Chapter 1

2914 Kata
[Kamu jangan melakukan hal yang aneh-aneh, Kayla. Aku akan segera menemuimu. Kirimkan lokasimu kepadaku sekarang juga!] Dan di sinilah Kayla berada, di bar hotel yang dia pesan atas namanya sembari menunggu Allisa datang. Yeah, perempuan itu memutuskan untuk datang ke sini dari Nice. Kayla tidak bisa mencegahnya, karena sepertinya Allisa khawatir jika Kayla akan menceburkan dirinya ke Ngarai Verdon yang tadi dia tempati. Allisa pasti cemas. Terdengar dari nada suaranya yang mendadak sulit bernapas. Memikirkan itu membuat Kayla tersenyum. Ada orang yang bisa dia andalkan dan orang itu benar-benar mencintainya. Kayla dan Allisa sudah bersahabat sejak keduanya berada di bangku SMA. Sampai detik ini. Sampai Kayla menjadi seorang istri dari pewaris kaya dan Allisa yang berhasil mencapai mimpinya sebagai dokter di rumah sakit Nice, kota impiannya sejak dulu. Dapat dikatakan mereka bersahabat semenjak masa-masa sekolah menghantui sampai keduanya sukses dengan mimpinya masing-masing. Yeah, Kayla memang bermimpi menjadi istri dari pewaris kaya, agar kehidupannya menjadi lebih santai. Terlahir dari keluarga biasa-biasa saja membuatnya memimpikan hal itu, hingga akhirnya dia menjadi istri Ryan Ganendra dan menjadi menantu perempuan satu-satunya di keluarga Ganendra. Sedangkan Allisa, kehidupannya dulu berbeda dengan Kayla. Allisa memang sudah hidup bergelimangan harta sejak kecil, dan fakta itu membuatnya bermimpi menjadi seorang dokter yang bekerja keras dan tanpa koneksi orangtuanya. Akan tetapi, memikirkan mimpinya, Kayla sontak terdiam. Apakah mungkin menjadi istri dari pewaris kaya akan terus menemaninya hingga kematiannya tiba? Ataukah hal itu akan berakhir di ulang tahun pernikahannya yang kelima ini? Kayla tidak bisa memikirkan itu. Dia mencintai Ryan, dan hartanya bukanlah tujuannya saat ini. "Madame, ini pesanan anda." Kayla menolehkan kepalanya sejenak dan menatap bartender yang baru saja menyajikannya segelas minuman yang tidak dia pesan. "Aku tidak memesan ini," jelas Kayla dalam bahasa Perancisnya yang lancar. "Saya tahu, Madame, tapi tuan di sana yang memesankannya untuk anda." Kayla mengerutkan keningnya, kemudian dia menoleh ke arah yang ditunjuk si bartender dan melihat seorang pria tampan yang berusaha menggodanya. Kayla mengembuskan napasnya, lalu mendorong gelas itu kepada bartender. "Aku tidak minum alkohol," bohongnya. "Berikan aku lemon tea." Meskipun Kayla ingin sekali mabuk untuk meredakan amarah di hatinya, tapi dia tidak bisa melakukannya di sini karena khawatir dia akan mabuk dan membuat masalah dengan orang lain. Jadi, Kayla mencari yang aman-aman saja. Dia akan mabuk jika Allisa sudah tiba di sini. "Madame, ini lemon tea anda." "Merci," jawab Kayla, lalu menyeruput minuman itu dan membiarkan rasa asam yang segar melintas di tenggorokannya. Lemon memang selalu menjadi pilihannya. Dimanapun, kapanpun dan dalam kondisi apa pun, lemon akan selalu menjadi pilihannya untuk hati yang terkadang bahagia maupun duka. "Maaf aku terlambat, kamu bisa pergi sekarang." Mendengar suara pria maskulin membuat Kayla menolehkan kepalanya kepada pria itu yang sedang berbincang dengan bartender tadi. "Aku pikir kamu tidak akan datang," ucap bartender yang tadi. "Tadi macet sekali, ada kecelakaan di jalan, jadi aku menolongnya." "Baik-baik, aku pulang dulu. Malam ini pengunjungnya tidak terlalu ramai, jadi kamu tidak akan kewalahan." "Oke, pulanglah dengan selamat." Melihat interaksi kedua orang itu, membuat Kayla melamun. Tatapannya bahkan tidak teralih dari pria itu. Seolah ia pernah melihatnya, tapi lupa di mana. Wajahnya tidak asing, begitu juga dengan suaranya. "Madame, ada yang bisa saya bantu?" tanya bartender baru itu dengan wajah ramahnya, seolah tidak terganggu dengan pandangan yang Kayla berikan. "Tidak ada," jawabnya kemudian, mengabaikan bartender itu dan kembali menyeruput minumannya. Drt... Ponselnya berdering. Kayla melihat nama yang tertera di sana, Ryan. Suaminya itu menghubunginya setelah beberapa jam lamanya. Dia pun mengangkat sudut bibirnya. "Seolah aku bukan istrinya, dia menelponku di jam segini. Dasar..." Tepat saat itu juga, dia mendapatkan pesan dari Allisa. [Kayla, maaf. Sepertinya aku tidak bisa menemuimu sekarang.] Kayla mengerutkan keningnya. Lalu dia mulai menghubungi Allisa dan menanyakan alasannya. "Terjadi sesuatu?" tanya Kayla. "Mobil yang kutumpangi kecelakaan, saat ini aku ada di rumah sakit." "Oh astaga," seru Kayla, sedikit berteriak yang membuat semua orang menoleh ke arahnya. "Kamu baik-baik saja? Aku akan ke sana---" "Jangan, Kay. Aku tidak apa-apa, hanya sedikit luka, tapi aku harus ada di sini untuk bertanggung jawab kepada korban. Besok, setelah urusanku selesai, aku akan menemuimu. Oke?" "Allisa..." "I am fine, Kayla. Maaf tidak bisa menepati janjiku. Maaf, Kay..." "It's okay, aku hanya lega kamu tidak apa-apa. Baiklah, jaga dirimu dan gunakan waktumu sebaik mungkin. Love you..." Setelahnya Kayla memutuskan panggilannya dan benar-benar menyadari bahwa dia akan sendiri. Ternyata, Tuhan mulai memberikan keajaibannya bahwa dia diperkenankan untuk menghabiskan waktunya sendiri. "Bisa aku pesan minuman alkohol? Yang paling keras," pinta Kayla akhirnya. Pria bartender itu menatapnya intens. "Saya bisa menyajikan vodka untuk anda, tapi anda akan kesulitan ke kamar anda nantinya." "Aku tahu-" perkataan Kayla terhenti karena menyadari bahwa pria bartender itu membalas perkataannya menggunakan bahasa Indonesia. "Kamu orang Indonesia?" "Bukan, hanya memiliki darah Indonesia." Entah mengapa Kayla bahagia mendengarnya. Sepertinya pria bartender ini mendengarkan pembicaraannya yang menggunakan bahasa Indonesia. "Apa kamu bekerja di sini?" tanya Kayla basa-basi. "Tidak," jawab pria bartender itu sambil mengelap gelas-gelasnya. "Lalu?" "Hanya sedikit mengisi waktu liburan di sini dari kehidupan yang melelahkan," jawabnya santai. Kayla pun menganggukkan kepalanya setuju. "Yah, kamu harus berlibur selagi muda. Jika sudah memiliki keluarga sendiri kelak, liburan rasanya hanya sebuah pelarian." Terdengar menyindiri dirinya sendiri. Kayla mengembuskan napasnya, lalu melihat jam di ponselnya. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. Jika di Indonesia, ini sudah waktunya tertidur lelap sebelum akhirnya di pagi hari memulai aktivitasnya sebagai seorang istri dan menantu. Sekarang, dia akan sedikit bebas. Jauh dari Paris dan suaminya, hanya bermodalkan kartu ATM miliknya yang sudah dia isi dengan uang Ryan di Paris. Dia tidak ingin menggunakan ATM atas nama Ryan, itu bisa membuatnya ditemukan. Tapi ... Kayla yakin Ryan sudah tahu dia di mana. Karena bodohnya, Kayla masih menggunakan ponselnya. Itu baru dia sadari sejak dirinya memesan kamar hotel untuk beberapa hari ke depan. "Daripada minuman beralkohol yang keras, sebaiknya anda minum ini untuk menenangkan pikiran." Tiba-tiba saja pria bartender itu memberikannya segelas minuman bewarna kuning yang tidak Kayla tahu apa itu. "Ini sidecar, koktail." Kayla melihat segelas sidecar itu dan tampak menggiurkan dengan warna yang kuning dan lemon di atasnya. "Sepertinya anda penggemar rasa asam, dan saya pikir minuman ini akan cocok untuk anda." Karena merasa tergiur parah, Kayla mengambil gelas koktail itu dan menempelkan bibirnya di pinggiran gelas dan merasakan sensasi asam dan manis yang seimbang. Ini menyegarkan, lebih dari lemon tea kesukaannya. "Apa kamu yang membuatnya?" tanya Kayla. Pria bartender itu hanya tersenyum dan mengatakan, "Nikmatilah." Kemudian dia beralih melayani pelanggan yang lainnya. "Sepertinya kau sendirian." Saat pria bartender itu pergi ke pelanggan lainnya, Kayla mendengar suara pria yang muncul di sampingnya. Itu pria yang tadi memesankannya minuman. Cukup tampan, tapi Kayla tidak suka bule. "Apa kau tidak suka minuman yang aku pesankan?" tanya pria itu percaya diri. Kayla mengembuskan napasnya. "Siapa yang tahu di dalamnya ada apa," jawabnya menggunakan bahasa Perancis. "Sepertinya pikiranmu terlalu liar, manis," balas pria itu, berusaha mendekatinya, bahkan menyentuhnya. Kayla berusaha untuk menjauh, tapi tangan pria itu dengan nakalnya sudah berada di pahanya. Itu berhasil membuatnya risih dan dilecehkan. Selama menjadi istri dari Ryan, tidak ada pria yang berani melecehkannya seperti ini. "s**t!" Pria itu berteriak seketika. Penyebabnya adalah minuman yang tumpah ke arahnya dan Kayla menolehkan kepalanya, melihat bahwa pembuat onar itu adalah pria bartender tadi yang tiba-tiba sudah berada di depan mereka. "Maaf, Monsieur," ucap pria bartender itu. Kayla yang melihatnya hanya bisa mengangkat sudut bibirnya dan merasa puas akan hal itu. Kemudian dia menatap pria nakal itu sembari berusaha memperlihatkan cincin kawinnya. "Maaf, Monsieur, aku harus ke kamar. Suamiku sedang menunggu." ?? Pagi harinya, Kayla dikejutkan dengan kedatangan Ryan di kamarnya. Pria itu tiba-tiba saja sudah duduk di sofa kamarnya dan menunjukkan gaya berkelasnya yang mulai benci dia lihat. "Apa aku harus disambut dengan kekesalanmu itu setelah menghabiskan waktu berjam-jam kemari, Nona Ganendra?" "Aku tidak memintamu untuk kemari," balas Kayla kasar, lalu turun dari ranjangnya dan berlalu ke kamar mandi. Dia mengabaikan Ryan, menggunakan pakaiannya dan keluar dari kamar tanpa berbicara lagi dengannya. "Kayla, ada apa denganmu?" henti Ryan sambil mencekal pergelangan tangannya. "Apa aku membuat kesalahan? Kamu tiba-tiba menghilang satu jam sebelum perayaan anniversary pernikahan kita." "Apa kamu masih belum tahu kesalahanmu apa?" tatap Kayla tajam, lalu menghentakkan tangannya dan berjalan cepat di sekitar koridor hotel menuju restoran. Dia harus sarapan, mengisi tenaganya untuk melawan Ryan. Dengan perasaan marahnya, Kayla berjalan mengambil sarapannya dan duduk di meja yang berada di sudut ruangan sendiri. Namun, kesendiriannya itu tidak bertahan lama karena Ryan tiba-tiba saja duduk di hadapannya seraya membawa sepiring roti isi. "Kayla, aku benar-benar tidak tahu apa kesalahanku." Sudut bibir Kayla terangkat, matanya mengernyit, menatap Ryan dengan jijik. "Kamu menjijikkan, Ryan." Ryan terlihat terkejut karena perkataan Kayla itu. Dia bahkan mengernyitkan keningnya bingung dan berkata, "Apa katamu? Aku menjijikkan?" "Iya, kamu menjijikkan. Sangat menjijikkan." Ryan melihat sekitar lebih dulu, lalu memajukan dirinya kepada Kayla. "Sebenarnya ada apa denganmu? Kalau ada masalah, tolong katakan apa masalahnya kepadaku. Jangan---" "Melihatmu ada di sini benar-benar menghancurkan mood-ku." Kayla kesal. Dia akhirnya memutuskan untuk berdiri dan tidak akan sarapan. Karena mood-nya benar-benar rusak karena Ryan. Saat dia berdiri, Ryan langsung mencegahnya. "Duduk, Kayla. Bicarakan semuanya baik-baik denganku." "Kenapa aku harus?!" teriak Kayla akhirnya. Dia benar-benar tidak bisa menahan amarah yang ditahannya karena seorang Ryan. Tangannya yang tadi dicekal Ryan pun dia hentakkan, membuat seluruh pasang mata memandang aneh kepada mereka. Tidak peduli dengan itu semua, Kayla berjalan meninggalkan Ryan dengan air mata yang menetes. Dia harus buru-buru pergi, karena dia tidak ingin terlihat lemah di hadapan Ryan. "Kayla Ganendra!" panggil Ryan tiba-tiba. Membuat langkah Kayla sontak berhenti. Dia merasa bodoh. Ryan akan mendatanginya, tapi air matanya terus menetes karena perih yang hatinya derita. Semalaman dirinya menangis memikirkan situasinya dan sekarang dia harus merasakan sakit yang teramat lagi dari Ryan karena mengunjunginya. "Anda menangis?" Kayla mendongakkan kepalanya. Dia melihat pria bartender yang sebelumnya. Kali ini pakaian yang dia gunakan adalah pakaian biasa, tapi menunjukkan gaya kasualnya yang mewah. Seperti gaya Ryan saat mereka sedang berkencan ke luar. Kayla menggigit bibirnya. Suara langkah Ryan semakin mendekat. "Tolong bawa aku pergi dari sini," bisiknya pelan. Sangat pelan, sampai pria bartender itu harus memikirkan dua kali apakah itu kalimat yang benar dia dengarkan. "Kenapa saya harus?" tanya pria bartender itu. Membuat Kayla kehilangan harapannya. "Dia suami anda, kan?" "Dia memang suamiku," jawab Kayla cepat. "Tapi aku benar-benar tidak ingin menemuinya. Dia menjijikkan dan membuatku tersakiti. Aku mohon, bawa aku pergi. Kemanapun, ke tempat yang tidak bisa dia temukan. Aku mohon..." Kayla seorang hilang harapan. Jika dia pergi sendiri, dia tidak akan tahu kemana dia akan pergi. Ponselnya ada di kamar hotel dan dia tidak mungkin kembali ke sana. Satu-satunya yang bisa dia minta tolongkan adalah pria bartender ini yang pasti mengenal kota ini dengan baik. "Tapi saya tidak punya hak untuk membawa anda pergi, Madame." "Aku mohon, akan kuberikan apa pun untukmu. Uang, barang mewah, akan kuberikan, tapi aku mohon bawa aku pergi dari tempat ini sekarang juga." Pria itu cukup lama berpikir dan suara langkah Ryan semakin dekat. Kayla terus merasa gugup. Jika dia tidak pergi sekarang, maka Ryan akan menyadari wajahnya yang penuh tangisan. Akhirnya, tanpa menunggu bantuan yang tidak akan diberikan pria bartender itu, Kayla melangkahkan dirinya keluar dari restoran. Tapi Ryan dengan cepat mencegatnya. Pria itu berhasil menggapai tangannya dan membuat tubuh Kayla berputar dalam sekali ke arah Ryan. Wajah Kayla yang menangis, Ryan melihatnya. Suaminya itu tampak terkejut dan Kayla sudah kehilangan mukanya sekarang ini. "Kayla..." Kayla melepaskan paksa tangannya dari cekalan Ryan, lalu menampar wajah pria yang dicintainya dengan sangat keras. Pipi kiri Ryan memerah, tapi itu tidak seberapa dengan sakit yang Kayla terima. "Ada apa denganmu?" Ryan kembali bertanya. "Aku benar-benar tidak tahan dengan sikapmu ini. Kayla, aku bukan cenayang yang bisa mengetahui kesalahan yang kuperbuat. Tolong katakan apa kesalahanku, supaya aku bisa paham." Kayla tidak tahan lagi. Dia akhirnya menampar Ryan lagi dan bisa dilihat bagaimana wajah Ryan membara seperti api, seolah ingin memarahinya. "Kamu berselingkuh, itu kesalahanmu!" seru Kayla, masih dengan tangisannya. Dia akhirnya bisa mengatakan itu dan kini, dia melihat wajah Ryan yang terkejut akan pernyataannya. Lima tahun lamanya Kayla menjalani pernikahan dengan Ryan, dan dari raut wajah yang Ryan berikan, Kayla bisa tahu bahwa perselingkuhan itu benar adanya. Itu membunuhnya. "Saya tahu harus membawa anda kemana." Tepat saat Kayla hampir putus asa karena menerima fakta perselingkuhan Ryan, pria bartender itu langsung menghampirinya dan memegang tangannya. "Anda ingin pergi, kan?" Kayla menatap pria itu dari jarak yang super dekat. Jika ditelusuri baik-baik, wajahnya tidak terlihat dia memiliki darah eropa. Wajahnya benar-benar asia, begitu juga perawakannya. Yang membuatnya tidak terlalu mencolok keasiannya adalah karena rambut blonde-nya dan beberapa kumis tipis di sekitar dagu serta wajahnya. "Kamu siapa?" Saat pria bertender itu akan membawa Kayla pergi, Ryan langsung menahan tangannya yang kosong dan menatapnya tajam. "Tolong jangan ikut campur ke dalam masalah rumah tangga orang lain." "Istri anda meminta tolong kepada saya, jadi saya harus membantunya. Dan ngomong-ngomong, nama saya adalah Ethan, jadi biarkan saya ikut campur karena anda sudah mengenal saya." Pria bartender bernama Ethan itu segera melepaskan tatapan kesal di mata Ryan. Tidak hanya itu, dia bahkan langsung membawa Kayla pergi dan membuat Kayla tercengang akan keberaniannya. Dia pikir pria bartender bernama Ethan itu tidak akan menolongnya. "Sekarang haruskah saya membawamu ke Verdon Gorge?" Ethan menghentikan langkahnya dan menanyakannya perihal lokasi yang mungkin akan mereka datangi. Ethan tidak tahu bahwa Kayla sudah ke sana kemarin. Dia sudah cukup menangis di sana dan berada di sana hanya akan membuatnya semakin tersiksa. "Tidak, temani saja aku ke tempat lain. Apa di sini memiliki tempat yang memanjakan mata?" Ethan tersenyum dan berkata, "Tentu saja ada." Kemudian mereka memutuskan untuk pergi dari hotel menggunakan taksi yang memang ada di sekitar hotel. Selama di dalam taksi, keduanya tidak banyak berbincang. Itu hal yang wajar bagi dua orang yang baru saja mengenal. Sampai akhirnya Ethan bersuara. "Sebenarnya akan lebih bagus jika kita berjalan kaki di sini. Suasananya lebih menggoda." "Benarkah?" Ethan menganggukkan kepalanya. "Ini sungguh berbeda dengan Indonesia, jadi suasananya akan semakin nyaman dengan berjalan kaki dan menikmati perbedaan itu." Berbicara tentang Indonesia, Kayla jadi mengingat satu hal. Dia kemudian mulai bertanya, "Kamu berarti bukan WNI?" tanyanya untuk memastikan. Ethan menganggukkan kepalanya. "Orangtua saya Indonesia asli, tapi mereka berdua akhirnya memutuskan untuk menjadi orang Perancis. Bukan karena mereka tidak cinta Indonesia. Mereka suka Indonesia, bahkan berharap bisa menetap di sana, tapi mereka tidak bisa melakukannya. Itu hanya akan membawa kenangan yang buruk." Mungkin cerita yang Ethan utarakan terdengar tidak biasa. Kayla jadi penasaran tentang lain hal yang mungkin Ethan berikan, tapi mengingat mereka baru saja bertemu, rasanya tidak etis untuk itu. "Anda ke sini untuk honeymoon?" Tiba-tiba saja Ethan menanyakan hal itu. "Apa aku terlihat seperti itu? Ngomong-ngomong, bicara santai saja. Aku tidak suka merasa canggung." "Oke," balas Ethan cepat tanpa memikirkan lain hal. "Suamimu ... dia terlihat aneh." Kayla mengerutkan keningnya. "Aneh?" "Dia diam saja membiarkan istrinya dibawa pergi oleh seorang pria yang tidak dikenalinya sama sekali. Seolah tidak khawatir akan terjadi sesuatu dengannya. Apa kalian benar-benar suami istri?" ??? Perkataan Ethan masih terngiang di telinganya. Selama perjalanan menuju lokasi yang tidak dia ketahui, Kayla terus saja memikirkan semua itu. Perkataan Ethan seolah membenarkan semuanya. Ryan tidak berusaha menahannya untuk pergi, bahkan tidak mengejarnya sampai sekarang. Apakah Ryan benar akan bersikap seperti apa yang Ethan ucapkan? "Hanya ini satu-satunya tempat yang kupikirkan. Tenangkan pikiranmu, aku akan membeli sesuatu dulu." Tempat yang dimaksud Ethan adalah sebuah kafe yang terletak di tepi sungai di Desa kecil yang menawan bernama Moustiers-Sainte-Marie. Kafe tersebut bergaya klasik dengan pepohonan hijau yang menjulang tinggi. Suara burung yang saling bertautan menjadikan suasana menjadi lebih tenang. Pamandangan di sini sangat menakjubkan, hanya saja Kayla merasakan kedinginan karena tidak ada mantel hangat yang melapisi tubuhnya. Rasa dingin itu berhasil membekukan Kayla dalam sekejap. Perasaannya yang sudah beku sejak kemarin, kini perlahan menjadi tak terbendungkan. Rasa dingin musim gugur di Perancis benar-benar membunuhnya. "Maaf membuatmu menunggu." Kayla mendongakkan kepalanya dan melihat Ethan tiba dengan mantel yang dia gunakan dan tangan yang membawa sebuah tas belanjaan. "Untukmu." "Ini apa?" tanya Kayla sambil tas belanjaan itu dan membuka isinya. Ada mantel bewarna cokelat yang sangat hangat di sana. "Musim gugur di Perancis dinginnya tidak main-main. Pakailah. Meskipun kamu sedih, tidak menarik rasanya jika mati karena kedinginan." Kayla tersenyum. "Akan kuganti saat kita kembali ke hotel." Ethan tidak menjawab, pria itu mengabaikannya dengan memanggil seorang pelayan dan meminta dua gelas lemon tea yang hangat. Sedangkan Kayla sibuk dengan mantel yang Ethan berikan dan mengenakannya dengan nyaman. Ini pas sekali di tubuhnya. Dia mengagumi Ethan yang pandai membeli mantel ini. "Ini..." Saat Kayla sudah mengenakan mantelnya, Ethan memberikannya sebuah ponsel. "Aku meminta temanku untuk mengambilnya dari kamarmu. Kamu membutuhkannya. Dan juga ini." Sebuah dompet. Ethan memberikannya ponsel dan dompetnya yang berharga. Dia benar-benar berterimakasih kepadanya. "Terima kasih, sekarang berikan rekeningmu. Akan kuganti-" "Aku ada telepon, nikmati waktumu selagi minumanmu disajikan." Ethan langsung pergi dari tempatnya, sedangkan Kayla hanya memandangnya dengan diam. Dia tidak tahu pria asing seperti Ethan akan seperhatian ini kepadanya yang baru dia kenal. Tapi selain itu, Kayla sangat berterimakasih kepadanya. Drt... Saat itu juga ponsel Kayla berdering. Dia segera membukanya dan anehnya tidak ada satupun panggilan atau pesan dari Ryan. Itu pun membuat Kayla terdiam beberapa saat, sampai akhirnya dia menerima sebuah pesan dari nomor tidak dikenal. Dan alangkah terkejutnya Kayla saat dia membaca pesan itu. Pesan yang baru dikirim beberapa detik itu memperlihatkan Ryan sedang memegang sebuah pisau dan memotong paprika. [Ryan sangat pandai membuat spaghetti. Itu menu kesukaanku.] Rasanya hati Kayla tercabik-cabik membaca itu. karena faktanya, selama lima tahun dia menikah dengan Ryan, suaminya itu tidak pernah terlihat memegang pisau atau bahkan memasakkannya sesuatu!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN