HW - 08

1765 Kata
Hampir satu jam Sela menunggu Jalen makan. Padahal hanya makan ketoprak satu piring, tapi Jalen seperti makan 300 porsi. Lama sekali. Untung saja Sela masih bisa menahan dirinya. Bagaimanapun Sela sadar kalau ia berhutang banyak pada Jalen. Bahkan mungkin Sela tak akan bisa membayarnya.  Binar lega terpancar di wajah Sela saat Jalen akhirnya membayar ketoprak yang ia makan. Sela bersiap mengikuti langkah Jalen untuk kembali ke mobil saat ponsel Jalen berbunyi. Pria itu merogoh kantong jasnya. Sela tak tahu siapa yang menelfon. Yang jelas Jalen langsung menjawab panggilan itu.  "Halo.. hah?! Di mana?" Raut wajah Jalen berubah seketika. Belum pernah Sela melihat ekspresi Jalen berubah secepat dan sejelas itu. Sela pikir bahkan Jalen tak punya ekspresi lain selain datar.  "Eh mau ke mana?" Sela terkejut saat Jalen melangkah lebar ke arah mobilnya. Jalen menghentikan langkah kemudian menoleh ke belakang.  "Kita bicara besok. Saya ada urusan penting." Jalen masuk ke dalam mobil kemudian melaju mobilnya bahkan sebelum Sela sempat memberikan tanggapan. Perempuan itu benar-benar melongo memandangi mobil Jalen yang melaju kencang dan perlahan hilang dalam kegelapan.  "Aku ditinggal di sini?" Sela bertanya entah pada siapa. Sela sangat terkejut dengan apa yang baru saja terjadi. Butuh beberapa detik untuk Sela sadar. "Astaga, tas di dalam mobil." Sela baru sadar bahwa tak ada satupun barangnya bersamanya. Ia meninggalkan tasnya di dalam mobil Jalen tadi. Ponsel, dompet, semuanya di sana.  "Ya Tuhan.." Sela menghela napas. Marah, kesal, dan bingung bercampur menjadi satu. Sela tak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang. Bagaimana caranya ia kembali?  "Maaf, Pak, ada taxi lewat sini nggak?" Sela bertanya pada penjual ketoprak.  "Waduh biasanya sih nggak ada, Mbak. Jarang banget. Ini bukan daerah yang biasa dilewatin taxi. Itu aja berapa kilometer ke depannya cuma perkampungan."  Sela memejamkan mata sesaat. Ia tarik napas dengan tenang.  "Hm maaf, Pak, boleh saya pinjam handphone?"  "Boleh aja sih Mbak. Cuma saya lagi nggak ada pulsa. Lagi habis pulsa saya."  Sela masih berusaha untuk tetap tenang. Ini tak akan seburuk itu. Apa yang harus Sela lakukan sekarang?  "Makasih ya, Pak.." Sela kemudian beranjak dari sana. Tak ada pilihan lain, Sela harus jalan kaki.  ...  "Makasih ya. Maaf ngerepotin terus," ucap Lane. Jalen menghentikan mobilnya di depan rumah Rayn. "Kayak orang jauh aja. Besok teknisinya bakal nelfon kalau mobilnya udah selesai."  Lane mengangguk.  "Sana istirahat.."  Lane tersenyum kemudian turun dari mobil. Jalen akhirnya ikut turun saat melihat Rayn muncul di ambang pintu.  "Malam, Om.."  "Malam, Jalen. Makasih ya udah nganter Sara pulang."  Jalen mengangguk dan tersenyum tipis.  "Loh, J," Rachel muncul dari dalam rumah Rayn. Tak lama Kevin menyusul. Ia pun terlihat terkejut dengan kehadiran Jalen.  "Mam.."  "Jalen nganter Sara?" tanya Rachel dengan ekspresi menggoda.  "Hm," jawab Jalen enteng.  "Mami sama Papi ngapain di sini?" Tumben si bungsu ini mau bertanya. Biasanya Jalen masa bodoh dengan urusan orang lain.  "Nggak ada, lagi ngumpul-ngumpul aja. J udah mau pulang?"  Jalen mengangguk.  "Jalen, nggak mampir dulu? Makan dulu," Tisa datang, menawari Jalen untuk singgah. Jalen berterima kasih dan menolak dengan halus. Perut Jalen agaknya masih kenyang karena dia baru saja mengisinya dengan ketoprak.  Rachel dan Kevin pamit pulang. Jalen pun melakukan hal yang sama. Kedua mobil itu meninggalkan kediaman Rayn.  "Dek, kamu yakin sama Jalen cuma sahabatan?" Rayn bertanya pada bungsunya itu.  "Ih kok Papa tiba-tiba nanya itu? Ya iya.."  "Yakin? Kok Papa kayaknya nggak ngeliat begitu?"  Lane memutar bola matanya. "Udah ah, Pa. Sara sama Jalen itu nggak ada apa-apa."  "Mana bisa cewek dan cowok sahabatan tanpa perasaan.." Rayn masih belum mau kalah.  "Udah, ah, baru pulang juga anaknya jangan diganggu." Tisa mengingatkan sang suami. Lane mencibir pada sang Papa kemudian langsung kabur ke kamarnya.  "Aku yakin mereka berdua itu ada apa-apanya.." Rayn masih kekeuh. Tisa hanya bisa menghela napas.  ...  Jalen mematikan mobilnya. Badannya terasa agak lelah hari ini. Jalen ingin segera mandi lalu tidur. Pria itu langsung masuk rumah kemudian berlalu menuju kamarnya.  Musik menggema di dalam kamar mandi bersamaan dengan suara shower. Hari yang melelahkan. Jalen butuh waktu untuk benar-benar istirahat hari ini. Kegiatan yang padat membuat waktu istirahat Jalen berkurang sangat banyak. Mungkin nanti Jalen akan cari waktu untuk jalan-jalan.  Pria itu keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit di pinggang. Dering ponsel membuat Jalen membelokkan langkahnya. Ia raih benda pipih itu kemudian pandangi layar, memeriksa siapa yang menelfon.  Kening Jalen mengerut saat melihat nama Rumi tertera di layar. Jalen menjawab panggilan itu.  “Halo Pak Jalen, selamat malam. Maaf mengganggu malam-malam begini,” Jalen berlalu menuju walking closet.  “Apa Bapak sedang bersama Buk Sela?”  “Tidak,” jawab Jalen.  “Ohh, baiklah, Pak. Maaf sudah mengganggu.”  “Kamu sudah coba hubungi telfonnya?” tanya Jalen sembari meraih baju kaos oblong untuk ia kenakan.  “Sudah. Tidak ada jawaban.”  “Mungkin dia ketiduran.”  “Mas Geza tadi menelfon dan mengatakan kalau Buk Sela belum kembali. Beliau tidak ada di apartemennya.”  Jalen melihat jam di ponselnya. Sudah hampir tengah malam. Bagaimana mungkin Sela belum sampai di apartemennya?  “Mungkin Buk Sela kembali ke rumah orang tua beliau,” ujar Rumi di seberang. Jalen baru teringat kalau Sela masih punya orang tua. Ia lupa tadi. Rumi berterima kasih kemudian memutuskan sambungan. Jalen mengenakkan pakaiannya kemudian segera berbaring.  Lampu dimatikan. Perlahan Jalen memejamkan matanya kemudian ia terlelap sepenuhnya.  ...  Jalen terpaksa menepikan mobilnya saat suara getar terdengar di dalam mobil. Seingat Jalen ponselnya tidak dalam mode silent. Pria itu memeriksa ke segala sudut.  Drrtt.. drtt.. Jalen yakin suara getar itu berasal dari ponsel.  Jalen melongo ke bawah jok penumpang dan Jalen menemukan apa yang ia cari.  Pria itu mengerutkan kening kemudian termagu. “Ini tas Sela?” Jalen bertanya entah pada siapa. Ia memeriksanya dan menemukan ponsel di sana. Ada 30 panggilan tak terjawab. Ada pop up pesan dari Geza. Hal itu membuat Jalen yakin kalau tas di tangannya itu adalah milik Sela.  Ada dompet di dalam tas. Jalen tak bermaksud untuk melihat privasi Sela. Tapi dompet itu dalam kondisi terbuka. Jalen mengambil dompet itu dan memperhatikan dengan seksama kartu tanda pengenal yang ada di sana. Ada beberapa kartu lain. Tapi yang menjadi perhatian Jalen adalah KTP Sela. Kening Jalen mengerut saat melihat tahun lahir Sela. Jalen pikir Sela lahir satu tahun di bawahnya. Nyatanya Sela lahir di tahun yang sama dengan dirinya.  Jalen memastikan sekali lagi. Jika saja Jalen tak mengenal dengan baik keluarga Aryan Gaung, pasti tak akan ada yang janggal. Tapi Jalen mengenal Aryan Gaung dengan baik. Jalen juga tahu kapan Pasundanu dan istrinya Agisti menikah. Jalen ingat Aryan pernah mengatakan kalau Pasundanu dan Agisti cukup susah memiliki anak kala itu. Tapi bagaimana bisa Sela lahir di tahun yang sama dengan dirinya?  Jalen tepis pikiran itu. Apapun itu tak ada hubungan dengan dirinya. Jalen tak tertarik pada apapun rahasia keluarga Gaung. Bahkan jika Sela bukan anak Pasundanu dan Agisti pun Jalen sama sekali tak peduli. Kini yang ada di dalam kepala Jalen adalah mengembalikan barang-barang Sela.  ...  Orang-0rang berlalu lalang. Jalen turun dari mobilnya. Tadi pagi sebelum ke gallery Jalen sudah menghubungi Geza dan mengatakan kalau barang Sela ada padanya. Jalen meminta Geza untuk menjemputnya. Tapi ternyata Geza tidak sedang di Jakarta. Pria itu di luar kota. Mau tak mau Jalen harus mengantar sendiri tas Sela. Dan di sinilah Jalen siang ini. Di depan gedung AMARA Group.  “Atas nama siapa?”  “Jalen.”  “Oh Pak Jalen, silahkan lewat ke sini ya, Pak. Lewat VIP lift. Buk GM sudah menunggu.” Resepsionis itu tersenyum ramah. Begitu Jalen berlalu barulah dia dan temannya heboh.  “Itu Jalen anak bungsunya Pak Javier kan? Gila ganteng banget ya Tuhan. Please boleh nggak sih gue nggak tau diri dan ngehaluin Pak Jalen?”  “Sadar neng, sadar. Langit bumi bersaksi..”  Ting! Lift terbuka. Jalen melangkah menuju meja resepsionis. Di sana pun Jalen disambut dengan hangat.  “Maaf, Pak, mohon menunggu sebentar. Ibuk masih ada tamu.”  Jalen mengangguk sekilas kemudian duduk di sofa yang disediakan. Ia letakkan paper bag di sebelahnya. Jalen menunggu sembari memainkan ponselnya. Tak lama kemudian beberapa orang keluar dari dalam ruangan. Jalen kemudian dipersilahkan untuk masuk.  Jalen masuk setelah mengetuk dua kali. Tampak Sela duduk di kursinya dengan telepon di telinga. Ia persilahkan Jalen duduk.  “Iya, terima kasih banyak. Saya tunggu kabar baiknya.” Sela kemudian selesai dengan telfonnya.  “Ada apa?” Sela memandangi Jalen dengan sorot yang tak terbaca.  Jalen mereka ulang dengan cepat kejadian tadi malam. Ia meninggalkan Sela di tempat yang jauh dari keramaian. Lalu saat pagi Jalen baru tahu kalau tas dan ponsel Sela tertinggal di dalam mobilnya. Jika ingin dilihat-lihat lagi bukankah harusnya Sela marah saat ini? Entah bagaimana Sela pulang tadi malam.  “Gimana cara kamu pulang tadi malam?” Jalen balik bertanya.  Tak ada yang berubah dari raut wajah Sela. Masih sama—tak terbaca—datar.  “Anda ke sini mau menanyakan tentang hal itu?”  Jalen tak menjawab.  “Jalan kaki. Saya tidak berhasil menemukan taxi di perjalanan. Dompet, tas dan ponsel saya tertinggal di mobil Bapak.” Sela menjelaskan semuanya dengan tenang dan tanpa emosi. Jauh sekali dari bayangan Jalen. Ia pikir Sela akan meledak bahkan mungkin mencaci makinya tadi.  Jalen antara sadar dan tidak memperhatikan wajah Sela lamat-lamat. Sela terlihat agak pucat. Di balik baju lengan panjangnya Jalen yakin tangan Sela sudah kembali diperban. Tadi saat Jalen masuk pun Sela tak menggunakan tangan kirinya. Hampir semua geraknya menggunakan tangan kanan.  Jalen meletakkan paper bag di atas meja. Sela mengambilnya. “Kamu marah sama saya?”  Sela mengangkat wajahnya. “Tidak.” Lalu kembali ia memandangi ponselnya. Setelah beberapa detik berkutat dengan benda pipih itu, Sela arahkan kembali perhatiannya pada Jalen. Ia letakkan ponselnya di atas meja.  “Ada yang lain?”  “Tidak.”  “Terima kasih banyak sudah mau mengantar barang saya ke sini. Maaf merepotkan.”  Ini tidak sama dengan apa yang Jalen bayangkan. Jika Sela benar-benar jalan kaki bukankah akan sangat melelahkan? Jarak yang Sela tempuh tidaklah sedikit. Entah jam berapa ia sampai di rumah. Pikiran itu mau tak mau mengganggu Jalen. Kenapa tas Sela harus tertinggal di dalam mobilnya?  “Ada yang lain?” tanya Sela. Ia terlihat tak sabar ingin mengusir Jalen dari ruangannya.  “Bukankah harusnya kamu marah?” Jalen menatap lurus ke manik mata Sela.  Sela menghela napas pelan. Ia balas tatapan Jalen dengan sorot yang sama sekali tak berubah.  “Marah karena apa? Karena Bapak meninggalkan saya di tengah jalan? Saya tidak berhak marah. Mobil itu Bapak yang punya. Saya bisa apa kalau ditinggalkan yang punya mobil di jalan? Lagipula saya hanya lelah sedikit, tidak sampai diperkosa preman di jalan.”  Untuk satu hal Jalen merasa seperti ada yang mengusik hatinya. Mungkin kalimat sarkas Sela barusan?  *** 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN