu?” tanya Raja Shangkali kala melihat tiga bersaudara itu berdiri tak jauh dari sisi ayahnya. “Ya, mereka adalah putra-putriku.” “Selamat datang di kerajaan kami, Paman Shangkali.” Si sulung mewakili adik-adiknya untuk memberi sambutan hangat pada Shangkali. “Terima kasih, Nak.” Hara melirik pada Laksmana, ia memindai pria itu dari atas hingga bawah. Ia pernah mendengar rumor dari para bangsawan yang mengatakan bahwa Putra Mahkota Janardana adalah buruk rupa semenjak terkena sayatan dari pedang musuh, untuk itu lah ia memutuskan menutupi wajahnya agar tidak menjadi bahan tertawaan orang. Memang apa salahnya memiliki luka? Toh, Laksmana mendapat luka itu demi mempertahankan negaranya, Hara tidak habis pikir dengan pemikiran pendek dari orang-orang itu. Merasa diperhatikan, Laksmana pun langsung balik menatap Hara dengan aura mengintimidasi, sontak saja gadis itu langsung mengalihkan tatapan ke arah lain. Tatapannya begitu mengerikan, Hara dibuat menciut nyalinya. “Baiklah kalau begitu mari masuk, kalian pasti lelah karena menempuh perjalanan jauh.” Mereka semua masuk ke dalam aula kerajaan Narayana, prajurit yang dibawa oleh Janardana pun dipersilahkan untuk istirahat terlebih dulu. Raja Rawindra duduk di singgasana. “Sahabatku Shangkali, aku sudah mempersiapkan kamar untukmu beristirahat, setelahnya kita adakan perjamuan bersama.” “Sekali lagi terima kasih karena telah menyambutku, maaf telah merepotkan kalian.” “Tidak sama sekali, jangan berkata seperti itu. Kita sudah lama tidak bertemu, tiada salahnya menjamu sahabatku sendiri ‘kan?” Mereka pun tertawa renyah. “Dayang, tolong antarkan Raja Shangkali dan Putra Mahkota Laksmana ke kamar mereka masing-masing.” “Baik, Raja.” Para dayang pun sigap melaksanakan perintah rajanya. “Apakah ayah dan Raja Shangkali sudah saling mengenal sejak lama?” Hara bertanya sepeninggalan mereka. “Tentu saja, Putriku. Narayana dan Janardana merupakan sahabat sejak dulu, bahkan bisa dikatakan persahabatanku dengan Raja Shangkali dimulai sejak kami sama-sama belum menaiki takhta.” Hara mengangguk-anggukkan kepalanya paham. “Sekarang kalian bisa kembali terlebih dulu, nanti kita berkumpul di ruang makan untuk perjamuan.” “Baik, Ayah.” Akhirnya mereka semua bubar dari aula. Hara yang merasa bosan pun memilih untuk berjalan-jalan di sekitar taman istana, jika biasanya ia dapat keluar dari istana untuk melihat pedesaan sekitar, kali ini ia harus mengurungkan niatannya terlebih dulu karena adanya tamu yang datang, tidak elok jika meninggalkan tamu. Memiliki sifat yang aktif dan cukup bebas, Putri Hara merupakan salah satu ksatria perempuan yang mempunyai ilmu bela diri mumpuni, bersama saudara laki-lakinya ia sering menumpas kejahatan yang terjadi di kerajaan Narayana. Taman itu memiliki beragam bunga yang tumbuh menjulang ke atas menjalar pada pagar, Hara sangat suka dengan tumbuhan. Saat ia berbelok ke arah lain tiba-tiba saja ia tersentak kaget kala mendapati seseorang tepat di depannya, hampir saja ia menubruk orang itu. “Astaga, maaf.” Hara menunduk meminta maaf, meskipun ia sendiri tidak tahu jika ada orang lain di balik belokan karena terhalang oleh tumbuhan yang meninggi. Tak mendapati jawaban dari lawan bicaranya, Hara pun mendongakkan kepala dan matanya melihat Laksmana yang berdiri di sana. “Putra Mahkota Laksmana, apa yang kau lakukan di sini?” Hara bertanya, sedikitnya ia bisa menilai bahwa Laksmana memiliki karakter yang dingin dan tak mudah tersentuh. “Hanya melihat-lihat,” jawabnya dengan nada sangat datar, setelahnya ia langsung berlalu begitu saja. Hara menatap punggung pria itu dengan alis berkerut. “Dengan sifatnya yang jutek itu, bagaimana bisa ia mendapatkan istri?” Hara mengendikkan bahunya lalu kembali melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN