3. Penemuan

1092 Kata
Lima tahun kemudian setelah kejadian cinta satu malam Sean dan Zia. Pagi hari sekali, Sean sudah berkutat di depan meja kerjanya, tatapan wajahnya sangat serius. Wajah tampannya seperti tak memudar sejak lima tahun yang lalu, saat bertemu dengan Zia. Tiba-tiba map yang sedang diperiksanya menyentuh kotak bening yang berada di samping kanan mejanya. Gerak tangannya langsung tehenti, begitu juga perhatiannya teralihkan pada benda kotak kecil berukuran 5 x 5 cm. Di dalam kotak itu terdapat ikat rambut berwarna merah muda. Sean membuka tutup kaca tersebut dan membukanya, kotak bening itu adalah tempat kotak perhiasan. Entah kenapa, ia meletakan ikat rambut di sana? Pastinya ikat rambut itu berharga untuknya. “Di mana kamu, anak kecil?” guman Sean sembari memandangi ikat rambut tersebut. Pikirannya langsung menelusur kejadian lima tahun lalu saat ia bertemu dengan Zia. Entah apa yang ia rasakan saat itu, hatinya merasa terpaut dengan Zia, yang ingat sebagai anak kecil. “Aku bahkan tidak tahu namamu, anak kecil itu?” Ya, Sean memang hanya bertemu dengan Zia tanpa sempat berkenalan ataupun memperkenalkan dirinya. Sean mengingat jelas setiap rangkaian kejadiannya. Ia melihat seorang gadis kecil tanpa alas kaki dengan kaos pendek dan celana stirt pendek. Awalnya Sean mengira gadis kecil itu adalah anak jalanan, tetapi saat gadis itu berteriak kencang, Sean pun tahu kalau gadis itu sedang meluapkan kekesalannya. Sean sudah memperkirakan cuaca saat itu akan turun hujan. Hingga tiba-tiba hujan turun tanpa di undang dan ia tidak tega meninggalkan gadis kecil sedirian di tepi pantai. Namun sayangnya, ia melakukan kesalahan karena sebotol wine. Sean dapat merasakan tatapan sedih dan suara pilu gadis itu saat menceritakan suasanan hatinya. “Pilu sekali hidupmu, anak kecil,” guman Sean lagi, karena ia masih mengingat Zia yang tanpa sadar menceritakan kehidupannya. Dari ayahnya yang meninggalkanya, kemudian ibunya menjadi wanita malam di rumah bordil dan Zia di bully di kampusnya. Saat itu Sean tahu kalau gadis itu seorang mahasiswa. Entah apa yang ada dalam pikiran Sean? Saat itu ia hanya berpikir untuk menghibur gadis kecil itu, mungkin karena pengaruh alkohol hingga ia dan gadis itu melakukan hal yang seharusnya tak patut mereka lakukan. Dari kedua sudut netranya meluncur tetesan bening, buru-buru ia mengusap tetesan air mata tersebut. “Aku tidak bisa melupakan kejadian itu. Ternyata anak kecil itu masih perawan dan aku yang merenggut kesuciannya. Maafkan aku anak kecil.” Sean menyesali perbuatanya. Sean kembali teringat saat melihat ada noda darah di kursi belakang mobilnya saat tersadar, kemudian menemukan ikat rambut yang sedang ia pegang. Pastilah ikat rambut itu miliknya, karena Sean tidak pernah mengijinkan wanita menaiki mobil pribadinya. Sean tersenyum pada ikat rambut yang dipegangnya. “Ah tidak, seharusnya aku tidak perlu menyesal karena kamu mencuri uangku.” Sean berdialog dengan dirinya sendiri, mengoceh seorang diri karena mengingat lagi tentang uang dalam dompetnya raib tanpa ada sepersenpun. “Tapi, kamu bukan hanya saja mencuri uangku. Kamu juga sudah mencuri hatiku, anak kecil.” Lamunan Sean buyar karena mendengar pintu ruang kerjanya ada yang mengetuk. Sean memasukan kembali ikat rambut tersebut ke dalam kotak yang sudah ia siapkan. Kemudian meletakan kembali ke tempat tadi, di dekat papan nama kerjanya yang juga terbuat dari kaca bening dengan tulisan tinta berwarna emas. CEO’s Sean Mahandika. “Masuk!” teriaknya santai. Tak lama pintu pun terbuka, terlihat Sadin, asistennya masuk membawa tumpukan map. Sadin berjalan menuju meja kerja Sean. Ruangan Sean dihiasi dengan perabotan bernuansa warna putih dan emas. Tergambar jelas ruangan yang mewah dan klasik. “Tuan, saya membawakan berkas beberapa penulis terkenal dan berbakat yang akan membuat biografi tentang Tuan Sean,” ucap Sadin seraya meletakan tumpukan berkas di hadapan Sean. “Silahkan diperiksa dahulu dan beri tahu saya jika Tuan sudah menemukan penulis yang cocok dan sesuai dengan kriteria Tuan!” Sean hanya menjawab dengan dehaman malas. Kedua bola matanya juga terlihat malas melihat tumpukan berkas yang menanti sentuhan tangannya. Sebenarnya Sean malas untuk berbagi kehidupan pribadinya pada umum, apalagi melalui biografi yang harus diceritakan. Pasti harus jelas tertulis perjalanannya menjadi CEO sukses. Akan tetapi ayahnya, Alan Mahandika memaksanya dengan alasan promosi pemasaran agar namanya dikenal para pengusaha lainnya. Alan bukannya meragukan kemampuan Sean yang menjadikan hotel Holfive menjadi salah satu hotel terbaik di Indnesia, bahkan hotel Holfive keluarganya menjadi 10 besar hotel terbaik di dunia. Alan meminta Sean agar namanya dikenal dunia. Sean berharap investor asing akan berbondong-bondong berinvestasi pada hotelnya. Setelah Sadin keluar dari ruangannya, ia pun terpaksa membuka berkas-berkas yang berisi biodata penulis. Sesekali terlihat hembusan napas malas dari mulut Sean. “Kenapa semua yang tertulis di sini keunggulannya saja? Para penulis ini seperti menutupi kekurangannya,” keluh Sean saat menutup berkas dan melemparkan kasar berkas tersebut pada samping kanannya. Menandakan kalau tumpukan sebelah kanan sudah ia periksa. Sean kembali membuka tumpukan sebelah kirinya. Tiba-tiba matanya terbelalak dan membulat sempurna saat membuka map selanjutnya. Matanya langsung berbinar-binar dan senyuman mengembang sempurna menghiasi wajah tampannya. “Akhirnya aku menemukanmu, anak kecilku.” Sean berguman bahagia pada dirinya sendiri. “Zia Mustika, ternyata itu namamu. Wajahmu semakin cantik saja, anak kecil.” Tangan Sean mengambil foto yang dilampirkan dalam berkas biodata penulis seraya berdialog dengan dirinya sendiri. “Anak kecilku sudah dewasa. Kini kamu adalah seorang penulis hebat. Mungkin aku harus memanggilmu gadis kecilku.” Sean membaca informasi yang dituliskan dalam biodata dalam berkas di hadapannya. Rasanya tak sabar ia ingin berjumpa dengan gadis kecilnya. Tangannya langsung menekan tombol telepon kantornya yang berada di sudut kanan meja kerjanya. “Pak Sadin, segera ke ruangan saya. Sekarang!” Perintah Sean berbicara pada saluran telepon kantor yang terhubung dengan asisten pribadinya yang sekaligus menjadi sekertarisnya. Pak Sadin ternyata sangat gesit, hanya hitungan beberapa detik setelah mendengar perintah atasannya sudah langsung masuk ke ruang kerja Sean. Sean tak dapat menyembunyikan rasa bahagianya. “Saya sudah menemukan penulis yang sesuai dengan keinginan saya. Segera buat janji dan kontrak kerja secepatnya!” perintah Sean langsung seraya menunjukan biodata milik Zia. “Saya mau siang ini, penulis itu berada di ruangan saya!” Wajah Sadin berubah heran. Biasanya atasannya selalu penuh pertimbangan yang sangat detail. Bahkan jika Sean hendak memutuskan sesuatu, ia akan berpikir seharian agar semua rencananya berjalan sempurna. Sadin seperti melihat orang yang berbeda pada diri Sean. “Tapi, Tuan, apakah Tuan sudah mempertimbakan sedetail mungkin?” tanya Sadin tak bermaksud menolak permintaan atasanya. “Saya katakan, kalau saya mau penulis itu ada di ruangan saya siang ini juga dan kamu urus kontraknya! Apa kurang jelas perintah saya?” bentak Sean keras karena sanggahan Sadin seolah mengusik kebahagiaanya. “Maafkan saya, Tuan. Saya akan mengurus semuanya dan memastikan siang ini, penulis Zia sudah berada di ruangan Tuan.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN