9. Sakit (1)

1227 Kata
Dinda memeluk tubuh putranya dengan tak henti melantunkan ayat kursi dan do'a-do'a yang ia tau, untuk membuat putranya itu tenang. Risyad sendiri, sedang solat asar, bergantian dengan Dinda nantinya. Dokter yang dipanggil, tak kunjung datang. Membuat Dinda semakin khawatir saja, terhadap kondisi putranya.  Devan demam tinggi. Bahkan, tadi sempat mengalami kejang-kejang. Sekarang saja, Dinda menyempalkan ujung selimut, untuk digigit putranya itu. Jika tidak, Devan akan menggigit lidahnya sendiri, dan itu akan berbahaya.  Tak lama, pintu kamar utama ini dibuka, dan masuklah Rifda, Diana, dan suami mereka. Risyad sendiri yang menghubungi para orangtua mereka. Sebab, hanya para orangtua, yang bisa menenangkan mereka, kala mereka tengah kalut, dengan keadaan Devan.  "Ya Allah, Din. Cucu Mami kenapa?" tanya Diana dengan panik. Ia mendekat, lalu mendaratkan kecupannya di dahi Devan. Begitu juga Rifda. "Ya Allah, Din. Badannya panas banget?!" kali ini, suara Rifda.  Dinda mengusap air matanya, lalu duduk. "Tadi, sempet kejang-kejang." sadu Dinda masih sesenggukan.  Diana dan Rifda masing-masing, mulai melantunkan do'a, untuk Devan.  "Dokternya belum datang, Din?" tanya Rifan.  Dinda menggeleng. "Belum, Pa. padahal udah dari tadi," Rifan segera meraih ponselnya. "Biar Papa hubungi dokter keluarga." Digta mengangguk. "Risyad mana?" "Lagi solat asar, Pi." jawab Dinda.  Digta mendekati cucu kesayangannya itu. Mengusap dahinya, dan mengecupnya pelan. "Cucu Opa Di, cepet sembuh, heum?" "Din, plester demam, buruan!" seru Diana.  Dinda segera beranjak menuju laci meja rias. Meraih sebuah plester demam, dan menyerahkannya kepada Diana. "Termometernya?" "Di nakas, Ma." ujar Dinda.  Devan, memang mudah sekali demam. Daya tahan tubuh anak itu, memang tak sekuat remaja kebanyakan. Jika dia sudah demam, maka akan lama sembuhnya. Demamnya selalu saja tinggi, dan sulit turun. Terlebih lagi, jika ia demam karena traumanya kambuh, ia akan terus tidur. Dan, kalaupun dia bangun, dia tak akan merengek manja, karena pusing. Melainkan, dia hanya diam.  "Dokternya sudah datang," ujar Rifan.  Dokter keluarga mereka, yang datang. Sementara dokter yang mereka hubungi sejak tadi, entah kemana rimbanya.  Dokter Dirga, yang usianya sekitar 40an tahun itu, mulai duduk di pinggiran tempat tidur. Sementara Dinda, Diana, dan Rifda menepi. Memberikan tempat untuk Dokter Dirga memeriksa Devan.  "Terakhir kali, berapa demamnya?" tanya Dirga. Ia menempelkan stetoskop pada d**a Devan.  "40,1." jawab Dinda gemetar.  "Eeuuhhh," Devan melenguh, membuat Dinda refleks mendekati tubuh putranya. Menciuminya, dan mengusap rambutnya lembut. Mereka kira, Devan akan bangun. Ternyata tidak. Ia hanya bergerak. Keringat dingin malah mulai bermunculan di sekitar dahinya yang mulai mengrenyit. Seperti tersirat rasa ketakutan.  Risyad yang tadi juga ikut mendekat, kini meraih tangan putranya, dan menggenggamnya. Devan balas menggenggam erat tangan ayahnya itu. Sangat erat, bahkan kelewat erat. Dokter Dirga menghela napasnya pelan.  "Jadi, cucu saya gimana Dokter?" tanya Diana.  Dirga memandangi orang yang berada di sana, satu persatu. Lalu menatap Devan. Ia tersenyum tipis.  "Tekanan darahnya rendah." ujar Dirga. Sebab tadi, ia sempat mengecek tekanan darah Devan menggunakan tensi. "Dehidrasi, dan juga kelelahan." Rifda, Diana dan Digta menghela nafas lega. Begitupun dengan Risyad dan Dinda.  "Traumanya kambuh?" tanya Dirga.  Dinda dan Risyad mengangguk. "Iya, dokter." Dan mereka berdua kini jadi pusat perhatian para orangtua dan juga Dokter Dirga.  "Penyebabnya?" tanya Dirga.  Risyad mulai menjelaskan. "-kami gak tau, detailnya seperti apa." tutup Risyad.  Dirga mulai menuliskan resep obat untuk segera ditebus.  "Ini resepnya. Diberikan sesuai anjuran, ya." Dinda menerima resep itu, dan diberikan kepada Risyad, agar Risyad yang menebusnya.  "Tak ada yang perlu dikhawatirkan." ujar Dirga. "Kalau begitu, saya permisi." -----D----E----V----A----N----- Nadhira menghela napasnya sekali. Kemudian melanjutkan langkahnya. Sejak tadi, kepalanya terasa sakit, hidungnya juga mampet, dan tenggorokannya merasa tak nyaman. Inginnya ia beristirahat saja di rumah, tapi apalah daya, ia harus bekerja. Sampai di kafe, malah yang ia dapat adalah tatapan bingung dari Rika, rekan kerjanya. Ia memperhatikan penampilan Nadhira, dari ujung kepala, sampai ujung kaki.  Nadhira hanya mengernyit, kala dia diperhatikan.  Tiba-tiba, Rika mendaratkan punggung tangannya di atas dahi Nadhira, membuat Nadhira kaget, dan sedikit mundur. "Apa dah, Ka?" gerutu Nadhira.  Rika melotot garang. "Lu demam, b**o!" Tuh 'kan, walaupun mereka baru saling mengenal kurang dari seminggu ini, tapi sifat asli mereka sudah mulai keluar ke permukaan.  Nadhira berdecak. "Terus?" tanyanya malas.  Rika segera menarik tangan Nadhira, digeretnya menuju ruangan Zona. "Permisi, Mas." Nadhira tak bisa berontak, pasalnya kepalanya sudah pusing sejak tadi. Daripada kebanyakan berontak, terus dia pingsan, bagaimana? 'Kan berabe urusannya.  "Masuk." suara Zona terdengar dari dalam.  Omong-omong, Zona memang tidak setiap hari berada di kafe ini. Hanya kebetulan saja, sekarang. Pasalnya, paling sering Zona memantau kafe adalah empat kali seminggu. Lagipula, dia memiliki ruangan khusus, untuk dirinya.  "Ya, Rika?" Rika maju beberapa langkah, sembari memaksa Nadhira masuk. Tentu saja Nadhira enggan. Ia tau, kemana pokok masalah yang akan Rika ajukan. Pasti, nanti Rika meminta izin, untuknya agar pulang. Aihh! Nadhira tidak mau. Baru beberapa hari ia bekerja disini, masa sudah izin saja? "Begini, Mas. Nadhira demam." tuh 'kan, Nadhira sudah bisa menebak. Sepertinya, Rika ini tukang sadu, yah? Jangan saja, ia menyadukan macam-macam nantinya.  "Demam?" tanya Zona dengan wajah dewasanya. "Kenapa masih masuk kerja? Kenapa gak istirahat di rumah saja?" "Sa__"  Nadhira kembali menutup rapat mulutnya, saat suara cempreng Rika menggema tanpa tau waktu. Yap. Menyerobot waktu bicara orang lain.  "Nah, itu dia Mas. Saya mau minta izin buat Nadhira, boleh 'kan?" Nadhira menggulirkan matanya malas.  "Tentu saja boleh," tak sesuai ekspektasi! Zona mengizinkan? "Ta....tapi Mas, saya__" Zona tersenyum. Manis sekali. Membius Rika dalam sekali kedipan. Astaga, bolehkan Rika mengarungi Zona, lalu di pajang di lemari kaca rumahnya? Aih! 'Kan. "Mas, boleh kalau Nadhira istirahat di sini saja dulu?" tanya Rika, membuat Nadhira membelalakkan matanya lebar. Apa sih, maksud Rika? Zona nampak mengrenyit samar.  "Soalnya, Nadhira sendirian di rumahnya, Mas. Orangtuanya udah ga ada, jadi.... kalau dia sakit di rumah sendirian, siapa yang ngerawat?" Ah! Nadhira lega. Ternyata, Rika ini baik, ya? Perhatian sekali, dia? Seperti teman impian. "Kamu tinggal sendirian di rumah, Nadhira?" tanya Zona penasaran.  Yah, lagipula Nadhira hanya baru menceritakan keadaan hidupnya kepada Rika, yang sudah ia percaya sejak awal. Tapi, kalau Zona mau tau, apa salahnya? "Iya, Mas." jawab Nadhira.  Sebenernya, Nadhira rada gak enak, memanggil Zona dengan sebutan 'Mas'. Menurutnya, lebih enak Zona di panggil 'Pak' saja. Aihh, tapi nanti temannya Zona yang bernama Devan itu, mentertawakan kelakuannya lagi. Rese emang! "Ya sudah kalau begitu." kata Zona lembut. "Kamu, istirahat saja di kamar khusus pekerja di sini, sampai keadaan kamu membaik. Rika," "Iya Mas," "Kamu, tolong bilang sama pak Imam, buat pergi ke apotek, dan belikan obat, buat Nadhira ya?" Rika mengangguk, sementara Nadhira melotot. Obat? Apotek? Dia 'kan tidak punya uang? Jangankan membeli obat di apotek. Membeli obat warung saja, ia harus berpikir dua kali. Lah ini? "Ini uangnya, berikan ke Pak Imam ya," Zona menyodorkan beberapa lembar uang berwarna biru. "Suruh Pak Imam berangkat sekarang, Nadhira kamu istirahat." "Eh, Pak-" Nadhira menggigit lidahnya. "Mas, ga usah repot-repot. Saya gapapa kok." Zona tersenyum. Ia mendekat, lalu menempelkan punggung tangannya di atas dahi Nadhira. Jelas saja membuat Nadhira kaget. Kalau saja ini adalah drama romantis, sudah di pastikan, jutaan kupu-kupu terasa hinggap di perut Nadhira. Rika saja sampai melongo awkward melihatnya. Aihh, berasa tengah berada di dunia wetpet dehh. Batin Rika.  "Badanmu panas. Apa pusing?" tanya Zona. Nadhira sontak mengangguk. "Hidung tersumbat? " lagi-lagi, Nadhira mengangguk.  "Tenggorokan kamu, sakit?" Sudah tau 'kan, kalo Nadhira pasti mengangguk lagi? "Ya sudah, kalau begitu kamu istirahat. Rika, antar dia." "Baik, Mas." jawab Rika. "Ya sudah, Mas. Kalau begitu kami permisi," Zona mengangguk. Lalu ia kembali duduk di tempatnya. Sementara Rika kembali menyeret-menggeret-menarik Nadhira keluar dari ruangan Zona.  -----D----E----V----A----N-----
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN