AB - ONE STEP CLOSER

2765 Kata
  Happy Reading ^_^   ***   Handphone adalah benda paling beruntung di dunia ini. Keberadaannya selalu dicari-cari meski sebenarnya tidak terlalu butuh. Bahkan saat pertama kali membuka mata–alias bangun tidur- meraba-raba sisi sebelahnya pun selalu dilakukan oleh seseorang hanya untuk memastikan apakah ponselnya ada atau tidak. Dan kesadaran mereka akan sepenuhnya kembali detik itu juga.   Hal itulah yang terjadi pada Bianca setiap harinya. Perempuan berusia duapuluh sembilan tahun itu mengawali sekaligus menutup harinya dengan keberadaan ponsel dalam genggamannya. Ini semacam hal rutin yang harus Bianca lakukan agar tidurnya bisa nyenyak. Paling tidak dia tidak ketinggalan info baik di awal maupun di penghujung harinya.   Tapi selain itu juga Bianca membutuhkan ponselnya untuk alarm. Ya, alarm. Dia perlu melakukannya agar tidak keblabasan dan terlambat bekerja. Setting alarm-nya pun tidak main-main di mana terjadwal sejak pukul enam pagi dan diulang setiap setengah jam sekali yang kemudian berakhir pukul setengah delapan pagi. Tapi meskipun begitu Bianca selalu bangun pada pukul setengah delapan pagi lebih sedikit. Selalu.   Katakan Bianca sebagai perempuan aneh, dia tidak akan menyangkalnya. Tapi meskipun begitu Bianca perlu melakukannya agar bisa bangun bangun tepat waktu. Yah, walau tidak tepat-tepat banget, paling tidak Bianca tidak bablas tidur sampai jam sepuluh pagi. Tidak ada ibunya di sini, jadi dia perlu menyiapkan ‘pengganggu’ agar tidak terlena dalam tidurnya. Dan meskipun selalu seperti itu setiap harinya, nyatanya Bianca tetap tidak bisa bangun begitu saja. Oleh karena itu smartphone-nya benar-benar sangat berjasa bagi Bianca yang hobi mengulur-ulur waktu bangunnya.   Tapi khusus sabtu ini, Bianca sengaja mengaktifkan alarm pada pukul sepuluh pagi, yang benar-benar baru membangunkan Bianca pada pukul sebelas siang. Untung saja dia tidak bekerja, pikirnya. Itu pun tidak benar-benar karena alarm, tapi karena suara gludakan dari luar rumah yang sangat mengganggu sekali. Dengan susah payah dia berusaha menyadarkan dirinya.   Seingatnya kemarin dia menyuruh Rendy –anak Tantenya yang bersekolah di sini- untuk membenarkan motornya yang sedang rewel belakangan ini. Kemarin motornya sehat secara mendadak yang membuat Bianca tanpa pikir panjang langsung membawanya pulang. Seharusnya memang dibawa ke bengkel dan diservis secara menyeluruh, tapi karena dia tidak paham apa yang rusak, jadi dia pun bingung harus mengatakan apa pada pegawai bengkel. Jadi daripada pusing, lebih baik dia membawanya pulang dan memerintahkan Rendy saja. Walau tidak bisa, tapi setidaknya Rendy lebih paham daripada dirinya.   Dan karena dia tahu Rendy tidak bisa melakukannya secara mandiri, jadi Bianca memberikan beberapa lembar uang ratusan supaya Rendy bisa menservis motor itu di bengkel yang terpercaya. Terus di luar itu suara gludakan apa sih? Pikir Bianca dengan bingung. Lagipula, sehobi apa pun Rendy pada hal berbau mesin, dia tidak akan memaksa mengotak-atik motor rusak sendirian. Yang ada bukannya membaik, motor Bianca mungkin akan semakin hancur.   Tapi suara berisik itu memang berasal dari halamannya. Itu nyata sekali. Dengan agak sempoyongan dia membuka pintu dan berjalan keluar. Suara berisik itu semakin nyata sekali. Dan saat dia melewati ambang pintu, matanya membulat melihat siapa orang yang sedang mengotak-atik motornya.   “Kok lo ada di sini sih?!” pekik Bianca dengan rasa jengkel dan terkejut yang melebur menjadi satu. Orang itu –keponakan dokter Adi- mendongakkan kepalanya dan menjawab dengan cuek.   “Benerin motor.”   Bianca memejamkan matanya dengan mengepalkan kedua tangannya sebagai tanda kalau dia gemas dengan jawaban tidak bermutu itu. Dia mendengus. “Ya tahuuuu, tapi ngapa mesti di sini sih? Dan itu... motor gue kok lo yang dandanin sih?!” Bianca menggerutu yang tidak dijawab sedikit pun oleh pria itu.   Ya Tuhan, tabahkan hatiku, batin Bianca mencoba menguatkan dirinya. Ini weekend dan dia harus ditimpa musibah seperti ini. Sepertinya keapesannya benar-benar diperpanjang secara manual. Sial sekali dirinya.   “Mbak, Mbak, kopi mana? Aku mau buat kopi.”   Bianca memejamkan matanya. Belum selesai dengan urusan si keponakan dokter Adi itu, adik sepupunya justru datang dengan tampang tanpa dosa menanyakan kopi.   “Kamu kok minta tolong dia buat benerin motor aku sih, Ren?”   “Ya kan aku nggak bisa, Mbak. Makanya aku minta tolong Bang Prana.”   Seolah dihantam batu besar di dahinya, Bianca tertawa kering. Bang Prana? Sedekat itukah Rendy dengan keponakan dokter Adi sampai perlu memanggil sosok itu sebagai Abang?   “Ya kan kamu udah Mbak kasih uang buat bawa ke bengkel. Uangnya ke mana coba?!”   “Uangnya ada tuh di dompet, suudzon aja.”   “Ya terus kenapa nggak dibawa ke bengkel?” tanya Bianca dengan gemas.   “Motor Mbak aja nggak mau hidup, gimana aku mau bawa tuh motor ke bengkel? Tuntun? Atau pake sulapnya Pak Tarno? Nggak mungkinlah.” Rendy menjawab dengan sebal. Dan detik itu juga pipi Bianca langsung merona karena malu. Motornya benar-benar perlu diservis sesegera mungkin sebelum membuat Bianca semakin malu saja.   “....”   “Kemaren tuh aku liat Bang Prana ngotak-atik mobilnya. Dia jago banget, makanya ya aku iseng nanya. Daripada aku nuntun motor Mbak ke bengkel yang lumayan jauh kan. Eh dianya bisa, ya udah deh.”   Bianca mencubit lengan Rendy dengan gemas. Cowok yang saat ini sedang menempuh pendidikan diploma tiga persis seperti Bianca itu hanya mengaduh keras-keras. Cubitannya tipis dan tidak lama, tapi ngilunya benar-benar luar biasa. Rendy mengusap lengannya beberapa kali.   “Sakit, Mbak!”   “Salah kamu sendiri!” Bianca menggerutu. “Ini tuh bukan perkara bisa atau nggak bisa, tapi kamu tuh dah bikin malu tahu.”   “Udah, Mbak nggak usah malu. Kan yang minta tolong aku. Daripada mikir malu, mending sekarang Mbak kasih tahu di mana kopinya. Bang Prana mau kopi.”   Bianca mendengus. Ingin rasanya dia menumpahkan seluruh kopi yang dia punya ke wajah Rendy dan Prana-Prana itu. Tapi meskipun begitu, perempuan itu tetap masuk ke dalam rumah untuk menunjukkan di mana kopi sachetan yang baru saja dibelinya belum lama ini. Selesai menunjukkannya, Bianca kembali ke ruang tamu dengan jengkel sekaligus malu.   Bianca duduk di ruang tamu dengan tidak nyaman. Tapi di saat yang bersamaan dia juga melihat sekotak geprek yang bau sambalnya lumayan menggoda indra penciumannya. Tanpa diperintah mulutnya memproduksi lebih banyak air liur. Mengabaikan rasa jengkel dan malunya, Bianca memanggil Rendy.   “Rennnn!! Ini geprek punya siapa?”   Tidak ada jawaban. Hilang ke mana Rendy-Rendy itu sih? Memang sebesar apa sih kontrakannya sampai teriakannya yang membahana ini tidak terdengar? Bianca mengomel dalam hatinya.   Bianca mau ke dapur untuk memastikan, tapi suara berat pria menghentikannya. Tanpa perlu bingung Bianca langsung melihat ke satu titik.   “Tadi Rendy beli geprek, katanya laper. Terus itu memang dilebihin satu. Kalo mau dimakan ya makan aja, saya sama Rendy udah makan kok.”   Kenapa pas banget sih? Batin Bianca dengan bimbang. Di satu sisi dia jengkel dan malu, tapi di sisi lain juga dia lapar. Maklumlah ini juga sudah siang. Akhirnya dengan menekan egonya Bianca mengambil geprek tersebut. Dengan gaya sok malas dia membuka dan menyantapnya. Dia pikir keponakan dokter Adi itu menertawakannya, jadi Bianca melemparkan tatapan mematikan ke  arah pria itu. Tapi dugaannya salah dan dia malu untuk ke sekian kalinya.   Please, Bi, jangan suudzon terus atau lo bakal malu tujuh turunan dan tujuh tanjakan! Batinnya memperingatkan.   Saat sedang asyik-asyiknya makan, sosok Rendy datang dengan nampan di tangannya. Dua kopi pekat berjejer di atasnya. Melihat sang kakak sedang lahap makan geprek yang dibelinya, Rendy berujar dengan usilnya.   “Wihh gepreknya enak kan, Mbak? Enak dong. Kan gratisan!”   Bianca mendengus sambil terus menyuapkan sesuap demi sesuap ke mulutnya. “Kamu kok tumben sih baik banget? Nggak biasa-biasanya kamu beli sesuatu dan sengaja dilebihin buat aku. Emang kamu punya duit ya?”   Bianca bertanya sambil terus mengunyah. Dia tahu itu tidak sopan, tapi rasa penasarannya benar-benar membumbung tinggi. Lagipula dia sudah menganggak Prana-Prana itu tidak ada, jadi tidak perlu segan.   “Kata siapa aku yang beli? Ya nggak mungkinlah,”   Detik itu juga tulang ayam yang sedang digigiti Bianca terjatuh. Matanya menatap Rendy dengan tatapan horor.   “.... memang aku yang otw beli, tapi belinya jelas bukan pake duit aku. Tuh, duitnya dia,” Rendy menunjuk Prana dengan dagunya. Tatapan Bianca berpindah seperti robot ke sosok Prana-Prana lalu kembali ke Rendy lagi. “jadi otomatis yang beliin ya Bang Pranalah, bukan aku.”   “Dia bilang yang beli kamu, Ren!” Bianca mengadu dengan mata melotot. Rendy tergelak melihat ekspresi kakaknya yang memalukan itu.   “Ya kan lo nanya siapa yang beli, ya Rendy lah yang beli. Dia yang berangkat ke warungnya. Gue cuma biayain aja.”   Sosok Prana menyahut sambil menatap Bianca dengan tatapan seolah-olah mengejek. Bukan mengejek, lebih tepatnya menyalahkan. Cowok itu –astaga! Dia menunduk dan menatap makanannya yang nyaris habis. Kenapa baru dikasih tahu sih? Gerutu Bianca dalam hati. Tatapanya berpindah ke Prana-Prana yang kembali menyibukkan diri dengan mendandani motornya tanpa merasa berdosa sedikit pun. Udah sok dewasa, nyebelin, tukan bohong lagi!   Bianca benar-benar harus menyantetnya sesegera mungkin agar berhenti mengganggu hidup Bianca yang semula tenang dan damai. Tapi yang jadi pertanyaannya sekarang adalah harus diapakan makanan ini? Intinya dia lanjut makan apa dimuntahkan saja?   Duh gustiiiii.... gue laper banget, anjir!   ***   Prana baru menyelesaikan mandinya saat pintu rumah yang dikontraknya diketuk. Dalam hatinya dia bertanya-tanya siapa yang bertamu selepas maghrib pas seperti ini. Seingatnya dia tidak punya banyak kenalan. Satu-satunya kenalan yang tahu tempat tinggal sementaranya ini hanyalah Om Adi. Tapi kenapa Om Adi datang tanpa memberitahu?   Berkat rasa penasaran itu, Prana bergegas memakai pakaiannya. Celana longgar warna khaki serta kaos oblong yang terlihat sudah usang karena seringnya dipakai. Setelah memastikan tidak ada yang aneh dengan tampilannya di depan cermin, Prana memutuskan membuka pintu. Dan dia terkejut saat tahu siapa orang yang bertamu tersebut.   Tetangga depan aka Arbe-Arbe itu.   Prana menyandar di kusen pintu dengan ekspresi cool yang membuat Bianca berdecak. Ekspresinya langsung berubah masam saat bertemu pandang dengan mata pria itu. Huh, padahal dia sudah bertekad untuk sedikittttt lebih baik pada laki-laki itu. Tapi gayanya saja sudah menjengkelkan, jadi jangan salahkan dirinya.   Cepat selesaikan dan cepet pergi, Bi. Secepatnya. Dengan gitu lo nggak perlu nyakar mukanya yang memang buat jengkelin, batinnya meneriakinya.   Dengan sikap sok angkuh Bianca menyodorkan dua lembar uang lima puluh ribu ke arah Prana. Ini adalah uang ganti rugi karena dia makan geprek yang dibeli oleh uang pria itu. Selain itu juga ini sebagai bentuk balas budi karena sudah membenarkan motornya yang suka ngambekan. Walau belum semuanya, tapi setidaknya motornya sudah bisa dihidupkan dengan mudah.   Sementara itu Prana menaikkan sebelah alisnya melihat uluran tangan berisikan uang dari tetangganya yang judes. Dia terkekeh sekilas.   “Ini maksudnya apaan?”   “Ya...” Bianca tergagap. Dia tidak tahu harus bersikap bagaimana. “anggap aja uang balas budi karena udah benerin motor gue. Sekalian uang geprek tadi. Cepet ambil, tangan gue pegel.” Katanya dengan cuek seperti biasanya.   Dengan ekspresi malas Prana menepis tangan Bianca. “Udah, nggak usah.”   “Ishhh, ambil!” Bianca bersikeras.   “Dibilangin nggak usah ya nggak usah,” lagi-lagi Prana menolaknya dan membuat Bianca gemas. Tapi sebelum perempuan itu berceloteh panjang lebar dan mengeluarkan kalimat pedasnya, Prana kembali melontarkan kalimat tambahan. “uangnya kamu simpen aja. Itung-itung buat nambah biaya servis full motor kamu. Pasti abisnya banyak.”   “Ya itu dipikir nanti. Udah buruan ambil!” Bianca masih bersikeras.   “Jangan cuma dipikir doang. Besok langsung didandanin!”   Bianca kaget karena nada perintah yang tajam sekali. Kenapa Prana-Prana itu jadi emosi padahal yang dimaksud dalam pembicaraan mereka adalah motor Bianca? Bianca mendengus.   “Bisa-bisanya ya kamu naik motor yang nggak terawat kayak gitu? Bannya udah aus, rantainya nggak begitu kenceng, terus nggak dicuci!”   Bianca terjengat karena hardikkan itu.   “... sibuk banget ya situ kerjanya sampe nggak bisa ngurus motor dengan baik?”   Bianca langsung kegerahan karena saking malunya. Prana-Prana ini... kenapa dia usil sekali sih mengomentari sesuatu yang bukan urusannya?   “Oli... tiga bulan terakhir kamu udah ganti oli kan? Iya kan? Please, bilang iya.”   Bianca berfikir keras dan itu terlihat dengan jelas. Prana semakin geleng-geleng tak percaya dengan cara Bianca mengurus benda yang sudah membantunya untuk sampai ke rumah sakit tanpa perlu banyak berkeringat. Benar-benar tidak menghargai sama sekali.   “Ini emang bukan urusan saya sih, tapi saya miris aja liat motor kamu. Motor itu mau keluaran tahun berapa pun, tapi kalo dirawatnya dengan baik pasti bakal tetep keliatan bagus. Apa susahnya sih ngerawat motor kamu itu?”   “Ya kan nggak tahu.” Bianca membela dirinya.   “Nggak tahu cara nyuci motor? Bawa ke steam motor. Nggak tahu cara ganti oli sendiri? Bawa ke bengkel. Ban motor udah aus tapi nggak bisa ganti sendiri? Sekali lagi, bawa ke bengkel. Semua urusan kelar kalo kamu bawa ke bengkel.”   “....”   “Itu sih bukan nggak tahu, tapi situ aja yang pemalas.”   Tepat sasaran.   Bianca tercengang. Prana-Prana ini sepertinya memang diciptakan untuk mengkritik orang dengan tajam. Lidahnya itu... ingin rasanya Bianca memotong lidah itu. Walau semuanya benar, tapi apa tidak bisa dikatakan dengan cara yang lebih halus? Apalagi dia berbicara seperti itu pada perempuan. Benar-benar tipe lelaki yang jahat sekali pada pacarnya, dia yakin sekali.   Bianca mengepalkan tangannya. Mati-matian dia menahan emosinya yang mulai merayapi seluruh tubuhnya. Dia menghembuskan napasnya keras-keras untuk menahan dirinya. Dia juga memperbaiki ekspresinya agar kembali seperti niat awalnya kemari. Baik dan sopan.   “Saya tahu ini bukan urusan saya, tapi saya gemes banget. Saya memperingatkan situ untuk secepatnya full servis sebelum kamu ada insiden di jalan-jalan gara-gara kesalahan yang sifatnya dari diri kamu sendiri. Kalo gitu yang rugi siapa? Situ sendiri kan? Ya udah, demi diri kamu sendiri, jadi rawat tuh motor baik-baik.”   Prana mengucapkan kalimat tersebut dengan kekehan pelan. Tadinya dia ingin tertawa terpingkal-pingkal tapi dia tahu Bianca sudah berusaha kuat untuk menahan dirinya sendiri. Jadi seperti Bianca, dia juga akan menahan dirinya. Dia akan menghargai niat baik yang coba Bianca lakukan hari ini.   “Terima kasih atas sarannya Bapak Pranadipa Mahendra. Saya sangat-sangat bersyukur bertemu dengan orang seperti Bapak sebelum saya kecelakaan.”   “Lho, kamu masih inget nama lengkap saya ya? Wah, wah nggak nyangka.”   “Inget dong, apalagi namanya orang paling menjengkelkan. Pasti diinget dengan baik.” Bianca berujar dengan mengusahakan sudut bibirnya tetap tertarik ke atas.   “Kalo gitu panggil saya Prana. Kita kan tetangga. Nama kamu siapa?”   “Nama saya nggak perlu anda tahu, tapi yang jelas uangnya cepet diterima. Dan tenang aja motornya PASTI saya dandanin besok. Lo nggak usah khawatir.”   “Udah dibilang nggak usah.”   “Ish!”   “Simpenin dulu aja deh. Nanti saya ambil kalo saya butuh duit. Sekarang lagi nggak butuh soalnya.”   Sombong sekali, pikir Bianca dengan memaksakan senyumnya terus mengembang dengan mengerikannya.   “Jangan gitu geh, gue nggak enak.”   “Ya udah dibuat enak aja. Santai sih. Kan tetangga.”   Bianca memejamkan matanya karena kata tetangga sudah keluar dari mulut pria itu beberapa kali. Dan cara pria itu melafalkannya terdengar sangat tidak tulus. Menjengkelkan sekali, pikirnya.   “Masih ada yang mau diomongin nggak? Mau saya tutup pintunya. Banyak nyamuk nih jam segini buka-buka pintu.”   Bianca mendengus. Dia hampir berbalik untuk kembali ke rumahnya, tapi langkahnya tertahan. Dengan berat hati dia berbalik lagi. Prana menahan pintunya dengan kening yang berkerut bingung.   “Apa lagi?” tanyanya dengan nada malas yang kentara sekali.   “Ma-Makasih.” Bianca berujar dengan terbata. Kepalanya tertunduk dan tidak berani menatap mata pria yang sudah dilabeli Bianca sebagai pria sok dewasa.   “Apa? Apa? Saya nggak denger apa pun.”   Tidak, dia tidak punya masalah pendengaran. Prana mendengarnya dengan baik dan dia tahu kalau tetangga depan rumahnya ini mengucapkan terima kasih. Prana menggodanya karena semua ini terasa sangat mengasyikan.   Tangan Bianca yang terkepal terangkat dan dia mendesis jengkel ke arah laki-laki itu. “Gue tahu lo denger ya? Nggak usak sok-sokan budeg deh.”   “Iya, iya saya denger,” Prana mengaku. “Iya, sama-sama.”   Dan entah kenapa pipi Bianca merona mendengar kalimat manis itu. Tunggu, itu bukan kalimat manis kan? Itu kalimat yang wajar. Ketika seseorang mengucapkan ‘terima kasih’, beberapa orang yang normal pasti akan menjawab dengan kata ‘sama-sama’. Lalu kenapa pipinya terasa panas sekali? Apa-apaan sih ini? Batin Bianca merengek antara terkejut sekaligus malu.   Tanpa permisi, Bianca langsung berbalik. Dan kali ini dia benar-benar pergi tanpa menengok lagi. Dia harus segera pulang dan memulihkan debaran jantungnya yang bertindak tidak biasa hari ini.   Sementara itu Prana hanya tertegun di depan pintu. Bahkan saat Bianca sudah menggeser gerbang rumahnya, posisinya masih sama. Tidak, dia tidak kerasukan setan apa pun karena berdiri di tengah-tengah pintu di jam seperti ini. Dia hanya... tadi dia melihat rambut Bianca yang terurai menutupi punggungnya. Rambutnya berkibar beberapa kali mengikuti pergerakannya yang terkesan terburu-buru. Jadi itu adalah rambut si staff medis judes yang rambutnya dicepol itu? Benaknya bertanya-tanya.   Dan s**t! Kenapa dia harus berdebar karena hal sepele ini? Padahal niat awalnya hanya ingin menebus sedikit rasa bersalahnya, tapi kenapa malah berujung pada dirinya yang terpesona pada Bianca? Tapi bohong kalau dia tidak mengakui kecantikan staff medis judes itu dalam kondisi yang seperti ini. Prana memindahkan tangannya ke d**a dengan tatapan bodoh yang kentara sekali. Debarannya terasa sekali, pikirnya.   Arbe-Arbe itu cantik? Prana tidak mengelaknya. Dia mengakuinya sejak pertama kali melihat wajahnya yang tidak ditutupi masker medis. Dan rambut panjangnya membuat Prana semakin mengakui kecantikannya. Om Adi bilang kalo Arbe-Arbe itu paket komplit. Prana baru melihat dua hal terbaik dari diri Arbe-Arbe itu dan dia sudah berdebar. Apa kabar dengan logikanya nanti kalau dia melihat paket komplit yang dimaksud Om Adi tersebut?   Semoga dia tidak bertemu Om Adi dalam waktu dekat. Atau kalau tidak, dia akan malu untuk seumur hidupnya.   TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN