Chapter 2 - Busines class

1776 Kata
Abimanyu sedang sibuk dengan beberapa bentuk bangunan yang sedang ia kerjakan. Bulan ini ia mendapat dua pekerjaan untuk membuat satu gedung perusahaan dan satu lagi rumah mewah tingkat tiga. Rumah itu sudah hampir selesai, tinggal finishing saja dan akan siap untuk di presentasikan di depan kliennya. Kebetulan yang memesan desainnya merupakan salah satu pengusaha kaya di Indonesia. Abimanyu, mulai mengerjakannya dengan sangat teliti. Ia harus mengerjakannya dengan sangat serius, karena jika salah sedikit saja. Ia bisa merombak ulang apa yang sudah ia kerjakan dan itu membutuhkan waktu yang sangat lama. Abimanyu sudah menekuni pekerjaan ini betahun-tahun sejak ia selesai kuliah. Pekerjaannya datang dengan sangat cepat karena prestasi dan juga promosi yang dilakukannya sejak kuliah. Sejak itu, klien bedatangan dan menghasilkan cukup untuk hari tuanya nanti. “Assalamualaikum, dek.” Sapa Abimanyu ketika mengangkat panggilan dari Aisyah. “Kak, mau soto tangkar.” Rengek Aisyah. “…bawain ke rumah.” Abimanyu seketika menghentikan pekerjaannya, ia fokus dengan suara Aisyah. “Soto tangkar?” “Iya kak, yang kakak bawain kemarin pas pulang ke sini.” Ucap Aisyah. “Oke, nanti kakak bawain ya kalau pulang. Mungkin dua atau tiga bulan lagi.” jawab Abimanyu. “Ih, sekarang kak.” Abimanyu mengerutkan kening, “Sekarang kakak nggak bisa pulang dek? Apalagi ke Sulawesi, jauh. Kamu kira Jakarta Sulawesi kayak Jakarta Bogor.” “Nggak mau, pokoknya mau sekarang. Kakak bawain ke rumah.” Protes Aisyah tidak mau kalah. “…Bunda. Kakak nggak mau!” Sayup-sayup, Abimanyu mendengar jika adiknya itu melapor kepada Ibu mereka. Satu menit kemudian, ponsel itu berpindah tangan kepada Ibunya. “Abi, pulang ya. Bawain, Aisyah makanan yang dia mau.” Bujuk Atiqah. Abimanyu sekarang benar-benar menghentikan pekerjaannya, “Memangnya kenapa, Bun? Kan Abi baru pulang minggu kemarin.” “Nggak tahu juga, itu adik kamu dari kemarin minta yang aneh-aneh, papa juga udah kapok tengah malam di suruh cari buah gerseng tengah malam.” terang Atiqah. “Suaminya mana, Bun?” tanya Abimanyu. “Di dalam, lagi tidur. Habis begadang sama Ayah, cari buah gerseng.” Atiqah tertawa kecil. Adiknya itu memang sudah menikah sekitar empat bulan yang lalu, mereka baru saja pindah dan memutuskan untuk menetap di Sulawesi tepatnya di samping rumah orangtua mereka. Satu minggu lalu, ia baru saja pulang ke Sulawesi tepatnya di daerah Makassar untuk selamatan rumah baru yang akan ditempati Aisyah dan suaminya. Abimanyu masih tiba-tiba terpikir sesuatu, kelakuan aneh ini sama seperti saat mendiang istrinya dulu. “Apa Aisyah ‘isi’, Bun?” tanya Abimanyu. Atiqah terkisap, suaranya menghilang dari sambungan telepon tetapi mereka masih tersambung karena Atiqah tidak memutuskan sambungannya. Sayup-sayup terdengar pembicaraan antara Aisyah dan Atiqah dari jauh. Abimanyu hanya bisa mendengar suara kedua wanita yang ia sayangi itu samar-samar. Satu menit kemudian, suara Atiqah terdengar jelas lagi. “Katanya Aisyah kayaknya nggak, Abi. Ah, kamu bikin Bunda jantungan aja.” Ucap Atiqah. Abimanyu meringis, “Ya, kan siapa tau Bun. Aisyah pengennya aneh-aneh, pasti lagi ngidam kalau kata orang.” “Bunda juga maunya gitu, Abi. Tapi, kalau kata Aisyah nggak kan sama aja bohong.” Balas Atiqah tidak mau kalah. “…oh iya. Aisyah tetap kamu ke sini sekarang bawa makanan yang dia mau. Kalau nggak, dia nggak bakal makan seharian.” Abimanyu mengubah panggilan biasa ke panggilan video, seketika ia langsung melihat wajah Ibunya yang sedang tersenyum di layar ponsel. Abimanyu keluar dari ruang kerjanya, menuju teras belakang. Ia duduk di kursi lalu balas tersenyum ke arah Atiqah.  “Aduh, kayaknya emang lagi hamil deh, Bun. Mana pernah Aisyah minta aneh-aneh kayak gini. Pas sakit juga nggak nyusahin banget, Aisyah itu mandiri. Pasti ada alasannya,” Abimanyu menatap Atiqah dengan tertarik. “Alhamdulillah, kalau ucapan kamu benar, Nak. Kamu ke sini ya, bawain adik kamu makanan, kasian tuh lagi monyong di ruang tamu. Kalau soal tiket, nanti bunda ganti deh. Yang jelas makanannya dulu.” Abimanyu menarik napas panjang, “Nggak usah, Bun. Kayak Abi nggak ada uang aja buat beli tiket. Pekerjaan Abi yang lagi deadline, seminggu lagi harus selesai.” “Kalau gitu, kamu yang jelasin ke Aisyah sendiri, ya?” Atiqah menyerahkan ponsel kembali pada Aisyah, Abimanyu langsung melihat wajah adiknya yang cemberut. Ketika melihat mata Aisyah, Abimanyu merasa ia sudah berbuat kesalahan, mata sendu itu membuat hatinya luluh seketika. “Kakak udah nggak sayang sama Aisyah, kan? Dulu apa yang Aisyah minta selalu di kasih sama kakak, sekarang minta dibawain makanan pun nggak mau.” Ucap Aisyah serak. Abimanyu melihat jelas mata adiknya itu berkaca-kaca dan tidak lama kemudian air matanya turun ke pipi. Membuat hati Abimanyu berdenyut sakit, ia tidak suka melihat adiknya menangis. Tangis Aisyah pecah begitu saja, Abimanyu tidak tahu harus berbuat apa. Ketika melihat Aisyah menghapus air matanya, Abimanyu tidak bisa lagi melawan. Ia akan pulang. “Dek, udah. Jangan nangis lagi. Iya, kakak pulang, kamu mau kakak bawain Soto Tangkar, apalagi?” Abimanyu begerak cepat, ia memesan tiket melalui aplikasi online. Kebetulan ia mendapat pesawat pukul tiga sore. Itu penerbangan tercepat yang bisa ia naiki hari ini. “Nggak mau, kakak nggak sayang Aisyah lagi!” Abimanyu menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Siapa yang merubah adiknya seperti ini, seumur-umur Aisyah sangat jarang bermanja seperti ini kepadanya atau bahkan menyusahkan orangtuanya. Jika itu perbuatan suaminya, Abimanyu akan datang memberinya pelajaran nanti. “Kakak sayang kamu, dek. Ini kakak sudah beli tiket pesawat,” Abimanyu mengarahakan layar ponselnya menuju laptop dengan layar yang sudah membeli satu tiket pesawat menuju Makassar nanti sore. Setelah itu, Abimanyu kembali mengarahkan layar ponsel ke arahnya. Mata bulat Aisyah melebar, ia berhenti menangis dan hanya menatapnya dengan mata bulatnya yang menggemaskan. “Benar, kan? Kakak nggak bohong?” tanya Aisyah. Abimanyu mengangguk, mengiyakan ucapan Aisyah. “Kamu mau apa lagi, nanti kakak bawakan semua. Tapi, kamu harus janji.” “Janji apa?” Aisyah menatap Abimanyu dengan tatapan bertanya. “Sesudah ini, kamu tidak boleh minta yang aneh-aneh lagi sama kakak. Setidaknya tidak dalam satu minggu ini, kakak ada deadline, dek. Nanti nggak bisa jajanin kamu kalau kakak ngak ada kerjaan.” Ucap Abimanyu pelan. Aisyah menganggukkan kepala, ia bersemangat karena Abimanyu akan datang. “Aisyah janji.” “Ya sudah, tunggu kakak, Ya. Jangan nangis lagi,” ucap Abimanyu tegas. “Makasih kak, maaf Aisyah ngerepotin.” Abimanyu mengangguk, “Ya sudah, kakak tutup ya. Mau mandi dulu sebelum pergi cari makanan yang kamu mau.” “Iya, Kak.  Aisyah nanti chat di w******p aja kalau mau tambah. Sekarang belum kepikiran makanan apa lagi.” Panggilan itu terputus lima menit kemudian. Ia melihat ruang kerjanya dengan kertas desain berserakan, lalu menatap layar ponselnya yang gelap. Abimanyu menatap keduanya berulang kali lalau menghela napas panjang, ia terpaksa merelakan waktu seharian untuk tidak bekerja. … Abimanyu berada di sebuah restoran yang memiliki menu soto Tengker, Aisyah juga menambahkan  ketoprak. Abimanyu memutuskan untuk membelinya dengan dipisah agar ketika sampai di Sulawesi makanannya masih terlihat enak. Beruntung, pemilik restoran yang menyajikan makanan ini merupakan temannya. Sehingga ia bisa memesan dengan makanan yang dipisah antara satu sama lain. “Terimakasih, Rei” ucap Abimanyu ketika menerima kotak berisi makanan yang ia pesan. “Sama-sama, salam sama adik kamu.” Wanita yang di sebut Rei itu menepuk pundah Abimanyu. “Sip, nanti aku salamin. Semuanya sudah lengkap kan?” tanya Abimanyu. Reina mengangguk, “Iya, makanannya juga aku pisah. Tinggal kamu harus hati-hati pas di pesawat, aku saranin kamu jangan simpan di bagasi pesawat. Sia-sia kamu pulang kalau gitu, makanannya pasti hancur karena di banting dan dilempar sembarangan.” Abimanyu mengangguk, ia memang akan membawanya sendiri. Semoga diijinkan saat akan naik pesawat. “Terimakasih sekali lagi, Rei. Aku sangat terbantu,” ucap Abimanyu ketika selesai melakukan proses transaksi. Abimanyu menaruh mobilnya di rumah dan menaiki taxi menuju bandara. Jam sudah menunjukkan pukul dua ketika ia berangkat ke bandara. Abimanyu hanya membawa tas kecil berrisi dompet, ponsel dan kartu identitas tambahan jika dibutuhkan. Abimanyu tiba di bandara setelah berjuang untuk lewat di kemacetan di Jakarta. Butuh empat puluh lima menit untuk sampai di bandara akibat macet, ia langsung menuju chek in untuk masuk ke pesawat. Petugas bandara melihatnya dengan tatapan menyelidik begitu melihatnya membawa kotak yang berukuran sedang. Lebih besar tiga kali lipat dari kotak bekal pada umumnya. “Ini apa, Pak?” tanya petugas itu. Abimanyu diperiksa oleh petugas lain dan lolos begitu saja ketika petugas itu tidak menemukan benda yang mencurigakan. “Makanan, Pak. Adik saya minta di bawain makanan khas Jakarta, kayaknya lagi ngidam. Saya simpan di kotak agar tahan sampai saya tiba di Makassar.” Terang Abimanyu. Kotak itu juga lolos dari pemeriksaan X-ray bandara dan menampilkan beberapa makanan yang berada di dalam plastik bening. Petugas itu meloloskan Abimanyu, tidak lupa mengatakan berhati-hati agar bawaannya tidak tumpah selama di pesawat. Abimanyu masuk ke dalam pesawat, menuju kursi bisnis. Ia tidak mau mengambil resiko di kursi ekonomi karena membawa bawaan yang sangat penting. Jika makanan itu hancur, maka tamatlah riwayatnya. … Chayra melihat ada seorang pria memakai masker dengan memakai pakaian santai berupa celana dan baju kaos naik ke atas pesawat dengan membawa sebuah kotak yang berukuran sedang. Chayra ingin bergerak untuk betanya kepada pria itu tetapi, banyak penumpang ekonomi yang membutuhkan bantuan. Akhirnya, Chayra mengurungkan niatnya untuk betanya. Lagipula, pasti pria itu sudah melalui tempat pemeriksaan sebelum naik pesawat dan membiarkan barang bawaannya tidak disimpan di bagasi pesawat. Ketika Chayra sudah selesai membantu para penumpang, ia pergi ke kursi bisnis. Di sana, Chayra melihat tiga orang penumpang termasuk pria yang tadi Chayra liat, sementara kotak itu berada tepat di samping pria itu duduk. “Permisi, boleh saya cek kotaknya? Kalau boleh tahu, apa isinya?” tanya Chayra sopan. Abimanyu mendongakkan kepalanya, ia menatap seorang pramugari yang berdiri tepat di sampingnya. Abimanyu mengenali pramugari itu, ia melebarkan mata tetapi tidak melepaskan masker yang ia kenakan. “Silahkan, Mbak.” Abimanyu melihat ekspresi pramugari itu ketika memanggilnya dengan sebutan Mbak, takut jika gadis itu tersinggung. Ketika melihat tidak ada ekspresi marah, Abimanyu lega. “…isinya makanan, Mbak. Adik saya lagi minta khusus makanan yang dibawa dari Jakarta, makanya saya bela-belain terbang ke Sulawesi Cuma bawa ini.” terang Abimanyu. Pramugari itu tertawa kecil, ia juga sudah memeriksa ada label yang tertetra di kotak itu tertanda sudah diperiksa di tempat pemeriksaan. Chayra kembali berdiri dan membiarkan kotak itu berada di tempatnya semula. “Baiklah, semoga nanti tidak ada turbulensi kecil.” ucap Chayra lalu meninggalkan Abimanyu. Chayra masuk di ruangannya dan bertemu dengan pramugari lain yang terbang bersamanya hari ini. Mereka sedang bersiap-siap untuk memperagakan langkah-langkah proses penyelamatan jika pesawat masuk ke keadaan darurat. Chayra juga bersiap-siap, ketika perhatiannya teralihkan ketika salah satu rekannya betanya. “Dia bawa kotak apa, Ara?” tanya rekannya. Chayra kembali menengok ke arah pria itu, “Bawa makanan, untuk adiknya.” “Eh, dibela-belain bawa dari sini?” Chayra mengangguk, “Mungkin adiknya lagi ngidam. Jadi, begitulah.” Rekan Chayra itu masih melihat pria itu, lalu menggeleng pelan. Masih tidak pecaya jika ada yang rela naik pesawat hanya untuk membawakan adiknya makanan dari Jakarta ke tempat lain menggunakan pesawat. “Sudah, jangan diliat lagi. Nanti dia risih,” tegur Chayra. Chayra menarik lengan rekannya ketika tidak berhenti menatap pria itu. “Sstt… nanti ketahuan.” “Ih, mumpung lagi ada penumpang yang bening, Ara. Lumayan kan cuci mata, walaupun penasaran wajahnya karena ditutupi masker.” Chayra terkekeh, “Nanti biar aku suruh buka maskernya, biar kamu lihat.” “Eh, emang bisa?” “Ya, nggak lah! Sudah, sana ke kelas ekonomi sama yang lain!” perintah Chayra tegas. Pramugari itu besungut-sungut, tetapi mau tidak mau menuruti perintah Chayra karena ia memiliki posisi tertinggi sebagai pramugari. Setelah kepergian rekannya, Chayra mengintip untuk melihat pria tadi. Dalam hati, ia membenarkan ucapan rekannya, ya lumayan untuk cuci mata. Tubuh pria itu sangat proporsional.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN