Gue mengengadahkan telapak tangan kanan. Seolah tak berpikir, Ayra meletakkan jemarinya di sana. Jemari kami gue tautkan lalu membawanya melangkah.
“Jangan gugup, Ay.”
Ia hanya mengangguk tanpa kata.
Ya, tak akan ada yang curiga, siapa juga yang bisa mengenali Ayra dalam versi nerd seperti sekarang? Kecuali gue dan sepupu-sepupu gue mungkin.
Tiba di parkiran, gue mempersilahkannya masuk lebih dulu, sementara gue meletakkan cabin case-nya ke dalam bagasi. Setelahnya, gue menyisip ke balik kemudi, menyalakan mesin mobil, mengatur suhu udara, menggelapkan kaca agar tak tembus pandang dari luar, baru kemudian menatapnya.
“Are you ok?”
Ayra menggeleng. Wajahnya nampak mendung. Tapi, kami ngga sedekat itu sampai gue berani lancang menariknya ke dalam pelukan.
Yang gue ngga paham, kenapa langit seolah mampu bersimpati? Cakrawala mengabu, matahari yang tadinya memancarkan sinar lembut, kini justru sembunyi di balik awan gelap. Gelegar guntur menyapa bumi. Rintik hujan pun turun membasahi tanah.
“Arga?” panggilnya, sengau.
Kaca mata bulatnya ia lepas, lalu membalas tatapan gue. Air matanya kemudian menitik.
“Hmm?”
“Boleh … pinjam …” Ia terisak, ucapannya terhalang tangis. “Peluk.”
Tanpa menjawab, gue merengkuh kepalanya, menyandarkan wajahnya ke bahu gue. Ayra menangis keras, tak menutupi kesedihannya. Tubuhnya bergetar seolah akan hancur. Kedua tangan ini erat merengkuhnya. Air mata gue pun ngga sanggup gue tahan agar tak menetes. Kesedihannya … turut menyayat hati gue.
Hujan pun turun dengan derasnya, tak lagi berupa rintik-rintik seperti sebelumnya. Gue ngga memerhatikan waktu, memberi kesempatan bagi Ayra untuk berdamai dengan kekalutannya. Hingga … ia perlahan menarik diri.
“Baju lo … basah,” isaknya.
Gue meraih tissue, beberapa lembar gue letakkan di tangannya, sementara beberapa lembar lagi gue gunakan untuk mengeringkan wajahnya.
“Arga?”
“Apa Ay?”
“Baju lo. Kena … ingus.”
Malah ketawa kan gue. “Jorok lo, Ay!”
“Sorry.”
“Parah ini sih!”
“Sorry, Arga.”
“Canda, Ay. Santai. Ngga apa-apa kok. Tinggal cuci. Lagian, gue punya selusin kaos kayak gini.”
“Serius?”
“Iya.”
“Ada yang belum dipake?”
“Ada. Lo mau?”
“Lo mau ngasih gue?”
“Mau dong.”
“Iya, gue mau.”
“Tapi di Cambridge, Ay. Lo mau ikut gue?”
Ia terdiam. Posisinya ia luruskan kembali, tak lagi serong menghadap gue. “Lo kok di sini?” tanyanya kemudian.
“Di airport atau di Indonesia maksud lo?”
“Dua-duanya.”
“Di Jakarta karena lagi gantian libur. Summer break. Di airport karena habis ngasih barang ke teman. Bisnisan, Ay.”
“Oh.”
“Kalau lo?” Gue balik bertanya.
Ayra menoleh, menatap gue lagi dengan mata sedihnya.
“Maksud gue, lo mau ke mana sekarang? Biar gue antar.” Ngga tega banget gue mau nerusin tanya dia kenapa, kok bisa ada di sini dan apa yang bikin dia diincar preman?
“Gue boleh pinjam hape lo ngga, Ga?”
Tanpa berpikir panjang, gue menyerahkan ponsel gue ke tangannya setelah membuka kunci layar. Ayra mengambil pocket notes dari saku hoodie-nya, membuka halaman yang sudah ia tandai dengan lipatan.
“Kakak,” tangisnya begitu seseorang di tujuan mengangkat panggilannya.
“…”
“Iya, ini Ayra, Kak. Jangan bilang siapa-siapa ya, Kak? Please. Ayra mau bunuh diri aja kalau sampai Ibu tau Ayra nelpon Kakak.”
“…”
“Janji dulu ngga akan bilang Ibu?”
“…”
“Ayra bawa cutter. Kakak beneran janji kan?”
Gue menyipitkan mata, mengintip ke satu tangannya yang berada di saku depan pullover yang Ayra kenakan. Ia menggenggam sebuah … sh1t, Ayra ngga bercanda!
Tau banget gue apa yang dia pegang. Sekilas benda itu kayak pulpen, padahal ujungnya adalah pisau. Gue juga punya soalnya.
Apa yang terjadi dengannya?
“Kak Salsa di mana?”
“…”
“Uak ada di situ juga, Kak?”
“…”
“Ayra mau ke situ boleh, Kak?”
“…”
“Oke.”
“…”
“Makasih, Kak.”
Sudah. Percakapan via phone itu selesai. “Makasih, Ga,” ujarnya seraya menyodorkan ponsel gue. “Lo keberatan ngga kalau nganter gue?”
“Ngga, Ay. Mau ke mana?” tanggap gue.
“Villanya Uak Naura. Di Ciwidey.”
“Oh. Oke. Kita berangkat sekarang?”
Ia mengangguk.
Tangan gue melintasi tubuhnya, menarik sabuk pengaman untuk gue pasangkan. Ayra membeku, kedua tangannya jelas mengepal erat.
“Lo takut sama gue?” tanya gue otomatis.
Ayra diam saja, justru menunduk dalam. Sementara gue … mendengus keras.
“Lo udah makan Ay?”
Ia menggeleng.
“Kita makan dulu ya?”
“Ayo kita pergi, Arga. Please.”
Dia … panik.
“Oke. Nanti udah agak jauh, kita beli sarapan buat lo dulu. Ya?”
“Take away aja.”
“Iya.”
Tuas rem tangan gue turunkan, pedal gas gue injak perlahan. Sedan gue pun melaju pelan, meninggalkan preman-preman yang masih sibuk mencari Ayra dalam kebingungan.
***
“Abang!” panggil Ayra pada Om Andra begitu turun dari mobil.
Om Andra itu putra tunggalnya Oma Naura dan Opa Noah Bhadrika. Oma Naura ini anak tengah. Kakaknya adalah Oma Niken, ibunya Papi Ian. Lalu, adiknya adalah Oma Naomi yang menikah dengan Opa Edwin. Opa Edwin punya dua adik, Oma Eruna dan Opa Irsyad. Ayra ini putri tunggalnya Opa Irsyad. Bingung? Apalagi gue! Lingkaran keluarga dan kerabat gue tuh besar banget. Dan ngga selalu bertalian darah. Kayak kenapa gue bisa kenal sama Om Andra? Itu karena Om Andra satu geng sama Papa. Simple-nya begitu.
Begitu mendengar suara Ayra, Om Andra gegas menyambangi Ayra yang sudah berlari lebih dulu. Di titik temu, Om Andra memeluknya, sementara Ayra lagi-lagi menangis sendu. Tak ada kata yang Om Andra ucapkan, hanya tepukan-tepukan pelan di lengan Ayra yang perlahan membuat isaknya mereda.
“Ayra! Ayo masuk, Sayang!” Itu Oma Naomi. Ada Opa Edwin juga di sampingnya. Beliau berdua melambaikan tangan, meminta keponakannya segera mendekat.
Saat Ayra berlari lagi ke pelukan keduanya, gue menyalam takzim tangan Om Andra.
“Ketemu Ayra di mana Ga?” tanya beliau. Tumben banget nanya duluan.
“Di airport, Om. Habis ngasih pesanan ke teman.”
“I see. Laku banyak?”
“Lumayan, Om.”
“Terus? Lihat Ayra gitu aja?”
“Ayra dikejar-kejar preman, Om. Pas lagi berusaha menghindar, nabrak Arga.”
“Syukurnya kamu ingat sama Ayra, Ga.”
“Ingat kok, Om. Kan selama di Amsterdam, she’s totally nerd.”
“Masih naksir?”
“Mmm … Arga ngga disuruh masuk nih Om?”
Om Andra terkekeh. Ia lalu merangkul gue, membawa gue melangkah bersamanya untuk bergabung dengan The Syahdan’s – nama keluarganya para Oma – yang tengah berkumpul bersama di akhir pekan ini.
And … you know what, satu jam gue duduk bersama mereka, kuping gue panas, jantung gue jedag-jedug, kepala gue ngebul, dan susah payah gue menahan makian agar tak terlontar. Bukan untuk Aira, namun untuk ibu dan mantan pacar biadabnya!
“Astaghfirullah,” lirih Oma Naomi, air matanya terus saja berderai sedaritadi.
“Tolong Ayra, Wak. Ayra harus ke mana lagi?” pinta Ayra, memohon sangat.
“Pantas saja daritadi si Seina nelponin kamu Mas!” ujar Oma pada Opa Edwin.
Suaminya itu mengusap gusar wajahnya.
Kasihan banget Ayra. Ibunya sinting, ayahnya ngga bisa dijadikan sandaran. Lagian ayahnya ke mana dah?
“Ibumu pasti datang kalau tau kamu bersama kami, Nak.”
“Tapi kan Ayra sudah dewasa, Opa. Ayra berhak menentukan mau hidup dengan siapa,” ujar gue. Ngga sabar banget pengen ngomong dari tadi.
“Ngga segampang itu, Ga. Ini Indonesia. Lagipula, ibunya Ayra ngga akan membiarkan Ayra tetap di sini. Dia pasti melakukan segala cara untuk membawa Ayra agar segera menikahi Prasid. Dan saya kenal siapa Prasid, dia seorang investor yang kejam dan culas!”
“Wak, tolongin Ayra,” tangis Ayra lagi.
Semua terdiam. Aunty Sherly dan Aunty Salsa – kedua putri Oma Naomi – memeluk Ayra erat. Sementara yang lainnya, termasuk Papi Ian dan Mami Meta terlihat pusing memikirkan solusi.
“Cuma ada satu cara,” ujar Papi Ian. “Ayra harus memiliki wali yang sah, yang membuat Tante Seina dan Prasid ngga mungkin membawanya paksa.”
“Maksud kamu, Yan?” tanya Opa Edwin.
“Ayra harus menikah, Om.”
Gue auto melotot dong. Eh buset! Gue jauh-jauh dari Halim ke Ciwidey cuma buat lihat gebetan gue disuruh kawin? Gitu maksudnya?
“Maksud kamu, kita harus gerak cepat nyariin Ayra jodoh? Dia aja baru dikhianatin, Yan. Itu luka hatinya masih basah, masa mau kita umpanin sama cowok lain?” Opa Edwin nampak kesal dengan usulan itu.
Gue pun mengangguk-angguk!
Woy, gue baru mau pedekate ini. Dih, mengsedih amat sih gue! Setelah jadi sad boy saat tau dia udah serius dengan seorang cowok, setelah setahun ngga tau kabarnya, terus sekalinya ketemu masa segini doang cerita cinta gue? Amsyong amat!
“Ya kita cari cowok yang baik, Om. Kita ceritakan posisi Ayra. Yang mau ngasih kesempatan Ayra menyembuhkan luka hatinya sebelum menjalani pernikahan dalam arti sesungguhnya.”
“Kamu pikir semua cowok kayak kamu?” sambat Mami Meta ke Papi Ian.
“Ada jalan keluar yang lebih baik kah, Sayang? Secara hukum hanya itu yang bisa kita lakukan untuk melindungi Ayra setidaknya sampai ayahnya Ayra keluar dari penjara.”
Gue … auto menganga.
What a life, Ayra!
Ayra menatap gue, sementara gue menutup mulut, lalu menelan saliva gue sendiri yang tiba-tiba terasa getir. Kenapa hidupnya bisa sekacau itu?
“Kamu kenal cowok yang kayak gitu?” tanya Mami Meta. “Minimal sebaik dan setulus kamu, Yan. Ada?”
Lalu … tangisan Ayra mengisi ruang kembali.
“Ay …” lirih gue.
“Ayra harus gimana? Ayra ngga mau pulang. Ayra mau ikut Ayah aja. Ayra harus ke mana? Kalaupun Ayra mau menikah dengan cowok lain … yang baik seperti kata Kak Meta, ngga akan ada yang mau menikahi putri dari seorang pembunuh,” ujarnya sembari terisak.
"Aku! Aku bersedia menikahimu. Ayo kita menikah, Ayra?"
Ya Allah!
Itu … itu suara gue kan?