6. Meet (1)

1375 Kata
Bang Zona (R) Bang, jemput gw dong. (R) Di kafe XX. (R) Gw di anter Pak Umar Devan menutup aplikasi chatnya, lalu menyandarkan punggungnya pada jok kursi belakang. Menghela nafas bosan, ia melirik jam tangannya.  Pukul 8.15 Aissh! Dia sudah telat 15 menit. Yang ada, Zona tidak mau menjemputnya. Zona itu, ambekan. Kaya anak cewek yang lagi PMS.  "Den," Devan mengangkat wajahnya, saat suara pak Umar memanggilnya.  "Hmm," gumam Devan.  "Aden teh, tidur?" tanyanya sembari melirik spion pada bagian depan kemudi.  Devan menggeleng. "Enggak, Pak." "Oh." ucap Pak Umar.  Terdengar helaan lega, dari pria 45 tahunan itu.  Devan mengerenyit. "Emangnya, kalo Devan tidur, kenapa Pak?" "Gapapa." jawab Pak Umar. "Kalo aden tidur, ya, bapak puter balik, hehe." Devan tertawa kecil. "Tanggung dong, Pak. Udah sampe sini, juga." "Iya sih, Den. Tapi 'kan gapapa, daripada aden ketiduran, tapi bapak paksain sampe ke tujuan? Yang ada, nanti dimarahin Bapak." Bapak yang Pak Umar maksud, adalah Risyad. Sebagai ucapan hormat, antara bawahan dan atasan.  "Ayah ga bakal marah, lah Pak. 'Kan Devan gapapa," Pak Umar menghentikan mobil, setelah mengantarkan Devan ke tempat tujuan. "Sudah sampai, Den." Devan menoleh ke arah jendela. Terpampang papan nama XX kafe di sana.  "Oh, makasih Pak." "Mau dijemput jam berapa, den?" tanya Pak Umar.  "Ga usah, Pak. Entar dianter sama Bang Zona aja." Pak Umar mengangguk. "Ya sudah. Aden jaga diri yah. Inget kata Bapak, kalo aden teh, harus hati-hati. Gak boleh__" "iya-iya, pak." Devan tertawa kecil. "Devan masuk ya, Pak. Bapak hati-hati, pulangnya." "Ya sudah, Den. Bapak pulang," Devan menghela napasnya. Menggaruk dahinya perlahan, sesaat setelah mobil yang pak Umar kendarai mulai melaju.  "Kenapa sih, semua orang protective banget, ama gue?" tanya Devan, entah kepada siapa.  -----D----E----V----A----N----- Nadhira's P. O. V Aku tersenyum sembari memeluk nampan, dan melangkah kembali ke dapur.  Senyum dari wajahku ini, tak ada hentinya, sejak pertama kali diterima di tempat ini.  Kafe tempat ku bekerja ini, nyaman. Aku tak tau, gaya apa yang dipakai sebagai dekorasi kafe ini. Intinya, sangat kekinian. Kata orang sih, instagramable banget.  Cocok untuk menghabiskan waktu bersama teman-teman, ataupun keluarga.  Beberapa tempat di sudut kafe, didesain sekeren mungkin. Menjadikannya sebagai lokasi berfoto ria oleh para pengunjung.  Ah! Sepertinya, aku harus mencoba berfoto di sana, setelah bekerja nanti.  Walaupun, ponselku ini ini tak secanggih ponsel-ponsel para pengunjung yang berfoto ria di sini, tapi, lumayan lahh, untuk mengabadikan sebuah pengalaman. "Nadhira, meja nomer 6, ya!" Aku menoleh, saat suara Dara, salah satu pelayan kafe ini memanggil.  Aku pergi ke konter, dan meraih nampan yang berisi sepotong Cheesecake, dan segelas jus jambu dari sana.  "Senyum," ujar Dara. Gadis berjilbab itu, memang ramah. Aku suka, dan sepertinya, para pelayan di kafe ini, semuanya ramah. Apalagi, Pak Zona. Umm, apa ya, enaknya memanggil dia? Dari tampangnya, dia masih muda. Mungkin, hanya beberapa tahun di atasku. Jadi, aku bingung, harus memanggilnya dengan apa? Mas?  Ahhh, tidak! "Selamat menikmati," ujarku dengan senyum ramah, kepada pengunjung kafe dengan meja nomer 6 ini.  Seorang wanita cantik, duduk sendiri di sana, sementara matanya fokus kepada layar laptop di hadapannya.  "Makasih, " ujar wanita itu.  Hmmm, sepertinya, aku tau. Dia pasti sedang mengerjakan tugas, atau apalah itu. Sepertinya, dia juga memanfaatkan akses Wi-Fi gratis di sini. Ah, iya! Disini 'kan, free Wi-Fi. Boleh kah kalau sekali-kali, aku memakainya? Aissh, aku kan pelayan. Bukan pelanggan. Apa harus memesan sesuatu dulu, agar mendapatkan akses Wi-Fi gratis, disini? "Nadhira, meja nomer 17 yah, di luar." Aku tersenyum kembali, kepada Dara, sembari mengisikan nampan dengan pesanan pengunjung dan membawanya.  Kali ini, pesanannya adalah dua porsi burger plus kentang goreng, dan juga 2 gelas es teh lemon, sepertinya. Pasalnya, terdapat potongan lemon, yang menghiasi bibir gelas. Ini, adalah hari keduaku bekerja disini.  Dan, yahh.. sepertinya, kafe ini memang ramai pengunjung. Bersyukur, aku di terima bekerja disini.  Aahhh, belum apa-apa, aku sudah membayangkan gajinya. Ya ampun! kamu mikirin apa sih? "Silakan dinikmati," Jurus jitu seorang pelayan adalah, senyuman yang manis. Dan itu, yang aku praktekkan.  Ya Allah, bolehkah aku meminta, jika aku ingin bekerja di tempat ini, tanpa ada kata pecat? Nadhira's P. O. V. End.  -----D----E----V----A----N----- Zona, pemuda dengan tinggi 180 cm itu mempersilakan Devan duduk, di salah satu meja.  Dengan wajah sok unyunya, Devan duduk, sembari menunggu Zona mengambilkan makanan favoritnya, setiap kali berkunjung ke sini.  Ya, DevZild's kafe. Seperti tak asing bukan, namanya...? "Nih Dev, demenan nya lu!" Zona kembali dari dapur, sembari membawa sepiring pasta, dan kentang goreng. Lengkap dengan jus avokad, favorit bocah 15 tahun itu.  D evan menatap makanannya dengan wajah berbinar. "Thanks, bang!" Zona tertawa pelan, "Elah, Dev. Ini aja kafe punya___" Devan segera membekap mulut Zona yang kelewat ember itu. Bagaimana jika karyawan lain mendengarnya? Bisa habis dia! "Gak perlu dideklarasikan juga kali, Bang?!" Devan melayangkan tatapan sinisnya. Heuum, Devan ini kelihatan polos. Tapi, kalo dia udah menatap seseorang dengan tatapan setajam elang, pasti bakal nge-cun. Beneran deh.  Zona aja ampe takut.  Zona mengisyaratkan agar Devan melepas bekapan tangannya itu. Dan, Devan tentu saja langsung melepaskannya.  "Anjir, gila! Gue sesek, njirr!" keluh Zona.  Sementara Devan? Dia mahh, nyengir doang. Mau tau, ekspresi muka Zona selanjutnya? Datar. Tanpa ekspresi.  Devan kembali duduk, lalu meraih gelas jusnya. Menghisapnya sedikit, lalu menatap Zona dengan wajah serius.  "Bang," Zona mendudukkan bokongnya di kursi, berseberangan dengan Devan. Menyomot sepotong kentang goreng, dan memakannya. "Hhm," gumam Zona.  Devan menatapnya sinis, untuk sesaat. Pasalnya, barusaja Zona menyomot kentang goreng miliknya. Catat! Miliknya! "Apa?" tanya Zona. Ya, dia sudah tau kalau Devan kesal.  "Emm, lu bilang, ada karyawan baru. Mana?" tanya Devan tak sabar. Mulutnya sudah sibuk mengunyah pasta yang tersaji di hadapannya. Sementara matanya berlarian kesana kemari, memperhatikan kesekitar. Seperti seekor maling, yang hendak mencuri. Hhmm.  Zona mendesah. "Oke. Tunggu bentar." Zona menepuk tangannya di atas kepala, sekali. Seperti gaya pengunjung restoran yang memanggil pelayan. Membuat Devan berdecak. Sebenarnya, pemilik kafe ini siapa, sih? Tak lama, seorang gadis, dengan rambut yang dikuncir kuda, disertai poni menawannya datang, dengan sebuah note pesanan, dan pulpen. Mendekat ke arah meja nomer sembilan yang tengah Devan duduki ini.  Manik mata keduanya, sempat bersitatap sejenak, sebelum Devan memusatkan pandangannya kepada Zona.  Zona berdiri, sementara gadis tadi, berdiri dengan hormat di samping Zona. "Ada yang bisa saya bantu, Pak?" Tawa Devan kontan meledak, saat gadis itu memanggil Zona dengan sebutan 'Pak'. Bahkan ia sampai tersedak, dan membuat Zona panik.  "Ambilin air putih!" suruh Zona kepada gadis itu.  Devan masih saja tertawa, walaupun dengan tersedaknya. "HAHHAHAHAHAHAHHAHAHA... ANJAYYY! UHUK.. UHUK! AHAAHAHAH.." Zona berdecak keras. Dalam hati, ia mengumpat kelakuan Devan.  "Ini pak," gadis tadi kembali, dengan segelas air putih, dan diberikan kepada Zona. Tawa Devan semakin menjadi, walaupun sampai terbatuk-batuk dibuatnya.  "Minum, monyet!" Devan merampas gelas dari Zona, dan meneguk airnya rakus. Aissh, gadis tadi saja sampai mengrenyit.  "Lu manggil dia, siapa?" tanya Devan kepada gadis pelayan itu.  Gadis itu mengerenyit, tapi tak urung menjawab. "Pak," jawabnya ragu.  Lagi-lagi, Devan tertawa. "Tua banget muka lu bang, sumpah!" Zona gemas, lalu memberikan sentilan mautnya di dahi Devan, membuat Devan mengaduh. "a***y, SAKIT, MONYET!" "Bodo amat," sahut Zona acuh.  Devan mengusap dahinya. Setelah rasa perihnya mereda, ia membenahi poni hitamnya yang sempat berantakan kemana-mana.  Tanpa mereka berdua sadari, gadis yang berdiri sejak tadi, memperhatikan salah satu dari mereka. Yah, Devan.  Devan melirik jam tangannya, hampir pukul setengah sepuluh malam.  "Hmm, Bang. To the point!" kata Devan. Ia meraih gelas jusnya, dan meminumnya kembali.  Zona menghela napasnya. Ia tau, maksud Devan ingin buru-buru seperti ini.  "Oke," Zona menyenggol bahu gadis tadi pelan. Membuat gadis itu tersentak. "Ini Nadhira. Karyawan baru di sini. Tugasnya, menggantikan yang lama, sebagai waiter, dan dia baru mulai kerja disini, kemaren." ujar Zona.  Gadis itu-Nadhira, yang tak tau apa apa, langsung saja membungkukkan tubuh. Memberi hormat layaknya orang Jepang.  Astaga. Devan terhura.  "Nadhira, dia Devan. Pem-" Devan menatap Zona dengan tatapan sinis. Membuat Zona menepuk dahi, lalu melanjutkan kalimatnya. "Dia ini, sahabat saya. Eh, bukan. Adik, eh, apa ya?" Devan ingin menabok Zona. Serius! "Dia ini.... apa yah," Zona melirik Devan. "Lu, apaan sih, Dev?" Devan menghela napasnya. "Gue, Devan. Cowok ganteng yang gatau kenapa, bisa temenan ama Bang Zonalay kek dia!" Devan menunjuk Zona.  "Lu bilang gue apa?" Zona menatap Devan horor.  "ZONALAY! ZONA ALAY!" Devan berteriak, memperjelas kata-katanya.  "DEVAN MONYET!" "LU AJA MONYET!" "LU!" "LU LAHH" "POKOKNYA ELU!" Dan Nadhira, serta karyawan lain, hanya menatap Zona dan Devan, dengan tatapan penuh tanda tanya.  Mereka gila?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN