15 : Kematian Kumala

2509 Kata
Setelah menemukan mayat dari Kumala, Hansa menyuruh Haridra untuk pergi menemui ayah mereka guna memberitahu tentang kematian wanita itu. "Haridra, pergilah ke kamar ayah dan beri tahu tentang kematian Kumala." "Tetapi ini sudah malam Kak, apakah kita tidak mengganggu ayah yang sedang beristirahat?" Sahut Hara "Tak apa, ini merupakan masalah penting, jadi ayah harus mengetahuinya dengan segera," jawab Hansa pada Hara yang bertanya. "Baiklah, aku akan segera memberi tahu ayah tentang masalah ini." Haridra segera bergegas menuju kamar ayahnya, ia berjalan cukup jauh dikarenakan letak kamar Raja jauh dari penjara bawah tanah. Setelah ia berjalan cukup lama, Haridra sampai di depan pintu kamar ayahnya dan mengetuk pintu. Raja Rawindra dibuat terbangun oleh suara ketukan pintu itu. "Siapa itu?" "Ini Haridra, Ayah. Bolehkah aku masuk?" "Masuklah!" Haridra segera membuka pintu dan masuk ke kamar Rawindra setelah mendapat ijin darinya. "Apa yang membuatmu datang kemari malam-malam begini, Putraku?" "Aku ingin menyampaikan sebuah kabar, bahwa Kumala telah mati, ia meneguk racun yang sama dengan yang ada di cangkirku." Haridra menceritakan semua tentang kematian Kumala, Rawindra yang mendengar penjelasan dari anaknya, membuatnya tampak kaget dan berdiri dari tempat tidurnya. "Aku akan segera ke sana, kamu tunggulah di luar sebentar." "Baik Ayah," Jawab Haridra sembari ke luar dari ruangan. Setelah Haridra ke luar, Rawindra yang masih mengenakan pakaian untuk tidur segera mengganti pakaiannya, tampak kebingungan tercetak di wajahnya. "Apa yang sebenarnya sedang terjadi, apakah ia takut dijatuhi hukuman penjara seumur hidup sehingga ia berani meneguk racunnya sendiri," batinnya pada diri sendiri. Setelah ia mengganti pakaiannya, Rawindra segera ke luar dan menghampiri Haridra yang sedang menunggunya. "Ayo kita langsung pergi ke penjara bawah tanah." "Mari ayah," jawab Haridra yang telah menunggu Rawindra. Mereka segera pergi menuju penjara bawah tanah, di tengah perjalanan, Rawindra menanyakan kondisi dari Haridra yang tadi pagi meneguk air beracun. Walau Daneswari telah memastikan bahwa kondisi Haridra baik-baik saja, tetapi sebagai seorang ayah, Rawindra tetap khawatir tentang kondisi anaknya itu. "Apakah benar kondisimu baik-baik saja?" Tanya Rawindra memastikan. "Iya, Ayah tidak perlu khawatir tentangku." Tak lama setelahnya, sampailah mereka di penjara bawah tanah. Sesampainya Rawindra di sana ia tampak langsung memasuki tempat dikurungnya Kumala dan memastikan lagi kondisi Kumala bahwa ia telah mati. Setelah memastikan sendiri kematian Kumala ia menyuruh penjaga untuk membawa jasatnya untuk disemayamkan. "Bawa jasad Kumala, aku akan menguburkannya dan mengumumkan kematiannya esok hari," titahnya pada para penjaga. "Tapi Yang Mulia, Kumala telah melakukan kejahatan, ia mencoba meracuni keluarga kerajaan," ujar penjaga "Iya Yang Mulia, dia benar, apakah Kumala pantas dimakamkan dengan layak," sambung penjaga satunya "Walaupun dia telah berbuat kejahatan, ia tetap harus disemayamkan dengan selayaknya, ia pantas mendapatkan itu paman." Hansa menyahut. Setelah mendengar hal itu, para penjaga membawa jasat Kumala dari dalam tanahan untuk dimandikan dan disemayamkan esok harinya. Di waktu yang sama, setelah berhasil membunuh Kumala, Gandini dan yang lainnya berkumpul di tempat biasanya, mereka membahas tentang membunuhan yang telah mereka lakukan. "Apakah kau telah memastikan bahwa Kumala telah mati?" Tanya Ankara pada Gandini. "Ya, aku telah memastikannya sendiri bahwa Gandana telah membunuhnya." "Aku mencengkram mulutnya dan menuangkan bubuk racun di mulutnya," sahut Gandana sambil tertawa dengan kejam. Jyotika yang melihat tawa kejam dari Gandana menjadi takut dengannya. Gandana merupakan pembunuh yang haus akan darah, ia tak segan-segan menghabisi nyawa seseorang untuk kesenangan pribadinya. Keesokan harinya, setelah Rawindra menyemayamkan dan mengumumkan kematian Kumala ia pun menutup kasusnya. Tetapi tak berhenti di situ saja, karena kabar kematian Kumala menjadi perbincangan hangat di istana, dari para pelayan hingga para prajurit, mereka semua membicarakan kematian Kumala. Sedangkan Ankara dan yang lainnya tampak senang dan lega setelah tahu bahwa kasus Kumala telah ditutup, sehingga rencana mereka masih belum diketahui oleh siapa pun. Tetapi ketiga saudara itu tak ingin kasus ini ditutup begitu saja, dikarenakan mereka tak ingin menentang keputusan dari ayah mereka, mereka berencana mengusut kasus ini sendiri tanpa memberitahu kepada siapapun. Mereka bertemu untuk membahas lebih lanjut tentang kasus kematian Kumala, apakah benar ia yang menaruh racun pada cangkir Haridra dan apakah dia memang benar mati karena bunuh diri atau di bunuh. Karena Hansa merasa janggal atas kematian Kumala. Hansa sangat ingin mengusut tuntas kasus ini, tetapi ia disibukkan dengan urusan yang lain. Hal itu membuatnya memberikan tugas kepada adiknya Haridra untuk menangani kasus kematian Kumala secara diam-diam. Sedangkan Hara diperintahkan untuk melihat kondisi rakyat dan pasar. "Aku sangat ingin mengusut kasus ini, tetapi aku harus pergi ke perbatasan untuk memeriksa jalannya pembangunan desa para pengungsi." "Aku akan menyerahkan kasus ini padamu Haridra, dan Hara, aku menugaskanmu untuk melihat langsung keadaan rakyat dan pasar," tambah Hansa. Haridra dan Hara yang mengerti keadaan Kakaknya itu mengangguk menyanggupi. "Baik Kak," ucap Haridra dan Hara bersamaan. "Aku akan berusaha semaksimal mungkin dalam menyelidiki kasus ini lebih dalam," tambah Haridra. "Dan kapan kau akan pergi ke perbatasan kak?" Tanya Hara. "Rencananya aku akan pergi saat siang nanti," jawab Hansa. Setelah membagi tugas kepada masing-masing dari mereka, Meraka segara melakukan tugasnya masing-masing. Hansa bersiap untuk pergi menuju perbatasan, sebelum ia pergi, ia berpamitan kepada ibu dan ayahnya. Sebenarnya Hansa tidak perlu untuk memantau langsung pembangunan desa, akan tetapi ia memiliki rasa tanggung jawab atas nasib para pengungsi yang telah ia bantu sedari awal. Sedangkan Haridra mencari bukti-bukti, ia mencoba melacak asal dari racun yang berada di air minumnya, ia juga mencari jejak sihir hitam yang masih tertinggal di dalam tahanan. Ia mencoba mengikuti asal muasal dari sihir hitam itu. Di sisi lain Hara pergi ke pemukiman guna melihat kondisi rakyat dan pasar, ia mendapati kondisi pasar yang ramai masih seperti biasanya. Di saat ia melihat lihat kondisi pertokoan, ia melewati toko milik Dashan dan Astri, sedangkan Dashan yang melihat Hara yang sedang lewat langsung menghampirinya dan memintanya untuk singgah di tokonya. "Selamat pagi, Putri Hara," sapa Dashan memberanikan diri. Hara menoleh ke belakang untuk melihat siapa yang menyapanya. "Selamat pagi juga, Paman. Sudah lama tidak bertemu, bagaimana kabar Bibi Astri? Apakah ia mengalami kesulitan dengan kehamilannya?" Jawab Hara sembari bertanya tentang kehamilan dari istri Dashan. "Baik Tuan Putri, istri saya dalam kondisi baik-baik saja, itu juga berkat do'a dari Putri Hara dan Pangeran." "Syukurlah Bibi Astri baik baik saja, terima kasih untuk ajakan berkunjungnya tapi maaf, saya tidak bisa mampir untuk saat ini." Hara menolak ajakan dari Dashan dengan sopan. Dashan yang mendengar hal itu tampak sedih dan kecewa, tetapi ia juga tidak bisa memaksakan kehendaknya kepada Hara. "Tak apa, mungkin lain kali jika memiliki waktu senggang maka Anda boleh mampir kapan saja." "Baiklah, aku permisi." Pamit Hara sembari pergi untuk melanjutkan langkahnya, sedangkan Dashan harus kembali ke tokonya dengan rasa kecewa. Saat Hara melanjutkan langkahnya, tiba-tiba ia teringat sosok Laksmana yang muncul dalam pikirannya. "Apa yang aku pikirkan? Kenapa juga aku teringat dia, ahh sudahlah lebih baik aku kembali melihat-lihat kondisi pemukiman." gumamnya pada diri sendiri. Hara yang berjalan menyusuri pemukiman dikejutkan oleh dua orang warga yang mual tak karuan sembari menggaruk kulit mereka yang memerah. Hara langsung menghampiri warga itu untuk melihat lebih dekat apa yang sebenarnya terjadi. "Paman, Bibi, apa yang kalian lakukan, kenapa kalian menggaruk kulit kalian hingga berdarah-darah?" Warga yang dikejutkan dengan kedatangan Hara itu langsung memberi salam. "Selamat pagi Putri, entah kenapa akhir-akhir ini saya sering mual dan kulit saya amat terasa gatal." Sapa salah seorang warga sembari menggaruk kulitnya. "Benar Putri, tidak hanya kami saja, para warga yang lain juga terkena dan tak jarang anak kecil yang tak kuasa menahan gatal berujung pada kematian." Tambah seorang wanita paruh baya itu. "Apakah kalian tahu apa penyebab dari penyakit ini?" "Kami menduga penyakit ini disebabkan oleh air, banyak warga juga menduga mata air yang telah mereka konsumsi sehari-hari telah diracuni oleh seseorang." "Bisakah kalian mengantarku menuju sumber air itu?" Pinta Hara. "Mari saya antarkan putri." Hara pergi untuk memeriksa sumber mata air yang dipandu oleh salah seorang warga, sesampainya ia di sana ia mendapati air telah tercemari, air di sana agak berbau dan warnanya tidak sebening air pada umumnya. "Baiklah paman aku akan melaporkan masalah ini pada ayahku, untuk segera mencari solusi." "Terima kasih, Putri Hara." Setelah beberapa jam berlalu, Hansa yang sudah berpamitan dengan ibu dan ayahnya tampak akan segera pergi menuju perbatasan. Ia mengenakan baju zirah besinya dengan pedang di samping kirinya. Hanya terlihat Daneswari dan Rawindra saja yang menghantar kepergian Hansa, karena kedua adiknya sedang disibukkan dengan tugas mereka masing-masing. Terlihat juga Jyotika dan Mahabala mengintip dari jendela kamarnya, mereka tampak tak senang dengan kepergian Hansa ke perbatasan. "Dia pasti hanya cari muka dan ingin disanjung-sanjung oleh para pengungsi." "Benar ibu, dia tak lebih dari penjilat yang hanya ingin mencari muka saja." Tuduh Mahabala pada Hansa, ia sangat amat membenci Hansa yang telah merebut haknya, itulah yang Mahabala pikirkan. Setelahnya Hansa menaiki kudanya dan pergi keluar lewat gerbang istana. Mungkin ia membutuhkan waktu sekiranya dua jam untuk sampai di perbatasan dengan kecepatan sedang. Sedangkan di perbatasan, pembangunan desa para pengungsi masih berjalan, mungkin akan memakan waktu yang cukup lama mengingat banyaknya populasi pengungsi ilegal, tak lupa Ponda juga membuatkan lahan pertanian untuk dijadikan mata pencaharian para pengungsi. Selama pembangunan desa dan lahan pertanian, para pengungsi juga turut membantu para pekerja, mereka tampak antusias dengan dibangunnya desa untuk mereka tinggali. Selama pengerjaan lahan pertanian masih belum selesai, para pengungsi disuplai makanan oleh kerajaan Narayana agar mereka tidak kelaparan. Hal itu membuat para pengungsi menjadi makin mengagung-angungkan nama Rawindra dan Hansa yang telah memberi kebijakan tepat kepada mereka. Tak jarang dari mereka membahas kemurahan hati dari Raja Rawindra dan Pangeran Hansa. "Aku selalu berdoa untuk kesejahteraan kerajaan Narayana, dan keselamatan untuk para pemimpin-pemimpinnya." ucap salah seorang pengungsi sembari membopong batang kayu untuk dipotong. "Aku juga berharap kelak Pangeran Putra Mahkota Hansa lah yang menjadi penerus tahta kerajaan Narayana,” sahut temannya yang juga membantunya untuk membopong batang kayu. "Walau ia tak sehebat adiknya—Pangeran Haridra dalam hal ilmu beladiri dan tenaga dalam, tapi ia memiliki pengetahuan luas dalam hal pemerintahan." "Hei kalian semua, tinggalkan pekerjaan kalian dan berkumpul lah untuk istirahat dan makan." teriak Ponda pada semua orang. Setelah mendengar teriakan dari Ponda, semuanya berkumpul untuk mengantre makanan, mereka terlihat berbaris rapi dan tidak berebut untuk antrean makanan, sedangkan Ponda dan kepala desa sedang menuangkan sup ke dalam mangkuk untuk di bagikan pada para pengungsi. Setelah mereka semua sudah mendapatkan makanan, mereka menyantap makanan mereka bersama-sama. Ponda yang duduk dengan Kepala Desa itu memakan makanannya sembari berbincang-bincang, tak membutuhkan waktu lama mereka tampak akrap, mengingat dengan kepribadian Ponda yang pandai berbaur membuatnya dapat akrap dengan siapapun tanpa terkecuali. Seusai, selesai makan dan beristirahat, mereka melanjutkan pekerjaan masing-masing, tugas dibagi rata para pria membantu dalam pembangunan rumah-rumah mereka sedangkan para wanita membantu memasak dan mencuci piring setelah digunakan. Tak berselang lama Ponda dikejutkan atas kedatangan Hansa yang tidak memberi kabar tentang kedatangannya, tapi tidak untuk para pengungsi, kedatangan Hansa justru sangat membuat mereka bahagia. "Itu Putra Mahkota Hansa, dia datang berkunjung." Sorak salah seorang pengungsi. Semua mata tertuju pada Hansa yang tengah turun dari kudanya, ia disambut gembira oleh para pengungsi. "Terima kasih Pangeran, telah membantu kami dengan membangunkan kami tempat tinggal yang lebih layak." ucap kepala desa yang ikut menyambut kedatangan Hansa. Semua para pengungsi mengerubungi Hansa untuk mengucapkan rasa terima kasih mereka, Hansa terlihat kebingungan menanggapi mereka semua karena mereka saling sahut. Ponda yang melihat hal itu segera menghampiri Hansa. "Semuanya bubar! Kembali lah bekerja, apakah kalian tidak melihat Pangeran Hansa baru saja datang dan kalian malah membuatnya kebingungan." Teriak Ponda untuk menenangkan Kebisingan para pengungsi. "Tak apa paman, tak perlu membentak mereka, mereka hanya ingin mengucapkan rasa terima kasih mereka, dan untuk semuanya kembalilah ke aktivitas kalian masing-masing." Para pengungsi yang telah tenang itu pun kembali ke pekerjaan mereka. Setelahnya Ponda menanyakan tujuan kedatangan Hansa. "Pangeran, apa yang membuat Anda repot-repot datang kesini?" "Aku hanya ingin melihat sejauh mana tahap pembangunan desa,” balas Hansa sembari matanya menerawang jauh melihat persiapan pembangunan. "Pangeran tidak perlu repot-repot datang kesini, Pangeran dapat mengutus seseorang untuk melaporkan hasil harian dari pengerjaan desa." "Tidak paman, sudah menjadi kewajibanku untuk mengawasi langsung pembangunan desa ini." Walau usia mereka hanya terpaut tiga tahun tetapi Hansa tetap bersikap sopan kepada Ponda. Mendengar hal itu, membuat nilai Hansa menjadi semakin baik di mata Ponda. "Paman, bisakah kau mengantarku berkeliling melihat-lihat desa?" "Tentu saja Pangeran. Mari saya antar." Balas Ponda sambil menunjukkan jalan pada Hansa. Ponda membawa Hansa berkeliling dan menunjukan perkembangan pembangunan desa. Hansa tampak puas karena Ponda dan yang lainnya mengerjakan pembangunan dengan sangat baik, namun ada yang membuat Hansa tampak sedikit kebingungan, setelah ia melihat para wanita membawa air dari sumber mata air untuk mencuci piring. "Paman, apa yang mereka lakukan di sana?" "Mereka membawa air untuk mencuci piring, Pangeran." "Tidak, bukan itu. Bukankah sumber mata air cukup jauh letaknya? Kenapa tidak dibuatkan sumur saja di dekat sini, sumur itu juga nantinya dapat digunakan untuk mengaliri ladang." Ponda terdiam sejenak "Kenapa aku tidak kepikiran." Ceplosnya. "Ahh, maaf Pangeran, aku telah berbicara tidak sopan." "Hahaha, tak apa paman." Tawa Hansa yang terhibur oleh sikap Ponda. Setelahnya Hansa membahas pembuatan sumur dengan Ponda, Ponda menyarankan membangun sumur di dekat ladang agar mudah untuk pengaliran ladang dan nantinya akan dibngun juga sistem irigasi. Ketika mereka berdua asik membahas tentang pembangunan sumur. Tuk tukk! Dari belakang terdengar ada seseorang yang mengetuk baju zirah besi milik Hansa. Setelah Hansa menoleh ia mendapati seorang gadis kecil dengan bunga di tangannya. "Pangeran, ini mungkin tidak seberapa, namun aku berterima kasih karena kau telah membuatkan rumah untuk ayah dan ibu, akhirnya mereka tidak kepanasan lagi." Ujar gadis menggemaskan itu sembari memberikan bunga kepada Hansa. Tak tahan melihat tingkah lucu gadis kecil itu, Hansa langsung meraih kedua lengannya dan menggendongnya, "Aku akan menerima bunga ini, terimakasih.” Hansa menerima bunga itu dengan senang hati. Di saat Hansa masih menggendong gadis itu, ayah dan ibu dari anak itu muncul ke hadapan Hansa. "Wahh itu ayah dan ibu,” pekik gadis kecil nan imut itu. "Maaf Pangeran, anak saya telah berbuat tidak sopan kepada anda." Ayah dari gadis kecil itu terlihat panik, jika anaknya telah berbuat tidak sopan dan mengganggu Hansa. "Saya mohon, maafkan ketidaksopanan anak saya ini." Tambah sang ibu. "Tak apa, aku tidak merasa tersinggung, anak kalian sangat cantik siapa nama anak kalian ini?" Tanya Hansa sembari menurunkan gadis kecil itu. "Alisha adalah nama dari anak saya ini, Pangeran." Setelah mengetahui nama dari gadis kecil itu, Hansa mempersilahkan ayah dan ibu mereka membawanya. Hansa kembali membahas masalah pembangunan sumur yang tadi sempat tertunda. Ponda memberikan saran lokasi untuk pembangunan sumur dan Hansa menyetujuinya. "Aku setuju, sumur akan dibangun di titik ini paman." Hansa berkata sambil menunjuk titik lokasi untuk pembuatan sumur. "Baik, Pangeran." Ponda segera menandai lokasi itu. "Kapan sekiranya sumur ini akan dibangun?" "Saya akan memulai pembangunan sumur ini pada esok hari, agar tiga sampai lima hari setelahnya sumur ini dapat digunakan." Balas Ponda dengan keyakinan penuh bahwa sumur itu akan jadi secepatnya. “Bagus, aku senang melihat semangat para pekerja di sini. Ku harap para warga dapat merasakan lingkungan yang nyaman dan dapat hidup dengan baik setelahnya.” Hansa bergumam dengan lirih, matanya masih mengawasi sekitar dengan begitu teduh. Sudah terhitung lama sejak Hansa berada di perbatasan, karena hari mulai gelap akhirnya ia pun memutuskan untuk menetap di sini semalaman dan akan pulang pada pagi hari nanti.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN