PM - YAKIN?

1518 Kata
  Happy Reading ^_^   ***   Laki-laki itu –Pranadipa Mahendra- mengelus luka bekas tusukan yang dibalut plester dan kapas. Momen saat si staff medis itu memplester lukanya dengan kasar terputar dan Prana mendengus untuk yang ke sekian kalinya. Dia masih tak habis pikir kenapa ada staff pelayanan sekasar itu. Belum lagi dengan Om-nya yang malah mendukung si staff medis itu alih-alih mendukung keponakannya sendiri. Gara-gara perempuan itu harga dirinya ikut-ikutan terluka. Sialan, pikirnya.   “Prana, umur kamu berapa sih sebenernya? Mau diambil darahnya aja berlebihan banget. Dasar lebay!” ujar dokter Adi dengan tatapan mengejek, apalagi saat teringat bagaimana susahnya sang keponakan saat diambil darahnya tadi. Bikin malu saja, pikirnya.   Prana mendengus. “Bukan lebay, Om, tapi aku cuma mengkhawatirkan diri aku sendiri. Wajarlah aku khawatir kalo ditusuk sama yang belum pro. Mana sakitnya beneran kerasa lagi. Jengkelin banget sih.”   Dokter Adi memutar bola matanya karena sikap sang keponakan yang sangat berlebihan. “Yang namanya ditusuk pake jarum ya pasti sakit lah. Siapa orangnya itu cuma sugesti. Kalo kamu percaya sama si anak magang ya pasti rasanya nggak akan sakit.”   Prana mendengus. Ya gimana gue bisa percaya sama anak magang di saat tadi tangan dia aja gemeter pas ngambil darah gue? Wajarlah gue khawatir. Apa kabar sama nyawa gue kalau jarum tajam yang tadi menusuk venanya malah menembus kulit luarnya? batinnya dengan jengkel.   “Lagian samplingnya udah berhasil kok. Sekali tusuk malahan. Tapi kamu masih sewot aja.”   “Ya tapi jangan kayak gitulah, Om. Aku kan pasien di sini. Aku bayar lebih supaya masuk VIP ya buat kenyamanan aku. Kok tahunya pelayanan labnya kayak gitu. Lagian ngapa nggak Om aja sih tadi yang ngambil?” Prana masih menggerutu tidak terima padahal sang petugas pun sudah pergi.   “Di rumah sakit ini semuanya itu ada SOP*nya. Nggak bisa orang bagian mana merangkap pekerjaan orang lain. Kenapa? Ya karena ada pertanggung jawabannya. Yang tahu kriteria sampel buat pemeriksaan lab ya hanya orang lab. Dokter nggak akan ikut campur urusan mereka karena pada dasarnya kita juga pengen hasil yang sebenarnya. Ini kan juga demi kesembuhan pasien itu sendiri, jadi nggak asal-asalan.”   Prana mendengus karena semua yang dikatakan oleh Om-nya sangat-sangat masuk akal. Tapi meskipun begitu rasa jengkelnya masih menumpuk. Apalagi mengingat separuh wajah si perempuan yang bersama si anak magang. Untung saja dia perempuan, coba kalau laki-laki. Prana tidak akan segan untuk mengajaknya duel sekalian.   “Udah sih, cuma masalah sampling aja kayak gini. Mending kamu pikirin kesehatan kamu aja, trus bisa segera keluar dari rumah sakit. Syukur-syukur hari ini juga kamu bisa out. Karena kalo nggak, kelar kamu selama seminggu ini. Dengerkan kalo Arbe bakal tugas sampling di VIP seminggu ini? Itu peringatan secara halus.”   Prana memutar bola matanya. Dia membayar mahal di sini, tapi kenapa dia harus mendapatkan peringatan secara halus dari seorang staff medis? Dan parahnya lagi, Om-nya sendiri malah mempertegasnya. Seketika dia penasaran dengan sosok Arbe-Arbe itu sampai membuat dirinya ada dalam posisi ini.   “Emangnya siapa sih Arbe-Arbe itu? Gangster? Kelakuannya bener-bener nggak mencerminkan sosok petugas medis. Orang pelayanan tuh harusnya ramah, lah dia sejudes itu!”   “Jangan buat stereotip seolah-olah hanya orang pelayanan yang harus ramah, Prana. Pasien pun seharusnya bersikap baik ke orang pelayanan karena pada dasarnya mereka dilayani dengan baik. Sikapmu tadi—” dokter Adi menggeleng-gelengkan kepalanya dengan miris. “bener-bener nggak sopan. Wajar kalo Arbe ngomel panjang lebar.”   Prana mendengus. Lagi-lagi sosok Arbe-Arbe itu lebih dibela. Sekarang dia merasa dikucilkan padahal statusnya adalah keponakannya sendiri. Siapa sih sebenarnya Arbe-Arbe itu? batin Prana dengan menggerutu.   “Lagian ya, Arbe itu baik kok. Baik banget malahan. Kamu aja yang nggak kenal dia makanya mikir kalo dia judes atau galak. Padahal aslinya mah baik banget. Banget, banget, banget.”   “Mana ada sikap kayak gitu dicap baik. Om ini kalo ngawur suka kebangetan. Udah, udah nggak usah bahas cewek judes itu lagi. Pusing kepalaku jadinya.” kata Prana dengan nada muak yang dibuat-buat.   Tatapan frustasi dokter Adi berubah usil. Dengan iseng dia menoel-noel bahu keponakannya. “Dia baik lho. Baik banget malah. Dan cantik. Om nggak bohong.”   Prana memasang ekspresi tak percaya karena Om Adi, si dokter tengil, memuji perempuan lain seperti itu. Lumayan nakal juga Om-nya yang satu ini. Apa sudah lupa dengan anak istrinya yang ada di rumah? pikirnya.   “Cantik, Om? Kayak gitu kok cantik. Kuno banget tahu nggak? Gaya rambutnya itu –astaga...” Prana memijat pelipisnya dengan dramatis. “Cepol masih jaman ya sampe sekarang, Om?” tanyanya dengan ekspresi mengejek.   “Rata-rata perawat yang ngurusin kamu juga rambutnya dicepol,” dokter Adi berkilah yang membuat Prana gemas.   “Ya tapi dia nggak pantes. Intinya itu.” Protes Prana untuk menutupi sikap saltingnya. “Trus jas lab-nya juga kok kayak kotor gitu. Nggak rapi banget diliatnya. Masih mendingan si anak magang.”   Dokter Adi tergelak karena menyadari keponakannya yang sedang salah tingkah. Mungkin sudah kepalang malu jadi sekalian saja seperti ini, pikirnya.   “Kamu belum tahu aja rambut dia sepanjang apa. Rambutnya tuh sepunggung, trus agak ikal. Cantik deh pokoknya. Sesuai standar cowok-cowok bangetlah.” dokter Adi memperagakan dengan konyolnya. “Dan jas labnya itu... ya wajar sih menurut aku. Dia kan kerjaannya di lab mikro, ada pengecatan sampel, jadi ya jas lab-nya gampang ternodai.”   Om Adi masih menambahkan dengan gencarnya. Prana hanya bisa menghela napas lemah. Apa sih tujuan Om-nya segencar ini menceritakan sosok Arbe-Arbe itu? Batin Prana dengan muak.   “Yang namanya standar kecantikan mah nggak ada pakemnya, Om. Ada kok yang di mata orang-orang cantik tapi di mata aku ya biasa aja. Ya itu contohnya Arbe-Arbe itu. Apalagi attitude dia ke pasien kayak aku udah buruk banget. Udahlah, nggak ada cantik-cantiknya kalo gitu.”   “Ini nih yang namanya judge orang by cover-nya aja. Kualat kamu nanti!”   Prana terkekeh tak percaya. Kualat apanya? Dan kenapa dia harus merasakan yang namanya kualat?   “.... Arbe tuh cantik. Kalo nggak cantik, nggak mungkin Adrian sampe klepek-klepek. Kamu belum tahu aja pesonanya Arbetiana Bianca.”   “Pesona apa sih, Om? Pertama, dia galak. Pesonanya ya jelas nggak keliatan lah. Trus kedua, aku tuh nggak kenal dia. Jadi ya gimana mau sadar sama pesonanya? Nggak mungkinlah.”   “Kalo gitu mau Om kenalin?”   s**t!   Sampai juga pada obrolan yang menjemukan ini. Dia tahu kalau inilah target Om-nya, tapi siapa sangka jawaban asalnya justru membawanya ke topik ini. Padahal sebisa mungkin dia sudah memutar-mutar obrolan mereka. Semua orang yang berkonspirasi untuk mencarikan jodohnya pasti sedang melantunkan banyak-banyak doa sekarang ini.   “Nggak perlu, Om. Makasih. Makasihhhhhh banget, tapi no, thanks.” Prana menjawab dengan tegas. “Dan Om bilang tadi Adrian klepek-klepek... Adrian-Adrian yang dimaksud itu anak Om?” anggukan Om-nya membuat Prana tertawa mengejek. “Kok bisa sih anak Om yang dokter bedah kepincut sama perempuan kayak gitu? Fix, ini mah seleranya Adrian udah anjlok dari pramugari ke tenaga kesehatan judes.”   “Ya justru kamu harusnya penasaran dong kayak apa sih Arbetiana Bianca sampe anak Om yang dokter bedah itu kepincut. Jangan ngeraguin seleranya Adrian lho. Pernah kamu ngeliat mantan pacarnya Adrian nggak cantik?”   Dan dengan bodohnya Prana menggeleng. Dia harus menyinkronkan otak dengan tekadnya mulai dari sekarang. Benar-benar memalukan.   “Berarti kamu nggak boleh nyepelein Arbe, Prana. Dia oke banget.”   “Tunggu, tunggu,” cegahnya agar sang Om berhenti mengoceh karena dia teringat sesuatu. “Om bilang Adrian kepincut sama Arbe-Arbe itu?” dokter Adi mengangguk. “Kalo gitu Arbe-Arbe itu single dong?”   Dokter Adi memutar bola matanya dengan frustasi. “Ya iyalah. Ngapain daritadi kita ngobrolin dia kalo ternyata dia udah taken? Dia single tingting.”   “Single?” ulangnya lagi dengan tatapan bodoh.   Prana tercengang selama beberapa saat, lalu terkekeh saat menyadari kebodohannya. Perempuan itu single dan Prana memanggilnya Ibu tadi? Good job, bro. Lo udah sempurna bikin malu diri lo, Prana, batinnya mengejek. Dan kalau Adrian suka pada Arbe-Arbe itu, bukankah artinya usianya tidak terlalu terpaut jauh? Kalau pun jauh, tidak mungkin sampai puluhan tahun. Yang artinya, perempuan itu juga seusianya. Prana langsung memejamkan matanya sebentar. Kepalanya langsung berdenyut seketika karena malu.   “Iya, single. Dia itu cantik, pinter, mandiri, trus kalo udah kenal asyik banget. Paket komplit kan?”   Paket komplit bikin orang menderita itu tuh! Batinnya menjawab dengan frustasi.   “Jangan ngeraguin seorang Arbetiana Bianca. Belum tahu aja kamu orangnya kayak mana.”   Prana mendengus. Memangnya apa sih bagusnya Arbe-Arbe itu sampai Sang Om menegaskannya secara berulang-ulang? Benak Prana bertanya-tanya untuk yang entah ke sekian kalinya. Dia muak sekali.   “Dan kalo udah tahu Arbetiana Bianca yang sebenarnya, Om jamin kamu pasti klepek-klepek. Sejuta-rius ini mah.”   “Nggak akan, Om.”   Jawabnya dengan suara tegas yang sebenarnya tidak begitu meyakinkan. Dalam hatinya dia bertanya-tanya kapan sesi promosi orang yang tak dikenalnya ini akan berakhir. Tolong ini mah. Dia sedang sakit dan bisa semakin sakit kalau promosi ini tidak segera berakhir.   Dan karena ini juga Prana tahu kalau sang Mama masih tergolong sebagai makcomblang yang baik. Kadang info kencan buta datang secara tiba-tiba, tapi orangnya selalu yang Prana kenal. Tidak seperti Om Adi yang tiba-tiba datang dan mempromosikan perempuan judes yang tak dikenalnya dengan iming-iming paket lengkap.   “Yakin nih?”   “Yakinlah!”   “Kalo gitu Om pegang kata-kata kamu, Prana.”   Dokter Adi Sapta, Sp.P hanya menyeringai mendengar tekad sang keponakan yang seperti tak terpatahkan. Prana –sang keponakan- seolah-olah memegang kendali penuh atas dirinya dan takdirnya. Tapi dia lupa dengan keberadaan Tuhan, sang Penguasa atas segala hal, termasuk takdir cintanya. Dan Tuhan punya skenario cinta yang tidak terduga untuk orang-orang yang terkesan tidak percaya akan kekuasaan-Nya.   Dan skenario cinta Pranadipa Mahendra dengan Arbetiana Bianca yang penuh lika-liku dimulai detik ini juga.   TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN