Bab 9. Tak Berbekas

1399 Kata
Kening Devon mengernyit saat Azalea mengajukan syaratnya melalui sambungan telepon. Rambutnya masih basah dan ia bahkan separuh bertelanjang d*da usai adegan bersetubuh di kamar mandi. “Apa? Jika kamu tidak ingin siapa pun tahu, lalu apa gunanya kita pacaran?” gerutu Devon protes pada keinginan Izzy yang didengarnya. “Baby, aku tidak akan pulang malam ini tapi kamu akan pulang ke rumah kan?” terdengar suara Shannon yang membesar sampai ke daun pintu. Devon menoleh dan melihat kepala kekasih tuanya itu melongok ke kamar walk in closet. Cepat-cepat Devon mematikan sambungan telepon yang belum mencapai kesepakatan itu sebelum Izzy mendengar sesuatu. “Oh, oke!” jawab Devon singkat usai menyembunyikan ponselnya. Ia tersenyum lalu keluar ruang walk in closet untuk mengantarkan Shannon pergi. Mereka berciuman di depan pintu sebelum si wanita berlalu. Devon menarik napas panjang dan menutup pintu. Ia kembali menghubungi Izzy. Dan sudah bisa ditebak seperti apa dongkolnya Izzy diputuskan tiba-tiba. “Halo?“ “Apa yang kamu lakukan? Kenapa malah memutuskan sambungan seperti itu!?” seru Izzy kesal. Ujung bibir Devon naik mendengar omelan Izzy. Biasanya gadis itu super pendiam seperti batu tapi setelah kenal ternyata dia bisa marah dan cerewet juga. “Ada lebah masuk ke dalam kamarku jadi aku harus mengatasinya dulu.” Devon asal mengeluarkan alasan meski konyol dan tak masuk akal. Ia menghempaskan punggung ke sofa usai menarik salah satu kaos bersih dan memakainya di sana. “Hah? lebah?” “Iya, lebahnya betina jadi dia terus mengejarku.” Devon makin mengada-ada. “Kamu ini bicara apa?” “Hehe, hei ... coba buka panggilan videomu. Aku mau lihat kamu sedang memakai pakaian apa?” sahut Devon malah mengalihkan topik dengan bicara hal yang tidak ada korelasinya. “Apa katamu?” “Oke biar aku saja. Terima permintaan video-ku!” Devon mengarahkan layar ponsel ke hadapan wajahnya lalu menekan tombol pilihan untuk melakukan permintaan panggilan video. Di seberang sana, Izzy di antara bingung sekaligus kesal, akhirnya menerima panggilan video itu. Cengir tanpa rasa bersalah Devon adalah yang pertama terlihat. “Untuk apa melakukan panggilan video? Pembicaraan kita belum selesai!” seru Izzy separuh melotot pada Devon. Devon malah balas menyengir tanpa peduli. Entah sejak kapan rasanya begitu menyenangkan melihat dua bola mata indah itu mendelik padanya. Ada segurat rasa rindu tak melihat wajah Izzy setelah ciuman beberapa malam yang lalu atau pertemuan terakhir kurang dari 12 jam yang lalu. “Ya sudah kita bicarakan saja sekarang. Apa yang mau kamu bicarakan?” Devon kembali pada awal sebelum topik pembicaraan itu diungkapkan. Ingin rasanya Izzy memukul kepala Devon jika sosoknya ada di hadapan. “Jangan buat aku mengulang kesepakatan kita.” Izzy mulai kesal dan masih melotot. “Kesepakatan apa?” jawab Devon membuat Izzy sampai membuka mulutnya tak percaya. “Apa kamu mengerti apa saja yang sudah kita bicarakan sedari tadi? Atau kamu pura-pura bodoh?” balas Izzy balik menghardik. “Aku tidak bodoh. Aku hanya tidak mengerti untuk apa syarat seperti tadi? Bukankah tujuan kamu pacaran denganku adalah untuk membalas sakit hatimu pada Arion? Kamu ingin membuat hatinya patah kan? Jika dia tidak tahu siapa kekasihmu, maka untuk apa melakukan ini?” cerocos Devon panjang lebar. “Aku rasa bukan ide yang baik memproklamirkan diri pacaran denganmu pada Arion, Dev. Dia bisa saja marah dan kalian akan bertengkar.“ Devon malah balik tertawa. “Oh, jadi kamu khawatir padaku. Kamu takut jika Arion akan menghajarku begitu?” “Tidak perlu merasa penting. Jika kamu mau kamu boleh menerima syaratku, jika tidak aku bisa cari orang lain,” sahut Izzy dengan santainya membuat tawa Devon seketika mereda. “Jadi kamu mengancamku?” “Untuk apa? ini hanya penawaran.” “Oke, aku terima. Tapi aku juga punya syarat ...“ Devon sedikit menyeringai pada layar ponselnya dan Izzy bisa menyaksikannya tanpa harus ditutupi. “Apa?” “Aku tidak mau pacaran palsu, hanya status tanpa kesenangan. Aku mau kita seperti pasangan pacaran lainnya.” Kening Izzy tampak mengernyit saat mendengar hal tersebut saat Devon masih melanjutkan. “Jadi kita punya hubungan, kita melakukan kencan dan kita bisa putus kapan saja,” imbuh Devon lagi. Wajahnya sangat terlihat percaya diri mampu mengatasi semua masala yang akan terjadi setelah keduanya berhubungan. “Jadi aku harus berkencan denganmu?” ulang Izzy terdengar tak yakin. “Iya. Jangan harap untuk pura-pura pacaran seperti yang ada di film-film drama ...” “Apa aku harus tidur denganmu juga?” sindir Izzy dan Devon menunjukkan tanduknya dengan menyeringai. Siapa yang menyangka jika Devon bisa menjerat si cantik Izzy dalam drama yang dibuatnya? “Ya ...” “Jangan bermimpi! Aku tidak akan melakukannya!” tegas Izzy menghempaskan Devon. “Oke, terserah saja. Aku siap melakukannya kapan pun kamu membutuhkannya. Yang pasti, kamu adalah pacarku sekarang dan aku ingin hubungan pacaran yang sebenarnya.” Izzy menarik napas panjang seraya berpikir. Apa yang bisa dilakukan Devon untuk membuat hidupnya jadi tambah rumit? Rasanya tidak mungkin. Izzy mungkin tidak mengenal Devon tapi pria itu masih bagian dari keluarga besarnya. Ayah Devon adalah teman baik Ayahnya. Itu adalah jaminan yang cukup untuk mengikat Devon dari perbuatan tak senonoh yang mungkin dilakukan. “Bagaimana?” tanya Devon lagi ingin memastikan. “Oke. Aku terima– minus cinta.” Izzy pun setuju dan Devon lalu mengangguk. “Aku setuju jangan libatkan cinta. Aku akan membuat Arion membayar mahal padamu.” Devon menaikkan dagunya kala membuat janji pada Izzy yang hanya datar saja menanggapi. “Lalu apa yang akan kamu lakukan sekarang? Di hari pertama kita pacaran?” Devon kembali semringah pada Izzy yang sedang menggigit bibir bawahnya sebelum melepaskan kalimatnya. “Aku belum tahu. Nanti aku beri tahu.” “Apa kamu ingin aku menjemputmu? Kamu ada di mana?” “Tidak perlu. Akan kuhubungi nanti!” Izzy langsung mematikan sambungan video beserta panggilannya sekaligus tanpa basa-basi lagi. Devon baru akan membuka mulutnya hendak menjawab tapi layar ponselnya sudah kembali ke posisi netral yang menunjukkan layar depan ilustrasi naga yang melilit pada sebuah samurai. “Ah, dasar wanita!” gerutunya kesal. Devon melemparkan ponsel tersebut lalu menghela napas panjang. Sementara itu, Izzy berdiri dari bangku taman tempatnya menghubungi Devon baru saja dan kembali berjalan sambil mengetikkan beberapa hal di ponselnya. Ia tidak memperhatikan jalan sama sekali. Sampai tiba-tiba ponselnya dijambret. “AH, HEI! PONSELKU!” teriak Izzy yang begitu kaget. Seorang pria bersepeda menjambretnya tiba-tiba di tengah jalan. Izzy langsung meminta bantuan beberapa orang yang melihatnya. Ia mengentakkan kakinya kesal lalu ikut berlari mengejar pria itu. Jaraknya cukup jauh dan Izzy tidak cukup gesit melewati pejalan kaki lainnya. “Tolong aku. Dia merampok ponselku!” Izzy berteriak sambil berlari. Kakinya belum pulih benar dan itu membuatnya terjatuh. “Ahh ....” Izzy terduduk di pinggir trotoar tanpa ada yang menolong. Orang-orang melewatinya begitu saja. Memang kejahatan jalanan di New York sudah sangat meresahkan. Mau tidak mau Izzy terpaksa harus berhenti sambil terengah menahan rasa sakit yang kembali pada kakinya. “Nona, Anda tidak apa-apa?” seorang pria tiba-tiba menghampiri dan memegang pundak Izzy. “Ugh, aku kehilangan ponselku. Seseorang mencurinya!” gerutu Izzy begitu kesal mengadu pada pria tersebut. Pria tampan berjaket kulit itu menengok ke arah yang ditunjukkan oleh Izzy lalu mengangguk. “Begini saja. Biarkan polisi yang membantumu. Siapa namamu?” “Azalea Alexander.” Pria itu mengangguk lagi. “Baiklah, Nona Alexander biar aku yang membantumu berdiri.” Pria itu memegang lengan Izzy dan menariknya perlahan agar bisa berdiri tapi rasanya kaki Izzy sudah kembali terkilir. “Akh, kakiku!“ “Boleh aku menggendongmu? Aku bawa ke rumah sakit,” tawar pria itu dengan sopan meminta izin. Izzy tidak punya pilihan selain mengangguk karena kedua kakinya benar-benar sakit. Pria itu kemudian menggendong Izzy dan membawanya ke sebuah mobil. “Aku mau dibawa ke mana?” “Ke rumah sakit.” “Lalu ponselku?” “Aku akan meminta anggotaku yang mengurusnya. Oh iya, namaku Jacob Neville. Aku dari NYPD,” ucapnya memperkenalkan diri seraya tersenyum. Izzy ikut tersenyum dan bersedia dibawa masuk ke dalam mobil dengan baik dan cukup sopan. Untung saja, Izzy memakai celana jeans dan bukan rok pendek sehingga pahanya tak tersentuh. “Terima kasih.” “Aku akan mengambil keteranganmu di rumah sakit. Kita periksa dulu kakimu,” tawar Jacob lagi. “Terima kasih,” balas Izzy sekali lagi. Jacob pun tersenyum lalu mulai menyetir. Tak lama ia menarik sebuah radio panggil lalu memberikan perintah pada unit polisi yang bertugas untuk mengejar pria yang sudah mencuri ponsel Izzy.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN