13. Meet (2)

1179 Kata
"Di rumah aja dulu. Jangan ke sekolah, ya?" Devan mendengkus. Padahal, ia sudah merasa lebih baik sekarang. Tapi, ayah dan bundanya masih saja tak mengizinkannya ke sekolah.  "Tapi Nda ... bosen di rumah terus!" rengek Devan.  Kali ini, mereka berada di meja makan.  "Devan, nurut coba kalo dikasih tau, tuh!" ujar Dinda kesal.  Devan hanya mendesah. "Ya udah iya!" Devan memang bukan anak yang senang membolos. Ya, sekarang. Dia bukan tipe anak yang akan memanfaatkan sakit, untuk berleha-leha di rumah. Dia lebih senang di sekolah. Karena, dia bisa menjahili teman-temannya. Sementara di rumah? Memangnya dia harus menuntaskan hasrat kejahilannya kepada ayah atau bundanya? 'Kan gak mungkin?! "Yah," panggil Devan.  Risyad yang tengah membaca koran itu menoleh, lalu menggumam.  "Ke rumah Oma Ri aja, Yah. Boleh gak?" tanya Devan.  Risyad memandang Dinda sebentar, Dinda mengangguk, lalu ia kemudian mengangguk kepada Devan. "Boleh, tapi diem aja di rumah Oma. Jangan mainan!" Devan berdecak. "Emangnya Devan bocah, main sendirian?" Dinda dan Risyad terkekeh. "Ya udah, nanti barengan ama Ayah aja, heum?" kata Dinda.  Devan mengangguk. "Iya," "Bunda juga ikut!" kata Dinda semangat.  Risyad mendelik. "Ikut ke kantor, apa ke hotㅡ" Dinda menyumpalkan selembar roti ke mulut Risyad, sambil melotot.  Devan yang sejatinya masih polos-polos b*****t itu, hanya diam. Pura-pura masa bodo alias pura-pura gak tau.  "Tar malem gak dapet, mau?" ancam Dinda.  Dan Risyad hanya terkekeh.  -----D----E----V----A----N----- "OMA RI....! YUHHUUUU....! CUGANSNYA OMA DATENG NIHHH!!" Dinda kontan membekap mulut putranya itu. Menjewer pelan telinganya. Devan meringis, sambil meminta agar bundanya melepaskan pelintiran di telinganya. "Bunda ... aiisshh! ampun Nda..." "Masuk rumah orang itu, salam! Bukan teriak-teriak, Devan!" kesal Dinda. "Baru sembuh juga, udah teriak-teriak!" Dinda melepaskan pelintiran tangannya di telinga Devan.  "Hehe, maaf Nda." "OMA RI ... ASSALAMUALAIKUM!! CUGANSNYA OMA DATENG NIHHH!" teriak Devan sekali lagi.  Dinda hanya bisa meringis. "Gak pake teriak-teriak juga, kali!" Tak lama, seorang wanita keluar dari dapur, sembari mengelap tangannya dengan tisu, dalam jumlah cukup banyak.  "Waalaikumsalam, eh! Cugansnya Oma ..." Rifda segera menghampiri cucu kesayangannya itu. Memeluknya, lalu menciuminya.  Devan sendiri sih, anteng-anteng aja, di ciumi kaya gitu. Abisnya, udah kebiasaan dari kecil, di ciumin gitu. Makanya jadi kebiasaan.  "Kok kesini nak? Udah sembuh, emangnya? " tanya Rifda sembari mengusap surai cucunya itu dengan lembut.  Ya, walaupun pada akhirnya, Devan yang kelewat tinggi itu harus sedikit membungkuk agar omanya bisa leluasa mengusap surainya.  "A—" baru saja Devan ingin menjawab, keburu diserobot oleh bundanya, yang langsung bersalaman dengan mama mertuanya itu.  "Bandel, Ma." jawab Dinda. "Dilarang ke sekolah, ehh, malah minta ke sini!" Devan mah, diem aja. Sebodo amat kali pikirnya? "Sayang, kalo masih sakit di rumah aja dong, nak. Biar cepet sembuh, heum? Nanti kan, Oma Ri bisa ke sana?" "Gak pa-pa, Oma. Devan bosen di rumah mulu." jawab Devan.  Tanpa disuruh, pemuda tanggung yang masih pantas dibilang bocah itu, sudah mendudukkan bokongnya di sofa. Meraih stoples camilan dan memakannya.  Dinda tentu saja tak tinggal diam. Dia mendekat, lalu memukul pelan lutut putranya itu. "Celamitan!" ketus Dinda. "Belum disuruh juga, sama Oma!" Rifda terkekeh melihat interaksi ibu dan anak di hadapannya, yang sama seperti pasangan kakak dan adik.  "Biarin aja Dinda sayang. Di rumah Omanya inih," bela Rifda, membuat Devan merasa bangga.  Dinda mengacak surai putranya. "Iya deh, Oma ... cucu kesayangannya ini nih, suka bandel tapi!" Rifda kemudian ikut duduk di samping kanan Devan. Sementara Dinda, berada di samping kirinya.  "Udah beneran enakan, nak?" tanya Rifda kepada cucu kesayangannya itu.  Devan yang tengah mengunyah keripik kentangnya menoleh, lalu mendesah pelan. "Devan tuh gak sakit, Oma!" ujar Devan. "Ayah sama Bunda aja yang gak bolehin sekolah!" Dinda menatap Devan dengan tajam, lalu ia merebut stoples keripik dari tangan Devan. "Gak peduli Bunda mahh! Muka aja masih pucat kek pocong, masih bilang gak sakit!" kesal Dinda.  "Tapi Devan tuh emang gak sakit! Lagian kapan coba, Devan minum obat? Kapan coba, Devan makan bubur? Kapan—" Dinda memelototi putranya itu ganas.  "Kebiasaan kamu tuh, suka gitu! Kalo sakit, terus aja ngelak, bilang gak pa-pa. Susah banget kamu tuhh ya! Kok jadi anak nurut banget, sih?" Dan Devan tau, apa maksud bundanya saat bilang, 'Kamu tuh jadi anak nurut banget, sih?!' artinya pasti berbeda. 'Kamu tuh jadi anak kok, susah amat sih, di kasih tau?' Nah, itu aslinya.  "Udah ah, udah. Yang penting, Cugansnya Oma udah sehat, heum?" ujar Rifda. Tangannya mengusap lutut cucunya itu.  Omong-omong, cugans itu artinya... Cucu Gans. alias Cucu Ganteng.  Maafkan kalo panggilannya lebay. Itu, Devan sendiri yang mau dipanggil begitu.  "Oma, Dev ke dapur dulu! Haus." kata Devan, lantas berdiri.  "Biar Oma aja, sayang. Kamu duduk diem, sini!" kata Rifda.  "Aihh, Oma. Biar Devan sendiri aja, sih. Ini kan, rumahnya Devan juga. Iya sih, kalo Oma masih nganggep Devan cucu." Devan terkekeh setelahnya.  Dinda dan Rifda hanya diam. Malas, kalo Devan sudah bicara seperti itu. Intinya pasti enggak akan nyambung.  Devan sih, cuek-cuek aja. Toh, anaknya emang kek gitu. Sok cuek.  Devan berlalu ke dapur, dan tentu saja langsung menuju kulkas Oma tersayangnya itu. Karena, ia pasti tau, kalau isinya banyak, dan enak-enak.  -----D----E----V----A----N----- Nadhira menggelung rambutnya ke atas, merapikan kaos yang ia kenakan, dan melangkah ke dapur. Ia tak boleh jadi malas. Lagipula, ia hanya menumpang di sini. Walaupun di rumah besar ini, ia tahu bahwa ada beberapa orang pembantu, tapi ia rasa, statusnya dengan para pembantu itu sama.  Ya... Siapa lah dirinya? Hanya seorang yatim piatu, yang diusir, dikeluarkan dari sekolah, dan luntang-lantung.  Sementara pemilik rumah ini? Orang kaya, berada, dan... ahhh! Nadhira tak tau, harus seperti apa dan harus dengan apa ia membalasnya nanti. Ia yakin, gajinya bekerja selama setahun pun, tak akan cukup sepertinya.  Setelah sampai di dapur, tujuan utama dan pertamanya adalah kulkas sayur. Siapa tau, ada bahan makanan yang bisa ia masak, dan sajikan untuk pemilik rumah yang sudah berbaik hati menawarinya tempat tinggal.  Nadhira mengerenyit, saat mendapati pintu kulkas terbuka.  Ya, kulkas besar, yang tingginya melebihi tinggi tubuhnya yang tak seberapa ini, terbuka pintunya.  Dengan langkah pelan. Nadhira melangkah sebelumnya, ia sempat mengambil sendok sayur yang dijadikannya sebagai s*****a.  Takut-takut, kalau itu adalah maling.  Heemm, jangan heran. Walaupun di siang bolong seperti ini, bukannya tidak mungkin kan, jika ada maling?.  "KAMU MALING, YA?!" Nadhira bersiap memukulkan sendok sayurnya kepada sang maling, menurut perkiraannya itu.  Sebuah.. upps, maksudnya seorang laki laki, dengan tubuh jangkung, berbalut jaket hitam, dan sneakers putih polos, tengah meneguk sebotol s**u.  Jelas saja saat ditanya... 'Kamu maling, ya?' Membuat orang itu menoleh, dengan posisi masih meneguk s**u dari botol itu.  Namun, belum sempat ia menjawab, Nadhira langsung memukulinya dengan sendok sayur. "TUH KAN, KAMU MALING! NGAKU GAK KAMU! KAMU MASUK DARIMANA?! MALING! OMA MALING!! " Tentu saja, orang tadi memekik minta ampun, dan juga berteriak. "OMA... AMPUN, OMA... TOLONGIN! BUNDA... aissshh!" Nadhira memekik, saat Oma datang.  "Eh, nak! Berhenti!" pekik Oma.  Nadhira kontan berhenti memukuli orang tadi. "OMA, ADA MALING!" entah kenapa, suaranya Nadhira itu seperti toa.  Pemuda tadi berdiri tegak, dan menatap garang kepada Nadhira. Gak tau apa, kalau dia masih sakit?  Namun, saat mereka saling pandang...  "DEVAN?" "NADHIRA?" Membuat kedua orangtua yang tak lain adalah bunda Dinda dan oma Rifda melotot disertai tanda tanya.  'Emangnya mereka kenal?' -----D----E----V----A----N-----
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN