“Abang, visa Ayra kan belum ada?”
“Kita harus nikah dulu, Ay. Baru Abang bisa bawa Ayra.”
“Bukannya Abang bilang waktu kita hanya enam hari lagi? Ngurus visa kan butuh waktu, Abang.”
“Betul.”
“Terus? Abang bohong dong mau bawa Ayra ke mana pun Abang pergi?”
Gue mendengus keras. “Bisa ngga kamu berhenti berpikir jelek tentang aku? Kita mau nikah lho, Ay. Kalaupun aku balik duluan ke Cambridge, apa menurut kamu semua yang ada di sini bakalan diam aja dan ngga ngelindungin kamu?”
“Ayra takut ketahuan Ibu dan Ibu maksa Ayra untuk pulang, Bang.”
“Paham! Aku paham banget yang kamu takutkan. Biar gimana pun beliau ibu kamu dan kamu bukan tipe anak yang bisa frontal melawan. Tapi, tetap aja semua ada prosesnya, Ay. After kita nikah, kamu sembunyi dulu sampai visa selesai. Oke?”
“Ayra takut.”
Gue menggenggam kedua tangannya. Satu persatu punggung tangannya gue kecup. Lalu, gue menatapnya kembali. Menyaksikan langsung wajahnya yang terkejut karena sikap gue.
“Aku ngga punya kepentingan apa pun dengan menikahi kamu. Jadi, harusnya kamu paham gimana tulusnya perasaan aku, Ay. So, please … kalau ada satu hal yang bisa kamu berikan untuk aku, meski belum hati kamu, at least … be brave for me. Oke, Ay?”
Gue merebahkan diri di samping Bisma. Dia ini sepupu ipar level dua. Reina nikah sama Mas Rio, adiknya Mas Rio – yang akrab kami sapa Nina – menikah dengan Bisma. Begitu kira-kira alur kekerabatannya. Gue kemudian menyapukan pandangan, mencari letak jam dinding berada. Sudah lewat dari pukul satu dini hari, tapi rasa kantuk masih belum menyapa.
Kedua mata coba gue pejamkan. Membaca rangkaian doa yang gue hafal dalam hati. Tapi, tetap aja kesadaran gue masih penuh. Agak senewen aja sih. Kepala gue sibuk mikirin banyak hal tentang Ayra karena pembicaraan kami yang teramat sejenak sebelum Ayra masuk kamar tadi. Apa yang terjadi dengan ayahnya? Kenapa Ayra begitu menyedihkan sementara dua saudaranya yang lain makmur banget? Kenapa juga ibunya memperlakukan Ayra demikian? By the way, gue tuh yakin banget Ibu ngga berniat jahat. Dan, sejauh apa Om Edwin tau tentang kacaunya hidup Ayra sampai sebegitunya merasa bersalah?
Entah sudah berapa kali gue berbalik hadap kiri dan kanan. Daripada ujung-ujungnya ganggu yang lain, akhirnya gue keluar kamar lagi.
Udah dua kali gue kayak gini. Sekali lagi, fix gue berhak atas satu buah payung cantik.
Gue bengingsut ke dapur, nyeduh kopi instan jandul yang masih eksis sampai sekarang. Judul di packaging-nya Indokafe KopiCampur. Entah campur apaan, yang jelas kopinya secuil banget. Kata Papa, jangan banyak-banyak kalau ngga mau buncit. Bukannya buncit, kebanyakan minum ini kopi ala-ala, yang ada malah bikin gue keliyengan.
Sambil nunggu air mendidih, gue manasin air fryer. Gue kemudian ngambil pisang tanduk yang agak besar sebiji. Itu pisang gue belah dua, lalu gue potong jadi empat. Setelahnya mereka gue taruh di atas alumunium foil. Next, pisangnya gue oles madu. And finalle, kasih springkle of cinnamon bubuk. Beres persiapan, pas air fryer masih panas, gue masukinlah si pisang. Then, set waktu ke sepuluh menit biar pisangnya ngga benyek banget. Sepuluh menit berselang, kopi gue siap, pisang panggang gue juga siap. Beuh! Kalau lagi tugas jangan harap gue bisa ngemil tengah malam kayak gini.
“Pakai es krim enak tuh, Ga.”
Baru juga gue mau mangap, lakinya si Nina ikutan nongol di sini.
“Ada es krimnya?” balas gue.
“Ada. Tadi Gala sama Qia makan.”
“Ambil gih!”
Malah ikutan coba gue!
Bisma balik masuk ke dapur, ngga tau ngapain. Yang jelas, pas balik dia bawa secangkir kopi hitam dan es krim vanilla yang tadi dia bilang ada. Attention! Sama ember-embernya.
“Lo sahur apa kepingin obesitas?” tanya gue.
“Ngga nemu mangkok kecil. Ciduk aja udah.”
Gue ya pasrah aja, ngebiarin Bisma naruh es krim ke wadah pisang. Abis itu dia ngacir lagi, balikin ember ke dalam kulkas.
“Kok bangun lo?” tanya gue setelah Bisma duduk di samping gue. Kita nih lagi santai-santai di gazebo tepi kolam renang. Yang lain sih kayaknya udah pada tidur, soalnya ngga ada yang nampak wara-wiri lagi.
“Bukannya harusnya gue ya yang nanya kenapa lo ngga bisa tidur?”
Gue menghempaskan napas, lalu menyeruput kopi gue yang mulai menghangat.
“Sorry, bro.” Pasti gue kan yang bikin tidurnya Bisma keganggu?
“Santai. So? Kepikiran besok lo? Takut bokapnya Ayra ngga setuju?”
“Salah satunya,” jawab gue.
“Kalau ngga setuju, rencana lo apa?”
“Entahlah, bro.”
“Mumet ya, Ga?”
“Gue lebih mumet mikirin Ayra. Ngenes banget gitu lho nasibnya, Bis.”
“Itu beneran ibunya sejahat itu?”
“Ya … orang bisa aja jadi jahat kan?”
“Jadi, menurut lo ada sesuatu yang bikin beliau keras begitu?”
“Bahkan Heathcliff bisa nyakitin Catherine meskipun dia sangat mencintai Catherine kan, bro? Dan ada penyebabnya kenapa Heathcliff jadi sekejam itu.”
“Wuthering Heights karya Emily Brontë. Heathcliff dan Catherine itu fiksi, Ga.”
“Trust me, fiksi kontemporer bisa ditulis karena sebenarnya di dunia nyata kejadian seperti itu ada, banyak malah. Itu yang dari tadi ngga bisa hilang dari kepala gue. Lagian, ngga make sense aja gitu ada ibu yang kejam sama anaknya sendiri. Pernah lihat lo?”
“Na’udzubillah. Jangan sampe lihat yang kayak gitu,” ujar Bisma. “Ayra ngga cerita apa-apa sama lo?”
Gue menggeleng. Ngga akan mudah bagi Ayra ngorek lukanya sendiri bukan? Ibaratnya itu luka baru dijahit, masa iya udah mau dilepas lagi? Gue juga ngga setega itu ngepoin calon istri gue saat dia masih kewalahan mengontrol rasa takutnya.
“So, pernikahan kalian inshaaAllah pasti ya?” tanya Bisma kemudian.
“Iyalah,” jawab gue setelah mengangguk. “InshaaAllah.”
“Visa Ayra?”
“Diurus setelah surat nikah keluar. Mungkin dua minggu setelah pernikahan bisa selesai.”
“Ada yang bantu kan, Ga?”
“InshaaAllah ada. Papa Ga sama Om Zhen ada kenal orang VFS Global. Susahan dapetin penghulu yang available untuk akad dadakan kayaknya, Bis.”
“Iya sih,” sahut Bisma sembari terkekeh.
“Nikah tuh rasanya gimana, Bis?” tanya gue kemudian.
“Yang lo pikir gimana?”
“Nge-blank! Makanya gue nanya sama lo. Dulu tuh gue mikir kalau gue bakalan nikah after pacaran sekian lama. Meski ngga lama-lama banget, tapi ngga dadakan kayak gini juga, Bis.”
“Taunya, pacaran aja ngga pernah ya?”
“Pernah. Tapi bikin kapok.”
“Dulu kapok sekarang nyesal?”
“Sama Ayra? Ngga sama sekali. Palingan I have no clue aja harus mulai dari mana supaya Ayra bisa ngebuka hatinya buat gue. Ditambah, dengan posisi gue yang ngga tau apa-apa tentang keluarga Ayra, bikin gue makin bingung harus bersikap gimana ke dia. Bahkan gue ngerasa kalau Ayra juga sebenarnya ngga tau pasti kenapa dia bisa jalanin hidup yang ngenesnya kayak begini,” jawab gue panjang lebar.
“Iya sih.”
“Lo belum jawab pertanyaan gue, Bis. Nikah tuh rasanya gimana?”
“Karena gue dan Nina sama-sama cinta, ya gue sih asik-asik aja jalanin rumah tangga kami. Berantem pasti ada, apalagi gue dan Nina punya karakter yang beda banget. Nina orangnya spontan, sementara gue pemikir. Nina cenderung ngasal, sedangkan gue semua hal harus rapih. Nina frontal, sementara gue kalau mau ngomong kelamaan menimbang-nimbang. Cinta yang jadi jembatannya. Penyeimbang. Alasan untuk ngerubah dari adu debat jadi saling memahami. Gitu sih,” jelas Bisma.
“Gue bisa ngga ya?”
“Jangan nikah kalau ngga yakin lo bisa.”
“Kenapa?”
“Lo pernah ngga ribut sama orang yang lo benci?”
“Pernah.”
“Gimana rasanya?”
“Ngga enaklah.”
“Nah, ribut sama orang yang lo cintai, berlipat-lipat ngga enaknya, Ga. Asli! Apalagi, dicintai itu bikin nyaman. Kalau udah nyaman, namanya pengulangan akan sering terjadi. Bayangin saat lo harus berulang kali ribut sama Ayra nanti. Ngga akan lo jadi terbiasa. Yang ada, pelan-pelan lo dan Ayra saling menghancurkan. So, jangan menikah kalau lo ngga yakin bisa mencintai dia, dan dia bisa mencintai lo. Itu pendapat gue,” pungkas Ara.
***
Jantung gue degdegan parah saat suara SUV-nya Papi Ian masuk ke area villa. Tepat pukul satu siang waktu Ciwidey.
Gue melarikan diri sejenak, melipir ke kamar mandi, membasuh muka untuk menghilangkan rasa gugup. Saat gue dengar suara Papi Ian dan Om Edwin, gue gegas membuka pintu.
“Abang?”
Kok Ayra di depan pintu?
“Abang udah kok, Ay.”
“Ayra mau ngomong sebentar.”
Bukan degdegan lagi, kini jantung gue mencelos. Ya Allah, ada apa?
“Sekarang banget?”
“Iya.”
Gue mendengus keras. Gugup luar biasa. Perut gue bahkan sampai ngilu.
Tapi … gue ngga mungkin bilang ngga kan?
Akhirnya, gue mengangguk.
Ayra melangkah lebih dulu. Ngga jauh kok, hanya membawa gue keluar dari pintu samping villa yang berbatasan langsung dengan jalan setapak.
“Ada apa, Ay?”
“Abang ….”
“Ya?”
“Ayra dengar semua,” cicitnya.
“Dengar semua? Soal apa?”
“Yang Abang bicarakan dengan Mas Bisma.”
Jakun gue bergerak naik turun. Pikiran gue langsung memutar memori dini hari tadi. Apa ada hal salah yang terucap?
“Apa Abang yakin mau menikah dengan Ayra?” tanyanya kemudian.
“Yakin, Ay!”
“Gimana kalau Ayra ngga bisa mencintai Abang?”
Gue terdiam. Lekat gue tatap paras teduh perempuan di hadapan gue ini. Dia yang senyumnya begitu indah. Dia yang bahagia saat berkutat dengan handcraft. Dia yang nampak malu-malu saat gue bersikap lembut padanya. Gue tau ngga akan mudah hidup dengan orang yang ngga kita kenal sebelumnya. Tapi, itu ngga jadi alasan bagi gue untuk melepas dia.
“Ayra?”
“Abang ….”
“Aku boleh cium kening dan peluk kamu ngga? Sekarang?”
***
“Nak Arga, saya Irsyad – ayah Ayra.
“Jujur, seperti apa pun saya mencoba mencari tau alasan kejam apa yang membuatmu mau menikahi Ayra, saya tidak bisa menemukannya.
“Dan hati kecil saya sama sekali tidak menolak permintaanmu.
“Jika Ayra mau membuka hati, maka saya pun tidak keberatan merestui.
“Saya hanya berharap, kamu bisa mencintai putri saya. Dan putri saya pun bisa mencintaimu. Kalian berdua bisa saling menjaga hati, mencurahkan rasa hanya pada satu sama lain. Setia di setiap kondisi.
“Tapi, jika hidup dengannya begitu sulit … saya mohon, bertahanlah selama tiga tahun, Nak. Tunggu saya menjemputnya. Saya akan mengganti semua kerugian yang kamu alami.
“Saya titip Ayra, Nak Arga. Tolong perlakukan putri saya dengan baik.
“Terima kasih.”
Rekaman itu pungkas. Gue melepas earphone yang gue kenakan. Ayra mencengkeram lembut lengan gue, meminta gue menatapnya.
“Abang? Ayah bilang apa?”
“Aku sayang kamu, Ayra.”
“Ayah bilang gitu?”
Gue menggeleng pelan. “Aku sayang kamu. Aku mau kamu tau itu.”