Pelarianku, kusebut cara untuk menyelamatkan diri. Namun, bagaimana bisa itu egois di matamu?
.
.
"Dia anakku, kan, Tan?"
Tania gumamkan dalam hati ucapan Mars barusan. Menggema di sana, membuatnya ingin berbalik lalu menampar wajah itu.
Namun, tidak Tania lakukan sampai sejauh melayangkan telapak tangan. Tania hanya berbalik dan bilang, "Ya, Cely anakmu."
Datar Tania menatap, melihat bagaimana raut Mars merespons tutur katanya yang mengalun. "Tapi kamu sudah membuang ibunya."
Ingat?
"Di saat kami masih satu, kamu melepasku." Tania sampai enggan menyebut Mars dengan embel-embel abang seperti dahulu. Dan lagi, apa-apaan itu?
Mars ber-aku-kamu, padahal sempat terjadi 'saya-sayaan', memaksa Tania asing dengan gerangan. Lantas, saat ini aku-akuan lagi? Hal sekecil itu rasanya tetap prahara besar bagi Tania.
Setelah membuat yang akrab menjadi asing, lalu kini Mars ingin membuat yang asing kembali akrab?
Sorry to say, tidak semudah itu. Masih syukur Tania tetap aku-kamu, bukan saya dan Anda. Meski tak lagi ada sebutan seakrab 'aku dan abang.'
Well ....
"Maaf." Mars tercekat. Maju satu demi satu langkahnya mendekati Tania yang geming tanpa ekspresi. "Tapi kalau tau dia ada—"
"Aku nggak akan dicerai?" pangkas Tania cepat, sinis nadanya. "Aku, sih, lebih baik berpisah daripada bertahan cuma karena anak, sedang akunya nggak diinginkan. Dan lagi, kalau waktu itu kamu nggak bilang cerai pun aku yang bakal bilang."
Mars terpejam sesaat, menarik napas yang terasa sesak. Bukan begitu maksudnya ....
"Oh, ya. Bicara soal putriku, silakan akrab dengannya sebagai paman. Yang Cely tau ayahnya nggak menginginkan dia."
Mata Mars terbuka, menatap protes kepada Tania yang lanjut berkata, "Bukan karenaku, aku nggak ada bilang apa-apa, Cely sendiri yang menyimpulkan."
"Dan kamu mengiakan?"
"Nyatanya emang gitu, kan? Aku diam pun kenyataannya seperti itu."
Mars terlihat marah. "Kalau begitu ayo setelah ini kita jelaskan padanya, ayahnya ada dan menginginkan dia, alih-alih dikenalkan sebagai omnya."
Alis Tania terangkat sebelah. "Setelah semua yang terjadi di antara kita?" Kok, Tania ingin tertawa. Tak gentar, langkahnya maju satu pijakan. Meski jadi kian mendongak, Tania kukuh menatap dan lanjut menuturkan, "Kalau cuma soal anak, Kak Nia juga punya, kan?"
Nia.
Tania menekan satu nama kecil itu.
"Ayo perbaiki ...," sergah Mars.
Dipandanginya raut pria yang memelas, Tania menahan diri untuk tidak mengempas tinju.
"Kita mulai semuanya dari awal lagi, Tan."
Mendengarnya, Tania senyum sebelah bibir.
"Perbaiki apanya?" bisik Tania. "Hubungan kita bukan rusak, lho, tapi hancur."
Dengar?
Hancur.
"Jadi, jangan usik anakku dengan keinginan menjadi papinya. Bagiku, kamu cuma menitipkan benih, tetapi nggak dengan tanggung jawabnya. Benar bahwa dia darah dagingmu, tapi cuma sebatas itu. Dan soal kita, aku nggak tertarik."
Detik berikutnya Tania lanjut berpaling, menarik handel pintu dan keluar dari sana. Meninggalkan Mars yang masih terbakar tutur kata Tania di dalam.
Panas hatinya.
Panas matanya.
Mars mengerjap-ngerjap, menatap langit-langit ruangan, menahan desakkan air kesedihan, juga emosi yang tak jelas wujudnya.
***
Kembali ke ruang rapat para tokoh, Tania rileks-rileks saja. Telah dia buang raut tegang dari emosinya yang tersulut gara-gara perbincangan tadi bersama Mars.
Yang Tania simpulkan, Mars keberatan dikenalkan sebagai om kepada Cely. Iya, sih. Bagaimanapun Mars ayahnya. Namun, bagaimanapun juga Tania tidak bisa mengabaikan rasa sakit atas masa lalu mereka. Sekali pun empat tahun adalah waktu yang tidak sebentar, nyatanya begitu bertemu lagi dengan Mars, rasa sakitnya masih sama seperti dulu saat di detik Tania mendengar sebuah fakta.
Mars tidak pernah mencintainya. Sebutan Nia saat malam-malam panas mereka juga bukan atas nama Tania, tetapi Zinia.
Apakah jika empat tahun lalu Tania bilang bahwa dirinya tengah mengandung, lalu kata cerai itu tak akan digaungkan? Bilapun telanjur diucap talak satu, apa sesudahnya akan langsung rujuk dan kembali menyatu? Kalau-kalau Tania katakan bahwa darah daging Mars sudah hidup di dalam rahimnya.
Namun, Mars pikir Tania mau begitu?
Mars pikir yang Tania inginkan adalah tetap menjadi istrinya sekali pun bukan dia yang Mars cinta? Lalu dengan sabar menunggu Mars berhasil mencintainya dan melupakan Kak Zinia. Mars pikir Tania wanita sesabar dan seluas itu hatinya?
Tidak.
Lebih baik berpisah daripada terus terluka.
Tania lebih memilih kesehatan batinnya begitu tahu ada yang salah di dalam pernikahan mereka, alih-alih kesenangan di masa yang akan datang setelah bertahan dalam kesakitan.
Lebih baik bebas dari rasa sakit dan mencari kebahagiaan yang lain, bukannya menggantung harap bahagia dengan tetap bersama lelaki kecintaan, yang mencintai kakaknya.
Buat apa?
Iya kalau Mars bisa dengan segera berpaling padanya secara utuh, tetapi jika tidak? Jika sia-sia? Buktinya bercinta lebih dari tiga kali pun yang disebut tetap Nia, bukan Tan.
So, yang pasti-pasti saja. Andai Mars tidak melepas, Tania sendiri yang akan lakukan hal itu. Karena baginya, kesalahan Mars melebihi batas fatal yang Tania gariskan.
Paham, kan?
Mars masuk dan duduk di tempat semula, sama sekali Tania tidak meliriknya.
"Film Pengantin Best Seller ini akan jadi tiga series. Pertama, soal percintaan tokoh Wiliam dan Marlena." Yaitu Mars dan Tania.
"Kedua, soal Genta dan Nuni. Ketiga, tentang anak-anak mereka. Tapi yang dua ini bisa jadi batal kalau responsnya jelek. Kita lihat gimana respons dari series kesatunya dulu. Maka dari itu, mohon kerja samanya.
Semoga aja bayangan Pak Marteen tentang film ini benar akan meledak dan pecah rekor terwujud."
Orang-orang bilang aamiin, Tania mengangguk-angguk.
Semoga.
Kata Pak Marteen, ini jalan untuk Tania debut dengan keren di hadapan sosok yang dia anggap mantan.
***
Kini Tania sudah punya manajer baru, laki-laki. Sekaligus yang menyopirinya nanti. Dan ada satu asisten wanita, Tania pilih yang bisa sekalian menjaga putrinya kalau-kalau Cely minta ikut.
Of course, kabar soal Tania yang sudah punya momongan tersebar sedari sebelum dirinya pulang ke Indo. Dibuatkan berita bahwa vakumnya dia adalah sebab menikah dan lalu hamil, tetapi dirahasiakan siapa gerangan suaminya. Media menebak-nebak sendiri, ada yang mencetus Tania menikah dengan sultan negara lain hingga bangsawan kerajaan.
Geli sendiri Tania membaca beritanya.
Lebih geli saat dia baca berita tentang pengakuan Mars T. S. yang katanya sudah menikah. Ini bukan karena Tania sengaja mencari tahu, tetapi kabar beritanya lewat sendiri di beranda.
Well, Tania masih tinggal di kediaman orang tua, papa dan mama memintanya menginap lama di sana.
Karena rasa bersalahnya terhadap papa, Tania pun manut. Toh, supaya Cely ada kawan bermain juga selagi Tania pergi-pergi.
"Mami!"
Ya ampun, lihat!
"Mami, Cely main tanah boleh, ya?" Sambil mendekat, padahal bajunya sudah kotor dengan tanah basah.
Duh ....
Cemong juga ke pipinya. Tania usap-usap. "Ini udah main tanah, kok, baru izin?"
"Kata kakek boleh. Anak-anak halus belani kotol. Cely belani, Mami."
Papa Tania pun berdeham. Tania mengembuskan napasnya.
"Ya udah, sekarang ayo mandi. Udah sore."
"Cama Kaka Lio. Tadi udah cepakat mau mandi baleng buaya-buayaan, ya, Kak Lio, ya?"
Oh, ada seseorang yang luput dari pandangan Tania. Dia pun melirik sosok anak kecil tersebut. Lebih kecil dari Cely sepertinya. Laki-laki.
"Ini, lho, Rio. Anak pertama kakakmu yang kemarin sempat dibicarakan," ujar papa, seolah tahu isi kepala Tania.
Rio.
Putra Kak Zinia. Sudah dijelaskan tentang rumah tangga kakaknya semalam saat kumpul bersama. Tania dipaksa duduk dan mendengarkan.
Bukan Kak Zinia yang menjelaskan, tetapi mama dan papa. Bahwasanya hubungan Kak Zinia dan suami tak jadi cerai. Lebih tepatnya karena suami Kak Zinia tidak menghendaki itu, beliau konon sampai pulang walau cuma dua hari sebelum pergi lagi dan ... satu bulan setelahnya Kak Zinia dinyatakan hamil. Lahirlah Rio-Rio ini.
Membuat Tania berpikir, Kak Zinia luar biasa sekali dicintai sesungguh itu oleh suami. Sedangkan dirinya?
Suami Tania bahkan mencintai sang kakak, Kak Zinia betul-betul luar biasa.
Lantas, walau kini Tania sudah tahu bahwa rupanya tak pernah ada pernikahan antara Kak Zinia dan Mars selepas Tania pergi, tetapi tetap dia tidak bisa beramah-tamah lagi kepada mereka seperti dulu.
Entahlah.
Telanjur nyeri.
Kak Zinia pun sekarang agak berbeda. Ya, pastinya tak akan sama. Dari sisi Kak Zinia, mungkin dia marah kepada Tania. Setelah berkorban cintanya atas Mars, Tania malah begini. Mungkin? Atau marah karena Tania membawa-bawa namanya ketika bicara soal kehancuran rumah tangga sehingga papa-mama memarahi gerangan.
Tania tidak tahu pasti.
Sekarang ... dia melihat wujud anak pertama Kak Zinia.
Rio namanya. Kemarin tidak di sini, tetapi di rumah mertua Kak Zinia.
"Ya, Mami, ya? Cely mandinya baleng cama Kakak Lio, ya? Please ...."
Kembali tatapan Tania terarah kepada sang putri. "Kak Rio ini laki-laki, Cely perempuan. Mandinya nggak boleh bareng-bareng."
"Tapi, kan, Cely cama Kakak Lio macih kecil. Telus ... kami mau main buaya-buayaan, Mami."
"Nggak—"
"Izinkan aja, toh mereka belum ngerti," celetuk Ka Zinia. Datang mendekat. "Ayo, Kak, mandi. Cely nyusul aja kalau mau ikut, ya?" Kepada Rio dan ponakannya.
Tania menekan geraham.
"Mami ...?"
Gegas Tania gendong putrinya.
"Mami, baju Mami kotol kena tanah Cely!"
"Nggak apa-apa, bisa dicuci."
Dan, papa Tania menghela napas di tempat. Sangat terasa aura permusuhan dari anak-anaknya.
***
"Kamu egois," ucap Zinia, tengah malam itu. Saat tanpa sengaja berpapasan di dapur dengan sang adik.
Tania sedang ambil minum. Mungkin Kak Zinia juga sama.
"Setelah empat tahun kita nggak ketemu, itu yang mau Kakak bilang sama aku pas kita lagi berdua?" Santai saja tanggapan Tania.
"Kamu cuma mikirin diri sendiri aja," timpal sang kakak.
Tania mengangguk-angguk. Iya, ya?
"Lebih tepatnya, aku memikirkan diri sendiri dulu, baru kupikirkan orang lain." Koreksi kalau Tania salah.
"Kamu nggak tahu apa yang terjadi setelah kamu pergi itu, kan?"
Tania menatap kakaknya sesudah melepas gelas di tangan ke meja dapur. "Kakak sendiri, tau? Gimana rasanya jadi aku."
"Ini bukan tentang siapa jadi siapa, tapi soal keegoisanmu, Tania. Oke, kamu sakit hati dalam pernikahan kalian. Tapi coba kalau kamu mau bersabar sedikit, beri tahu suamimu tentang kehamilan itu. Karena cinta itu nggak cuma sekadar bahagianya aja, tapi ada pengorbanannya juga."
"Sebentar, Kak. Yang minta cerai itu bukan aku, tapi cowok Kakak. Terus aku pergi setelah itu, egoisnya di mana?"
"Dia suamimu," tekan Zinia. "Dan kalau kamu kasih tahu tentang kehamilanmu, Mars nggak akan benar-benar mau bercerai. Lagi pula Kakak dan Mars nggak ada hubungan apa pun. Sekali pun yang kamu dengar bahwa dia ada rasa ke Kakak, tapi Kakak sama sekali nggak ada rasa ke dia. Jadi—"
"Jadi aku harusnya bersabar dan merasa sakit lebih lama, ya?" pangkas Tania, pelan saja bicara. Ini sudah malam.
Tania bilang, "Aku cuma menyelamatkan kewarasanku dan Kakak sebut itu egois?"
Tatapan mereka beradu.
"Dan lagi, aku bukan Kakak. Mana bisa aku berkorban soal cinta. Buktinya setelah Kakak berkorban, hasilnya seperti ini, kan? Coba bilang sama aku, apa Kakak sudah mendapatkan kebahagiaan dari pengorbanan itu?"
Napas Zinia memburu, Tania mengambil gelas airnya. Belum dia teguk, Tania bantu Kak Zinia untuk duduk, lalu diserahkannya air minum itu.
"Jangan terlalu dipikirkan. Soal itu biar sengalirnya aja. Aku nggak mau kehamilan Kakak terganggu cuma gara-gara masalah yang udah lalu dan bagiku udah bukan apa-apa. Nih, minum dulu ...."
Tania letakkan gelas tersebut di meja makan, di sisi Kak Zinia yang duduk diam. Mungkin sedang mengatur emosi. Tania pun mengambil gelas yang baru. Ah, tidak. Dia ambil botol saja.
Yang terdengar hanya suara gemercik air dispenser.
Lepas itu ... "Mau kuantar ke kamar?"
Kak Zinia berlalu, membawa serta gelas yang Tania letakkan.
Di sini, Tania menekan geraham.
Menahan gejolak panas di d**a dan matanya.
Kenapa malah jadi Tania yang egois? Sedangkan, dia pergi untuk menyelamatkan diri.
Salah?
Dan bilapun Tania egois, bukannya itu karena rasa sakit yang dia terima? Di sini Tania jadikan egonya sebagai bentuk pertahanan diri. Karena jika tidak dengan ego, mungkin Tania sudah mati.
Oke. Rasa sakit Tania di mata kakaknya mungkin tampak tidak seberapa dibanding rasa sakit gerangan yang telah berkorban cinta. Rasa sakit Tania mungkin di mata orang lain pun masih sepele, mungkin. Namun, tiap orang punya takaran kuatnya masing-masing, kan?
Tania, ya, Tania.
Dan dia sebegini adanya, sebegini kuatnya.
Egois memang, egois untuk putrinya perihal sosok ayah. Tapi bila tidak demikian, Mars tak akan tahu rasa!
Enak saja.
Tania susah payah dan merasa terluka, bahkan di saat 'bikin anak'. Lalu Mars yang membuatnya sakit, selalu dapat bagian-bagian enaknya.
Tak akan Tania biarkan semudah itu Mars diterima oleh putrinya. Cely adalah wujud dari luka yang Mars goreskan padanya.
Dia harus tahu!
Lagi pula, siapa Kak Zinia yang berani menilai cara bertahannya dengan kata egois? Tahu apa dia? Selain tahu tentang lukanya sendiri perihal berkorban. Toh, Tania tidak minta.
Siapa juga yang mau menikah dengan pria hasil pengorbanan wanita lain?
Kalau tahu sejak awal ada unsur seperti itu, Tania pun ogah!
***