Pagi harinya, Alesha pamit untuk kembali ke Surabaya. Namun, keinginannya ia urungkan, karena dia semalam mendengar percakapan Bima dengan seseorang lewat telefon. Bima sangat mesra bicara dengan orang yang di seberang sana yang sedang menelefon Bima. Alesha mencurigai Bima menelefon Sovia, hingga semalam dirinya tidak bisa tidur memikirkan Bima yang sudah kembali menemukan Sovia.
“Aku harus cari tahu, siapa semalam yang menelefon Bima, dan mereka mengobrol sampai larut malam, sudah gitu Bima mesra sekali bicaranya, dan aku lihat sekilas Bima tersenyum bahagia. Apa yang semalam menelefon Bima itu Sovia?” gumam Alesha.
Alesha memutuskan untuk pulang nanti siang saja. Dia masih curiga dengan Bima, dan dia ingin memergoki Bima yang semalam janjian dengan sang peneleon itu di suatu tempat. Untung saja Alesha mendengar dengan jelas Bima dan si penelefon akan janjian di mana.
Alesha menyuruh Pak Roni menunggu di Hotel, sementara di turun dan taksi untuk mengikuti Bima. Dia menyuruh sopir taksinya menunggu di dekat rumah Bima. Dia akan mengawasi Bima nanti akan pergi ke mana, lalu mengikutinya.
Mobil Bima melaju, dan Alesha mulai mengintruksi sopir taksinya untuk mengikuti mobil Bima.
“Pak ikuti mobil itu, ya?” pinta Alesha.
Alesha ingin memastikan penelefon semalam Sovia atau bukan. Kalau benar Sovia, berarti memang benar alasan Bima pindah ke Jogja bukan untuk membuka bisnis kuliner saja, tapi untuk mencari Sovia juga.
“Bim, sebegitu cintakah kamu dengan Sovia? Hingga kamu tidak pernah merasakan sakit hatinya tante Riri, karena pengkhianatan dari bundanya Sovia sekaligus papa kamu? Kasihan Tante Riri, Bim. Mama kamu benar-benar membenci Sovia, tapi kamu malah seperti ini,” gumam Alesha.
Alesha memang mencintai Bima. Tapi, kadang dia berpikir, dia sangat tidak pantas sekali mengejar pria yang jelas-jelas tidak suka dan tidak cinta dengannya. Dari cara Bima memperlakukan dirinya saja sudah jelas kalau Bima tidak mencintainya, hanya saja menganggap dirinya partner kerja saja.
Mobil Bima berhenti di depan sebuah toko bunga dan mini cafe di sebelahnya. Alesha masih mengamati Bima dari jarak yang tidak terlalu jauh. Terlihat wanita yang sangat Alesha kenal. Ya, Sovia. Sovia keluar dari dalam dengan menggendong anak kecil yang mungkin kalau Alesha tebak usianya kurang lebih satu tahun.
Bima langsung mencium Bayi yang ada di gendongan Sovia. Sedang Sovia hanya tersenyum dengan penuh bahagia lalu mengajak Bima duduk di bangku yang berada paling ujung dekat dengan rak bunga.
Alesha memakai topi dan kacamata lalu turun berpura-pura datang untuk membeli bunga. Dia di sambut dengan karyawan Sovia. Dia memilih bunga di dekat Sovia dan Bima yang sedang mengobrol asik di selingi dengan canda tawa.
Terlihat karyawan Sovia lainnya mengantarkan bubur milik anak yang sedang di pangku oleh Bima.
“Makan sama papa, ya? Hari ini papa free sampai jam satu siang. Kita main, biar mama kerja,” ucap Bima yang terdengar oleh Alesha.
“What! Papa? Apa-apaan ini? Masa Bima punya anak dengan Sovia? Apa jangan-jangan waktu Sovia pergi dia sedang hamil? Ah enggak mungkin, masa sekali jebrol anaknya udah gede seperti itu? Lalu itu anak siapa?” gumam Alesha.
Alesha diam-diam mengambil foto Sovia dan Bima yang sedang bergantina menyuapi Aksa. Alesha masih memikirkan siapa anak itu, dan kenapa manggil Bima dengan sebutan papa dan manggil Sovia dengan sebutan mama?
“Aww ... hati-hati dong, Mbak! Kalau jalan itu lihat-lihat!” Alesha di senggol oleh seseorang yang juga sedang memilih bunga hingga akan terjatuh.
“Alesha?” Bima yang mendengar suara Alesha yang jaraknya tidak terlalu dekat, dia menyebut nama Alesha.
“Alesha? Alesha sekretaris bar-bar kamu, Bim?” tanya Sovia.
“Iya, sepertinya wanita itu Alesha,” jawab Bima.
“Bukannya dia sudah pulang kata kamu, Bim?” tanya Sovia.
“Iya, tadi sudah pamit mau pulang,” jawab Bima.
“Aku tahu, pasti dia disuruh mama mata-matai aku,” ucap Bima dengan mengepalkan tangannya dan beranjak dari tempat duduknya.
Bima memberikan Aksa pada Metta, lalu Bima mendekati Alesha yang sedang membenarkan tasnya yang berantakan karena terjatuh tadi. Bima menepuk bahu Alesha yang membelakanginya. Reflek Alesha menolah ke arah seseorang yang menepuk bahunya.
“Benar, itu kamu. Mau apa kamu di sini, Al? Mau mata-matai aku, hah?!” Sarkas Bima dengan mendorong bahu Alesha.
“Bim, jangan gitu.” Sovia tidak suka Bima memperlakukan Alesha dengan kasar.
“Dia sudah memata-matai kita, Sov! Kamu tahu, bocah ini tukang ngadu! Dia tukang ngadu sama mama! Mentang-mentang mama suka dengan dia, jadi dia seenaknya saja. Kalau saja aku gak mandang papanya dia yang dekat sama ayah, aku juga tidak mau menerima dia kerja di kantor!” Bima berkata sangat kasar di depan Alesha, dan baru kali ini Bima benar-benar kasar dengan Alesha, padahal tiap hari pun Alesha sering di bentak Bima, tapi kali ini rasanya berbeda. Alesha merasa Bima sudah keterlaluan membentak dia di depan umum.
“Bim, stop! Gak baik marah-marah gitu, kamu belum tahu tujuan dia, tapi udah bentak-bentak!” ucap Sovia.
“Sov, dia yang selalu buat kamu itu di marahi mama! Dia yang sudah sering ngaduin ke mama, Sov,” ucap Bima.
“Iya, aku ke sini untuk membuktikan siapa yang menelefon kamu semalam, hingga kamu tidur larut malam. Ya, aku curiga saja, kamu telfonan dengan perempuan lain selain Sovia. Jadi aku buktikan, dan ternyata benar, kan? Oke aku memang tukang ngadu, Bim. Aku memang sering di suruh Tante Riri untuk awasi kamu sama Sovia, dulu saat kamu dan Sovia masih di Surabaya. Sekarang, aku tidak peduli! Karena aku sudah tahu, Tante Riri sangat tidak menyukai Sovia. Tante Riri benci sama Sovia karena kejadian dulu. Sekarang itu urusan kalian, aku ke sini hanya memastikan saja, hanya itu. Aku tidak akan usik kalian lagi!” Alesha pergi dari toko bunga Sovia.
Alesha menahan tangisnya, karena dibentak Bima tadi. Dia merasa percuma saja kalau terus dekat dengan Bima, karena selamanya Bima akan tetap bersama Sovia. Dan, dia pun tidak mengerti. Setiap melihat Sovia, Alesha mengingat seseorang yang dari dulu ia cari. Entah kenapa melihat sorot wajah Sovia itu mengingatkan dia dengan sahabat kecilnya dulu, sebelum ada insiden mengerikan di antara dia dan sahabat kecilnya.
“Kak, kakak sekarang di mana? Coba kalau Ka Laras masih ada di sini, Alesha tidak akan kesepian, Alesha pasti punya teman curhat. Alesha kangen, puluhan tahun kita tidak pernah bertemu lagi, sejak kejadian itu. Apa kakak baik-baik saja sekarang?” gumam Alesha.
Sedangkan Sovia, dia masih terdiam, mengingat wajah Alesha yang tadi sangat ketakutan, saat Bima membentaknya. Dia tahu Alesha itu anak manja, ya Sovia hanya tahu dari Bima kalau Alesha anak yang manja. Pantas wajahnya langsung ketakutan saat dibentak Bima, di depan umum lagi bentaknya.
“Aku pernah melihat sorot mata ketakutan seperti itu. Iya, seperti Alesha tadi, tapi di mana? Iya aku pernah, tapi siapa dan di mana aku lupa,” gumam Sovia