Bab 6. Pengakuan

1707 Kata
Azalea berdiri dan memarahi saudara kembarnya yang masih duduk dengan lutut terlipat di depannya. Ia tidak pernah sama sekali menyukai ide seperti yang diberikan oleh Mila soal kecelakaan kehamilannya kini. “Jangan pernah berpikir segila itu, Mila! Kamu mau membunuh anak kamu sendiri?” tukas Izzy marah. Sedangkan Mila mendongak selayaknya tersangka di depan seorang pengadil. Matanya yang basah terus meneteskan air mata dan tak sempat disekanya sama sekali. “Aku gak bermaksud seperti itu. Tapi aku gak siap dengan kehamilan ini. Lagi pula ....” Mila menundukkan kepalanya lagi menjeda kalimat yang keluar dari bibirnya. “Aku rasa Arion juga gak menginginkan bayi ini.” Mila menutup wajah dengan kedua tangannya lalu terisak. Ia begitu stres saat mengetahui dirinya hamil anak hasil kencan semalam dengan Arion Konstantine. Izzy yang marah sekaligus kecewa juga ingin menangis. Ia membuang muka lalu dengan cepat menyeka air matanya. “Maafkan aku. Aku benar-benar menyesal dan gak pernah bermaksud melakukan hal ini,” isak Mila makin larut dalam penyesalannya. Izzy hanya diam mencari tempat lain untuk menepikan pandangan matanya. Rasa sesak di dadanya begitu mengimpit dan membuatnya tak bisa bernapas. Entah apa yang harus ia lakukan agar rasa sakit pengkhianatan Mila dan Arion bisa reda. “Katakan apa yang harus aku lakukan, Izzy? Aku akan melakukan apa pun untuk menebus semua dosa-dosaku padamu,” sambung Mila lagi masih dengan posisi duduk berlutut. Izzy masih tidak mau bicara. Apa yang harus dikatakannya? Langsung memaafkan? “Izzy ....” “Pergilah Mila. Jangan ganggu aku lagi!” sahut Izzy mengusir Mila dengan nada rendah yang menyakitkan. Mila hanya bisa menatap nanar pada Izzy yang bahkan tidak mau menoleh padanya. Ia memejamkan matanya rapat-rapat dan sisa air mata yang menggenang pun jatuh di pangkuannya. “Maafkan aku ....” lirih Mila lagi mulai putus asa. Ia benar-benar terluka usai melukai Izzy. Meski semua tak sepenuhnya salah Mila. Merasa tak mendapatkan respons apa pun dari saudaranya itu, Mila pun terpaksa berdiri. Ingin rasanya menghampiri dan memeluk, tapi Izzy pasti akan menolak. Mila harus menyeret kakinya keluar dari apartemen Izzy dengan hati terluka. Setelah pintu tertutup, Izzy terduduk jatuh di sofa ruang tengah sambil menangis memegang kepalanya. Takdir sedang menguji ikatan persaudaraannya dengan Mila kini. Rasanya begitu menyakitkan. *** Jedag jedug suara musik EDM yang padat ritme tak akan membiarkan seseorang diam saja tanpa bergoyang. Terlebih jika DJ kenamaan, Devon Kazuya yang beraksi. Kali ini, sebuah klub malam di Manhanttan yang mengundang Devon menjadi DJ utama. “Let’s party!” sebut Devon membakar lagi semangat para pengunjung yang menyambut hentakan ritme musik dengan sahutan dan teriakan. Kepala bergoyang, lekuk tubuh erotis, tawa, riang, terbahak, melompat dengan tangan terkepal meneriakkan nama Devon –DK. Mereka bukannya sedang marah atau berdemo, melainkan mengelu-elukan Devon yang begitu apik meramu base musik menjadi jedag-jedug tanpa henti sesuai dengan ritmenya. Devon selayaknya dirigen yang mengendalikan semua orang di klub malam itu untuk mengikuti alur musik yang ia ciptakan. Semua terhipnotis dan begitu bahagia. Berpuluh-puluh atau ratusan botol minuman beralkohol habis dalam hitungan jam. Musik padat seperti EDM tak akan cukup hanya dengan goyangan kepala semata. Musik berganti dan suara penyanyi terdengar dari kumpulan musik yang dipersembahkan oleh Devon di meja turntable-nya. Suara bass milik solois yang sedang naik daun yaitu Bonn Galvin membuat DJ DK menaikkan sebelah tangannya ke atas seakan memberikan aba-aba saat pengunjung harus melompat-lompat bersama-sama. Ketika hentakan jatuh di bridge yang tepat, saat itulah puncak dari musik yang membuat para pengunjung bergoyang. Devon Kazuya sendiri adalah salah satu produser dari lagu Bonn Galvin yang berjudul “Till’ The Day We Die” yang sedang dimainkannya. “Ada yang mencarimu,” bisik salah satu asisten DJ pada Devon. Devon menoleh masih dengan sikap tubuh sedang bergoyang mengendalikan turntable. Asisten itu lalu menunjuk pada salah satu sudut bar. Terlihat seorang wanita cantik berambut coklat melambaikan tangan padanya. Devon hanya menyeringai kecil dan mengangguk. Ia tidak meninggalkan turntable-nya begitu saja. Setidaknya sampai pesta selesai. Usai dua lagu, barulah Devon pamit dan menyerahkan meja pada salah satu asistennya yang juga DJ wanita terkenal. Devon turun dari panggung dan diberikan ucapan selamat dari banyak orang. “Terima kasih.” Devon masuk ke bagian belakang tempat bilik bar VIP berada. Devon masuk dan diberikan segelas American Twilight, yaitu minuman campuran terkenal di klub tersebut. Devon menyambutnya dengan baik. Ia berbelok ke sebuah sofa dan seorang wanita sudah menunggunya. “Sudah lama?” tanya Devon sembari menghempaskan punggungnya. “Harusnya aku datang lebih awal agar bisa menikmati pertunjukanmu, Dev,” jawab wanita cantik itu. Ia duduk bersebelahan dengan Devon dengan orang-orang yang lalu lalang di depan mereka. “Aku yakin kamu tidak akan sempat,” celetuk Devon lagi sambil minum. “Tidak juga. Aku hanya sedikit sibuk akhir-akhir ini.” Wanita itu mendekat dengan sebelah tangan meraba paha Devon dan separuh berat tubuhnya menekan sofa. Ia menghadap Devon yang berusaha cuek seperti sedang mengambek. “Tidak apa-apa jika kamu tak datang. Selama ini juga seperti itu.” Devon membuang muka sambil bicara. Tangan wanita itu meraih dagu Devon dan mengarahkan padanya. Mata tajam Devon menusuk menatapnya lekat. “Apa saja yang kamu kerjakan saat aku tak ada?” tanya wanita itu lagi menaikkan sebelah pahanya yang terbuka ke atas paha Devon. Devon masih bergeming dan malah tersenyum. “Apa itu menjadi kecemasanmu sekarang? Mempertanyakan apa yang aku lakukan?” sindir Devon masih dengan senyuman di ujung bibirnya. “Aku hanya bertanya .... “ Devon berdecap seakan kesal dan bangun dari sofa. “Pulanglah, aku masih punya urusan.” Devon dengan ketus mengusir wanita itu. Wanita itu menghela napas panjang lalu menyandarkan sisi kepalanya melihat Devon yang berjalan melewati sekumpulan gadis-gadis tapi tak lupa memberikan kerlingan nakal sebelum berlalu. “Oh, Dev. Kamu memang menyusahkan,” gumam wanita itu mengeluh. Devon tak kembali ke panggung lagi. Ia harus menyelesaikan sesuatu sebelum malam berakhir atau pikirannya tak akan tenang. Sedari tadi siang ia terus memikirkan Izzy atas apa yang dialaminya. Kali ini Devon sudah terlibat atau setidaknya dia merasa seperti itu. DJ terkenal itu keluar dari pintu samping klub malam tersebut. Ia melemparkan tas ke jok belakang mobil mewahnya. Sebelum berjalan, atap mobil bergerak menutup. Hari sudah malam dan Devon sedang tak ingin menikmati angin malam sekalipun sedang musim panas. Mobil sport mewah tersebut bergerak ke apartemen Izzy tempatnya mengantarkan gadis itu semalam. Penting bagi Devon untuk bertemu Izzy dan memastikan posisinya. Ya, itulah akibat dari Izzy mengaku punya pacar baru tapi malah tak menyebutkan nama Devon. “Huff, ke mana dia? kenapa tidak membuka pintu?” gerutu Devon setelah nyaris 10 menit berdiri dan sudah menekan bel setiap satu menit sekali. Devon menoleh ke kiri dan kanan. Sepi tak ada siapa pun. Ia kembali menekan bel dan menunggu. Bosan dan kesal, Devon berkacak pinggang lalu makin menggerutu. “Apa salahnya membuka pintu?” tukasnya menunjuk ke arah pintu seperti akan mendobrak saja. Setelah mondar-mandir di depan pintu selama 10 menit kemudian, Devon mengangguk paham. Sebaiknya dia pulang saja. Saat berjalan ke depan lift dan menunggu, pikiran Devon melayang ke arah apartemen Izzy. Ia menoleh lagi ke belakang dengan perasaan yang berbeda. “Jangan-jangan dia bunuh diri!” cetus Devon yang berpikir jelek entah atas dasar indikasi apa. Devon segera kembali dan membunyikan bel secara beruntun. “Izzy! Izzy, buka pintunya!” Devon menggedor-gedor pintu dengan rasa cemas yang berlebihan. Ia benar-benar takut jika Izzy malah mengambil keputusan sepihak dengan menyakiti dirinya sendiri. “Izzy!” Devon makin keras menggedor pintu depan. Hal itu sempat menarik perhatian seorang penghuni yang melintas. “Tuan, apa yang sedang kamu lakukan?” penghuni itu mencegah Devon untuk menggedor pintu. Ia mengira telah terjadi pertengkaran yang menyebabkan seorang pria menggedor pintu dengan kasar. “Maaf, aku harus masuk ke dalam!” “Apa yang terjadi?” si penghuni yang merupakan tetangga Izzy itu pun penasaran. “Aku takut terjadi sesuatu dengan pacarku. Dia di dalam, dari tadi tidak membukakan pintu. Dia sedang sakit!” sahut Devon beralasan. Si tetangga ikut kaget dan panik. “Lalu bagaimana sekarang?” “Aku akan minta tolong pada manajer gedung!” “Biar aku saja, terus gedor pintunya!” si tetangga berinisiatif untuk membantu Devon dengan melapor pada manajer gedung. Devon mengangguk dan terus menggedor pintu. Si tetangga sudah menghilang di balik lift dan Devon kini berjongkok untuk melihat sistem kunci dan keamanan di pintu masuk apartemen Izzy. “Aku rasa aku bisa membobolnya ....” Devon mengambil ponsel lalu membuka sebuah aplikasi. Ia menyenterkan lampu di ponsel yang berubah menjadi biru. Saat itulah dia tahu nomor kombinasi yang sering ditekan oleh Izzy. Bercak sidik jari Izzy tertinggal di sana. Devon pun menekan nomor kombinasi itu tapi gagal. Ia punya tiga kali kesempatan atau pintu harus dibongkar dengan cara manual. “Huff, jangan main-main denganku!” gerutu Devon mencoba sekali lagi dan masih gagal. Ia menunduk dan berpikir sejenak. Apa menunggu manajer gedung lebih baik? Ya mungkin. Devon pun mengurungkan niatnya. Ia kembali mengetuk pintu lalu mengomel. “Ah, ke mana lama sekali memanggil manajer itu?” Si tetangga baru kembali sendirian dan menggelengkan kepalanya. Devon mendelik tak percaya jika penantiannya sia-sia. Harusnya dari tadi saja ia membobol kunci itu. “Maaf, aku tidak bisa menemukannya.” Pria menyengir canggung pada Devon yang memberikan lirikan pembunuh berdarah dingin. Devon tak lagi bicara dan kembali berjongkok untuk membobol lagi. Dengan satu tarikan napas, mata Devon harus pintar menebak dari jejak tombol yang ditinggalkan jari Izzy. Ia menekan enam kombinasi nomor pada tombol pintu dan klik pintu terbuka. Devon menarik napas lega dan langsung mendorong pintu. Si tetangga ikut masuk bersama sahutan Devon yang memanggil Izzy ke seluruh apartemennya. “Izzy! Izzy, kamu di mana?” teriak Devon memanggil. “Apa perlu aku panggil polisi?” si tetangga kembali mengusulkan. Devon sudah ada di ujung sofa lalu berbalik. “Aku akan periksa kamarnya dulu. Di sana saja sampai aku panggil!” tunjuk Devon memberikan perintah. Pria itu mengangguk dengan patuh. Bergegas Devon mencari kamar pribadi Izzy. Ia sempat salah membuka kamar pertama dan membuat si tetangga mengernyit curiga. Namun, Devon berhasil di percobaan kedua. “Izzy!” panggil Devon ketika ia masuk ke kamar Izzy. Tak lama, Izzy pun keluar lalu kaget melihat Devon tiba-tiba masuk ke kamarnya. “Apa yang kamu lakukan di sini, Devon Kazuya!?” seru Izzy kaget dengan handuk yang melingkar menutupi tubuhnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN