Aku pernah membayangkan yang terburuk dan aku siap dengan itu; saat kita akhirnya bersua.
.
.
Empat tahun Tania tidak ingin pulang ke Tanah Air, tetapi mau tidak mau setelah habis masa itu Tania tetap harus pulang.
Harus.
Empat tahun pula Tania menolak segala kabar yang menyapa telinganya bila itu tentang keluarga, selain soal papa yang jatuh sakit dan Tania hanya bisa ber-video call saja. Menangis di sana. Meminta maaf kepada papa dan mama sebab Tania menolak kembali. Setidaknya, untuk saat itu. Pun, menolak membicarakan soal mantan suami atau kakaknya sendiri.
Tania hidup seperti itu selama di luar negeri, juga dengan tidak mengizinkan mereka datang sekadar mengunjungi. Tania memohon, meminta pengertian, bahwasanya dia butuh 'menata hati' di sini.
Yang penting, kan, tidak sendiri. Pak Marteen menyusulnya dan menjadi 'jembatan' kabar tentang Tania kepada orang tua, juga sebaliknya. Namun, Tania memilah kabar mana saja yang ingin dan tak ingin didengarnya.
Hanya tentang kesehatan mama dan papa. Namun, rupanya Pak Marteen—yang merupakan putra dari sobat papa sekaligus pemilik agensi di mana Tania bernaung—bahkan menyembunyikan kabar tentang itu. Tentang papa Tania yang sering keluar-masuk rumah sakit.
Tentu saja Tania murka begitu mengetahuinya, tetapi alasan beliau cukup bisa diterima. Mengingat selama di luar negeri, hidup Tania bahkan dekat dengan kata hancur. Berkali-kali nyaris keguguran, tetapi ternyata janin di dalam kandungan Tania begitu kuat sehingga bertahan di kondisi terburuk ibunya.
Begitu bayi tersebut lahir, Tania terserang baby blues. Pernah hendak mengakhiri hidup ... saat-saat merasa tak sanggup melihat wajah bayi mungilnya.
Lama seperti itu.
Pak Marteen menjadi saksi.
Namun, saat ini ... bagaimana bisa beliau menawarkan sebuah naskah film romantis dengan Mars sebagai lawan mainnya, sedang Pak Marteen tahu betapa Tania terluka oleh pria itu?
"Aku nggak mau membintangi film itu."
Kembali Tania katakan apa yang sempat diucapkannya di telepon, kini Pak Marteen telah datang ke kediaman Tania yang beliau siapkan.
"Tapi kamu sudah menandatangani kontraknya, Tania."
"Batalkan." Toh, kontrak itu dibuat saat dirinya tak sadar. Katakanlah demikian, kecerobohannya.
"Dengan denda yang seabrek itu, kamu yakin?"
"Itu film romansa dewasa, Sir."
"Ya, lalu? Sebelum ini pun kamu biasa ngambil film-film tema percintaan. Usiamu juga memadai untuk ratingnya."
"Oke. Tapi lawan mainku apa bisa diganti? Jangan Mars ...." Tersimpan nada getir di kalimat akhir yang Tania tekankan.
"Kamu tau dia asetnya, kan? Jadi, mana mungkin." Seolah buta akan kesakitan Tania dulu, Pak Marteen bicara begitu.
Sontak sorot mata Tania membara, tak peduli siapa yang tengah dihadapinya.
"Terus ... menurutmu, apa aku bisa akting cinta dan semua adegan sialan itu sama mantan suami yang kubenci, hah?"
Bisa gila.
Gemuruh di d**a Tania tak bertepi. Ombaknya kencang menghantam batu karang. Terasa debar yang penuh emosi.
Mereka bertatapan.
"Katamu sudah move on." Pak Marteen malah bilang begitu.
"Bapak meragukannya?" Dan Tania menekan kekesalan yang sudah mencapai ubun-ubun.
"Buktikan, Tania. Bukan ragu, tapi bertemu dan bermain peran dengannya, kamu harus baik-baik saja. Harus biasa-biasa saja. Nggak peduli seberapa dalam lukamu darinya, kamu harus debut dengan keren di depannya."
"Persetan ...," lirih Tania.
"Beri tahu dia ...." Pak Marteen mendekat, memegang dua bahu Tania dan bicara pelan. "Beri tahu bagaimana kamu yang sekarang, yang sudah ditempa habis olehnya, lalu kembalikan itu. Kembalikan beban yang menempamu kepadanya." Bahu Tania diremas. "Bukannya kamu yang dulu pengin banget lihat dia merasakan luka yang sama?"
Tangan Tania mengepal, sorotannya runcing. Pak Marteen melepas cekalan di bahu mantan istri dari bintang papan atasnya itu.
"Saya sedang memberi jalan. Dari yang saya tahu, sepertinya dia menunggumu pulang ... setelah berkali-kali gagal menemukanmu. By the way, kamu paham, kan?"
Tania mendengkus, membuang tatapan. Eh, dilihatnya sang putri tengah mengintip di balik pintu dengan mata berkaca-kaca.
Astaga.
"Sayang, sudah bangun?"
Cely lalu diraih, digendong maminya. Bocah itu lantas memeluk Tania sambil bilang, "Jangan malah-malah ... Cely takut, Mami."
Tania usap-usap punggung buah hatinya. Ya ampun! Dia kecup-kecup.
"Maaf, ya?"
Cely mengeratkan dekapannya di gendongan sang mami, respons lain dari mengangguk.
"Ngomong-ngomong, jadi mau pulang ke rumah orang tuamu besok, Tan?"
***
Tania sudah pulang?
Tania ....
Tania Maira Daneswara sudah di Indo?
Atau masih di tempat nun jauh yang selama empat tahun mencari, Mars tidak menemukan gerangan?
Namun, dari sebuah nama di berkas film baru yang sudah Mars tanda tangani itu, ada nama Tania Maira Daneswara. Tertanggal film ini launching kiranya masih beberapa bulan lagi, tetapi meeting para tokoh dan yang terlibat tentu tak akan lama dari hari-hari mendatang. Yang itu berarti ... Tania—akan—ada di Indo saat itu tiba nanti.
Membaca silabel namanya d**a Mars menggemuruh kencang.
Tania ....
Dia ulang-ulang dalam bisikan hatinya.
Sorot mata Mars pun lekat di rangkaian huruf itu.
Maira ....
Yang Mars tahu, masih istrinya. Bukan begitu?
Sekali pun talak satu telah dijatuhkan, apa masih berlaku saat ternyata ada darah daging Mars yang tumbuh di rahim wanita itu? Surat cerai pun apik tidak tersentuh Tania dan kini telah menjadi abu. Hanya memang nafkahnya tak sampai kepada wanita itu.
Namun, ada hal yang membuat Mars masih merasa celetukan cerainya telah batal. Dan itu berarti seperti yang Mars bilang barusan bahwa Tania masih istrinya.
Astaga.
Mars tertawa.
Berdebar-debar dadanya.
Empat tahun yang berlalu sudah banyak menggores cerita, yang sedang dibahas sekarang adalah masa kini. Masa di mana Mars kembali menapaki apartemen di mana dirinya menemukan sebuah kado kecil di laci bufet.
Tak sabar, Mars gemas menunggu hari pertemuan itu tiba. Namun, sekarang Mars harus pergi untuk melaksanakan jumpa pers dulu. Perihal spoiler film baru.
"Mars, ayo!"
Ah, iya.
Manajernya sudah datang.
***
Esok tiba.
"Jadi, cekalang Cely akan beltemu langcung dengan nenek dan kakek, Mi? Tidak lewat poncel lagi?"
"Hm." Tania sedang mengepang rambut putrinya. Terakhir, dia oles bedak di pipi dan jidat sang anak.
"Asyiiik! Ini Cely namanya pulang kampung, ya, Mi? Main-main ke lumah nenek." Mata cantiknya menatap sang mami dengan binar antusias yang entah kenapa dari mata itu Tania seakan bisa melihat sosok Mars.
Tania pernah protes kepada Tuhan dalam doanya, dulu, mengapa harus semirip itu?
"Iya, kita sedang pulang kampung." Tania ulas senyum simpul.
Cely bertanya lagi, "Kakek dan nenek cudah dibeli kabal belum, Mi? Kalau belum ... kita kacih kejutan, yuk? Ini, kan, peltemuan peltama. Pasti celu cekali kalau datang secala mengejutkan."
Agak ceriwis anaknya.
Tania menjawil hidung Cely. "Ayo! Kebetulan belum Mami beri kabar."
Sekadar informasi, tak heran bila Cely sudah mengenal kakek dan neneknya—alias orang tua Tania. Sejak Cely masih bayi memang tak ditutupi kehadirannya dari mereka. Cely dikenalkan di video call. Bukan olehnya, melainkan Pak Marteen di waktu-waktu beliau berkunjung.
Kak Zinia juga tahu, kok. Akrab saja dengan Cely, tetapi beku dengan Tania. Tentu saja, Tania yang menjauh. Dia, kan, menjauh dari semua. Termasuk dari papa dan mama, sebelum waktu membawanya pada kondisi 'baik-baik saja'.
Saat ini.
Empat tahun punya banyak cerita dan mari kita hadapi yang ada dulu. Biarkan jadi misteri, yang lalu-lalu.
Setelah hari ini, hari esok Tania akan merekrut manajer baru. Dia berbenah dulu satu per satu di Tanah Air tempat masalahnya berserak.
Pertama-tama, ayo kita pulang dulu ke rumah papa dan mama.
Dilihatnya sang putri tidak sabar untuk memberi kejutan. Hendak bertemu orang-orang yang disebut keluarga, yang semula cuma bertemu lewat ponsel saja.
Oh, di sana ....
Di detik Tania dan putri kecilnya menapaki pekarangan rumah itu, suara langkah yang tercipta sontak membuat seseorang menoleh.
Orang yang Tania rindukan, juga Tania emban bertumpuk-tumpuk rasa bersalahnya sebab selama beliau sakit, Tania tak sekali pun pulang.
"Papa ...."
Cely ikut menyebut, "Glandpa?"
"Ta-Tania ... Ma, Mama! Tania, Ma!" Sembari menyongsong putrinya, papa Tania berhambur memeluk si bungsu.
Astaga.
"Tania ...."
Ya, ini Tania.
Cely belum jadi pusat perhatian, dia mendongak menatap mami dan kakek berpelukan sehingga muncul orang-orang lainnya dari dalam rumah.
Histeris menyongsong, tak jauh beda dengan kakek yang Cely perhatikan. Sampai akhirnya, dia di-notice. Mami merunduk sekadar membawa Cely ke dalam gendongan dari yang semula cuma dituntun.
"Nah, Sayang ... ini kakek, nenek ...." Serupa bisikan. Mami memberi tahunya.
Cely sudah tahu bahwa mereka kakek dan nenek, Cely ingat wajah-wajah itu. So, dirinya mau-mau saja diambil alih dari gendongan mami ke dalam gendongan kakek.
Hingga mereka diajak masuk dan lalu ... di depan pintu, Tania melihat kakaknya. Dengan sorot mata Tania jatuh di perut buncit itu.
Ada gemuruh kencang di d**a yang sering timbul dan tenggelam akhir-akhir ini. Namun, empat tahun sudah berlalu, bukan? Dan Tania telah bisa menguasai dirinya.
"Kak Nia ... apa kabar?"
***
Bagaimana menjabarkannya, ya?
Banyak yang Tania lewati dengan sengaja demi kedamaian hatinya, jiwanya.
Tania melihat Cely yang tengah bercengkerama dengan kakek dan nenek, sehabis mereka menangisi kepulangan Tania setelah empat tahunan tidak bersua. Dan, ya ... mereka tak bicara apa-apa selain menggaungkan rindu kepada sang putri bungsu.
Tidak ada obrolan yang seharusnya ada karena bagaimanapun empat tahun bukan waktu yang sebentar. Namun, Tania bersyukur ... mereka hanya bertanya: Kopernya mana? Lho, sudah pulang ke Indo dari kemarin, tetapi bukan ke sini dulu pulangnya? Ke mana? Di mana? Ajak Papa dan Mama ke sana, ya? Jangan pergi-pergi lagi, Nak.
Yang begitu-begitu.
Sampai kini, Tania duduk menyesap es teh manis buatan mama, juga menatap kue-kue di meja dapat beli mendadak sang kakak.
Ya, Kak Zinia.
Tepat duduk di depan Tania.
Sudah lama sekali, bukan?
Entah Kak Zinia tahu alasan kepergiannya, kisahnya, atau tidak. Yang pasti, Tania memperjelas dengan adanya jarak di antara mereka bahwa dia kepada sang kakak sudah tidak seakrab dahulu.
"Kenapa bohong?"
Oh, rupanya obrolan yang 'seharusnya' ada itu menjadi 'ada' diucap kakaknya. Tentang dahulu. Tania pikir akan dilewatkan begitu saja seperti tak ada kejadian apa pun, selain Tania yang pergi 'berlibur' selama empat tahun. Macam papa dan mama, menanggapi kepulangannya hanya bicara soal rindu. Bukan tentang yang dulu-dulu
"Kalau nggak, nanti nggak bisa pergi, dong?" Seraya Tania ulas senyum tipis. Santai saja.
"Papa sampai masuk rumah sakit dan—"
"Zinia!"
Ditegur mama, Kak Zinia lalu bungkam.
Tania mendapati sorot teduh mamanya. Seakan hanya dengan Tania yang pulang saja beliau sudah sangat bersyukur. Tidak perlu bicara soal yang sudah lewat, yang penting putrinya kembali.
Tatapan Tania lantas tertuju di perut kakaknya. "Anak pertama? Kedua? Atau ...."
"Kedua."
Oh.
Tania senyum. "Berapa bulan?"
"Lima." Kak Zinia menghela napas. "Kamu akan menetap, kan? Nggak bakal balik ke sana lagi, kan, Tan?" Yang ingin dia bahas adalah soal adiknya, bukan tentang diri sendiri.
So, Tania mengangguk. "Paling sesekali pulang ke sana."
"Pulang? Rumahmu di sini, Sayang." Mama langsung menyambar bicara. Gurat tuanya kian teraba mata.
Sedangkan, papa mengajak Cely ke dalam kamar Tania semasa gadisnya. Atau ... kamar semasa Tania menyerahkan kegadisan itu kepada pria yang sempat menjadi suaminya.
Hari itu ....
Saat pikiran Tania mengelana soal perut Kak Zinia atas perbuatan siapa, seseorang yang datang seakan menjawabnya.
Yang sudah Tania duga.
Pasti dia.
Pasti.
Lelaki yang mematung menatap Tania dengan sorot tak terbaca selepas mencium tangan mama dan menyerahkan bingkisan di tangannya kepada Kak Zinia.
Tania melihat dari plastik yang agak transparan itu ... s**u dan biskuit hamil?
Tuh, kan ....
Tania ulas senyuman.
Dengan satu tanda tanya besar menyambangi kepala: Lelaki ini diterima oleh papa dan mama ... tetapi mengapa?
Kabar yang Tania tak ingin tahu, kini mengusik pikirannya. Mengapa mama dan papa menerima mereka?
Tidakkah ada yang memikirkan lukanya? Ah, mungkin ada. Namun, empat tahun, Tania ... empat tahun. Dan selama itu banyak cerita yang Tania lewati, mungkin salah satunya tentang perjuangan Mars mendapatkan hati mama dan papa agar bisa memperistri Kak Zinia. Membuat papa dan mama takluk, sebagaimana asumsinya dulu. Kini terpampang yang nyata.
Lantas, haruskah Tania sapa lebih dulu?
Dia yang duduk dan Mars berdiri mematung. Di mana sorot mata keduanya berjumpa. Lebih cepat dari yang diduga.
"Mami! Cely cuka kamalnya!"
***