Apa yang lebih buruk daripada diteror oleh penguntit? Adalah diteror oleh Kakek untuk segera menikah. Sela pikir kemarin Kakeknya itu bercanda. Tapi lihatlah, ini masih pukul 6 pagi dan Sela sudah mendapat telfon dari Asistennya kalau ia sudah dibuatkan janji makan siang dengan Jalen. Astaga, kepala Sela rasanya mau pecah.
Masalah tentang pernikahan belum selesai, masalah Sela kembali bertambah. Pagi-pagi buta Ibunya sudah mendesaknya dengan berbagai hal yang harusnya menurut Sela bukan sesuatu yang penting. Lagipula Sela tak bisa mengambil keputusan semudah itu.
"Ma, nggak ada alasan untuk aku pecat dia. Dia kan udah minta maaf juga sama Mama. Dia nggak sengaja." Harusnya kemarin Sela tidak pulang ke rumah, tapi pulang ke apartemen saja. Setidaknya di sana ia bisa istirahat dengan tenang, berpikir dengan jernih. Di rumah ini ada banyak sekali tekanan walau sebenarnya Sela sudah sangat terbiasa sekali. Tapi ada saat-saat di mana Sela butuh kesunyian.
"Gampang banget kamu menyelesaikan masalah. Kamu tau, orang kayak gitu kalau dikasih hati akan minta jantung. Kamu itu terlalu lunak sama pegawai kamu. Lihat mereka jadi melunjak."
Sela menghela napas untuk ke sekian kali. Tak lama Pasundanu Gaung muncul dan bergabung di meja makan.
"Ada apa?"
"Sela nggak mau memecat pegawainya yang sudah kurang ajar sama Mama."
Pasundanu meneguk minumannya. Ia kemudian melirik Sela. "Pecat saja," jawab pria itu enteng. Pasundanu sebenarnya bukan tipe orang yang kejam dan mau memecat orang sembarangan. Tapi Agisti, istrinya ini sudah merepet tentang pegawai ini sejak kemarin. Pasundanu malas bergulat di dalam masalah yang sama terlalu lama.
Sela menatap ayahnya itu dengan kerutan di kening. Tentu Sela tak akan melakukan apa yang kedua orang tua nya perintahkan. Bagaimana bisa Sela memecat pegawai yang tidak salah?
Melepas stress karena tekanan di rumah, Sela memilih untuk berangkat ke kantor lebih cepat dari biasanya. Sela tak bisa berpikir di rumah. Dia bisa gila lama-lama. Dan pegawai itu menemui Sela paginya, begitu Sela sampai di ruangannya. Sela kasihan melihat gadis lugu di depannya ini. Dia terlihat sangat sederhana dan polos. Sepertinya dia pegawai baru dan kemungkinan tak mengenal Agisti. Lagipula Sela sudah melihat rekaman cctv nya dan tidak menemukan kesalahan apapun. Kejadian hari itu murni kecelakaan dan sebuah ketidaksengajaan.
"Iya nggak apa-apa. Kamu boleh kembali ke ruangan kamu."
"Saya nggak akan dipecat kan, Buk?"
Sela menggeleng. Perempuan itu mengucapkan banyak-banyak terima kasih kemudian pamit meninggalkan ruangan. Sela menghela napas sekilas kemudian kembali melanjutkan pekerjaannya. Ada banyak sekali pekerjaan dan Sela membutuhkan fokusnya. Tapi bagaimana Sela bisa fokus jika masalah datang silih berganti?
"Saya punya banyak pekerjaan, Rum. Kamu nggak lihat?"
Rumi menggaruk tengkuknya serba salah. Rumi harus bagaimana? Di satu sisi Sela adalah bosnya. Tapi di sisi lain, Aryan Gaung adalah penguasa Amara Group. Bagaimana bisa Rumi mengabaikan perintah Aryan Gaung? Tapi Rumi juga bekerja untuk Sela. Apa yang harus Rumi lakukan?
Sela akhirnya menghembuskan napas panjang. "Yasudah, saya akan pergi. Kamu boleh keluar."
"Serius, Buk?"
"Iya. Jam berapa?"
Rumi tersenyum seketika. Ia beritahu Sela jam dan tempat pertemuan akan dilakukan. Setelahnya ia segera meninggalkan ruangan Sela. Sebenarnya Rumi pun punya pekerjaan. Tapi membujuk Sela adalah prioritas. Begitu keluar dari ruangan Sela, Rumi langsung menghubungi Asisten Aryan, memberitahu bahwa Sela sudah setuju.
...
Hanya bertemu. Itulah yang Sela pikirkan. Bukan sesuatu yang penting. Setelah bertemu pun Sela bisa menolak atau meminta Jalen untuk tidak ikut campur dengan urusannya. Sela akan pikirkan jalan lain. Sungguh, Sela tak ingin menambah orang lain di dalam peperangannya. Sela tak ingin berhutang budi. Masalah ini ia akan menyelesaikannya sendiri. Karena jika nanti Sela pergi, maka tak ada hal lain yang akan menghadang. Apalagi sebuah pernikahan.
Jalen sudah datang. Sela merasa dirinya tidak terlambat dari jam bertemu mereka. Setidaknya ia datang di waktu yang tepat. Semoga saja Jalen tidak seperti pria-pria di dalam n****+ yang selalu Rumi ceritakan. Tipikal pria menyebalkan yang selalu mempermasalahkan Ketika seseorang terlambat hanya 3 detik.
Tapi..
"Kamu tidak tau cara menghargai orang lain? Apa yang punya kesibukan hanya kamu?"
Sela melongo bukan main. Sela tidak terlambat 1 jam atau 2 jam. Sela datang di waktu yang tepat. Dia benar-benar hanya kelewatan 10 detik saja. Sungguh Jalen akan mempermasalahkan 10 detik itu?
"Saya hanya terlambat 10 detik," akhirnya Sela suarakan isi kepalanya. Sela tak melihat ini sebagai sebuah masalah besar. Bukankah Jalen terasa berlebihan?
"Sepertinya kamu masih harus belajar menghargai orang lain." Jalen bangkit dari duduknya. "Kamu masih mau bicara sama saya?" pria itu melirik jam tangannya. Jalen bertindak seolah ia memang sangat sibuk dan Sela sudah melakukan sebuah kesalahan besar dengan terlambat 10 detik. Ya Tuhan, hanya 10 detik.
"Sebentar.." Sela akhirnya mengalah. Terpaksa menurunkan sedikit egonya meski ia sangat kesal pada Jalen. Sela harus bicara pada Jalen sekarang atau tak akan ada hari lain. Sela berharap ini adalah terakhir kali ia bertemu dengan Jalen. Meski sebenarnya banyak bicara bukanlah tipikal seorang Mirsela. Ia benci banyak menjelaskan.
"Beri saya 3 menit, saya akan bicara dengan cepat."
Jalen kembali duduk tanpa banyak bicara. Sela pun ikut duduk. Ia menarik napas dalam kemudian mulai bicara tanpa basa-basi.
"Sebelumnya saya mengucapkan banyak terima kasih atas kesediaan anda datang ke sini. Tapi saya datang bukan untuk menyetujui saran Opa saya. Saya datang untuk mengatakan bahwa anda tidak perlu ikut campur urusan saya. Permasalahan saya biar saya sendiri yang mencari solusinya. Saya tidak ingin orang lain ikut campur. Untuk Opa saya, biar saya sendiri yang memberitahunya nanti."
"Hanya itu?"
Sela mengangguk.
"Baiklah." Jalen kemudian bangkit dan meninggalkan Sela yang terdiam. Sela kemudian mengarahkan pandangan ke arah perginya Jalen tadi. Sela masih sibuk berperang dengan pikiran dan praduganya. Apakah Jalen akan pergi begitu saja? Tidak, jangan salah paham. Sela jelas senang Jalen tak mempersulitnya. Tapi apa Jalen akan setuju semudah itu?
...
Jalen sepertinya serius dengan kata-katanya. Sudah seminggu berlalu dan tak ada gangguan apapun yang Sela dapatkan dari sang kakek. Pria tua itu masih di rumah sakit. Harusnya beliau sudah bisa pulang. Tapi Aryan sepertinya masih betah di rumah sakit. Kadang rumah sakit memang lebih baik daripada rumah.
Sela melepaskan sendalnya. Membiarkan stiletto 10 cm itu tergeletak begitu saja di lantai. Hari ini Sela melarikan diri ke apartemen. Agisti memang sudah tak merepet lagi tentang masalah hari itu. Sepertinya dia sudah lupa karena sibuk bertemu teman-teman sosialitanya. Tapi Sela pulang ke apartemen karena sedang ingin me time. Ah, lagipula kapan Sela tak me time? Bukankah ia memang selalu habiskan waktu dengan dirinya sendiri? Hingga kini Sela terbiasa tanpa siapapun. Tidak keluarga dan tidak juga pasangan. Bagi Sela, dirinya sendiri sudah cukup. Nanti, jika waktunya tiba Sela tak akan melalui hidupnya sendiri lagi. Tapi nanti, Sela harus bersabar.
Sela melepaskan jubah mandinya kemudian masuk ke dalam bath up. Hari ini seperti biasa, ada banyak sekali pekerjaan dan juga tekanan tentunya.
"Gimana ya caranya bikin direksi menyetujui pengangkatan tanpa aku perlu menikah?" Sela benar-benar memutar otaknya. Ia sudah melakukannya selama seminggu ini, memikirkan berbagai cara. Tapi belum ada cara jitu yang Sela dapatkan.
"Persyaratannya terlalu konyol.." Sela menghela napas kemudian memijit keningnya. "Kenapa sih dulu harus ada kesepakatan kayak gitu?"
Sela tiba-tiba mendapat ide. "Apa aku temui para tetua aja ya, pemilik saham lama. Kalau aku bisa bujuk mereka mungkin aku nggak harus menikah untuk dapat posisi itu.." Seperti mendapat jalan keluar, Sela menyunggingkan sedikit senyumnya. Sela berharap jalan ini akan membuahkan hasil.
...
Dering telfon itu sudah berbunyi beberapa kali sejak tadi. Tapi tak ada jawaban. Rumi yang juga mengetuk beberapa kali tapi tak mendapat respon akhirnya memberanikan diri masuk tanpa persetujuan si pemilik ruangan.
Sela tak ada di ruangannya.
"Buk.." Rumi mencoba memanggil sang bos. Namun tak ada respon. Seingat Rumi, Sela belum keluar dari ruangannya sejak tadi. Sela masih ada—harusnya. Tapi kenapa ruangannya kosong? Ponsel dan tas nya masih ada.
"Buk?!" Rumi mendekat ke kamar mandi. Ia kemudian mengetuk tapi masih tak ada jawaban.
"Buk?!" Rumi kembali memanggil. Tapi kali ini dengan sedikit mendorong pintu, berharap pintu tidak terkunci. Dan ternyata benar, pintu itu tak terkunci.
"Bu— Ibuk! Astaghfirullah Ya Allah Ibuk!" Rumi berteriak histeris kala menemukan Sela tergeletak di lantai dalam keadaan tak sadarkan diri. Sela segera menghubungi asisten pribadi Sela yang juga merangkap sebagai supir Sela di kala perempuan itu membutuhkan. Tak butuh waktu lama, pria dengan kemeja hitam itu datang. Ia langsung melarikan Sela ke rumah sakit secara diam-diam tanpa diketahui siapapun. Ya, persis seperti yang selalu Sela wanti-wanti pada kedua orang kepercayaannya itu.
...
"Kelelahan, kekurangan darah, kekurangan istirahat. Ditambah pola makan tidak teratur." Kalimat ini bukan kalimat yang asing. Baik Rumi maupun Geza, sama-sama sudah familiar dengan kalimat ini. Keduanya pun sudah familiar dengan dokter yang ada di depan mereka ini sebab ini bukan kali pertama Sela masuk rumah sakit. Tapi biasanya tak separah ini. Setidaknya tak sampai Sela tak sadarkan diri.
"Kekurangan darah, dok?" Tanya Geza.
"Hm." Dokter mengangguk. "Tenaganya terlalu diforsir juga. Makan tidak seimbang.."
Geza manggut-manggut.
"Sela perlu dirawat beberapa hari sampai kondisinya benar-benar stabil. Kali ini dia tidak bisa dirawat di rumah. Saya takut kondisinya jadi bahaya."
Rumi pun jadi bingung harus bagaimana. Sela jelas paling benci dirawat di rumah sakit. Tapi jika keadaannya begini mereka bisa apa?
Sang dokter berlalu setelah Geza dan Rumi berterima kasih.
"Gimana Mas Ge?"
"Ya gimana, dokter udah ngomong gitu."
"Tapi Buk Sela kan paling nggak suka kalau dirawat di rumah sakit."
Geza menghela napas.
Dan seperti yang bisa ditebak, Sela ngotot ingin pulang. Sela tak mau dirawat.
"Tapi Buk—"
"Ge, kamu tau saya gimana. Saya tau kondisi tubuh saya. Saya—"
"Buk, kali ini aja. Kondisinya nggak sama kayak biasa. Gimana kalau kondisi ibuk makin drop di saat genting? Gimana kalau direksi tau?" Kata-kata Geza seperti menyadarkan Sela. Perempuan itu terdiam.
"Setidaknya Ibuk dirawat dulu sampai kondisi Ibuk benar-benar stabil. Kita nggak bisa ambil risiko sebesar itu."
Sela menghela napas. "Oke saya akan di sini. Tapi kamu pulang aja. Kamu juga Rumi, pulang aja. Saya bisa sendiri."
"Tapi Buk—"
"Kalian pulang atau saya?" Ancam Sela.
Rumi dan Geza sama-sama menghela napas. Akhirnya mereka terpaksa pulang. Tapi Geza sudah bicara pada perawat dan dokter untuk segera menghubunginya jika ada apa-apa.
Sela menatap langit-langit kamar inapnya kemudian ia menghela napas kasar.
"Kenapa harus masuk rumah sakit sih?" Sela mengeluh. Satu-satunya hal yang bisa membuat Sela sangat badmood adalah rumah sakit. Ada banyak kenangan buruk di rumah sakit.
...
Dua hari di rumah sakit sudah membuat Sela mati kebosanan. Jika lebih lama di rumah sakit, Sela pasti akan gila. Gadis itu sedang menghalau rasa bosan dengan bersantai di koridor dekat taman rumah sakit. Ada cukup banyak orang berlalu lalang. Tiba-tiba Sela melihat seseorang yang seharusnya tak melihatnya berada di rumah sakit. Salah satu orang penting di perusahaan yang juga merupakan salah satu orang yang paling Sela antisipasi.
Sela tak bisa membiarkan orang itu melihatnya di rumah sakit dalam kondisi ini. Semua urusan Sela bisa kacau.
Sela kelimpungan karena botol infusnya. Ia kelabakan mencari tempat bersembunyi tapi tak ada apapun yang bisa menjadi tempat persembunyian Sela sekarang.
"Astaga, gawat." Sela tak tahu harus bagaimana. Orang itu semakin dekat. Sela hampir tergelincir dan berakhir kacau jika saja sebuah tangan tak cepat menarik lengannya. Sela berakhir di dalam pelukan orang yang menyelamatkannya itu.
1.. 2.. 3... Dalam kondisi masih berdebar, Sela mengangkat wajahnya. Bola mata Sela membesar otomatis.
"J..Jalen?" Sela berucap dengan tergagap. Ia langsung bersembunyi di d**a Jalen saat dewan direksi tadi melewatinya.
"Kamu ngapain?" Suara dingin itu menarik paksa Sela kembali pada kesadarannya. Sela memeriksa bahwa dewan direksi tadi sudah pergi. Ia segera menarik dirinya.
"Maaf," ucap gadis itu. Ia melirik kiri dan kanan memastikan tak ada orang yang ia kenal lagi.
Jalen pandangi gadis di depannya itu. Sudah seminggu ia tak bertemu Sela. Kini gadis itu malah disokong oleh cairan infus.
Seperti ada kalimat yang ingin Jalen ucapkan. Tapi kalimat itu tertelan saat seseorang memanggil namanya.
"J.." Jalen dan Sela kompak menoleh. "Ini.." gadis dengan rambut panjang lurus itu memandangi Jalen dan Sela bergantian.
"Nggak kenal," jawab Jalen. "Udah?"
Gadis itu mengangguk.
"Yuk.."
Jalen dan si gadis berlalu. Sela memandangi punggung keduanya tanpa ia sadari.
"Nggak kenal?" Sela membatin.
***